2025-01-09

Pertengkaran Identitas

 

Kita membawa suatu identitas dalam tubuh, pikiran, dan darah yang akan kita bawa seumur hidup. Identitas ini sering kali menentukan bagaimana cara kita berpikir dan bertingkah laku, bahkan tak jarang menjerumuskan kita pada pandangan yang tidak dapat kita pahami sendiri. Identitas asal seperti di mana kita lahir, warna kulit, dan jenis rambut, sudah menjadikan kita istimewa sejak awal. Namun, ada identitas lain yang aneh dan mungkin tidak masuk akal: kita disatukan oleh identitas yang dipilihkan oleh orang lain. Identitas ini meliputi asal sekolah, agama, negara, hingga identitas yang tampak lucu dan menggemaskan seperti menjadi bagian dari "Army," "Swifties," atau komunitas suporter lokal seperti "Aremania," "Bonex," bahkan "Bus Mania."

Betapa banyak orang yang membentuk komunitas atas dasar persamaan yang tampaknya sepele: penghobi sepeda motor Honda Beat, mobil kuno, atau kecintaan terhadap One Piece dan drama Korea. Masing-masing komunitas ini terus membanggakan dirinya sendiri dengan semangat yang luar biasa, sembari (kadang tidak disadari) merendahkan komunitas lain yang sejenis. Misalnya pertengkaran fans bola, pertengkaran Army dan Blinks, bahkan fans Naruto dan AOT juga pernah bertengkar. Ada rasa kebanggaan yang tumbuh di satu sisi, dan rasa superioritas terhadap kelompok lain di sisi lain. Fenomena ini, meskipun terlihat kecil dan tidak signifikan, menunjukkan betapa manusia cenderung mencari dan menciptakan batas identitas.

Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih besar, kondisi ini dapat mengarah pada primordialisme hingga fanatisme. Pemuliaan terhadap identitas yang berlebihan sering kali menjadi akar kekerasan di dunia ini. Banyak konflik besar yang mencerminkan pertikaian atas dasar perbedaan identitas. Amartya Sen dalam bukunya Identitas dan Kekerasan, menggambarkan bagaimana identitas seseorang dapat memengaruhi persepsi orang lain. Dia ketika sedang berada di bandara, paspor India miliknya diperiksa oleh petugas imigrasi. Rumahnya saat itu adalah di Wisma Rektor Trinity College, Cambridge—salah satu kampus tersohor di Inggris. Petugas imigrasi tersebut bertanya dengan nada skeptis, “Apakah rektor adalah teman Anda?” Padahal, saat itu Amartya Sen menjabat sebagai Rektor Trinity College.

Pertanyaan itu menunjukkan bahwa identitas Sen sebagai orang India langsung memunculkan stereotip dalam benak petugas. Orang India diasosiasikan sebagai seseorang yang tidak mungkin tinggal di Wisma Rektor, apalagi menjadi rektor sebuah institusi bergengsi. Pengalaman ini menunjukkan bahwa identitas sering kali menentukan persepsi manusia lain terhadap apa yang kita lakukan, apa yang pantas kita dapatkan, dan bagaimana kita mendapatkan sesuatu. Betapa banyak kita yang berprasangka terhadap seseorang hanya karena identitas kelahiran yang tidak dapat dipilihnya? Betapa sering kita gagal melihat manusia secara utuh, terjebak dalam pengkotakan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri?

Dalam film ‘The Man Who Knew Infinity…”, Ramanujan yang merupakan orang miskin India, tinggal di lingkungan kumuh dan suka pergi ke Vihara, mendapatkan pencerahan luar biasa sebagai ahli matematika. Ia menjawab seluruh persoalan matematika yang belum dijawab oleh matematikawan di seluruh dunia. Kepala pegawai di kantor pos yang mengetahui kecerdasan Ramanujan, lalu mengirim surat ke Trinity College, dan sulit mendapatkan respon hingga beberapa tahun kemudian. Padahal Ramanujan adalah sosok yang sekarang diasosiasikan penerus matematikawan level dunia seperti Euler dan Gauss.

Jelas dalam kondisi tersebut, ada ketidakpercayaan di Eropa bahwa ada sosok jenius di India yang disamakan dengan Newton, Euler, dan Gauss. Bahkan seesama negara jajahan, kita tidak bisa membayangkan bagaimana bisa seorang remaja tanpa pendidikan memiliki pemikiran yang cemerlang. Apalagi orang Inggris yang waktu itu bagian dari benua Eropa selalu menganggap negara timur dipenuhi kebodohan dan tidak berbudaya. Identitas ‘asia’ ini bukanlah identitas yang membanggakan waktu itu, -dan mungkin hingga asat ini- padahal kita tidak bisa memilih di mana kita akan dilahirkan.

Kembali ke Amartya Sen, ia menyoroti bahwa kekerasan di dunia ini seringkali bersumber dari cara pandang manusia terhadap identitas orang lain yang dianggap berbeda. Kekerasan ini bahkan kerap dianggap wajar, terutama jika tidak berkaitan langsung dengan identitas kita sendiri. Manusia sering kali didefinisikan melalui identitas-identitas tertentu yang memisahkan mereka dari sesamanya. Identitas semacam agama, etnisitas, atau kebangsaan, misalnya, sering digunakan untuk menyederhanakan kompleksitas individu dan dengan mudah mengelompokkan mereka ke dalam kategori tertentu yang kemudian dikaitkan dengan perilaku tertentu pula.

“Rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif pada suatu kelompok dapat mengundang persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain. Kesetiakawanan kelompok ini dapat memicu perselisihan antarkelompok” (Sen, hal. 4). Penting untuk dicatat bahwa jarak dan keterpisahan ini sering kali melahirkan sikap salah paham, yang pada akhirnya menciptakan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Ketika seseorang merasa “sangat” berbeda dari individu lain, maka simpati berkurang, dan batas moralitas sering kali kabur.

Fenomena ini juga dapat dilihat pada hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya di bumi, seperti sapi, ayam, atau kambing. Dalam ritual Idul Adha, misalnya, jutaan hewan dikurbankan sebagai bagian dari perayaan keagamaan. Kita jarang merasa bersalah atas praktik ini karena hewan-hewan tersebut telah dipisahkan dari manusia melalui hierarki yang didasarkan pada keyakinan. Tuhan, dalam keyakinan ini, dianggap menetapkan kambing dan sapi sebagai makhluk yang lebih rendah sementara manusia sebagai sosok mulia yang berhak menyembelihnya. Namun, bayangkan bahwa sapi sangat dihormati di India dan bahkan disembah layaknya tuhan.

Lalu bayangkan bagaimana manusia bisa membunuh manusia lainnya hanya karena perbedaan identitas ini; Hitler dan perang dunianya, G30SPKI, atau pembantaian massal lainnya. Memandang seseorang hanya melalui satu identitas saja adalah kesalahan besar. Contohnya, seorang Muslim yang sering dilihat oleh sebagian orang Barat sebagai ekstremis. Anggapan ini begitu mengakar sehingga seolah-olah semua Muslim pasti akan meledakkan gereja atau mal jika ada kesempatan. Hal serupa terjadi dalam konteks kesukuan. Hanya karena seseorang lahir di Indonesia bagian timur, mahasiswa berkulit hitam di Pulau Jawa kerap dipandang sebagai individu dengan pendidikan rendah, pemabuk, dan suka membuat onar.

Pandangan sempit seperti ini harus kita tolak dan kita harus membersihkan pikiran kita sendiri agar meletakkan seluruh manusia Bersama identitasnya sama tinggi dan sama rendah. Memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu kelompok semata akan mengabaikan kompleksitas identitas yang mereka miliki. Alih-alih membedakan seorang Kristen dan seorang Muslim, mengapa kita tidak memandang bahwa mereka adalah sesama warga negara Indonesia? Bahwa mereka sama-sama Pancasilais, mahasiswa, pemuda, mungkin keduanya vegetarian, atau bahkan penggemar sastra, atau sebagai sesama warga dunia? Sesama manusia yang kalau ada invansi alien ke Bumi, dia alah sekutu kita?

Betapa indahnya jika kita mampu melihat dua individu dengan latar belakang berbeda dari sudut pandang kesamaan mereka. Identitas manusia sejatinya tidak pernah tunggal. Identitas bersifat jamak, tergantung dari sudut mana ia memandang dirinya sendiri atau dipandang oleh orang lain. Sayangnya, kecenderungan untuk menyederhanakan identitas ini justru menciptakan perpecahan di tingkat kecil, konflik di tingkat menengah, hingga peperangan di tingkat yang lebih besar.

Identitas Terberi dan Pilihan

Tulisan ini tidak bermaksud menolak bahwa manusia Indonesia memiliki satu identitas asal yang tak terelakkan, yaitu suku bangsa dan bahasa. Seorang manusia lahir di suatu tempat yang telah memiliki sistem budaya, agama, dan bahasa yang mapan, bahkan mencakup tata perilaku, cara wicara, hingga pola pikir. Semua hal yang kita lakukan kemudian sangat dipengaruhi oleh budaya tempat kita berasal. Kita diajarkan untuk tidak keluar dari budaya yang melahirkan dan mendewasakan kita, serta mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Pada satu sisi, pandangan ini benar karena budaya adalah elemen penting yang membentuk kepribadian kita. Namun, di sisi lain, pandangan ini bisa menjadi salah jika mengekang individu untuk berkembang melampaui batasan budaya tersebut.

Identitas kesukuan adalah sesuatu yang terberi—ditentukan oleh Tuhan dan melekat pada seseorang sejak ia lahir. Namun, identitas lainnya merupakan hasil pilihan individu. Menariknya, identitas terberi seperti kesukuan atau bahasa sering kali tidak menimbulkan friksi sebanyak identitas pilihan. Contohnya, peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang beberapa tahun lalu, ketika mahasiswa Papua diteriaki dengan sebutan "monyet." Konflik tersebut tidak semata-mata dipicu oleh perbedaan identitas kesukuan antara Jawa dan Papua. Sebaliknya, akar permasalahannya lebih berkaitan dengan identitas pilihan, yaitu apakah seseorang memilih menjadi bagian dari Indonesia atau memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Identitas budaya memang penting, tetapi tidak pernah berdiri sendiri. Identitas ini selalu dipengaruhi oleh berbagai hal lain yang membentuk pemahaman dan prioritas individu. Oleh karena itu, identitas pilihan sering kali lebih berpengaruh dan berpotensi memicu konflik dibanding identitas bawaan. Sebagai contoh, dua orang yang sama-sama berasal dari Madura dapat memiliki pandangan hidup dan sikap yang sangat berbeda jika mereka berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan yang berbeda, misalnya salah satunya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan yang lainnya dengan Syiah. Perbedaan ideologi dalam organisasi semacam ini dapat memengaruhi pandangan individu secara signifikan.

Hal ini menunjukkan bahwa identitas seseorang tidak pernah bersifat tunggal. Identitas selalu saling memengaruhi, dan identitas yang memiliki pengaruh paling kuat pada individu cenderung membawa dampak yang lebih besar dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengupayakan semangat menyamakan identitas dalam "rumah dunia." Semangat ini tidak berarti menghapus perbedaan, tetapi menekankan bahwa tidak ada identitas yang harus mengorbankan identitas lain demi menonjolkan kekhususannya. Semua manusia pada dasarnya sama sebagai manusia, tanpa memandang agamanya, pilihan makanan, orientasi seksual, atau bahkan gaya rambutnya.

0 comments:

Posting Komentar

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.