Dunia sekarang digerakkan oleh kapitalisme. Tesis ini bukanlah sesuatu yang baru, paling tidak sudah ada sejak tahun 1800-an ketika Karl Marx menciptakan teori yang menjadi basis paradigma kritis sampai sekarang. Marx yakin bahawa basic structure kehidupan adalah ekonomi, yang memengaruhi super structure seperti sosial, budaya, politik, bahkan agama. Berdasar pemikiran ini maka semua struktur yang ada di masyarakat hendak menguntungkan kapitalis, dan kemudian melemahkan masyarakat kelas bawah.
Marx memang tidak pernah
memikirkan tentang kekuatan media yang akan menjadi pondasi dasar dunia modern
seperti sekarang. Sehingga Marx pada dasarnya tidak pernah membincang secara
khusus media sebagai alat utama kapitalis untuk mempertahankan kekuasaan dan
kekayaan kelompok tertentu. Armando (2016:25)[1]
mengatakan, baru pada abad ke 20, para pemikir yang melanjutkan gagasan Marx
memusatkan perhatian pada media massa, khususnya media massa komersial sebagai
sarana pelanggengan kapitalisme yang eksploitatif.
Kita bisa melihat banyak sekali
persoalan yang ditimbulkan oleh media massa yang berakibat pada berubahnya pola
pikir masyarakat, yang dahsyatnya, berubah bersama-sama dalam satu waktu.
Manusia yang beragam menjadi ‘manusia satu dimensi’ –meminjam istilah Herbert
Marcuse-, karena disatukan oleh ideologi yang dibentuk oleh media massa.
Persoalan umum yang dianggap penting seperti nasionalisme, perdamaian,
intelektual, olahraga, dan politik, juga persoalan terpinggirkan seperti
rasisme, kekerasan, perempuan, dan makna-makna kehidupan, semua dibentuk oleh
media massa.
Proses penciptaan makna oleh
media massa ini telah berjalan lama dengan satu konsistensi; menguntungkan
kapitalisme, sehingga merugikan pihak yang biasanya tersubordinasi. Penciptaan makna
perempuan, misalnya, memiliki sejarah panjang yang berubah-ubah, tidak masuk
akal, hipermakna, dan jauh dari pengertian sehari-hari masyarakat penggunanya.
Berdasarkan banyak penelitian akademik, media massa selalu memosisikan
perempuan sebagai obyek, termarjinalisasi, penuh stereotip, dan selalu menjadi
korban kekerasan baik fisik maupun mental.
Untuk memahami makna perempuan
secara utuh, kita harus mau bersusah-payah melacak sejarah ‘perempuan cantik’
sebagaimana metode yang dilakukan Nietzche maupun Foucault untuk menilik satu
pengertian dari kosa kata yang sudah dimapankan artinya. Nietzche terkenal
dengan pelacakannya atas asal-usul moral dan tragedi dalam masyarakat,
sedangkan Foucault merunut makna seks dan penjara dari masa pra modern hingga
kontemporer. Mereka berdua menemukan makna yang berubah-ubah dari setiap zaman
sehingga bisa disimpulkan bahwa kebenaran dibentuk oleh penguasa untuk
mengontrol masyarakat dan melanggengkan sistem kekuasaan.
Ada dua cara yang bisa digunakan
untuk mengupas penciptaan makna perempuan oleh media massa yang tanpa dasar. Pertama kita bisa melihat makna
perempuan cantik dalam berbagai zaman. Asal-usul kecantikan ini akan menguak
bagaimana kecantikan sebenarnya konstruksi zaman tertentu yang akan berubah
jika ada kepentingan lain yang tidak sesuai dengan makna yang telah ada. Kedua, cantik bagi perempuan bisa
dilacak dari penggunaan istilah tersebut antar budaya yang ada di dunia.
Mengetahui makna yang berbeda ini akan membuat perpektif kecantikan yang sesuai
dengan pemaknaan masyarakat penggunanya, bukan ditentukan oleh lembaga luar
seperti media massa.
Evolusi Kecantikan
Kajian tentang evolusi kecantikan
dari masa ke masa tidak berkembang di Indonesia karena bangsa ini lebih suka
mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dalam banyak hal, sesuatu dianggap
berharga dan bernilai tinggi karena kaitannya dengan produk oriental. Karena
itu banyak meme tentang harga black coffee jauh lebih mahal dibanding
kopi, fried rice lebih mahal
dibanding nasi goreng, dan ayam bangkok lebih mahal dibanding ayam kampung. Maka
jangan heran, perempuan Indonesia hasil keturunan silang dengan luar negeri
selalu memiliki nilai tawar tinggi karena dianggap lebih ‘cantik’ dibandingkan
dengan perempuan asli keturunan Indonesia.
Karena itu kita hanya dapat melacak
sejarah kecantikan yang tidak masuk akal ini dari dunia barat. Kita bisa mulai
dari seorang filosof tersohor dan ahli matematika, Pytaghoras (570 – 495 SM), yang
mendefinisikan kecantikan dengan logika matematis. Karena zaman itu, matematika
menjadi dasar dari segala sesuatu, bahkan entitas abstrak bisa dianggap ada dan
pasti ketika dapat dibuktikan dengan dalil matematika. Nahai (2014) mengatakan
bahwa Pythagoras believed that beauty was
intertwined with static mathematical principles of symmetry and proportion.[2]
Seseorang dikatakan cantik, dengan bahasa lain adalah ‘sempurna’ jika wajahnya
simetris dan sesuai proporsional wajahnya.
Definisi kecantikan yang
diutarakan Pythagoras memang masuk akal karena simetris tampak indah dan
menawan. Memiliki wajah atau tubuh yang asimetris bisa menjadi sumber
ketidakpercayaan diri yang bahkan bisa menimbulkan ketidakterimaan terhadap
kediriannya. Definisi yang dipaksakan oleh orang lain, atau ororitas lain
seperti tokoh penting atau media massa terhadap tubuh individu memang
berbahaya. Selain definisi Pythagoras, kita bisa mendapatkan makna lain atas
kecantikan yang sangat jauh berbeda dengan yang dibentuk media massa saat ini.
Seperti yang ditulis oleh
Jacqueline Howard untuk CNN[3]
tentang sejarah kecantikan pada masa prasejarah hingga kontemporer. Ia
mengungkap adanya sculpture (patung)
‘Venus Figurines’ dan termasuk di dalamnya juga ‘Venus Willendorf’ yang
ditemukan pada tahun 1908 di Willendorf, Austria, yang merepresentasikan
kecantikan perempuan sebagai tubuh seperti buah pir, menggelambir, dan bisa
diistilahkan dengan ‘gemuk’. Patung lain yang juga fenomenal adalah ‘Venus de
Milo’ yang digambarkan sebagai ‘Dewi Aphrodite’, yaitu Dewi Cinta dan
Kecantikan yang menggambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki
banyak lekukan, tubuh besar dan pendek.
Penggambaran cantik yang
berbeda-beda ini terus berlangsung, terutama dilakukan oleh beberapa seniman
yang berhasil membawa konsep-konsep baru terhadap kecantikan. Karena itu ada
istilah cantik versi ‘Rubenerque’, yakni cantik ala pelukis Peter Paul Rubens
yang direpresentasikan dengan plump or
rounded (montok dan bulat) yang tampak dalam lukisan-lukisannya. Ada pula
kecantikan ‘Gadis Gibson’ yang jangkung, kelas atas, berpendidikan, bahkan bisa
berkompetisi dengan lelaki yang merupakan hasil dari representasi lukisan
Charles Dana Gibson (lihat Palso, 2001)[4].
Lalu pelukis terkenal seperti Matisse dan Picsasso juga menciptakan trend kecantikannya sendiri yang diamini
banyak orang.
Di bawah ini adalah tabel penggambaran kecantikan yang harus
dimiliki perempuan dari masa ke masa, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa
kecantikan merupakan konstruksi yang lebih banyak merusak dari pada memberikan
kebaikan. Karena tabel ini juga mengindikasikan adanya inkonsistensi makna
kecantikan sehingga seseorang, baik perempuan maupun laki-laki, menggunakan
standar semu dalam memandang kecantikan orang lain. Sumber tabel ini adalah
sebuah video berdurasi 3.10 menit yang dibuat oleh Eugene Lee Yang, Mark Celestino,
dan Kari Koeppel (2015)[5]
untuk Buzzfeed yang diunggah di Youtube dan ditonton lebih dari 46 juta
manusia.
Age of History |
Beauty Standards |
Model & Describing |
Ancient Egypt
(1292 – 1069 BC) |
Slender, Narrow Shoulders, High Waist, Symmetrical Face |
Queen
Nevertiti ‘Women in
ancient Egypt enjoyed many freedoms that would take thousands of years for
women to enjoy again. Ancient Egyptian society was sex-positive,
and premarital sex was entirely acceptable’ |
Ancient
Greece (500 – 300 BC) |
Plump, Full-Bodied, Light Skin |
Aphrodite of
Cnidus, Male-centric ‘Ancient
Greece worshiped the male form, going so far as to proclaim that women’s
bodies were ‘disfigured’ versions of men’ |
Han Dynasty (206 BC – 220 AD) |
Slim Waist, Pale Skin, Large Eyes, Small Feet |
Chinese
Painting ‘During the
Han Dynasty, Chinese culture favored slim women with long black hair, white
teeth and red lips’ |
Italian
Renaissance (1400 – 1700 AD) |
Ample Bosom, Rounded Stomach, Full Hips, Fair Skin |
Women Figures
in the Raphael’s Painting ‘During the
Italian Renaissance, it was the wife’s duty to reflect her husband’s status,
both in behavior and outward appearance. |
Victorian
England (1837 – 1901 AD) |
Desirably Plump, Full-figured, Cinched-waist |
Hourglass
Body ‘The era of
the corset. In this time period, women cinched their waists with
tight-fitting undergarments to give the perception of the desirable hourglass
figure’ |
Roaring
Twenties (1920s AD) |
Flat Chest, Downplayed Waist, Short Bob Hairstyle, Boyish Figure |
Androgynus Look ‘Beauty in
the 1920s featured an androgynous look for women– they wore bras that
flattened their chest and wore clothing that gave them a curve-less look’
(Vanessa, 2015)[6] |
Golden Age of
Hollywood (1930-1950s) |
Curves, Hourglass Figure, Large Breasts, Slim Waist |
Marlyn Monroe ‘During the
golden age of hollywood, the hays code establishing moral parameters
regarding what could or couldn’t be said, shown, or implied in film, and
limited the types of roles available to women, creating an idealized version
of women’ |
Swinging
Sixties (1960s) |
Willowy, Thin, Long, slim Legs, Adolescent Physique |
The Beatles,
Twiggy, etc. ‘Swinging
London had a profound influence throughout the western world and
helped usher miniskirts and A-line shapes into fashion. These fashions were
best modeled by Twiggy, whose slender frame changed the ideal body type
from curvy to tall and thin’ |
Supermodel
Era (1980s) |
Athletic, Svelte, but Curvy, Tall, Toned Arms |
Cindy
Crawford, Elle Macpherson, etc ‘This time
period brought about an exercise-crazed phenomenon. Workout videos were all
the rage, encouraging women to be thin, but also fit’ ( |
Heroin Chic
(1990s) |
Waifish, Extremely Thin, Translucent Skin, Androgynous |
Kate Moss, - a
nihilistic vision of beauty- ‘After
the materialism and overexertion of the 1980s, fashion swung the
other way. Thin, withdrawn, and pale, Kate Moss typified the heroin
chic look in the 1990s’ |
Postmodern
Beauty (2000s – Today) |
Flat Stomach, ‘Healthy’ Skinny, Large Breasts + Butt, Thigh Gap |
Kim
Kardashian ‘Women in the
2000s have been bombarded with so many different requirements of
attractiveness. Women should be skinny, but healthy; they should have
large breasts and a large butt, but a flat stomach.’ |
Tabel 1. Evolusi
kecantikan dari zaman ke zaman
Makna perempuan cantik yang terus
berubah merupakan bukti bahwa dunia sedang berdialektika. Istilah dialektika
pertama kali digunakan oleh Socrates sebagai metode pengungkapan filsafat
melalui dialog. Tetapi istilah dialektika yang dimaksud dalam tulisan ini lebih
condong ke penggunaan G.W.F Hegel yang menjelaskan dialektika sebagai ‘all ‘things’ are actually processes, that
these processes are in constant motion, or development, and that this
development is driven by the tension created by two interrelated opposites
acting in contradiction with each other’ (Au, 2007, dalam Dybicz dan Pyles,
2011).[7]
Bahwa dunia ini bergerak oleh dua
kutub saling berlawanan, yang pada akhirnya akan menghasilkan satu konsep yang mengharmoniskan
dua kutub tersebut. Istilahnya : tesis, antithesis, dan sintesis. Tesis adalah
satu konsep baru yang dimunculkan untuk menjawab pertanyaan terhadap dunia ini
atau suatu simpulan terhadap permasalahan yang ada. Tesis ini bukanlah suatu
kebenaran absolut sehingga akan melahirkan antithesis, yang merupakan reaksi
bertolakbelakang terhadap tesis itu. Tesis dan antithesis akan terus bergumul
untuk menemukan kebenaran atau jawaban baru : sintesis.
Uniknya dalam dialektika,
sintesis akan digunakan manusia untuk memahami kondisi tertentu dari kehidupan
sehingga sintesis menjadi sebuah tesis baru. Tesis baru menimbulkan reaksi dari
antitesis lalu lahir kembali sintesis. Tesis-antitesis-sintesis ini bisa
dipakai untuk menganalogikan makna kecantikan yang terus-menerus mengalami
perubahan (berdialektika) dan suatu saat akan menemukan sintesisnya. Masalahnya
sekarang, sejarah makna cantik ini berevoluasi dan diproduksi karena tujuan
kapitalistik. Karena itu dapat diprediksi bahwa apapun yang terjadi,
tesis-antitesis-sintesis kecantikan akan selalu kembali pada keuntungan
industri, bukan keuntungan pemilik ‘body’.
Kita mulai dengan melihat
perempuan cantik dalam sejarah pertama, yang direpresentasikan oleh Ratu
Nevertiti, sehingga siapapun yang tidak memiliki ciri fisik seperti sang ratu
maka dia tidak cantik. Pelan-pelan, kecantikan direpresentasikan dalam berbagai
cara -memalukan dan menyakitkan- berdasarkan kesenangan para pelukis dan
pematung, lalu ditentukan oleh model dan majalah, dan terakhir ditentukan oleh
produk-produk kecantikan yang menciptakan kebutuhan terhadap kosmetik. Meskipun
sejarah kecantikan berdialektika dengan lingkungan ekonomi-sosialnya, namun
tetap saja bisa dikatakan sebagai tidak ada perubahan yang berarti.
Perempuan tetap menjadi obyek,
dan perempuan cantik adalah obyek yang mahal. Ada satu garis yang tidak pernah
putus terkait makna cantik yang disandangkan kepada perempuan, yaitu kecantikan
itu tidak pernah tercipta dari kesadaran mendalam terhadap makna perempuan.
Cantik adalah hal fisik yang bisa diperjual-belikan. Dialektika yang terjadi
terhadap makna kecantikan berjalan statis, tidak mengalir, bukan berproses
menuju sesuatu yang baru, bahkan tidak menuju kecantikan yang membebaskan. Perempuan
akan terus terjebak dalam makna bias ini lalu melahirkan rasa rendah diri lalu menyakiti
diri melalui metode-metode operasi plastik.
Operasi plastik merupakan salah
satu kondisi riil dunia ini yang hendak melawan tuhan dan alam. Ilmu
pengetahuan, yang menurut Foucault bersanding dengan kekuasaan, akhirnya
betul-betul melahirkan kuasa mengubah struktur tubuh perempuan untuk menjadi
‘seakan-akan’ seperti yang diinginkan, padahal maksudnya adalah ‘menjadi
seperti yang diiklankan’. Modernitas menghasilkan industri, industri
menghasilkan teknologi, dan teknologi menjajah manusia. Penjajahan manusia kembali
pada fisik, bedanya, jika masa lalu menghasilkan penolakan, maka penjajahan
masa kini menghadirkan penghambaan suka rela.
Meningkatnya prosedur operasi
kecantikan yang dijalani oleh perempuan dari tahun ke tahun merupakan bukti
bahwa industri kecantikan sudah berhasil memperdaya perempuan secara langsung.
Jangan lupa, laki-laki juga telah diperdaya secara tidak langsung tentang
‘perempuan cantik’ dengan menciptakan versi kecantikan yang menimbulkan fantasi
kepada laki-laki. Saat ini laki-laki pun mengamini bahwa cantik adalah perempuan
yang seperti lenggak-lenggok bintang
iklan. Data-data di bawah ini menambah kelam pemaknaan kecantikan yang ambigu,
palsu, dan menenggelamkan setiap manusia ke lubang rendah diri yang akut.
Pada tahun 2016[8],
The International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) melakukan survei
terhadap 35.000 ahli bedah plastik yang masuk dalam database-nya, dan menemukan bahwa 86% lebih konsumen bedah plastik
adalah perempuan, yaitu sebanyak 20,362,655 orang, dan laki-laki sebanyak 13%
dengan total 3,264,254 konsumen. Dari data ISAPS tersebut, 15,8% dari total
perempuan yang melakukan operasi plastik adalah membesarkan payudara (breast augmentation), yang memang dari
tahun ke tahun bertengger di nomor satu. Disusul 14% adalah sedot lemak (liposuction) yakni prosedur operasi yang
bertujuan menghilangkan kelebihan lemak.
Ini menunjukkan bahwa mitos
kecantikan yang dibangun media massa berhasil menggerakkan budaya operasi
plastik demi mendapatkan tubuh ‘ideal’ versi iklan, yaitu tubuh langsing dan
memiliki payudara besar. Kondisi ini jangan dilihat dari perspektif ilmu
kedokteran yang telah berhasil menciptakan inovasi di bidang operasi plastik
sehingga bisa mengubah bentuk fisik manusia dengan presisi. Lebih dari itu,
motivasi pasien yang menjalani operasi plastik harus dibetulkan, karena mereka
sebenarnya korban dari kekerasan mental yang selama ini didialektiskan (baca:
didiktekan) oleh iklan dan media massa.
Pada masa ini, kesadaran akan
kecantikan yang dibentuk sejak kecil sebagai ‘kecantikan datang dalam berbagai
bentuk dan ukuran’ tidak akan dipercaya lagi. Bisa jadi kita percaya saat kita
tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi ketika kita dalam kondisi biasa saja atau
mampu melakukan apa saja, maka bentuk-bentuk kecantikan yang telah didiktekan
oleh media massa menjadi pilihan. Orang yang tidak bisa melakukan operasi
plastik akan menganggap bahwa tindakan itu hanyalah pemborosan dan perbuatan
terlarang karena mengubah bentuk yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Bagi orang
yang dikaruniai kemampuan melakukan operasi plasti, tentu saja memiliki alasan
tersendiri : untuk meningkatkan kepercayaan diri.
Kebutuhan Palsu dan Kebutuhan Meredefinisi Kecantikan
Harus diketahui bahwa di setiap
sejarah kecantikan itu selalu muncul dari momen kapitalistik karena hubungannya
yang jelas pada keuntungan ekonomi. Standar kecantikan buatan yang tidak
dimiliki oleh setiap perempuan dimanfaatkan dan diolah sedemikian rupa oleh
media massa sehingga menciptakan kebutuhan palsu. Bayangkan, siapa di sekitar
kita ini memiliki kecantikan ala pos-modern yang direpresentasikan oleh Kim
Kardashian yang flat stomach, large
breast & butt? Meskipun produk yang diiklankan ini tidak bisa dipercaya
untuk membentuk kecantikan seperti standar iklan, tetapi perempuan terlanjur
percaya lalu membeli produk tersebut.
Kondisi di atas adalah masalah
yang harus diselesaikan oleh seluruh ras manusia yang masih waras dan
menginginkan perubahan yang baik bagi semua. Tetapi masalah sesungguhnya sering
muncul dari diri kita dalam kehidupan sehari-hari, bahkan muncul juga dari
seorang dosen komunikasi yang mengajar public
relations. Banyak ditemukan model pengajaran public relations yang mengharuskan mahasiswanya menggunakan baju
hem putih, jas dan berdasi bagi laki-laki, dan blazer serta rok selutut bagi
perempuan. Realitas ini merupakan ritual kebodohan yang dilakukan sepanjang
tahun, serta menandakan pemujaan terhadap hal-hal yang berbau permukaan:
pakaian rapi lambang kesuksesan.
Semua orang tanpa terkecuali
harus memahami bahwa kita telah ditekan sedemikian rupa oleh modernisme
sehingga memiliki pandangan yang sama terhadap segala sesuatu. Senin-Jumat
sebagian besar manusia digerakkan menuju kantornya masing-masing dan bekerja hingga
suntuk. Sabtu-Minggu seluruh manusia digerakkan oleh motif liburan yang sama,
dengan tujuan ke lokasi wisata yang sama : pantai, gunung, taman rekreasi,
kebun buah, hotel, kafe, bioskop, dan liburan sampai mabuk. Saat lapar pun
demikian, kita dirapatkan barisan antri di McDonald, KFC, Pizza Hut, jangan
lupa Go Food, lalu bersama-sama mengagumi iklan sabun, iklan shampoo, iklan bedak, iklan kondom, yang
semuanya menampilkan perempuan dengan standar yang sama.
[1]
Armando, Ade. 2016. Televisi di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta: Kompas
[2]
Nahai, Foad. 2014. Evolutionary Beauty. Aesthetic Surgery Journal. Vol 34 (3)
469-471
[3]
Howard, Jacqueline. 2018. The History of the Ideal Woman and Where that has
Left Us. viewed on 2 September 2018 at https://edition.cnn.com/2018/03/07/health/body-image-history-of-beauty-explainer-intl/index.html
[4]
Palso, Jenifer Raina-Joy. 2001. Faces of Feminism: The Gibson Girl and the Held
Flapper in Early Tweentieth-Century Mass Culture. Presented to the American
Culture Faculty at the University of Michigan-Flint.
[5]
https://youtu.be/Xrp0zJZu0a4
[6]
Vanessa. 2015. Ideal Body Types Throughout History. Viewed 4 September 2018 at https://www.scienceofpeople.com/ideal-body-types-throughout-history/
[7]
Dybicz, Philip & Pyles, Loretta. 2011. The Dialectic Method : Critical and
Postmodern Alternative to be Scientic Mehtod. Journal Advances in Social Work
Vol 12 (2) 301-317
[8]
International Society of Aesthetic Plastic Surgery. 2016. Global Aesthetic
Survey ‘Demand for Cosmetic Surgery Procedures Around the World Continues to
Skyrocket – Usa, Brazil, Japan,
Italy and Mexico Ranked in the Top Five Countries’. USA : ISAPS
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.