Kita membawa suatu identitas dalam tubuh, pikiran, dan darah
yang akan kita bawa seumur hidup. Identitas ini sering kali menentukan
bagaimana cara kita berpikir dan bertingkah laku, bahkan tak jarang
menjerumuskan kita pada pandangan yang tidak dapat kita pahami sendiri.
Identitas asal seperti di mana kita lahir, warna kulit, dan jenis rambut, sudah
menjadikan kita istimewa sejak awal. Namun, ada identitas lain yang aneh dan
mungkin tidak masuk akal: kita disatukan oleh identitas yang dipilihkan oleh
orang lain. Identitas ini meliputi asal sekolah, agama, negara, hingga
identitas yang tampak lucu dan menggemaskan seperti menjadi bagian dari
"Army," "Swifties," atau komunitas suporter lokal seperti
"Aremania," "Bonex," bahkan "Bus Mania."
Betapa banyak orang yang membentuk komunitas atas dasar
persamaan yang tampaknya sepele: penghobi sepeda motor Honda Beat, mobil kuno,
atau kecintaan terhadap One Piece dan drama Korea. Masing-masing komunitas ini
terus membanggakan dirinya sendiri dengan semangat yang luar biasa, sembari (kadang
tidak disadari) merendahkan komunitas lain yang sejenis. Misalnya pertengkaran
fans bola, pertengkaran Army dan Blinks, bahkan fans Naruto dan AOT juga pernah
bertengkar. Ada rasa kebanggaan yang tumbuh di satu sisi, dan rasa superioritas
terhadap kelompok lain di sisi lain. Fenomena ini, meskipun terlihat kecil dan
tidak signifikan, menunjukkan betapa manusia cenderung mencari dan menciptakan
batas identitas.
Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih besar, kondisi
ini dapat mengarah pada primordialisme hingga fanatisme. Pemuliaan terhadap
identitas yang berlebihan sering kali menjadi akar kekerasan di dunia ini.
Banyak konflik besar yang mencerminkan pertikaian atas dasar perbedaan
identitas. Amartya Sen dalam bukunya Identitas dan Kekerasan, menggambarkan
bagaimana identitas seseorang dapat memengaruhi persepsi orang lain. Dia ketika
sedang berada di bandara, paspor India miliknya diperiksa oleh petugas
imigrasi. Rumahnya saat itu adalah di Wisma Rektor Trinity College,
Cambridge—salah satu kampus tersohor di Inggris. Petugas imigrasi tersebut
bertanya dengan nada skeptis, “Apakah rektor adalah teman Anda?” Padahal, saat
itu Amartya Sen menjabat sebagai Rektor Trinity College.
Pertanyaan itu menunjukkan bahwa identitas Sen sebagai orang
India langsung memunculkan stereotip dalam benak petugas. Orang India
diasosiasikan sebagai seseorang yang tidak mungkin tinggal di Wisma Rektor,
apalagi menjadi rektor sebuah institusi bergengsi. Pengalaman ini menunjukkan
bahwa identitas sering kali menentukan persepsi manusia lain terhadap apa yang
kita lakukan, apa yang pantas kita dapatkan, dan bagaimana kita mendapatkan
sesuatu. Betapa banyak kita yang berprasangka terhadap seseorang hanya karena
identitas kelahiran yang tidak dapat dipilihnya? Betapa sering kita gagal
melihat manusia secara utuh, terjebak dalam pengkotakan yang dibuat oleh
pikiran kita sendiri?
Dalam film ‘The Man
Who Knew Infinity…”, Ramanujan yang merupakan orang miskin India, tinggal
di lingkungan kumuh dan suka pergi ke Vihara, mendapatkan pencerahan luar biasa
sebagai ahli matematika. Ia menjawab seluruh persoalan matematika yang belum
dijawab oleh matematikawan di seluruh dunia. Kepala pegawai di kantor pos yang
mengetahui kecerdasan Ramanujan, lalu mengirim surat ke Trinity College, dan
sulit mendapatkan respon hingga beberapa tahun kemudian. Padahal Ramanujan
adalah sosok yang sekarang diasosiasikan penerus matematikawan level dunia seperti
Euler dan Gauss.
Jelas dalam kondisi tersebut, ada ketidakpercayaan di Eropa
bahwa ada sosok jenius di India yang disamakan dengan Newton, Euler, dan Gauss.
Bahkan seesama negara jajahan, kita tidak bisa membayangkan bagaimana bisa
seorang remaja tanpa pendidikan memiliki pemikiran yang cemerlang. Apalagi
orang Inggris yang waktu itu bagian dari benua Eropa selalu menganggap negara
timur dipenuhi kebodohan dan tidak berbudaya. Identitas ‘asia’ ini bukanlah
identitas yang membanggakan waktu itu, -dan mungkin hingga asat ini- padahal
kita tidak bisa memilih di mana kita akan dilahirkan.
Kembali ke Amartya Sen, ia menyoroti bahwa kekerasan di
dunia ini seringkali bersumber dari cara pandang manusia terhadap identitas
orang lain yang dianggap berbeda. Kekerasan ini bahkan kerap dianggap wajar,
terutama jika tidak berkaitan langsung dengan identitas kita sendiri. Manusia
sering kali didefinisikan melalui identitas-identitas tertentu yang memisahkan
mereka dari sesamanya. Identitas semacam agama, etnisitas, atau kebangsaan,
misalnya, sering digunakan untuk menyederhanakan kompleksitas individu dan
dengan mudah mengelompokkan mereka ke dalam kategori tertentu yang kemudian
dikaitkan dengan perilaku tertentu pula.
“Rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif pada suatu
kelompok dapat mengundang persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok
lain. Kesetiakawanan kelompok ini dapat memicu perselisihan antarkelompok”
(Sen, hal. 4). Penting untuk dicatat bahwa jarak dan keterpisahan ini sering
kali melahirkan sikap salah paham, yang pada akhirnya menciptakan pembenaran
untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Ketika seseorang merasa “sangat”
berbeda dari individu lain, maka simpati berkurang, dan batas moralitas sering
kali kabur.
Fenomena ini juga dapat dilihat pada hubungan manusia dengan
makhluk hidup lainnya di bumi, seperti sapi, ayam, atau kambing. Dalam ritual
Idul Adha, misalnya, jutaan hewan dikurbankan sebagai bagian dari perayaan
keagamaan. Kita jarang merasa bersalah atas praktik ini karena hewan-hewan
tersebut telah dipisahkan dari manusia melalui hierarki yang didasarkan pada
keyakinan. Tuhan, dalam keyakinan ini, dianggap menetapkan kambing dan sapi sebagai
makhluk yang lebih rendah sementara manusia sebagai sosok mulia yang berhak
menyembelihnya. Namun, bayangkan bahwa sapi sangat dihormati di India dan
bahkan disembah layaknya tuhan.
Lalu bayangkan bagaimana manusia bisa membunuh manusia
lainnya hanya karena perbedaan identitas ini; Hitler dan perang dunianya, G30SPKI,
atau pembantaian massal lainnya. Memandang seseorang hanya melalui satu
identitas saja adalah kesalahan besar. Contohnya, seorang Muslim yang sering
dilihat oleh sebagian orang Barat sebagai ekstremis. Anggapan ini begitu
mengakar sehingga seolah-olah semua Muslim pasti akan meledakkan gereja atau
mal jika ada kesempatan. Hal serupa terjadi dalam konteks kesukuan. Hanya
karena seseorang lahir di Indonesia bagian timur, mahasiswa berkulit hitam di
Pulau Jawa kerap dipandang sebagai individu dengan pendidikan rendah, pemabuk,
dan suka membuat onar.
Pandangan sempit seperti ini harus kita tolak dan kita harus
membersihkan pikiran kita sendiri agar meletakkan seluruh manusia Bersama identitasnya
sama tinggi dan sama rendah. Memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu
kelompok semata akan mengabaikan kompleksitas identitas yang mereka miliki.
Alih-alih membedakan seorang Kristen dan seorang Muslim, mengapa kita tidak
memandang bahwa mereka adalah sesama warga negara Indonesia? Bahwa mereka
sama-sama Pancasilais, mahasiswa, pemuda, mungkin keduanya vegetarian, atau
bahkan penggemar sastra, atau sebagai sesama warga dunia? Sesama manusia yang
kalau ada invansi alien ke Bumi, dia alah sekutu kita?
Betapa indahnya jika kita mampu melihat dua individu dengan
latar belakang berbeda dari sudut pandang kesamaan mereka. Identitas manusia
sejatinya tidak pernah tunggal. Identitas bersifat jamak, tergantung dari sudut
mana ia memandang dirinya sendiri atau dipandang oleh orang lain. Sayangnya,
kecenderungan untuk menyederhanakan identitas ini justru menciptakan perpecahan
di tingkat kecil, konflik di tingkat menengah, hingga peperangan di tingkat
yang lebih besar.
Identitas Terberi dan Pilihan
Tulisan ini tidak
bermaksud menolak bahwa manusia Indonesia memiliki satu identitas asal yang tak
terelakkan, yaitu suku bangsa dan bahasa. Seorang manusia lahir di suatu tempat
yang telah memiliki sistem budaya, agama, dan bahasa yang mapan, bahkan mencakup
tata perilaku, cara wicara, hingga pola pikir. Semua hal yang kita lakukan
kemudian sangat dipengaruhi oleh budaya tempat kita berasal. Kita diajarkan
untuk tidak keluar dari budaya yang melahirkan dan mendewasakan kita, serta
mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Pada satu sisi, pandangan ini
benar karena budaya adalah elemen penting yang membentuk kepribadian kita.
Namun, di sisi lain, pandangan ini bisa menjadi salah jika mengekang individu
untuk berkembang melampaui batasan budaya tersebut.
Identitas kesukuan
adalah sesuatu yang terberi—ditentukan oleh Tuhan dan melekat pada seseorang
sejak ia lahir. Namun, identitas lainnya merupakan hasil pilihan individu.
Menariknya, identitas terberi seperti kesukuan atau bahasa sering kali tidak
menimbulkan friksi sebanyak identitas pilihan. Contohnya, peristiwa rasisme
yang terjadi di Surabaya dan Malang beberapa tahun lalu, ketika mahasiswa Papua
diteriaki dengan sebutan "monyet." Konflik tersebut tidak semata-mata
dipicu oleh perbedaan identitas kesukuan antara Jawa dan Papua. Sebaliknya,
akar permasalahannya lebih berkaitan dengan identitas pilihan, yaitu apakah
seseorang memilih menjadi bagian dari Indonesia atau memperjuangkan kemerdekaan
Papua.
Identitas budaya
memang penting, tetapi tidak pernah berdiri sendiri. Identitas ini selalu
dipengaruhi oleh berbagai hal lain yang membentuk pemahaman dan prioritas
individu. Oleh karena itu, identitas pilihan sering kali lebih berpengaruh dan
berpotensi memicu konflik dibanding identitas bawaan. Sebagai contoh, dua orang
yang sama-sama berasal dari Madura dapat memiliki pandangan hidup dan sikap
yang sangat berbeda jika mereka berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan
yang berbeda, misalnya salah satunya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU)
dan yang lainnya dengan Syiah. Perbedaan ideologi dalam organisasi semacam ini
dapat memengaruhi pandangan individu secara signifikan.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.