Awalnya aku hanya berambisi tidak akan menyulitkan siapapun.
Hidup mandiri, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Kemudian aku menjadi
dewasa dan tidak lagi berfikir sempit seperti itu. Rupanya aku harus lebih
bijaksana dengan tidak membiarkan keluargaku hidup sengsara. Karena sejak
kecil, hidup begitu menjengkelkan. Mulai dari bangun pagi hingga dalam mimpi
sekalipun, urusan perut tak pernah meyakinkan.
Kakak lelaki satu-satunya pun diperlakukan takdir secara
kasar. Ia polio sejak kecil sehingga harus menggunakan tongkat kemana-mana.
Pikirku waktu itu, aku tidak menjadi beban keluarga saja sudah cukup. Dan itu
sudah hampir aku lakukan sejak lulus Sekolah Dasar. Aku mandiri, meminimalisasi
ketergantunganku dengan keluarga hingga 10 persen saja. Alhamdulillah, tuhan
memelukku dan aku berhasil.
Dua kakak perempuanku saat ini dalam titik nadirnya. Orang
tua semakin sepuh. Dan aku hanya begini-begini saja tanpa mampu berbuat sesuatu
yang luar biasa. Aku hanya dikagumi sebagian orang yang tak pernah benar-benar
mengerti arti berdarah-darah. Jadi aku mengelilingi Indonesia dengan tabah,
tidak pernah makan untuk suatu kebahagiaan kecuali untuk bertahan hidup. Hingga
aku di Papua dan secercah cahaya hinggap di pelupuk mata.
Aku bisa mengirimi keluarga uang. Takdir menunjukkan
kenaifannya. Ternyata kebahagiaan orang yang selalu lapar adalah nasi.
Kebahagiaan orang yang selalu kepanasan adalah es teh. Kebahagiaan orang yang
selalu diguyur hujan bahkan saat tidur adalah rumah yang nyaman. Secara materi
aku mampu menyediakan hal itu semua ketika masih di Papua. Tentu aku akhirnya
berbangga dengan diri sendiri.
Dan sekarang, semua hal menjadi abstrak lagi. Aku pulang ke
Jawa dan melanjutkan cita-cita yang dulu terasa tidak mungkin. Aku akhirnya
menggunakan paspor yang telah kubuat sejak tahun 2012 untuk keliling Asean di
tahun 2015. Dan lagi, aku akhirnya melanjutkan studi master dalam bidang ilmu
yang sama. Aku menjadi manusia biasa, bekerja seperti orang normal, ngopi dan
nonton film seperti orang kebanyakan, bersedih dan bahagia layaknya manusia,
punya pacar baik dan cantik.
Cita-citaku untuk tidak membiarkan keluargaku dalam
kesengsaraan materi, mandeg. Aku kehilangan penghasilan yang besar karena
kebutuhanku saat ini sama besarnya. Dulu, aku mempercayai bahwa kaya hati
merupakan kekuatan utama kehidupan. Tapi bagi ibuku, itu adalah halusinasi yang
dibawa ayahku sendiri. Ibuku lebih logis memandang kehidupan, sementara ayahku
berlindung dibalik janji-janji surga agama.
Dengan contoh keluargaku, uang adalah segalanya. Dan aku
belum bisa memenuhi hal itu sehingga membuatku berpikir terus-menerus. Ini
adalah fase ke puluhan kalinya saat aku terjebak dengan hal-hal yang ambigu.
Sesuatu yang hanya bisa kuidentifikasi tanpa tahu jalan keluarnya. Tentu saja
karena beberapa pertimbangan yang rasa-rasanya, kesalahan seumur hidupku.
Tapi pilihan-pilihan ini memang sesuatu yang harus aku
jalani. Takdir akan membawa pada kesanggupan-kesanggupan baru. Sekarang hanya
harus dijalani untuk menyongsong takdir berikutnya. Tapi bagi seorang visioner,
hidup mengandalkan takdir begitu membingungkan. Namun harus kusadari, cita-cita
untuk bisa kuliah pascasarjana dan keliling Indonesia sudahlah menjadi sesuatu
yang muluk. Sehingga ketika keduanya tercapai, aku kehilangan pegangan.
Namun tidak apa, aku yakin tuhan sedang melucu saat ini.
Dalam beberapa hal, aku telah dikaruniai pengalaman yang luar baisa. Baik dalam
segi hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif. Orang-orang yang dulu
kupandang berkelakuan bejat, aku sudah sedikit faham bagaimana rasanya. Meski
semua hal negatif tetap aku sembunyikan dalam manajemen impression yang hampir
sempurna. Sehingga orang tetap memandangku baik-baik saja, sedangkan pikiran
bergejolak gila.
Membandingkan apa yang sudah dan akan kulakukan, memunculkan
keraguan yang luar biasa. Aku sudah pasti bersyukur, namun sudah pasti pula
banyak berdoa. Misalnya, aku harus memberangkatkan umrah atau haji kedua orang
tua. Aku harus menikah dengan gadis yang baik. Aku harus mendapatkan pekerjaan
yang membanggakan. Aku harus menyelesaikan tulisan-tulisan dengan tema beragam.
Aku harus membuat organisasi sosial yang bekerja dan berjuang untuk sosial. Dan
banyak lagi.
Pikiranku masih menuju ke lautan luas, udara bebas, dan
daratan tanpa akhir. Tapi diam-diam banyak batasan yang hendak mengekang.
Karenanya, aku butuh ketabahan tambahan. Aku butuh ketabahan tambahan. Aku butuh
bersyukur tanpa batasan.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.