“Jangan
sok idealis”. Begitulah pernyataan yang kerap menghakimi orang-orang yang
memegang teguh pada ide dan cita-cita kehidupannya. Bahkan mungkin karena tidak setuju dengan
suatu pendapat saja, seseorang bisa di cap idealis. Sebagai pemuda, terutama mahasiswa,
sikap idealis itu perlu. Bahkan, kata Tan Malaka; idealisme adalah kemewahan
terakhir yang dimiliki oleh pemuda, dan kata-kata ini dicuplik dalam endorsement sebuah buku yang digemari
pemuda saat ini; 5cm karya Doni Dirgantoro. Idealisme memang membutuhkan
komitmen yang kuat, ia akan layu jika dipegang hanya oleh orang-orang alay yang suka nonton televisi. Maka
“lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” bukan?
“Dasar
orang pragmatis!” yang lain lagi adalah olok-olok kepada kaum yang dianggap tidak
punya pendirian. Orang-orang pragmatis ini dianggap sebagai sampah masyarakat
oleh kaum yang merasa dirinya idealis. Teman saya yang dulu ikut organisasi
pergerakan begitu menggebu-gebu dengan ideologi organisasinya, mereka hampir
saja selalu bertengkar dengan ideologi organisasi yang lain, sekarang dia
bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan dan merasa dirinya kehilangan dirinya
yang dulu –dirinya yang idealis. Dia menyebut dan disebut dirinya sebagai orang yang pragmatis karena
kalah dengan kaum penguasa –dalam hal ini pengusaha.
Sudah lama
saya berfikir bagaimana mendamaikan mereka berdua; ideologis vs pragmatis. Padahal
dalam kehidupan yang lebih nyata, ada beberapa kompromi yang harus diturunkan
untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat dan berguna. Orang yang hanya mengandalkan
idealismenya dalam “menjalankan” kehidupannya, ia akan disebut sebagai pemimpi;
utopis. Begitupula orang yang melulu pragmatis, akan disebut sebagai munafik. Kita
bisa saja memiliki idelogi; way of life;
yang kita pegang teguh hingga berakhirnya kehidupan kita, namun ada yang lebih
tinggi dari itu, yaitu kebermanfaatan diri kita terhadap alam, terhadap manusia
lain, yang tidak bisa kita sangkal, agama kita turun ke dunia untuk tujuan itu.
Bahkan masing-masing ideologi, penyebutan, nama-nama, didakwahkan untuk
kebutuhan manfaat, demi mulianya kehidupan manusia. Orang ideologis memiliki tempatnya
sendiri, juga orang-orang dengan –isme yang lain. Mereka masing-masing memiliki
wilayah garapan yang harus mereka penuhi agar kehidupan mereka sendiri ada
gunanya.
Secara
tidak sadar, ada inkonsistensi istilah dalam pembacaan tulisan saya diatas, antara
idealisme dan ideologis. Oh maaf sebelumnya, tentu ini saja saya sengaja untuk –terutama-
membangun pemahaman saya sendiri tentang arti dari kedua hal tersebut, juga
membuat kesimpulan sederhana bahwa ternyata kita terlalu lugas dalam
menggunakan kata-kata serapan tanpa pertimbangan makna yang lebih dalam. Begitu
juga dengan kehidupan nyata kita yang kadang mengartikan segala sesuatu secara
tiba-tiba, berdasarkan insting, atau juga firasat –meski kadang dalam waktu
tertentu firasat lebih bisa dipercayai daripada pemikiran. Lebih dari itu
semua, ternyata saya memang tidak bisa membedakan bagaimana idealis ataupun
ideologis itu.
Ideologi adalah sebuah cara pandang, worldview, atau dalam bahasa asalnya
adalah Weltanschauung
(Jerman). Kata itu dikenalkan oleh Imamnuel Kant (1724-1804) untuk menyebut
persepsi inderawi terhadap dunia. Namun asal mula munculnya istilah ideologi
ini kontroversial, diyakini muncul sejak Revolusi Perancis karena ucapan Si
Napoleon Bonaparte kepada para pemberontak yang mengatakan bahwa mereka adalah
kaum idealis. Tetapi dalam banyak literatur, kata idelogi (ideology) pertama kali
digunakan oleh Destutt de Tracy pada tahun 1796 untuk menyebutkan “ilmu
tentang ide”. Dari sini kemudian, ideologi meluas dan banyak tokoh yang menggunakan
istilah itu dengan pengertian masing-masing –yang meskipun tidak sama, tapi
mirip. Yang paling jelas, ideologi adalah
cara pandang seseorang terhadap kehidupan, juga termasuk persepsi-persepsinya
terhadap apapun yang terlihat.
Bagaimana
idealisme? Sekarang kita menggunakan kamus besar bahasa indonesia untuk
mengartikan ini. Jadi ide-al-is-me; n
1 aliran ilmu
filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang
benar yang dapat dicamkan dan dipahami; 2
hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap
sempurna; 3
Sas aliran yang
mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan
meskipun tidak sesuai dengan kenyataan.
Jadi
antara ideologis dan idealis itu hampir sama kan? Yaitu orang yang memiliki
pandangan/cita-cita ideal dan ia berusaha tidak melenceng dari pandangannya
tersebut apapun yang terjadi. Terasa begitu mulia orang ideologis/idealis ini,
karena ia tidak terpengaruh dengan segala kondisi kehidupan yang menuntut
perubahan terus menerus. Bagaimana dengan orang pragmatis? Bahwa kita sudah
terlanjur menunjuk hidung orang yang memiliki tujuan jangka pendek ini sebagai
pragmatis, apakah sudah benar?
Pragmatis,
adalah orangnya, dan pragmatisme adalah ajaran yang dianutnya, memiiki arti aliran
filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau
hasilnya yang bermanfaat secara praktis.
Lihat, di sana juga tidak ada yang buruk untuk menjadi seorang yang pragmatis. Jadi
seseorang yang pragmatis itu melihat segala sesuatu (ilmu pengetahuan, alat,
alam –dunia) bukan berdasarkan landasan obyektif teoritis yang berbelit, rumit,
ataupun utopis, tetapi praktis. Orang-orang semacam ini beranggapan bahwa
teori-teori yang diciptakan itu berawal dari praktek nyata kehidupan, ia dibuat
untuk kemudian dipraktekkan. Jadi, segala apapun, kalau tidak bias diberdayagunakan,
akan ia tolak.
Jadi memang,
antara idealisme dan pragmatisme bertolak belakang, yang pertama bersumber pada
sesuatu yang dicita-citakan, dan yang kedua bersumber pada sesuatu yang nyata
dan praksis. Maka setelah ini, ketika kita akan menyebut orang sebagai
idealis/ideologis, ataupun pragmatis, maka kita telisik lebih dahulu, apakah ia
dalam seluruh kehidupannya menggunakan salah satu cirri diatas? Kalau hanya
dalam satu waktu ia bersikap idealis, dan selanjutnya realistis, maka ia tentu
bukan idealis.
Demikianlah
kisahnya berakhir.
maju tak gentar, klu gentar mundur, klu udah gak gentar lagi yah maju lagi aja. . . . .perputaran yag tiada henti, ntah kapan iki mandeke :D
BalasHapusxixixixixixiix
http://pemberianalam.blogspot.com
hah? maksudmu opo ce? gak mudeng dah gue...
BalasHapus