2012-01-19

Tentang Saya dan Blog

Yaps, saya Fathul Qorib, dosen jurnalistik di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang. Profile ini saya update secara berkala. Jadi, begini:

Blog ini saya mulai kembangkan sejak 2008, waktu masih mahasiswa di Universitas Trunojoyo Madura. Awalnya, blog ini berganti-ganti nama, mengikuti pencarian jati diri yang wajar untuk seorang mahasiswa baru. Saya kuliah di sana dari 2008 sampai lulus tahun 2012. Di tahun yang sama, saya membeli domain fathulqorib.com. Isinya sederhana: cerita-cerita keseharian, pikiran yang melintas, dan kadang hanya keluh kesah. Ada masa di mana saya rajin menulis, ada juga waktu di mana blog ini terlupakan. Tapi semuanya berjalan begitu saja.

Setelah lulus, saya memutuskan untuk keliling Indonesia. Mungkin itu semacam pelarian, karena saya sendiri waktu itu tidak tahu apa yang ingin saya lakukan. Berbekal niat dan tekad, saya mulai perjalanan tanpa banyak uang di kantong. Perhentian pertama saya adalah Banten. Kenapa Banten? karena Jawa sudah cukup. Tapi ujung kulon ini belum pernah saya injak.

Waktu itu sesampai di Banten, saya berjalan tanpa tujuan jelas dan bingung mau kemana. Lalu saya melihat kantor Karang Taruna Provinsi Banten. Saya masuk, berkenalan, dan meminta izin untuk tinggal di sana. Mereka mengizinkan, dan saya tinggal di loteng kantor tersebut selama beberapa hari. Setelah itu, saya teringat tentang Rumah Dunia, komunitas literasi yang pernah saya dengar. Saya berpindah ke Rumah Dunia dan tinggal di sana selama tiga minggu atau mungkin sebulan—saya tidak begitu ingat. Rumah Dunia menjadi tempat yang istimewa; saya belajar banyak hal dan bertemu banyak orang yang mencintai literasi.

Dari Banten, perjalanan membawa saya ke Lampung, di mana saya kembali menumpang hidup di rumah orang baik, teman ketika bermian Kaskus yaitu Komunitas Backpacker Lampung. Lalu, di Palembang, saya di tampung seorang Madura dan berjualan sate untuk bertahan dua minggu.

Dari Palembang, saya berangkat ke Makassar. Di sana saya bertemu teman lama dari Pare, Kediri. Ia gadis yang ceria, memiliki kakak perempuan yang seusia denganku, dan adik perempuan yang tiga tahun di bawahku. Di sana saya menemui kawan yang kenal lewat Indonesia Mengajar, lalu membangun komunitas Penyala Makassar, menginisiasi Kelas Inspirasi, dan sembari bekerja menjaga warnet, jualan nasi goreng, hingga hamburger di pinggir jalan. Sebelum meninggalkan Makassar, saya menghabiskan seminggu di hutan Bengo-Bengo bersama mahasiswa kehutanan dari Universitas Hasanuddin. Pengalaman itu, meskipun sederhana, memberi saya perspektif baru tentang hidup dan alam.

Perjalanan berikutnya membawa saya ke Parepare. Saya menumpang di rumah teman yang kini kabarnya menjadi guru. Rumahnya dekat pasar, benar-benar di samping pasar yang ramai dan sibuk, dan juga dekat kantor media Fajar. Di sana, saya merasa sungkan karena adik perempuannya yang cantik, membuat saya sedikit canggung selama tinggal. Setelah keliling diantar teman ini, lalu menghabiskan makanan di sana selama seminggu, saya berkendara ke Toraja. Di perjalanan ini, seorang mahasiswa yang saya bantu menyusun skripsi di Makassar menelpon bahwa ia sudah sidang dan lulus sebagai sarjana.

Di Toraja saya menyewa sepeda motor, berkeliling hingga ke puncak tertinggi, menyesap kopi, lalu saya menangis. Karena kesendirian ini, perjalanan ini, membahagiakan. Tapi kebahagiaan ini saya nikmati sendiri, betapa menyedihkan. Di Toraja saya hanya beberapa hari karena harus tinggal di Terminal dengan banyak anjing. Seorang ibu-ibu di sana memberi saya makan, tapi anjing dimana-mana. Sehingga jiwa santri saya waktu itu begidik. Jadilah saya meninggalkan Toraja lalu menyeberang ke Ternate.

Di sana, saya sempat terdampar di sebuah masjid kecil di pinggir pantai dekat pelabuhan. Awalnya saya berniat bertemu seorang teman dari Facebook yang kuliah di Universitas Khairun, tapi pesan saya tidak pernah dibalas. Beruntung, saya bertemu seorang tukang ojek asal Jawa yang dengan ramah mengajak saya keliling kota, memberi makan, dan sekadar berbincang untuk mengisi waktu.

Setelah dua hari di Ternate, saya melanjutkan perjalanan ke Bacan. Di sana, saya bertemu sepupu-sepupu saya yang hidup dengan berbagai pekerjaan: ada yang bertani, bekerja di bengkel, atau berjualan es pisang ijo. Saya tinggal bersama mereka selama beberapa minggu, melakukan beberapa perjalanan yang mengasyikkan karena udara yang bersih, jalanan yang lengang, dan gunung-gunung kecil yang mudah dijangkau. Di sini saya mengumpulkan beberapa bekal dan tenaga untuk perjalanan selanjutnya, menuju Sorong.

Di Sorong, saya hanya tinggal beberapa hari. Tidak ada kenalan atau tempat untuk bertahan, jadi saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Membeli tiket lagi dengan muka lusuh, wajah tak menentu, dan nasib yang gelap. Dalam perjalanan ini, sudah setahun, saya menulis banyak hal di laptop—semacam jurnal perjalanan yang merekam segala pengalaman dan pikiran yang melintas. Tapi subuh ketika kapal mendekati pelabuhan Jayapura, laptop itu hilang. Dicuri orang. Semua catatan perjalanan saya lenyap begitu saja. Tulisan yang hilang ini, sama artinya degngan saya kehilangan diri saya sendiri.

Saya terdiam lama. Tulisan-tulisan tentang ikan yang berenang di bawah kapal, kisah kawan yang sendu dan bersahaja, kisah garis pantai, gunung-gunung dan kupu-kupu Maros, kisah mengolah resep nasi goreng, kisah berkelahi dengan gelandangan di Makassar, kisah buku dan film, duhai.., kisah gadis berambut ikal dari sorong, kisah lelaki-lelaki peminum dari Manado, juga gonggongan anjing hinga kuburan di Toraja. Sirna.

Di Jayapura, saya bertemu dengan seorang teman dari Facebook. Dari pertemuan itu, saya mulai menata hidup lagi. Selama sebulan saya menumpang di mereka suami-istri. Lalu saya mendapat panggilan untuk bekerja di hotel, dan panggilan sebagai wartawan. Bimsalabim, jadilah saya wartawan di Cenderawasih Pos dan tahun 2014 mendirikan Sekolah Menulis Papua. Setelah beberapa tahun, tepatnya tahun 2015, keinginan untuk melanjutkan pendidikan muncul kembali. Saya pulang ke Jawa meninggalkan papua dengan tangis yang lebih keras dibanding apapun. 

Di jawa saya foya-foya, saya membawa uang banyak. Kemudian saya melakukan backpacker ke Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Perjalanan selama 1 bulan 15 hari ini menghabiskan uang sekitar Rp 8 juta di tahun 2015 dengan tingkat keletihan yang luar biasa.

Selama beberapa bulan uang saya kembali menipis, memaksaku bekerja sebagai jurnalis di Malangvoice.com, lulus kuliah, menjadi dosen di Universitas Tribhuwana Tunggadewi, dan menikah dengan gadis cantik dari Madura. Setelah menikah, hidup saya lebih tenang, keluarga kecil kami penuh canda dan romansa yang membahagiakan. Tahun 2018, lahir anak kami yang pertama, Muhammad Gie Sidharta. Kami seperti manusia yang paling berbahagia di dunia.

Tahun ini, 2024, saya menempuh pendidikan doktoral di Kocaeli University, Turki. Blog ini tetap menjadi rumah kecil saya, tempat mencatat cerita-cerita perjalanan, baik fisik maupun batin. Hidup, seperti tulisan, selalu penuh kejutan—kadang sederhana, kadang rumit, tapi selalu layak untuk diceritakan. Saya sendiri penasaran, selanjutnya kisah apa yang akan saya tambahkan.

0 comments:

Posting Komentar

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.