Istilah maskulin berasal dari bahasa Inggris “muscle,” yang berarti “otot” dalam bahasa Indonesia. Makna maskulin di sini merujuk pada sifat yang didasarkan pada kekuatan fisik atau otot, yang berarti kuat. Istilah ini diasosiasikan dengan laki-laki karena dianggap sebagai makhluk dengan kekuatan fisik yang lebih berotot dibandingkan perempuan. Fenomena pergeseran gaya hidup saat ini menunjukkan bahwa banyak pria yang lebih memperhatikan penampilan, salah satunya terlihat melalui tren modernisasi dalam masyarakat. Fenomena pria metroseksual merupakan hal positif karena pria menjadi lebih peduli dalam merawat diri. Representasi pria metroseksual dalam iklan dan media mendorong pria lain untuk mulai menjaga dan merawat penampilan mereka.
Ketika tren metroseksual berkembang, pasar produk yang mendukung gaya hidup ini pun ikut tumbuh. Berbagai macam produk perawatan dan kecantikan dirancang khusus untuk menunjang penampilan pria. Bahkan, merek yang sebelumnya hanya menyediakan produk kosmetik untuk perempuan mulai memperluas pasarnya ke segmen laki-laki. Media juga berperan besar dalam membangun konstruksi sosial terkait ideologi maskulin melalui pesan-pesan yang disampaikan. Media seringkali menggambarkan sisi maskulin pria melalui ilustrasi dalam iklan, yang menyasar target pasar dan calon konsumen tertentu.
Sebagai contoh, iklan produk minuman kerap menggambarkan pria berotot yang menjadi idaman perempuan. Iklan produk rokok pun sering menampilkan pria pemberani, tangkas, berwibawa, macho, dan berani menantang maut. Seiring waktu, penggambaran maskulinitas mengalami perkembangan yang terus berubah dari dekade ke dekade. Beynon membagi bentuk maskulinitas pria berdasarkan tren zaman dari tahun 1980-an hingga 2000-an. Pada era 2000-an, pria menunjukkan gejala yang mengindikasikan kemunculan terminologi baru, yaitu pria metroseksual.
Seksualitas metroseksual menjadi salah satu ciri baru pria maskulin. Media sering menggambarkan pria maskulin dengan ciri-ciri tubuh yang ideal dan berotot. Sosok pria maskulin digambarkan sebagai mereka yang menjaga, merawat, dan membentuk tubuhnya. Maskulinitas adalah imajinasi tentang kejantanan, keberanian, ketangkasan, keteguhan hati, serta daya tarik laki-laki yang spesifik, seperti otot yang menonjol, keringat yang menetes, dan kekuatan fisik. Semua elemen ini menggambarkan daya tarik maskulin yang terasosiasi secara sosial dan budaya.
Maskulinitas, pada intinya, adalah konstruksi sosial yang menggambarkan bagaimana laki-laki seharusnya bersikap. Konstruksi ini berbeda-beda pada setiap masyarakat dan berubah sesuai dengan waktu. Dalam budaya kontemporer, gagasan tentang maskulinitas telah bergeser secara signifikan seiring perubahan perspektif sosial dan budaya. Saat ini, maskulinitas sering diasosiasikan dengan kekuatan fisik, agresivitas, dominasi, dan kemampuan untuk menopang keluarga. Namun, sifat seperti kecerdasan emosional, kemampuan berempati, dan kerentanan juga mulai diakui sebagai bagian dari maskulinitas, meskipun jarang menjadi fokus utama.
Michael Kimmel, seorang sosiolog, mengidentifikasi empat cita-cita maskulinitas dalam budaya modern: pemenang, pelindung, pekerja keras, dan pria kuat. Pria sering digambarkan sebagai sosok yang cukup tangguh untuk menjadi pemenang dan tidak pantas kalah dalam pertempuran. Mereka diharapkan mampu melindungi keluarga, teman, bahkan negara. Dalam stereotip masyarakat modern, pria adalah sosok yang tangguh secara fisik dan cukup kuat untuk menjadi kepala rumah tangga. Selain itu, pria juga diharapkan ambisius, termotivasi, dan sukses secara personal maupun profesional. Konsep ini sangat mirip dengan definisi maskulinitas yang dirumuskan James Brannon pada tahun 1970-an.
Manhood Checklist
Brannon mengembangkan sebuah konsep bernama Manhood Checklist, yang menggambarkan norma dan stereotip tradisional tentang maskulinitas di masyarakat Barat. Konsep ini sering dijadikan kerangka untuk memahami bagaimana pria diharapkan bersikap dalam masyarakat patriarkal. Konsep ini mencakup enam norma utama yang sering menjadi ekspektasi terhadap pria. Pertama, "No Sissy Stuff", yang menuntut pria untuk menjauhkan diri dari segala hal yang dianggap feminin atau lemah. Sebagai contoh, pria yang menghindari menangis meskipun dalam situasi emosional karena takut dianggap lemah. Kedua, "Be a Big Wheel", yang menekankan kesuksesan, status, dan kekuasaan sebagai indikator maskulinitas. Misalnya, seorang pria merasa dirinya baru dianggap "berharga" jika memiliki jabatan tinggi atau kekayaan melimpah.
Ketiga, "Be a Sturdy Oak", yang mengharapkan pria menjadi kuat, stabil, dan tegar tanpa menunjukkan emosi. Dalam praktiknya, ini terlihat pada pria yang menahan rasa sakit fisik atau emosional karena merasa harus menjadi "pilar keluarga." Keempat, "Give 'Em Hell", yang mendorong keberanian, agresi, dan pengambilan risiko sebagai ciri utama pria. Contohnya, seorang pria mungkin mengambil keputusan berbahaya seperti balapan ilegal untuk membuktikan keberanian dan kegagahannya. Kelima, "Be a Study in Success", yang mengharuskan pria menjadi teladan keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan. Pria sering merasa tertekan untuk tampil sempurna, seperti memiliki karier cemerlang, rumah mewah, dan keluarga bahagia sebagai simbol keberhasilan. Terakhir, "Machismo", yang menekankan dominasi fisik, kekuatan seksual, dan keberanian sebagai ciri maskulinitas. Hal ini terlihat pada pria yang berusaha tampil dominan dalam hubungan atau menunjukkan kekuatan fisiknya dalam situasi konflik.
Dunia modern cenderung memiliki definisi maskulinitas yang lebih masuk akal, kompleks, dan inklusif. Namun, konsep Brannon masih relevan dan mencerminkan maskulinitas yang khas dalam budaya modern. Tantangannya sekarang adalah media massa yang sering secara membabi buta menyebarkan ide tentang maskulinitas sesuai dengan kepentingan iklan. Selain menggiring opini publik, media juga menjadi "hakim" yang menentukan siapa yang dianggap paling benar atau pantas, bahkan mengeksploitasi gender demi menarik perhatian audiens. Dengan kemampuan menjangkau masyarakat luas, terutama di era digital, media menjadi alat yang sangat efektif dalam menyampaikan informasi.
Hal-hal yang berkaitan dengan penampilan fisik laki-laki dan perempuan kerap menjadi bahan komersial bagi media. Selain itu, media online memberikan citra ideal yang sering kali tidak realistis untuk memenuhi fantasi pembaca, terutama laki-laki, melalui konten yang bersifat seksual. Iklan juga sering menunjukkan nilai kapitalisme, di mana komersialisasi mengalahkan nilai kemanusiaan. Berbagai citra tubuh laki-laki dan perempuan dihadirkan semata untuk kepentingan bisnis. Periklanan sendiri adalah proses komunikasi yang bertujuan memengaruhi ide atau gagasan sekelompok orang melalui media. Iklan didefinisikan sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang atau jasa melalui informasi yang persuasif.
Media massa memiliki peran signifikan dalam memproduksi dan membentuk persepsi masyarakat. Selain berfungsi sebagai sarana hiburan, media seperti televisi juga memiliki fungsi konstruksi sosial, menawarkan definisi tertentu tentang kehidupan manusia. Iklan televisi menciptakan persepsi tentang realitas dan sering kali menentukan cara orang memandang dirinya. Dalam era modernisasi, media sosial menjadi sarana utama masyarakat untuk mendapatkan informasi. Informasi ini mencakup berbagai hal, mulai dari berita, hiburan, olahraga, hingga konten edukatif lainnya. Media sosial, seperti YouTube, kini menjadi alternatif utama untuk mendapatkan informasi dengan cara yang mudah dan modern.
YouTube, sebagai platform berbagi video, memungkinkan setiap orang berbagi berbagai jenis konten, termasuk iklan. Sejak tahun 2005, YouTube mengalami perkembangan signifikan, termasuk dalam konsep periklanannya. Pada tahun 2006, YouTube mulai digunakan sebagai media pemasaran yang efektif dengan potensi pendapatan dari iklan. Seiring perkembangan ini, iklan bukan hanya sarana promosi, tetapi juga alat persuasif yang memengaruhi audiens. Dengan pesan yang dirancang secara persuasif, iklan dapat membentuk persepsi dan perilaku audiens sesuai dengan tujuan pengiklan.
Pesan iklan sering kali dibuat dengan pencitraan tertentu untuk menggiring audiens pada perilaku yang diinginkan. Banyaknya iklan di berbagai media membuat pengiklan berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik dan mudah diingat. Iklan bahkan dianggap sebagai acuan masyarakat karena tampilannya yang dianggap relevan dan menarik. Dalam strategi promosi, perusahaan harus memahami produk dan target konsumennya agar iklan efektif. Promosi yang kreatif tidak hanya meningkatkan kesadaran merek tetapi juga mendorong konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan.
Namun, perlu disadari bahwa iklan juga dapat memengaruhi konstruksi sosial tentang gender, termasuk maskulinitas. Gender sendiri merupakan interpretasi budaya tentang perbedaan jenis kelamin, yang membagi tugas berdasarkan apa yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan. Maskulinitas, meskipun sering dianggap alami, sebenarnya merupakan hasil konstruksi budaya yang memuat nilai-nilai seperti kekuatan, kekuasaan, kemandirian, dan solidaritas laki-laki. Dengan kata lain, maskulinitas adalah strata sosial yang dibentuk oleh budaya, bukan sifat bawaan.
Iklan yang tersebar melalui media turut membentuk pandangan masyarakat tentang gender. Banyak iklan perawatan tubuh, misalnya, menawarkan cara bagi konsumen untuk menjadi "pria ideal" seperti yang digambarkan dalam iklan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana media berperan dalam membangun dan mempertahankan stereotip gender, termasuk maskulinitas laki-laki.
oleh Fathul Qorib (Pengajar Jurnalistik, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi)
Tulisan di atas bersumber dari tulisan saya dalam format bahasa inggris: https://journal.rc-communication.com/index.php/AICCON/article/view/142/80
Bacaan lebih lanjut dari konsep Brannon bisa dibaca pada: Brannon,
R. (1976). "The Male Sex Role: Our Culture's Blueprint for Manhood and
What It's Done for Us Lately." Dalam D. S. David & R. Brannon (Eds.),
The Forty-Nine Percent Majority: The Male Sex Role (hlm. 1–45). Reading, MA:
Addison-Wesley.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.