2016-03-15

Tak Selesai


Awalnya aku hanya berambisi tidak akan menyulitkan siapapun. Hidup mandiri, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Kemudian aku menjadi dewasa dan tidak lagi berfikir sempit seperti itu. Rupanya aku harus lebih bijaksana dengan tidak membiarkan keluargaku hidup sengsara. Karena sejak kecil, hidup begitu menjengkelkan. Mulai dari bangun pagi hingga dalam mimpi sekalipun, urusan perut tak pernah meyakinkan.

Kakak lelaki satu-satunya pun diperlakukan takdir secara kasar. Ia polio sejak kecil sehingga harus menggunakan tongkat kemana-mana. Pikirku waktu itu, aku tidak menjadi beban keluarga saja sudah cukup. Dan itu sudah hampir aku lakukan sejak lulus Sekolah Dasar. Aku mandiri, meminimalisasi ketergantunganku dengan keluarga hingga 10 persen saja. Alhamdulillah, tuhan memelukku dan aku berhasil.

Dua kakak perempuanku saat ini dalam titik nadirnya. Orang tua semakin sepuh. Dan aku hanya begini-begini saja tanpa mampu berbuat sesuatu yang luar biasa. Aku hanya dikagumi sebagian orang yang tak pernah benar-benar mengerti arti berdarah-darah. Jadi aku mengelilingi Indonesia dengan tabah, tidak pernah makan untuk suatu kebahagiaan kecuali untuk bertahan hidup. Hingga aku di Papua dan secercah cahaya hinggap di pelupuk mata.

Aku bisa mengirimi keluarga uang. Takdir menunjukkan kenaifannya. Ternyata kebahagiaan orang yang selalu lapar adalah nasi. Kebahagiaan orang yang selalu kepanasan adalah es teh. Kebahagiaan orang yang selalu diguyur hujan bahkan saat tidur adalah rumah yang nyaman. Secara materi aku mampu menyediakan hal itu semua ketika masih di Papua. Tentu aku akhirnya berbangga dengan diri sendiri.

Dan sekarang, semua hal menjadi abstrak lagi. Aku pulang ke Jawa dan melanjutkan cita-cita yang dulu terasa tidak mungkin. Aku akhirnya menggunakan paspor yang telah kubuat sejak tahun 2012 untuk keliling Asean di tahun 2015. Dan lagi, aku akhirnya melanjutkan studi master dalam bidang ilmu yang sama. Aku menjadi manusia biasa, bekerja seperti orang normal, ngopi dan nonton film seperti orang kebanyakan, bersedih dan bahagia layaknya manusia, punya pacar baik dan cantik.

Cita-citaku untuk tidak membiarkan keluargaku dalam kesengsaraan materi, mandeg. Aku kehilangan penghasilan yang besar karena kebutuhanku saat ini sama besarnya. Dulu, aku mempercayai bahwa kaya hati merupakan kekuatan utama kehidupan. Tapi bagi ibuku, itu adalah halusinasi yang dibawa ayahku sendiri. Ibuku lebih logis memandang kehidupan, sementara ayahku berlindung dibalik janji-janji surga agama.

Dengan contoh keluargaku, uang adalah segalanya. Dan aku belum bisa memenuhi hal itu sehingga membuatku berpikir terus-menerus. Ini adalah fase ke puluhan kalinya saat aku terjebak dengan hal-hal yang ambigu. Sesuatu yang hanya bisa kuidentifikasi tanpa tahu jalan keluarnya. Tentu saja karena beberapa pertimbangan yang rasa-rasanya, kesalahan seumur hidupku.

Tapi pilihan-pilihan ini memang sesuatu yang harus aku jalani. Takdir akan membawa pada kesanggupan-kesanggupan baru. Sekarang hanya harus dijalani untuk menyongsong takdir berikutnya. Tapi bagi seorang visioner, hidup mengandalkan takdir begitu membingungkan. Namun harus kusadari, cita-cita untuk bisa kuliah pascasarjana dan keliling Indonesia sudahlah menjadi sesuatu yang muluk. Sehingga ketika keduanya tercapai, aku kehilangan pegangan.

Namun tidak apa, aku yakin tuhan sedang melucu saat ini. Dalam beberapa hal, aku telah dikaruniai pengalaman yang luar baisa. Baik dalam segi hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif. Orang-orang yang dulu kupandang berkelakuan bejat, aku sudah sedikit faham bagaimana rasanya. Meski semua hal negatif tetap aku sembunyikan dalam manajemen impression yang hampir sempurna. Sehingga orang tetap memandangku baik-baik saja, sedangkan pikiran bergejolak gila.

Membandingkan apa yang sudah dan akan kulakukan, memunculkan keraguan yang luar biasa. Aku sudah pasti bersyukur, namun sudah pasti pula banyak berdoa. Misalnya, aku harus memberangkatkan umrah atau haji kedua orang tua. Aku harus menikah dengan gadis yang baik. Aku harus mendapatkan pekerjaan yang membanggakan. Aku harus menyelesaikan tulisan-tulisan dengan tema beragam. Aku harus membuat organisasi sosial yang bekerja dan berjuang untuk sosial. Dan banyak lagi.

Pikiranku masih menuju ke lautan luas, udara bebas, dan daratan tanpa akhir. Tapi diam-diam banyak batasan yang hendak mengekang. Karenanya, aku butuh ketabahan tambahan. Aku butuh ketabahan tambahan. Aku butuh bersyukur tanpa batasan. 

2016-03-10

Kakakku dan Belalang Tempur


Ini tentang kakak lelakiku satu-satunya. Orang yang banyak memberiku pengalaman, pengetahuan, hingga pelajaran-pelajaran yang tak pernah aku sadari. Dia temperamental, mencoba rasional tapi lebih sering terjebak dalam dogma agama, mencoba memahami sesuatu tapi sering terjebak dalam pikirannya sendiri. Terlepas dari semua ketidaktahuanku akan dia, aku merasa bahwa dia adalah sosok yang mencoba berada di tengah-tengah suatu kaum. Dia ingin menjadi NU sepenuhnya.

Kadang ia punya prinsip, tugas seorang manusia hanyalah menyampaikan sesuatu yang benar.  Ketika kebenaran telah disampaikan dan orang lain tak menerimanya, itu sudah tidak menjadi kewajibannya lagi. Tapi kadang ia berprinsip, penyampaian suatu kebenaran lebih dibutuhkan dari pada kebenaran itu sendiri. Sehingga, saat orang menyampaikan suatu kebenaran, harus dengan cara-cara yang kebenaran itu bisa diterima.

Tapi semua itu tak pernah mengejutkanku karena dalam pergulatan pikirannya, aku selalu berada di sana –setidaknya menurutku begitu. Yang membuat mataku terpejam dan berdoa keras-keras adalah karena ia polio. Kaki kirinya mengecil dan tidak tidak bisa dipakai berdiri. Kaki kirinya bisa merespon sentuhan tapi tidak kokoh. Kaki yang selalu menjadi perhatian dan tanda tanya bagi anak kecil yang polos.

Waktu kecil dulu, dialah yang mengajakku kemana-mana. Tentu saja aku menjadi supir sepeda ontel. Dia orang yang hobi bicara, hobi bercerita, hobi menanggapi sesuatu, dan hobi yang berkaitan dengan mulut. Sehingga kita sedikit banyak akan cepat akrab dengan dia sekaligus mengetahui pikiran-pikirannya. Sebagai supir dan adik, dulu aku hanya mendegar apapun darinya. Aku hanya akan mengantarkan kemanapun ia pergi.

Dari Lamongan ke Tuban, aku pernah menjadi supir sepeda ontelnya. Melewati belantara hutan, jalan setapak, jalan menanjak, kerikil jalanan, bebatuan, dan semua jalan yang bisa diceritakan sudah aku lewati. Rupanya ia hobi jalan-jalan. Dengan caranya mengajak dan berbicara itu, aku yakin banyak yang ditularkannya kepadaku. Bisa jadi, hobiku jalan-jalan menular darinya.

Begitulah hingga aku kemudian keliling Indonesia, dan di suatu tahun 2013 aku berada di Jayapura. Ayahku memberi kabar bahwa kakakku sudah punya sepeda motor roda tiga. Uangnya, menurut ayahku, tentu saja dari dia. Sementara dari kakakku, itu uang dari dia sendiri. Dan aku boleh saja berasumsi, itu uangku dan uang ibuku. –kalimat terakhir tidak usah dipercaya–. Intinya,  dari Lamongan kakakku sudah berani naik sepeda motor sendirian ke Tubah untuk beberapa bulan.

Lalu tiba-tiba, suatu ketika ayahku memberitahukan, kakakku yang polio ini sudah berada di Surabaya menggunakan kendaraan belalang tempur itu. Aku kembali terkaget-kaget dan bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi? Ternyata ia berada di Surabaya dalam waktu yang lama, dan katanya: ia telah berhasil. Hingga aku pulang ke Jawa, aku tahu bahwa ia telah merantau dan berhasil memperoleh penghasilan yang luar biasa.

Ia bekerja sebagai tukang pijat dan mendapatkan penghasilan perbulannya seperti pegawai tingkat menengah. Bagiku, ini adalah kabar yang maha besar. Suatu kisah yang diciptakan tuhan, dan aku selalu bersyukur untuk itu. Karena dalam bayanganku dulu, aku akan menanggung seluruh beban keluarga. Mulai orang tua, ketiga kakakku, dan dua adikku. Mungkin kakakku satu ini hanya berfikir: paling tidak aku tidak menyusahkan orang lain. Dan itu adalah pemikiranku sejak SD hingga di perguruan tinggi.

Ternyata kakakku yang polio ini menunjukkan bahwa kecacatan tidak membawa pada kesengsaraan terus menerus. Ia persis seperti tokoh-tokoh video Youtube yang menginspirasi orang lain karena kecacatannya. Semacam tulisan, dia adalah orang cacat tapi bisa mencukupi kehidupannya sendiri. Dia mampun berhasil dengan kemampuan yang ia miliki. Lalu kenapa kalian yang normal tidak bisa bekerja lebih dan menghasilkan sesuatu yang lebih besar seperti orang cacat itu? Sering kan mengetahui hal ini?


Dan puncaknya hari ini, kakakku tiba-tiba memberi kabar sudah berada di Jember dengan belalang tempurnya. Kendaraan yang banyak menyusahkannya, dan banyak membawanya ke pengalaman baru. Tampaknya ia memutuskan akan tinggal di Jember dan meninggalkan Surabaya. Jarak Lamongan Surabaya adalah 3 jam sepeda motor kecepatan normal. Jarak Lamongan ke Jember adalah 6 sampai 7 jam berkendara. Sungguh, aku terkesiap dan menunggu apa rencana tuhan selanjutnya. Tentu saja aku bahagia dan berteriak keras-keras.

Aku memang tidak tahu apa dan bagaimana akhir kisah ini. Tetapi sebagai adik yang punya cita-cita yang luar biasa tinggi, kakakku yang satu ini membuatku terus bergelora. Ia akan berusaha dengan dirinya sendiri. Ia tidak harus menanggung beban keluarga besar yang kebutuhan duitnya melonjak terus menerus. Ia sudah cukup diberi ujian cacat sehingga pantas untuk bahagia. Karena bagi sebagian yang lain, kecacatan akan mematikan cita-cita hingga berakhir bunuh diri.

Itu adalah kisahnya, yang dalam perjalanannya banyak mendewasakan dan membuatnya belajar terus menerus. Sekarang memang giliranku, selalu akan menjadi giliranku.

2016-02-27

Mantan


Ia menundukkan kepala. Di seberang meja dalam sebuah acara resmi. Senyumnya sesekali kepadaku. Ia adalah mantan kawanku, yang kini kawanku itu duduk di sebelahku. Kawanku ini sosok yang bagi sebagian besar perempuan, adalah lelaki keren. Wajahnya ganteng, puisinya jago, paling kinclong kalau sudah dandan. Tentunya, kemampuan otaknya membesar karena teman-temannya tidak sejago dirinya. Minunsnya hanya satu: dia sudah menikah.

Sementara perempuan di seberang meja adalah remaja centil yang digemesin banyak orang.  Entah bagaimana hubungan mereka itu tiba-tiba selesai. Karenanya, siang ini terjadi kecanggungan yang hendak ditepis dalam diam keduanya. Mereka berhasil, untung saja. Meskipun aku melihat isyarat-isyarat yang tak bisa dijelaskan. Sehingga tiba-tiba aku ingin bertanya pada mereka, bagaimana kita bisa berhadapan dengan mantan?

Menghadapi mantan, sebagian besar perempuan akan kesulitan, berbeda dengan lelaki. Karena seorang perempuan lebih bisa menghargai sebuah hubungan dibandingkan dengan lelaki. Lelaki melihat semua dari kacamata pragmatis –kesenangan sementara pun menjadi jujugan lelaki. Padahal perempuan menikmati hubungan sebagai sebuah kesenangan jangka panjang, yang kalau bisa, akan dibawanya hingga mati.

Klaim-klaim dalam tulisan ini tak terbantahkan bagi diriku sendiri. Kita akan melihat bagaimana perempuan ketika berbicara dengan temannya, menggunakan sentuhan, usapan, pelukan, dan bermacam gaya untuk menguatkan sebuah hubungan. Bahkan saat mereka berbicara banyak, curhat, meracau, itu adalah cara mereka menjalin hubungan. Hubungan bagi perempuan, adalah keniscayaan.

Lelaki, memiliki hubungan untuk sesuatu yang lebih janggal. Bersama kawan-kawannya, kebanyakan digunakan membahas sesuatu yang aneh, body seksi seorang wanita, lelucon seksual, kata-kata kotor, dan tertawa terbahak-bahak di sebuah warung kopi. Lelaki tak menggunakan sentuhan karena itu hal yang aneh. Ketika temannya curhat pun, kebanyakan lelaki akan diam, tertegun, dan langsung memberikan jalan keluar.

Dari dua sifat berbeda ini, seharusnya hubungan antar mantan akan sangat sulit bagi seorang perempuan. Meskipun kalau mau dibantah, ada-ada saja lelaki yang lebih terluka dibandingkan dengan perempuan saat putus cinta; atau ketemu mantan. Dari gambaran besar itu, saya ingin mengerucutkannya menjadi sebuah kesimpulan yang sebenarnya mendekonstruksi apa-apa yang ada di atas, yaitu kesakitan putus cinta dan kegalauan bertemu mantan, akan lebih berat dirasakan oleh salah seorang yang menaruh hubungannya sebagai ‘segalanya’.

Besar kecilnya rasa galau ini ditentukan dari konsep dirinya. Dalam konsep diri, kita diberikan clue, bahwa pandangan kita terhadap diri sendiri salah satunya karena bentukan lingkungan luar. Kekasih adalah lingkungan luar. Masalahnya, kekasih lebih sering dibela mati-matian dibandingkan keluarga  atau teman-teman lain. Ketika mendapat penolakan, kita akan rela meninggalkan semuanya demi kekasih.

Sehingga, ketika kekasih telah membentuk konsep diri kita sedemikian rupa, maka kita akan bergantung kepadanya. Tinggal menunggu waktu hingga kita sakit hati karena manusia berubah. Manusia yang tak berubah adalah batu. Karenanya, konsep diri dan penilaian tentang diri sendiri harus dibentuk dengan kesadaran. Sadar dengan kelebihan, kemampuan,: sadar dengan teman dan musuh: sadar dengan kondisi ekonomi dan sosial, maka konsep diri kita tidak akan berpengaruh terhadap ada tidaknya orang lain.

Dalam konsep diri ada komponen bernama harga diri atau self esteem. Harga diri juga bisa didapat dari orang lain. Misalnya perasaan dihargai, dipuji, dan dihormati. Bila kita dihargai sejak kecil, harga diri kita akan naik. Bila harga diri naik, maka kita akan hidup dalam kepoisitifan; bahagia dan menyenangkan. Hal itu berbeda saat kita hidup dalam kecemburuan dan dibenci orang orang lain. Kita akan murung, mudah marah, penuh aura negatif, dan hidup tidak bahagia. Nah masalahnya, kepada siapa kita meletakkan harga diri itu? Jika kita meletakkan harga diri dan penilaian pada pasangan, maka kita akan celaka. Khususnya saat pasangan sudah menjadi mantan.

Begitulah, bagaimanapun lelaki dan perempuan berhubungan, siapa yang paling besar terpengaruh dengan hubungan itu, akan menjadi orang yang paling tertekan. Karena itu, meskipun kita sudah memiliki kekasih, hiduplah untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak bisa kita memutuskan tujuan bahagia kita adalah kekasih itu sendiri. Kekasih adalah teman seperjuangan menuju kebahagiaan. Bila kebahagiaan tidak dapat diraih bersama kekasih, maka berpisah adalah jalan terbaik.

Nah, bagaimana saat kita bertemu mantan? Cobalah percaya diri, bahwa kelebihanmu tidak ditarik seluruhnya oleh dia. Kita masih punya semiliar pesona untuk mendapatkan kekasih baru. Kita masih punya sejuta kesempatan bahagia bersama siapapun. Asalkan kita bahagia, apa saja patut dipertaruhkan. Maka, bye bye mantan.

2016-02-12

Menjadi Jurnalis, Ulasan Film: Spotlight


Jarang sekali kita melihat seorang jurnalis bekerja. Sebagai orang awam, biasanya kita hanya melihat sekilas-sekilias, lalu tiba-tiba keesokan harinya sudah ada berita. Kita tak faham bagaimana para jurnalis mulai mencari dan mengumpulkan data, lalu mengolahnya hingga menjadi sebuah news yang biasa kita konsumsi sebagai sebuah kebutuhan.

Dalam film berjudul Spotlight, kita dapat melihat hal itu. Bahkan bagi seorang wartawan pun, film spotlight mampu memberikan wawasan teknik mencari berita yang keren. Tentunya, sangat sulit melihat kualitas jurnalis sebagaimana yang ada dalam film tersebut, khususnya di Indonesia. Apalagi melihat jurnalis lokal yang cenderung terpuaskan dengan berita yang sudah ada, semacam rilis kepolisian, ataupun jumpa pers dari tokoh dan kegiatan.

Mungkin orang yang tidak pernah menjadi wartawan akan biasa saja dalam menangkap film ini. Spotlight hanya akan menjadi sebuah film yang mengesankan. Tapi bagi seorang jurnalis di Indonesia, Spotlight akan menjadi sebuah tuntunan. Terutama memang, bagi media investigasi yang membutuhkan waktu dalam mengolah isu menjadi manis. Tapi bagi media harian, apa yang dilakukan tim Spotlight akan sulit dilakukan –meskipun tidak ada hal yang tidak mungkin.

Kisah dalam film ini bermula saat Marty Baron (Liev Schreiber) mengambil alih posisi semacam Pimpinan Redaksi di The Boston Globe. Sebagai pimpinan baru di redaksi, Baron kemudian mengumpulkan masing-masing kepala bagian liputan. Mereka saling berkenalan, kemudian memaparkan “apa yang sedang dikerjakan”. Di sanalah Baron menelisik suatu persoalan yang tidak diangkat oleh redaksi menjadi sebuah berita.

Tim Spotlight awalnya menyelesaikan kasus proyek konstruksi yang buruk. Kemudian tinggal satu minggu investigasi, mereka tampaknya dapat menyelesaikan kasus manipulasi di kepolisian. Saat pertemuan redaksi dengan Pimrednya yang baru ini, Baron melihat ada kasus yang sudah pernah ditulis 2 kali, tapi kemudian hilang ditelan kelindan perkotaan Boston.

Keputusan pertama diambil oleh Baron, ia ingin agar The Boston Globe sebagai koran lokal, mengangkat kasus pencabulan yang dilakukan oleh Pastur. Karena beberapa waktu sebelumnya, ada seorang penulis kolom yang membahas tentang itu. Kuncinya sudah dipegang, ada seorang lawyer yang bisa memiliki bukti bahwa kejadian itu ada, dan seorang Kardinal mengetahuinya.

Ketika semua jurnalis sekelas editor itu kebingungan, Baron memberikan gambaran : aku tidak tahu hukum di sini, tapi bila di Florida, aku akan mulai dari pengadilan. Maka di sanalah seluruh cerita ini berjalan. Hampir pasti, drama yang diperankan Liev sebagai Baron ini memukau. Ia selayaknya seperti pimpinan Tempo yang ‘hanya’ jalan ke sana kemarin bertemu dengan para pimpinan kota, koordinasi, mencari dukungan, menekankan superioritas, dengan bahasa-bahasa yang halus.

Sementara anak buahnya, bekerja sesuai kapasitasnya; datang ke pengadilan, menemui lawyer para korban cabul yang mengetahui kasus ini, hingga menghubungi seorang peneliti pencabulan yang dilakukan oleh pastur di seluruh negeri. Oya, Baron sebagai Pimred, juga sudah melakukan silaturahim ke sang Kardinal Law, head to head, pimpinan media langsung ke pusat kekuasaan gereja. Sebagai seorang jurnalis yang agak-agak tahu, aku tersenyum dengan plotting yang dilakukan oleh penulis skenarionya: Josh Singer dan Tom McCarthy, ia seperti tahu apa yang harus dilakukan.

Salah satu sosok yang kuat dalam film ini adalah Michael Rezendes yang diperankan oleh Mark Ruffalo. Aksi pertamanya adalah saat ia harus menemui lawyer para korban cabul. Ia sebagaimana reporter lainnya yang tidak tahu siapa narasumbernya, datang ke kantor, tanya ke asisten, lalu disuruh menunggu. Saat ada orang keluar dari ruangan sang pimpinan, Rezendes berdiri, bertanya kepada sang asisten, “apakah dia orangnya?”. Saya yakin, semua jurnalis bisa merasakan bagaimana menjadi dirinya.

Dan ternyata tidak, si asisten mengejar orang yang baru keluar itu. Kosonglah kantornya. Rezendes kebingungan. Akhirnya ia langsung mengetuk dan membuka ruang sang Lawyer, Garabedian –yang temperamen, tidak suka berteman, dan awut-awutan. Tentu saja, Renzendes langsung akan diusir keluar. Tapi sebagai jurnalis handal, ia memiliki alibi, alasan, berbagai komunikasi yang menarik agar si narasumber mau ditemui. Kalau wartawan lokal, akan laporan ke Pimred : wah, saya diusir, dia nggak mau diwawancara.

Mungkin yang menarik dari film ini adalah pelajaran yang didapatkan dari peran yang dimainkan para jurnalis ini sendiri. Meskipun kalau digeneralisir, setiap persoalan yang tertutup rapat membawa permasalahan di dalam internalnya. Dan itulah makanan empuk dari media massa zaman ini. Masalahnya, terlalu banyak wartawan bodrek dan kepala-kepala dinas yang mau-mau saja dipermainkan oleh wartawan bodrek.

2016-02-01

Ulasan Buku: Dilan


Dalam dua malam, aku sudah menyelesaikan dua novel terbaik milik Pidi Baiq, Dilan 1990 dan Dilan 1991. Selesai membaca Dilan 1990, hatiku berbunga-bunga, ikut senang, bangga, dan menatap masa depan cerah. Dan selesai membaca Dilan 1991, hatiku terluka, sakit, batuk, flu, mimisan, gigi berlubang, panas dalam, disebabkan dua tokoh utama putus.

Begitulah, seringnya novel begitu mudah masuk dalam emosi pembacanya. Karena dengan membaca, seluruh imajinasi kita akan bermain. Bahkan bisa jadi, imajinasi kita lebih bagus dari pada apa yang tertulis dalam novel itu. Meskipun, bisa jadi sebaliknya. Dengan begitu, saya harus percaya bahwa dengan membaca novel Dilan 1990, mood dapat meningkat, dan kebahagiaan juga akan meningkat.

Sementara ketika membaca Dilan 1991, kita akan terpuruk dan mungkin saja mempengaruhi ketidakbahagiaan di dunia ini. Memang awalnya aku akan menyangka bahwa dua tokoh ini akan putus. Karena di awal novel, sudah diketahui bila kisah yang diceritakan hanyalah masa lalu. Dilan adalah masa lalu bagi Milea. Dan Milea menulis novel diary ini dalam posisi sudah menikah dan tinggal di Jakarta, yang katanya sudah mandi.

Satu hal yang harus kubenci adalah, kenapa Dilan harus keren, dan Milea harus cantik. Karena dua hal ini sangat sulit ditemukan di dunia ini. Di akhir cerita, memang Milea mengakui bahwa kisah mereka adalah kisah yang terlalu hebat untuk menjadi kenyataan. Memang begitulah adanya. Seperti sinetron, lelaki sebagai tokoh utama adalah sosok keren yang menjadi rebutan pembaca, lalu tokoh utama perempuan adalah sosok cantik kece yang menjadi rebutan lelaki dalam novel.

Bagiku, Pidi Baiq terlalu mainstream dalam menggambarkan tokohnya. Meskipun tetap saja, kisahnya asyik dan berbeda dengan novel pada umumnya. Dilan yang konyol, cerdas, dang geng motor. Lalu Milea yang sangat cantik, biasa saja, dan anak rumahan. Bisa membayangkan bukan bagaimana kisah mereka? Sangat 1990-an. Dilan disulap oleh Pidi menjadi sosok yang tak pernah menjemukan bagi Milea.

Bayangkan, bagaimana Dilan pertama kali menemukan Milea yang cantik, harus meminta doa ke Bundanya supaya berhasil. Kemudian menyapa Milea yang tengah berjalan menuju sekolah: “Milea ya? Boleh aku meramalmu? kita akan bertemu di kantin sekolah siang nanti”. Setelah gagal, Dilan mengirim surat lagi “Maaf ramalanku gagal, tapi aku akan meramal lagi, besok kita akan ketemu,”. Dan besok di dalam surat itu, adalah Hari Minggu.

Kisah lainnya, di Hari Minggu itu, Dilan mengirim surat undang kepada Milea. Tulisannya, mengundang si cantik untuk sekolah pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu, dengan tanda tangan pengundang adalah Kepala Sekolah. Belum lagi ketika Dilan mengirimkan surat cinta tapi dialamatkan kepada Ibu RT tempat tinggalnya Milea. Mengirimkan coklat lewat loper koran dan petugas PLN, serta mengirimi hadiah ulang tahun berupa TTS yang sudah diisi semua oleh Dilan.

Saya yakin, sebagaimana yang dirasakan Milea, seluruh perempuan di dunia ini akan terkesima, tersipu, dan merasa paling istimewa jika diperlakukan seperti itu. Dilan betul-betul menjadi panglima perang bagi Milea. Ia menjadi pelindung paling istimewa baginya. Dilan berkata: jika ada yang mengganggumu, nanti besok dia akan hilang. Atau kata Dilan : bila aku tidak menghubungimu, ketahuilah bahwa aku memperhatikan sekelilingmu untuk keselamatanmu.

Bagi Milea, Dilan adalah segalanya. Dalam Dilan 1990, hal ini sangat kerasa. Mungkin yang tidak disadari oleh Pidi, Dilan adalah representasi dari Pidi sendiri. Atau bukan sekedar Dilan itu, tetapi sifat mengejutkan dan menyenangkan dari Dilan, adalah representasi dari penulis. Kalau kita teliti, sifat Dilan bukan hanya ia miliki sendiri, tapi juga dimiliki oleh mamanya, dan adiknya yang bernama Disa.

Tentunya kita masih ingat saat Milea bertanya nama lengkap adiknya Dilan ini. Disa menjawab, Disaaa, dan nama lebih panjangnya adalah Disaaaaaaaa!. Demikian pula saat beberapa kali percakapan dilakukan antara Milea dan ibunya Dilan. Misalnya, Ibu DIlan saat marah harus meminta waktu kepada Dilan. Kalau sudah sama-sama siap, barulah ibunya bisa marah. Atau kisah lain yang saya lupa.

Namun marilah meninggalkan itu semua. Kembali kepada Milea dan Dilan yang memiliki hubungan yang romantis, manis, dan berubah miris sejak 1991. Sebagai seorang pacar, Milea menjadi perempuan pada umumnya. Meskipun mengerti apa yang dilakukannya, Milea tetap seorang perempuan. Ia menjadi pengatur, pencegah, pemarah, merajuk, dan sekian sikap wanita yang menjengkelkan hanya karena merasa memiliki.

Keretakan hubungan mereka bermula dari keinginan Milea mencegah Dilan yang hendak berperang dengan geng motornya ini. Berulang kali Milea menyegahnya meskipun awalnya Dilan menurut. Di sinilah letak kelemahan seorang lelaki. Saat membaca, saya menjadi sangat faham kegelisahan yang dirasakan Dilan. Saat ia sebagai panglima tempur bagi berandalannya, harus takluk dengan rengekan perempuan, meskipun si perempuan itu adalah pacarnya.

Dan memang akhirnya, tujuan pacaran adalah untuk putus. Bisa karena menikah, bisa karena berpisah. Begitulah kata Pidi yang diungkapkan lewat Dilan. Akhirnya mereka putus. Milea sedih, Dilan susah, dan pembaca kehilangan kebahagiaan.

2016-01-23

Selingkuh


Ada beberapa kenyataan dalam hidup ini yang mengalir begitu saja. Misalnya, orang tua kita yang sudah tidak memiliki rasa cinta sama sekali, tetapi terpaksa harus hidup berdua selamanya. Banyak pula yang tak terelakkan, yaitu perselingkuhan. Yakinlah, bahwa perselingkuhan terjadi –baik dalam pacaran atau pernikahan- salah satunya disebabkan kebosanan yang sudah akut. Bila pasangan merupakan orang yang tidak membosankan, mustahil ia akan keluyuran mencari mangsa.

Kenyataan-kenyataan seperti ini, lebih sering terungkap dalam diskusi kecil antar lelaki atau antar perempuan. Meskipun semua orang harus menyembunyikannya karena hal ini adalah tabu, tapi banyak juga yang melakukannya. Selingkuh adalah tabu. Dan dosa pastinya. Karena itu, kebanyakan dari kita adalah orang yang munafik. Dalam istilah barat dinamakan hipokrit. Kita bisa berlagak bersih, padahal bbm dan wa kita penuh dengan sampah rayuan.

Temanku seorang perempuan, tidak memiliki wajah yang menarik, tetapi menimbulkan kekaguman karena hal-hal di luar perhitungan fisik. Otomatis banyak lelaki yang jatuh hati, atau minimal menunjukkan tanda-tanda dengan rayuan mautnya. Temanku sudah menikah, punya anak-anak yang lucu, dan suami yang ganteng lagi bijaksana. Untungnya, hubungan mereka baik-baik saja sehingga kemungkinan perselingkuhan oleh temanku ini hampir tidak akan terjadi.

Tetapi, temanku yang perempuan ini terlalu banyak memiliki fans. Tidak jarang fans ini merajuk seperti perjaka yang sedang jatuh cinta, padahal mereka memiliki istri cantik dan anak lucu di rumah. Otomatis, temanku ini kebingungan setengah mati. Selesai satu lelaki, lelaki lain mendekati. Sebagai ibu rumah tangga yang baik, hal ini menggelisahkan. Karena seringnya, dicintai oleh orang yang tak kita cintai itu lebih sulit, dari pada mencintai seseorang yang tak mencintai kita. Rasakan deh!.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena kebosanan itulah. Maka dari itu, beruntung sekali bisa seseorang diciptakan menjadi humoris. Dengan menjadi humoris, kita akan lebih menarik orang untuk mengenal, dan setelah mengenal, tidak akan ada rasa bosan. Bahkan orang humoris sering membuat kekangenan beberapa orang, karena tanpa orang yang humoris, suasana akan sendu dan pilu. Tapi sebagaimana semua teori, di sini pun ada pengecualian. Karena orang yang humoris dan menakjubkan di hadapan orang lain, ada yang tak berdaya saat berada di rumah.

Fahami

Selingkuh merupakan hal yang menakjubkan. Ia menggairahkan. Ia mendebarkan. Ia yang ditunggu-tunggu. Selingkuh adalah hal yang memompa semangat baru. Seorang yang tak pernah bangun pagi akhirnya bisa bangun dini hari. Orang yang biasa tidur larut, akhirnya bisa tidur awal karena pagi-pagi harus janjian. Karena itu, orang yang selingkuh akhirnya bisa terdeteksi karena ia mengubah tingkah laku secara drastis. Persis seperti remaja tanggung yang sedang belajar mencintai anak tetangga.

Orang yang suka selingkuh, bisa dicurigai punya kecepatan rasa bosan yang di atas rata-rata. Dalam ilmu psikologi, orang yang mudah bosan digolongkan dalam kategori kepribadian Sanguinis. Padahal dalam tubuh orang yang sanguinis ini, tertanam pula seorang yang humoris. Sehingga ia laksana orang munafik lainnya, mudah membuat orang suka padanya, tapi ia mudah meninggalkan orang-orang karena cepat bosan.

Jadi kelebihan orang sangunis ini, dia pribadi yang supel, humoris, easy going, dan ekspresif. Dengan kombinasi seperti ini, dia akan mudah disukai oleh setiap orang. Karena dia juga punya rasa ingin tahu yang besar sehingga bisa memimpin pembicaraan, yang akan membuat orang langsung mudah akrab dan nyaman kepadanya. Sayangnya, ditanamkan juga sifat mudah bosan dan cepat kehilangan antusiasme, bahkan egois.

Tetapi ilmu psikologi seperti ini, meskipun hasil penelitian dan diakui seluruh psikolog atau psikiater, belum tentu 100 persen benar. Mari kita menyikapi segala sesuatu dengan bijaksana. Setiap kita memiliki potensi untuk berbuat selingkuh, dan punya potensi menjadi orang yang paling membosankan. Jadi, kepribadian sanguinis, phlegmatis, koleris, ataupun kolaris, tidak semuanya harus plek seluruhnya.

Kadang kita punya kombinasi diantara beberapa kepribadian itu. Persis seperti sifat ambievert yang merupakan gabungan dari introvert dan ekstrovert. Karena itu, kita harus belajar menjadi pribadi yang tidak membosankan. Menjadi pribadi yang selalu menarik. Dan pula, kita harus belajar menerima segala sesuatunya sesuai dengan kadarnya. Kemunafikan hanya jalan kehancuran. Bila mendapati pasangan kita selingkuh, tabahlah. Bila memiliki pasangan yang membosankan, tabahlah.

Kembali ke kedua orang tua kita yang rela hidup bersama meskipun setiap hari ada pertengkaran kecil atau pun besar. Di sana ada tanggung jawab. Seseorang yang telah ikrar di depan penghulu untuk mencintainya sehidup semati, seharusnya bertanggung jawab atas janjinya itu. Bagaimanapun, apapun, asalkan tidak keluar dari jalan Allah, pantas dipertahankan. Bila memang tak tertahankan, mungkin Tuhan akan maklum, meskipun boleh dan dibenci setengah mati, selesaikan hubungan dengan baik.

Semua orang akan terluka, tapi semua orang pula menemukan obatnya.

2016-01-21

Diamput!

sepur nang singapura rodok penak tumpa'ane

Hal yang paling men-diamput-kan di dunia ini adalah pengen jadi orang lain. Bukan hanya soal wajah cakep, kekayaan, pekerjaan, atau bisa jalan-jalan wisata, tapi bahkan istri dan pacar orang lain juga pengen kita miliki. Istilah inggrisnya, rumput tetangga selalu lebih hijau. Bayangkan rumput kita yang sudah disiram tiap hari, ya tetap aja kering kerontang.

Memang pengen jadi orang lain bukan berarti kita kalah cakep atau kalah nasib baik. Soalnya, nasib itu nggak ditentukan oleh tuhan saja, tapi rupa-rupa usaha kita juga mempengaruhinya. Jadi persoalan pengen jadi orang lain itu bukan hanya soal enteng, tapi berat. Karena hubungannya jelas, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, ya sosiologi, psikologi, ya vulkanologi, atau juga logi-logi yang  lain.

Nah masalahnya, kita harus bisa cepat menjadi orang lain. Kalau kita posisi jelek, bagaimana agar kita jadi ganteng, minimal nggak malu-maluin pas makan di Mc Donal atau kafe-kafe gaul. Kalau pas bokek, gimana caranya agar cepetan kaya. Kalau pas nggak punya pacar bahenol, ya gimana caranya agar dapat yang semok. Banyak cara bisa ditempuh, sayangnya kebanyakan kita goblok dan merasa oke dengan kegoblokan sendiri.

Jadi bagaimana agar bisa berubah menjadi orang lain?

Seorang ideolog pesohor, Marx, telah membagi kita semua dalam tiga kelompok besar. Yakni pemodal, buruh, dan pemilik tanah. Gaya hidup masing-masing orang ini berbeda. Kenapa berbeda? Karena yang dimiliki seseorang berbeda satu dengan lainnya, terlepas bahwa sifat kita sebagai individu juga sangat berbeda –yang akhirnya akan membedakan tingkah laku kita pula.

Seorang pemodal, akan lebih memikirkan bagaimana cara mempertahankan semua kondisi apa seperti sedia kala. Jadi pemodal yang memiliki uang banyak, yang dalam terminolog Marx disebut borjuis ini, punya gaya hidup manja atau memanjakan orang lain. Hal inilah yang mungkin kita anggap kehidupan gemerlap dan flamboyan. Kita pengen seperti orang itu. Padahal ya uang kita, diamput, pas pasan banget.

Menurut pengikut Hegel (hegelian) yang revolusioner ini, seorang pemodal akan berfikir bagaimana mempertahankan status quo, alias status nggak jelas, dari semua yang ada. Dengan begitu ia akan aman. Karena pemodal yang memiliki aset dimana-mana sangat benci dengan perubahan. Perubahan yang mengarah ke politik dan sosial, akan mempengaruhi perusahaannya sehingga kemungkinan rugi besar akan terjadi.

Pemikiran seperti itulah yang terjadi, sehingga saat Wali Kota atau Bupati turun ke lapangan, semua pemodal akan menyambutnya seakan-akan dia adalah dewa. Sebab, ditangan pimpinan daerah inilah segala ijin brengsek mereka dikabulkan. Kalau pimpinan daerah diberikan priviledge tertentu, semua pekerjaan akan aman. Keuntungan akan mengalir ke kantong pemodal terus menerus.

Sementara buruh, berfikirnya ya seperti kita ini. Progressif dan revolusiner. Progressif berarti punya pikiran ke depan yang lebih baik, sedangkan revolusioner berarti menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar. Ingat, menyeluruh dan mendasar, tapi dengan tujuan ke depan yang lebih baik. Itu yang musti kita pegang, karena saya yakin yang membaca tulisan ini adalah kaum buruh semua. Diamput kan?.

Dengan pemikiran seperti inilah, Marx sangat yakin bahwa suatu perubahan besar hanya akan terjadi ketika buruh bersatu. Dalam konteks Indonesia, perubahan terbesar karena para pemudanya, yang punya pemikiran progressif dan revolusioner pula. Maka jangan heran, pemuda dan buruh itu mirip-mirip seperti saudara. Tapi bila ada buruh namun masih muda, kemungkinan Marx akan senang setengah mati berkawan dengan orang itu.

Lalu apa hubungannya dengan menjadi orang lain? Ya itu. Pembagian peran. Bila kita ingin hidup seperti seseorang, berperanlah seperti dia. Peran yang dimaksud di sini adalah peran sosial yang seseorang itu mainkan. Bila kita iri dengan kehidupan seorang birokrat, bersiap-siaplah menjadi PNS. Kalau kita ingin hidup bebas dan bisa pergi ke mana saja, maka berhentilah jadi buruh sekarang juga. Jadilah pengusaha, terus jadilah backpacker.

Karena masih menurut Marx dalam Materialisme Dialektika-nya, yang menentukan semua ini adalah kelas-kelas sosial. Bila kelas sosial kita rendahan atau proletar atau kasta waisya dan paria, bersiaplah terus dihisap oleh pemodal. Jelas bahwa kelas-kelas sosial ini bukan ada dengan sendirinya, tapi diciptakan, dikonstruksikan. Bahkan segala pemikiran kita (yang di dalam otak  dan hati) juga dikonstruksi oleh sesuatu di luar kita. Diamput.

Jadi, bukan kesadaran kita untuk menentukan keadaan sosial, tetapi sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Lihat, betapa semunya kesadaran kita. Termasuk keinginan kita menjadi orang lain adalah semu. Jadi apa yang kau inginkan sekarang? Tetap ingin menjadi ornag lain? Ambillah peranmu, sekarang juga!.

2015-11-17

Kesadaran


Orang-orang yang gelisah, bisa jadi adalah orang yang paling sadar dalam berkehidupan. Ia terus berfikir,  terus menerus melihat ada yang tidak beres dalam dunia ini. Sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan dan cintanya, orang yang sadar ini sibuk dengan memikirkan cara menyelamatkan dunia.

Ia menulis puisi, lalu berkelana. Ia membaca cerpen dan buku-buku sastra yang tinggi bahasa hingga merasakan dunia yang sesungguhnya merapat dalam sanubarinya. Orang-orang ini begitu yakin bahwa dunia bisa diubah menjadi lebih baik. Bersama beberapa orang lain yang memiliki hobi yang sama, ia merumuskan cara dan metode menyelamatkan dunia.

Lalu suatu ketika ia ditampar kenyataan. Menyelamatkan dunia adalah misi impossible yang berada di awang-awang. Semua orang yang sadar akan segera terbelalak karena dunia teramat bulat dan sukar dicari sudut-sudutnya. Kesadaran mula, yang dimiliki oleh mahasiswa dan pemuda bisa tiba-tiba menjadi kerdil saat ia keluar dari almamaternya. Dunia tampak congkak, dan butuh kecongkakan yang lain untuk menindihnya.

Jadi apakah bisa seorang yang sadar ini mengalahkan dan mengubah dunia?

Sudah lama kerendah hatian hanya menjadi bulan-bulanan. Orang baik tidak melulu harus bersinderela. Tidak perlu lagi sinetron menuntut laku kehidupan. Hanya sebuah pembodohan yang nyata.  Kebaikan-kebaikan hanya berakhir dalam ruang kosong, kejujuran menuju jurang, kerja-kerja kesenian yang pailit, tata kerama yang baik menyelimpet kerja-kerja taktis dan tidak efektif.

Jaman kekakank-kekanakan ini, orang baik perlu kuat, perlu pengikut sebanyak-banyaknya untuk meluluhkan kecongkakan dunia. Banyak kesombongan yang tak perlu obat, bahkan menjadi candu. Bisa dilihat, bagaimana cara mereka duduk di kafe-kafe dengan dompet menjerit. Orang-orang menakdirkan Minggu untuk berwisata dalam kepenuhan detik dan menit tiap harinya.

Sebetulnya, apa yang hendak kita perbuat untuk dunia ini? Kesadaran, mengandalkan kesadaran hanyalah menindihkan luka di atas luka. Berlipat-lipat kesadaran pun hanya akan menjadi pemuas saat menulis di blog lalu dibaca beberapa orang. Kita musti berubah, menjadi manusia super yang dapat memegang segala keangkuhan. Dengan begitu, keserakahan yang sudah lama berdiam dalam dada manusia akan menemukan tandingannya.

Orang-orang akan menemukan perpektif baru lagi. Mereka yang sudah punya kecenderungan serakah akan face to face dengan bangunan yang kokoh. Sementara orang-orang yang sudah lama di warung kopi dengan keluh kesah khas pemuda akan menemukan pahlawannya. Orang yang sadar, sekali lagi, orang yang sadar lalu memiliki segalanya akan berubah menjadi hebat.

Tetapi tidak semua orang sadar adalah orang yang tangguh, bukan? Ketangguhan adalah hal yang berbeda dengan kesadaran. Sementara sadar adalah pekerjaan mental, ketangguhan adalah mental dan fisik. Orang yang sadar bisa saja berfikir menyelamatkan dunia, tapi tidak ada jaminan bahwa ia akan mampu menanggungnya selama bertahun-tahun.

Ketangguhan datang dari kesungguh-sungguhan. Sehingga tuhan tidak menciptakan ketangguhan kepada setiap orang, karena kesadaran tidak dibangun di atas kata-kata, melainkan perbuatan.

Membangun ketangguhan, itu peniting. Orang yang penuh kesadaran lalu belajar tangguh, itu lebih penting lagi. Saat semua orang sadar menggeser kursinya guna di pakai orang yang sombong, orang yang tangguh ini menggeser kursi orang lain agar ia bisa duduk mewakili seluruh bangsa Indonesia. Tidak lagi dengan kata-kata, bahkan kebenaran menunjukkan kekuasaannya dengan tindakan yang tepat, terorganisir, dan terus menerus.

2015-11-10

Kenangan


Perasaanku menjadi sepi saat kukenangkan kembali masa perjalanan keliling ASEAN pada April lalu. Sungguh, aku tidak menanam apa-apa kepada teman-teman seperjalanan karena banyak hal yang memuakkan. Namun apalah daya, hati yang tiba-tiba menjadi melankolis saat kutatap satu saja foto perjalanan itu.

Aku seperti bunga kuning kecil yang bertaburan di Taman Lumpini. Sorot matahari sore yang kemuning di kejauhan menjadi cita-cita yang tak beraturan. Aku bertatapan dengan segala hal yang ambigu. Perasaan semacam ini, penting namun mengganggu, menggelisahkan namun nikmat, nyaman dan asyik tapi sakit.

Mataku mengerjap, dan semua perjalanan itu laksana mimpi. Saat aku harus menginap dengan orang yang baru saja kukenal beberapa hari ini dalam satu kamar besar. Berbagi kebahagiaan, berbagi kejengkelan, berbagi kedengkian, dan bebagi abon dan sambal terasi yang kami bawa dari Indonesia. Benar-benar sebuah kekosongan yang aneh.

Apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Mungkin aku tipe orang yang melankolis. Aku menjadi senang menatapi satu-satu foto saat perjalanan itu. Dan yang paling menggetarkan adalah bagaimana hujan di Malaysia membuat perjalanan kaki kami terganggu. Hujan, selalu menyisakan sekeping sepi yang tak akan dapat kukembalikan kepada siapapun itu.

Sementara hujan berlangsung, suasana hati kami waktu itu sedang tidak menentu. Perpisahan dan perpecahan karena keegoisan dan ketidakdewasaan dalam menyikapi persoalan menemukan puncaknya. Kami memilih berpisah, tapi benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali mengikuti garis nasib yang telah kami tancapkan dalam jadwal perjalanan.

Hujan menderas, dan aku linglung. Aku menikmati hujan, tapi waktunya tidak tepat. Kami berjalan cepat-cepat ke Terminal Bus Puduraya untuk melanjutkan perjalanan ke Hatyai, Thailand. Saat itu hingga nanti negara ke delapan, Brunei Darussalam, kami akan berjalan tanpa ada seorangpun yang berpengalaman. Kami hanya percaya pada pertemanan pahit yang terbentuk tiba-tiba.

Semua orang memiliki kenangan pahit, atau manis, atau tidak disebutkan keduanya, lalu mengisi suasana tiba-tiba. Kenangan semacam ini tidak mudah dilerai, tidak bisa dipadamkan. Sewaktu-waktu, ketika kita memandang, mendengar, atau menyentuh sesuatu yang membawa asosiasi ke kenangan itu, maka jantung kita akan berdetak : dug, dan persendian menjadi linu.

Aku mengenang bagaimana Eka harus memutuskan untuk melakukan perjalanan sendirian bersama karibnya sejak SMP, Takeda. Ia yang paling paham persoalan luar negeri akhirnya pergi membawa kejengkelan, dan kami menyimpan kebencian meski tetap melangkah. Aku mengingat bagaimana harus bepergian dengan sekian orang perempuan, sedangkan aku adalah lelaki tanpa pengalaman sama sekali.

Memang akhirnya kebencian-kebencian menjadi sirna saat kami memutuskan untuk menjadi backpacker bahagia. Sangat disayangkan bagaimana pertemanan bisa menjadi rapuh tiba-tiba. Tapi demikian kenyataan yang tak pernah bisa ditolak. Karena hal-hal seperti inilah yang membuat kita dewasa, lalu menjadi lebih bersyukur saat Brunai Darussalam di depan mata.

2015-11-04

Berpaling Nasib



Aku tidak harus meminta maaf kepada diriku sendiri karena tidak bisa lebih teguh dari yang aku duga. Meskipun kegoyahan itu kadang menyelamatkanku, atau lebih tepatnya : sepertinya menyelamatkanku. Karena saat kita menolak suatu rencana, kita akan berpaling pada rencana lainnya. Hanya karena kita menjalani salah satu rencana, lalu kita menjadi yakin bahwa rencana yang sedang kita jalani adalah yang terbaik; padahal siapa yang tahu?

Keresahan dan keteguhan ini berhubungan dengan sesuatu yang pelik; urusan pekerjaan. Menjadi membingungkan saat pemuda dengan kepercayaan diri yang kuat menjadi plinplan terkait sesuatu yang teramat penting ini. Dan aku, adalah pemuda itu. Sebulan yang lalu aku merasa yakin akan keluar dari media yang mengenalkanku Kota Batu, Malang Voice, lalu tiba-tiba hingga bulan sekarang aku tetap bekerja sepenuh waktu bersamanya.

Aku tidak terkejut sama sekali dengan keputusan ketidakpindahanku dari media ini. Sungguh. Karena sebetulnya aku dipenuhi keraguan; keraguan yang sama; antara aku harus keluar atau tetap tinggal. Keraguan ini seperti sikap plinplan “kalau tetap di sini oke saja, kalau pindah juga oke saja”. Begitulah. Akhirnya aku tidak punya tanggung jawab apapun untuk meminta maaf, baik pada diriku sendiri atau kepada orang lain.

Orang lain ini adalah rekan wartawan yang hanya lima orang. Dua lainnya masih bekerja keras hingga saat ini bersamaku, dan dua orang lainnya sudah hilang entah kemana. Pertama kali memang kami yakin untuk keluar secara bergantian, namun suasana di kantor yang mendadak landai membuat kami berdebar-debar. Apakah keputusan keluar itu benar? Lalu tidak ada jawaban, semua menjadi hening.

Saat mengobrol dengan wartawan lain, kini, semuanya menjadi berbeda. Sebenarnya aku adalah orang baru dalam pertemanan dan pekerjaan mereka. Pimpinan redaksi, kepala marketing, dan empat rekan wartawan ini adalah satu kesatuan yang sejak awal membangun Malang Voice. Dari duka bersama, didengungkan menjadi kekuatan bersama. Muncullah media online itu, yang sebelum launching, aku datang dengan segala kepercayaan diri.

Meskipun aku yakin dapat mengimbangi kepenulisan para wartawan ini, rupanya aku salah. Tipe menulisku yang ala koran tidak berguna sama sekali di online. Banyak kalimat, frasa, dan kata yang harus dipangkas, dan menimbulkan teriakan di grup; mulai dari kekasaran normal hingga kekasaran lintas planet mengalamat padaku. Aku tabah, tersenyum dan geleng-geleng kepala. Meski pada suatu saat, aku merasa tidak sanggup lagi.

Menjadi wartawan dengan paling banyak kesalahan bukanlah hal yang menyenangkan. Berkali-kali bangun tidur, kita sudah merasa gelisah akan kehidupan yang pahit. Semenjak berita pertama pukul 06.00 WIB, emosi sudah menguasai grup. Dan itu semua berakhir pukul 21.00 WIB. Tidur dalam kegelisahan, kecapekan, ketidakpuasa, dan keesokan hari bangun dengan kekalutan yang sama.

Lalu, apa yang harus kulakukan selain keluar dengan alasan sudah tidak sanggup lagi? Iyup, betul. Karena pengalaman dan ilmu yang kudapat selama ini rupanya sudah diluar dugaan. Aku menjadi bisa menulis kalimat singkat tanpa embel-embel sama sekali. Tidak ada kalimat majemuk dalam media online. Aku faham, dan sangat bersyukur berada di media yang super amazing.

Dan begitulah, hingga saat ini aku masih tinggal dan bekerja dengan orang-orang ini. Berkali-kali pikiran ingin pergi datang, aku menepisnya. Menepisnya hingga suatu hari aku siap melanglang lagi, menuntaskan keinginan dan mimpi yang sepertinya menjauh. Dan beberapa rencana memang sudah terpatri, membisiki angin, suatu saat aku akan terbang lagi.

Okay, sebenarnya apa yang mendasari setiap keinginan manusia? Aku merasa beberapa hal menjadi tidak penting sama sekali. Apakah aku tetap bekerja di sini atau aku harus keluar lalu mencari pekerjaan yang lain. Tidak ada yang dapat menjamin apakah di sini lebih baik atau di sana lebih buruk. Semua hal, menurut beberapa motivator, tergantung penyikapannya. Saat aku bekerja dengan penuh cinta, di situlah aku akan bahagia –bullshit.

Bagaimana aku menjalani hidup, saat ini merupakan sesuatu yang ambigu. Tanggung jawab yang sudah muncul satu demi satu menjadikan hidup semakin aneh. Apakah aku benar-benar yakin dengan semua kehidupan ini? Beberapa janji ingin aku ingkari. Beberapa tanggung jawab ingin kubuang lalu kutinggal pergi. Segala-galanya, kalaulah boleh kukatakan sedang salah.

Sayangnya aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai. Bukan soal pekerjaan, tapi perkuliahan. Kepulanganku dari Papua yang mantap ingin melanjutkan master komunikasi merupakan konsekuensi paling penting. Dari kampung ini aku tidak bisa mengelak. Berkali-kali aku bilang pada diri sendiri, apapun yang terjadi perkuliahan tidak boleh dikorbankan. Dan memang, tidak ada yang perlu aku pilih guna meninggalkan kampus kecuali kecenderunganku untuk berkeliling lagi dan lagi.