2021-10-14

Dialektika Kecantikan Perempuan


Dunia sekarang digerakkan oleh kapitalisme. Tesis ini bukanlah sesuatu yang baru, paling tidak sudah ada sejak tahun 1800-an ketika Karl Marx menciptakan teori yang menjadi basis paradigma kritis sampai sekarang. Marx yakin bahawa basic structure kehidupan adalah ekonomi, yang memengaruhi super structure seperti sosial, budaya, politik, bahkan agama. Berdasar pemikiran ini maka semua struktur yang ada di masyarakat hendak menguntungkan kapitalis, dan kemudian melemahkan masyarakat kelas bawah.

Marx memang tidak pernah memikirkan tentang kekuatan media yang akan menjadi pondasi dasar dunia modern seperti sekarang. Sehingga Marx pada dasarnya tidak pernah membincang secara khusus media sebagai alat utama kapitalis untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan kelompok tertentu. Armando (2016:25)[1] mengatakan, baru pada abad ke 20, para pemikir yang melanjutkan gagasan Marx memusatkan perhatian pada media massa, khususnya media massa komersial sebagai sarana pelanggengan kapitalisme yang eksploitatif.

Kita bisa melihat banyak sekali persoalan yang ditimbulkan oleh media massa yang berakibat pada berubahnya pola pikir masyarakat, yang dahsyatnya, berubah bersama-sama dalam satu waktu. Manusia yang beragam menjadi ‘manusia satu dimensi’ –meminjam istilah Herbert Marcuse-, karena disatukan oleh ideologi yang dibentuk oleh media massa. Persoalan umum yang dianggap penting seperti nasionalisme, perdamaian, intelektual, olahraga, dan politik, juga persoalan terpinggirkan seperti rasisme, kekerasan, perempuan, dan makna-makna kehidupan, semua dibentuk oleh media massa.

Proses penciptaan makna oleh media massa ini telah berjalan lama dengan satu konsistensi; menguntungkan kapitalisme, sehingga merugikan pihak yang biasanya tersubordinasi. Penciptaan makna perempuan, misalnya, memiliki sejarah panjang yang berubah-ubah, tidak masuk akal, hipermakna, dan jauh dari pengertian sehari-hari masyarakat penggunanya. Berdasarkan banyak penelitian akademik, media massa selalu memosisikan perempuan sebagai obyek, termarjinalisasi, penuh stereotip, dan selalu menjadi korban kekerasan baik fisik maupun mental.

Untuk memahami makna perempuan secara utuh, kita harus mau bersusah-payah melacak sejarah ‘perempuan cantik’ sebagaimana metode yang dilakukan Nietzche maupun Foucault untuk menilik satu pengertian dari kosa kata yang sudah dimapankan artinya. Nietzche terkenal dengan pelacakannya atas asal-usul moral dan tragedi dalam masyarakat, sedangkan Foucault merunut makna seks dan penjara dari masa pra modern hingga kontemporer. Mereka berdua menemukan makna yang berubah-ubah dari setiap zaman sehingga bisa disimpulkan bahwa kebenaran dibentuk oleh penguasa untuk mengontrol masyarakat dan melanggengkan sistem kekuasaan.

Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengupas penciptaan makna perempuan oleh media massa yang tanpa dasar. Pertama kita bisa melihat makna perempuan cantik dalam berbagai zaman. Asal-usul kecantikan ini akan menguak bagaimana kecantikan sebenarnya konstruksi zaman tertentu yang akan berubah jika ada kepentingan lain yang tidak sesuai dengan makna yang telah ada. Kedua, cantik bagi perempuan bisa dilacak dari penggunaan istilah tersebut antar budaya yang ada di dunia. Mengetahui makna yang berbeda ini akan membuat perpektif kecantikan yang sesuai dengan pemaknaan masyarakat penggunanya, bukan ditentukan oleh lembaga luar seperti media massa.

Evolusi Kecantikan

Kajian tentang evolusi kecantikan dari masa ke masa tidak berkembang di Indonesia karena bangsa ini lebih suka mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dalam banyak hal, sesuatu dianggap berharga dan bernilai tinggi karena kaitannya dengan produk oriental. Karena itu banyak meme tentang harga black coffee jauh lebih mahal dibanding kopi, fried rice lebih mahal dibanding nasi goreng, dan ayam bangkok lebih mahal dibanding ayam kampung. Maka jangan heran, perempuan Indonesia hasil keturunan silang dengan luar negeri selalu memiliki nilai tawar tinggi karena dianggap lebih ‘cantik’ dibandingkan dengan perempuan asli keturunan Indonesia.

Karena itu kita hanya dapat melacak sejarah kecantikan yang tidak masuk akal ini dari dunia barat. Kita bisa mulai dari seorang filosof tersohor dan ahli matematika, Pytaghoras (570 – 495 SM), yang mendefinisikan kecantikan dengan logika matematis. Karena zaman itu, matematika menjadi dasar dari segala sesuatu, bahkan entitas abstrak bisa dianggap ada dan pasti ketika dapat dibuktikan dengan dalil matematika. Nahai (2014) mengatakan bahwa Pythagoras believed that beauty was intertwined with static mathematical principles of symmetry and proportion.[2] Seseorang dikatakan cantik, dengan bahasa lain adalah ‘sempurna’ jika wajahnya simetris dan sesuai proporsional wajahnya.

Definisi kecantikan yang diutarakan Pythagoras memang masuk akal karena simetris tampak indah dan menawan. Memiliki wajah atau tubuh yang asimetris bisa menjadi sumber ketidakpercayaan diri yang bahkan bisa menimbulkan ketidakterimaan terhadap kediriannya. Definisi yang dipaksakan oleh orang lain, atau ororitas lain seperti tokoh penting atau media massa terhadap tubuh individu memang berbahaya. Selain definisi Pythagoras, kita bisa mendapatkan makna lain atas kecantikan yang sangat jauh berbeda dengan yang dibentuk media massa saat ini.

Seperti yang ditulis oleh Jacqueline Howard untuk CNN[3] tentang sejarah kecantikan pada masa prasejarah hingga kontemporer. Ia mengungkap adanya sculpture (patung) ‘Venus Figurines’ dan termasuk di dalamnya juga ‘Venus Willendorf’ yang ditemukan pada tahun 1908 di Willendorf, Austria, yang merepresentasikan kecantikan perempuan sebagai tubuh seperti buah pir, menggelambir, dan bisa diistilahkan dengan ‘gemuk’. Patung lain yang juga fenomenal adalah ‘Venus de Milo’ yang digambarkan sebagai ‘Dewi Aphrodite’, yaitu Dewi Cinta dan Kecantikan yang menggambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki banyak lekukan, tubuh besar dan pendek.

Penggambaran cantik yang berbeda-beda ini terus berlangsung, terutama dilakukan oleh beberapa seniman yang berhasil membawa konsep-konsep baru terhadap kecantikan. Karena itu ada istilah cantik versi ‘Rubenerque’, yakni cantik ala pelukis Peter Paul Rubens yang direpresentasikan dengan plump or rounded (montok dan bulat) yang tampak dalam lukisan-lukisannya. Ada pula kecantikan ‘Gadis Gibson’ yang jangkung, kelas atas, berpendidikan, bahkan bisa berkompetisi dengan lelaki yang merupakan hasil dari representasi lukisan Charles Dana Gibson (lihat Palso, 2001)[4]. Lalu pelukis terkenal seperti Matisse dan Picsasso juga menciptakan trend kecantikannya sendiri yang diamini banyak orang.

Di bawah ini adalah tabel penggambaran kecantikan yang harus dimiliki perempuan dari masa ke masa, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa kecantikan merupakan konstruksi yang lebih banyak merusak dari pada memberikan kebaikan. Karena tabel ini juga mengindikasikan adanya inkonsistensi makna kecantikan sehingga seseorang, baik perempuan maupun laki-laki, menggunakan standar semu dalam memandang kecantikan orang lain. Sumber tabel ini adalah sebuah video berdurasi 3.10 menit yang dibuat oleh Eugene Lee Yang, Mark Celestino, dan Kari Koeppel (2015)[5] untuk Buzzfeed yang diunggah di Youtube dan ditonton lebih dari 46 juta manusia.

Age of History

Beauty Standards

Model & Describing

Ancient Egypt (1292 – 1069 BC)

Slender, Narrow Shoulders, High Waist, Symmetrical Face

Queen Nevertiti

‘Women in ancient Egypt enjoyed many freedoms that would take thousands of years for women to enjoy again. Ancient Egyptian society was sex-positive, and premarital sex was entirely acceptable’

Ancient Greece (500 – 300 BC)

Plump, Full-Bodied, Light Skin

Aphrodite of Cnidus, Male-centric

‘Ancient Greece worshiped the male form, going so far as to proclaim that women’s bodies were ‘disfigured’ versions of men’

Han Dynasty (206 BC – 220 AD)

Slim Waist, Pale Skin, Large Eyes, Small Feet

Chinese Painting

‘During the Han Dynasty, Chinese culture favored slim women with long black hair, white teeth and red lips’

Italian Renaissance (1400 – 1700 AD)

Ample Bosom, Rounded Stomach, Full Hips, Fair Skin

Women Figures in the Raphael’s Painting

‘During the Italian Renaissance, it was the wife’s duty to reflect her husband’s status, both in behavior and outward appearance.

Victorian England (1837 – 1901 AD)

Desirably Plump, Full-figured, Cinched-waist

Hourglass Body

‘The era of the corset. In this time period, women cinched their waists with tight-fitting undergarments to give the perception of the desirable hourglass figure’

Roaring Twenties (1920s AD)

Flat Chest, Downplayed Waist, Short Bob Hairstyle, Boyish Figure

Androgynus Look

‘Beauty in the 1920s featured an androgynous look for women– they wore bras that flattened their chest and wore clothing that gave them a curve-less look’ (Vanessa, 2015)[6]

Golden Age of Hollywood (1930-1950s)

Curves, Hourglass Figure, Large Breasts, Slim Waist

Marlyn Monroe

‘During the golden age of hollywood, the hays code establishing moral parameters regarding what could or couldn’t be said, shown, or implied in film, and limited the types of roles available to women, creating an idealized version of women’

Swinging Sixties (1960s)

Willowy, Thin, Long, slim Legs, Adolescent Physique

 

The Beatles, Twiggy, etc.

‘Swinging London had a profound influence throughout the western world and helped usher miniskirts and A-line shapes into fashion. These fashions were best modeled by Twiggy, whose slender frame changed the ideal body type from curvy to tall and thin’

Supermodel Era (1980s)

Athletic, Svelte, but Curvy, Tall, Toned Arms

Cindy Crawford, Elle Macpherson, etc

‘This time period brought about an exercise-crazed phenomenon. Workout videos were all the rage, encouraging women to be thin, but also fit’ (

Heroin Chic (1990s)

Waifish, Extremely Thin, Translucent Skin, Androgynous

Kate Moss, - a nihilistic vision of beauty-

‘After the materialism and overexertion of the 1980s, fashion swung the other way. Thin, withdrawn, and pale, Kate Moss typified the heroin chic look in the 1990s’

Postmodern Beauty (2000s – Today)

Flat Stomach, ‘Healthy’ Skinny, Large Breasts + Butt, Thigh Gap

Kim Kardashian

‘Women in the 2000s have been bombarded with so many different requirements of attractiveness. Women should be skinny, but healthy; they should have large breasts and a large butt, but a flat stomach.’

Tabel 1. Evolusi kecantikan dari zaman ke zaman

Makna perempuan cantik yang terus berubah merupakan bukti bahwa dunia sedang berdialektika. Istilah dialektika pertama kali digunakan oleh Socrates sebagai metode pengungkapan filsafat melalui dialog. Tetapi istilah dialektika yang dimaksud dalam tulisan ini lebih condong ke penggunaan G.W.F Hegel yang menjelaskan dialektika sebagai ‘all ‘things’ are actually processes, that these processes are in constant motion, or development, and that this development is driven by the tension created by two interrelated opposites acting in contradiction with each other’ (Au, 2007, dalam Dybicz dan Pyles, 2011).[7]

Bahwa dunia ini bergerak oleh dua kutub saling berlawanan, yang pada akhirnya akan menghasilkan satu konsep yang mengharmoniskan dua kutub tersebut. Istilahnya : tesis, antithesis, dan sintesis. Tesis adalah satu konsep baru yang dimunculkan untuk menjawab pertanyaan terhadap dunia ini atau suatu simpulan terhadap permasalahan yang ada. Tesis ini bukanlah suatu kebenaran absolut sehingga akan melahirkan antithesis, yang merupakan reaksi bertolakbelakang terhadap tesis itu. Tesis dan antithesis akan terus bergumul untuk menemukan kebenaran atau jawaban baru : sintesis.

Uniknya dalam dialektika, sintesis akan digunakan manusia untuk memahami kondisi tertentu dari kehidupan sehingga sintesis menjadi sebuah tesis baru. Tesis baru menimbulkan reaksi dari antitesis lalu lahir kembali sintesis. Tesis-antitesis-sintesis ini bisa dipakai untuk menganalogikan makna kecantikan yang terus-menerus mengalami perubahan (berdialektika) dan suatu saat akan menemukan sintesisnya. Masalahnya sekarang, sejarah makna cantik ini berevoluasi dan diproduksi karena tujuan kapitalistik. Karena itu dapat diprediksi bahwa apapun yang terjadi, tesis-antitesis-sintesis kecantikan akan selalu kembali pada keuntungan industri, bukan keuntungan pemilik ‘body’.

Kita mulai dengan melihat perempuan cantik dalam sejarah pertama, yang direpresentasikan oleh Ratu Nevertiti, sehingga siapapun yang tidak memiliki ciri fisik seperti sang ratu maka dia tidak cantik. Pelan-pelan, kecantikan direpresentasikan dalam berbagai cara -memalukan dan menyakitkan- berdasarkan kesenangan para pelukis dan pematung, lalu ditentukan oleh model dan majalah, dan terakhir ditentukan oleh produk-produk kecantikan yang menciptakan kebutuhan terhadap kosmetik. Meskipun sejarah kecantikan berdialektika dengan lingkungan ekonomi-sosialnya, namun tetap saja bisa dikatakan sebagai tidak ada perubahan yang berarti.

Perempuan tetap menjadi obyek, dan perempuan cantik adalah obyek yang mahal. Ada satu garis yang tidak pernah putus terkait makna cantik yang disandangkan kepada perempuan, yaitu kecantikan itu tidak pernah tercipta dari kesadaran mendalam terhadap makna perempuan. Cantik adalah hal fisik yang bisa diperjual-belikan. Dialektika yang terjadi terhadap makna kecantikan berjalan statis, tidak mengalir, bukan berproses menuju sesuatu yang baru, bahkan tidak menuju kecantikan yang membebaskan. Perempuan akan terus terjebak dalam makna bias ini lalu melahirkan rasa rendah diri lalu menyakiti diri melalui metode-metode operasi plastik.

Operasi plastik merupakan salah satu kondisi riil dunia ini yang hendak melawan tuhan dan alam. Ilmu pengetahuan, yang menurut Foucault bersanding dengan kekuasaan, akhirnya betul-betul melahirkan kuasa mengubah struktur tubuh perempuan untuk menjadi ‘seakan-akan’ seperti yang diinginkan, padahal maksudnya adalah ‘menjadi seperti yang diiklankan’. Modernitas menghasilkan industri, industri menghasilkan teknologi, dan teknologi menjajah manusia. Penjajahan manusia kembali pada fisik, bedanya, jika masa lalu menghasilkan penolakan, maka penjajahan masa kini menghadirkan penghambaan suka rela.

Meningkatnya prosedur operasi kecantikan yang dijalani oleh perempuan dari tahun ke tahun merupakan bukti bahwa industri kecantikan sudah berhasil memperdaya perempuan secara langsung. Jangan lupa, laki-laki juga telah diperdaya secara tidak langsung tentang ‘perempuan cantik’ dengan menciptakan versi kecantikan yang menimbulkan fantasi kepada laki-laki. Saat ini laki-laki pun mengamini bahwa cantik adalah perempuan yang seperti lenggak-lenggok bintang iklan. Data-data di bawah ini menambah kelam pemaknaan kecantikan yang ambigu, palsu, dan menenggelamkan setiap manusia ke lubang rendah diri yang akut.

Pada tahun 2016[8], The International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) melakukan survei terhadap 35.000 ahli bedah plastik yang masuk dalam database-nya, dan menemukan bahwa 86% lebih konsumen bedah plastik adalah perempuan, yaitu sebanyak 20,362,655 orang, dan laki-laki sebanyak 13% dengan total 3,264,254 konsumen. Dari data ISAPS tersebut, 15,8% dari total perempuan yang melakukan operasi plastik adalah membesarkan payudara (breast augmentation), yang memang dari tahun ke tahun bertengger di nomor satu. Disusul 14% adalah sedot lemak (liposuction) yakni prosedur operasi yang bertujuan menghilangkan kelebihan lemak.

Ini menunjukkan bahwa mitos kecantikan yang dibangun media massa berhasil menggerakkan budaya operasi plastik demi mendapatkan tubuh ‘ideal’ versi iklan, yaitu tubuh langsing dan memiliki payudara besar. Kondisi ini jangan dilihat dari perspektif ilmu kedokteran yang telah berhasil menciptakan inovasi di bidang operasi plastik sehingga bisa mengubah bentuk fisik manusia dengan presisi. Lebih dari itu, motivasi pasien yang menjalani operasi plastik harus dibetulkan, karena mereka sebenarnya korban dari kekerasan mental yang selama ini didialektiskan (baca: didiktekan) oleh iklan dan media massa.

Pada masa ini, kesadaran akan kecantikan yang dibentuk sejak kecil sebagai ‘kecantikan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran’ tidak akan dipercaya lagi. Bisa jadi kita percaya saat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi ketika kita dalam kondisi biasa saja atau mampu melakukan apa saja, maka bentuk-bentuk kecantikan yang telah didiktekan oleh media massa menjadi pilihan. Orang yang tidak bisa melakukan operasi plastik akan menganggap bahwa tindakan itu hanyalah pemborosan dan perbuatan terlarang karena mengubah bentuk yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Bagi orang yang dikaruniai kemampuan melakukan operasi plasti, tentu saja memiliki alasan tersendiri : untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Kebutuhan Palsu dan Kebutuhan Meredefinisi Kecantikan

Harus diketahui bahwa di setiap sejarah kecantikan itu selalu muncul dari momen kapitalistik karena hubungannya yang jelas pada keuntungan ekonomi. Standar kecantikan buatan yang tidak dimiliki oleh setiap perempuan dimanfaatkan dan diolah sedemikian rupa oleh media massa sehingga menciptakan kebutuhan palsu. Bayangkan, siapa di sekitar kita ini memiliki kecantikan ala pos-modern yang direpresentasikan oleh Kim Kardashian yang flat stomach, large breast & butt? Meskipun produk yang diiklankan ini tidak bisa dipercaya untuk membentuk kecantikan seperti standar iklan, tetapi perempuan terlanjur percaya lalu membeli produk tersebut.

Kondisi di atas adalah masalah yang harus diselesaikan oleh seluruh ras manusia yang masih waras dan menginginkan perubahan yang baik bagi semua. Tetapi masalah sesungguhnya sering muncul dari diri kita dalam kehidupan sehari-hari, bahkan muncul juga dari seorang dosen komunikasi yang mengajar public relations. Banyak ditemukan model pengajaran public relations yang mengharuskan mahasiswanya menggunakan baju hem putih, jas dan berdasi bagi laki-laki, dan blazer serta rok selutut bagi perempuan. Realitas ini merupakan ritual kebodohan yang dilakukan sepanjang tahun, serta menandakan pemujaan terhadap hal-hal yang berbau permukaan: pakaian rapi lambang kesuksesan.

Semua orang tanpa terkecuali harus memahami bahwa kita telah ditekan sedemikian rupa oleh modernisme sehingga memiliki pandangan yang sama terhadap segala sesuatu. Senin-Jumat sebagian besar manusia digerakkan menuju kantornya masing-masing dan bekerja hingga suntuk. Sabtu-Minggu seluruh manusia digerakkan oleh motif liburan yang sama, dengan tujuan ke lokasi wisata yang sama : pantai, gunung, taman rekreasi, kebun buah, hotel, kafe, bioskop, dan liburan sampai mabuk. Saat lapar pun demikian, kita dirapatkan barisan antri di McDonald, KFC, Pizza Hut, jangan lupa Go Food, lalu bersama-sama mengagumi iklan sabun, iklan shampoo, iklan bedak, iklan kondom, yang semuanya menampilkan perempuan dengan standar yang sama.



[1] Armando, Ade. 2016. Televisi di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta: Kompas

[2] Nahai, Foad. 2014. Evolutionary Beauty. Aesthetic Surgery Journal. Vol 34 (3) 469-471

[3] Howard, Jacqueline. 2018. The History of the Ideal Woman and Where that has Left Us. viewed on 2 September 2018 at https://edition.cnn.com/2018/03/07/health/body-image-history-of-beauty-explainer-intl/index.html

[4] Palso, Jenifer Raina-Joy. 2001. Faces of Feminism: The Gibson Girl and the Held Flapper in Early Tweentieth-Century Mass Culture. Presented to the American Culture Faculty at the University of Michigan-Flint.

[5] https://youtu.be/Xrp0zJZu0a4

[6] Vanessa. 2015. Ideal Body Types Throughout History. Viewed 4 September 2018 at https://www.scienceofpeople.com/ideal-body-types-throughout-history/

[7] Dybicz, Philip & Pyles, Loretta. 2011. The Dialectic Method : Critical and Postmodern Alternative to be Scientic Mehtod. Journal Advances in Social Work Vol 12 (2) 301-317

[8] International Society of Aesthetic Plastic Surgery. 2016. Global Aesthetic Survey ‘Demand for Cosmetic Surgery Procedures Around the World Continues to Skyrocket – Usa, Brazil, Japan, Italy and Mexico Ranked in the Top Five Countries’. USA : ISAPS

0 comments:

Posting Komentar

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.