2021-07-23

Sesat Paham “Stop Baca Berita Covid-19”


Virus corona yang melanda dunia membuat kita panik. Namun panik ini seharusnya tidak membuat manusia menjadi bebal. Berbagai kepanikan yang kita alami sudah cukup membahayakan. Kita masih mengingat panic buying awal tahun 2020 yang membuat kebutuhan pokok sulit dicari. Kita juga mengingat kelangkaan masker padahal masker merupakan salah satu kebutuhan primer di kala pandemi. Sekarang muncul lagi kepanikan membaca berita Covid-19, lalu menyerukan agar masyarakat berhenti membaca berita. Kepanikan terakhir ini menyesatkan dan sudah keterlaluan. Kita harus mengatasi kebebalan ini bersama-sama dengan sebuah pemahaman, bukan hujatan.

Panic attact yang dialami masyarakat Indonesia memang lebih banyak disebabkan oleh banjirnya informasi pandemi Covid-19. Kita tidak menutup kenyataan ini; media massa dan media sosial penuh dengan berita tentang kematian, oksigen habis, konflik antara masyarakat dan Satpol PP, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Namun tentu saja, media massa tidak serta merta bersalah lalu seruan berhenti membaca berita menjadi benar. Kita perlu melihat, masyarakat sebagai konsumen informasi juga bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, termasuk bertanggung jawab terhadap Kesehatan mental orang lain.

Tulisan ini, berkeinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum bahwa media massa bukanlah media sosial yang sering menjadi sumber pemicu hoaks. Media sosial dikelola individu dan tidak ada penyaring informasi yang kredibel. Bahkan, media sosial bisa jadi hanya mengutip sebagian, cropping atau sharescreen pada bagian-bagian tertentu pemberitaan media. Karena itu, pikiran masyarakat akhirnya buntu, informasi meluas namun menyesatkan, dan kita begitu saja percaya dengan sebaran informasi di media sosial. Jadi, kita perlu memahami fenomena banjir informasi ini lalu menimbang keputusan apa yang tepat bagi kita.

Media Massa VS Media Sosial

Pengetahuan kita terbatas. Media massa yang melaksanakan kerja-kerja jurnalistik membuat pengetahuan kita meluas dan mendalam. Terlepas dari debat baik-buruknya media di Indonesia, kita dapat menggarisbawahi, bahwa media massa masihlah merupakan satu-satunya sumber terpercaya untuk mengetahui informasi di sekitar kita. Ada beberapa alasan mengapa kita masih harus percaya dengan media massa dibanding sumber anonym di internet maupun sumber personal di media sosial. Pertama, media massa memiliki regulasi berdasarkan undang-undang dan kode etik yang harus dipatuhi. Regulasi ini tidak mungkin diabaikan begitu saja oleh media massa.

Kedua, media massa memiliki tanggung jawab moral dan finansial terhadap pembaca. Tanggung jawab moral berarti media massa harus menyajikan berita yang benar dan terpercaya, tanggung jawab finansial karena pembaca yang setia akan mampu menarik iklan ke media massa tersebut. Ketiga, jurnalis dalam bekerja selalu diikat dalam kode etik. Baik dalam tindakan sendiri-sendiri maupun kolektif, jurnalis tidak bisa lepas dari etika tersebut. Bahkan jurnalis juga diikat dalam organisasi profesi yang di dalamnya para jurnalis saling mendorong untuk mematuhi kode etik tersebut. 

Keempat, dalam proses peliputan hingga publikasi informasi, media massa diawasi oleh masyarakat luas. Khalayak yang setiap hari membaca, menonton, dan mendengarkan berita ini menjadi komunitas luas yang turut menjamin kualitas media massa. Keempat hal tersebut, ditambah dengan adanya proses ketat penyaringan informasi oleh gatekeeper -biasanya redaktur dan pimpinan redaksi yang bertanggung jawab- menjadi alasan media massa masihlah lembaga terpercaya. Ya, sekali lagi, meskipun etika jurnalistik tidak seratus persen dilakukan ketika peliputan hingga pertimbangan publikasi informasi. Namun setidaknya beberapa hal di atas patut dipertimbangkan untuk mempercayai media.

Berbeda dengan media massa, media sosial beserta seluruh aplikasi pesan instan yang sekarang kita gunakan tidak memiliki kompetensi tersebut. Media sosial dikelola oleh perorangan dan kelompok yang memiliki tendensi tertentu tanpa takut postingan itu akan dihujat. Apalagi tidak ada hukum yang mengikat secara ketat bagaimana mereka harus berbicara di ruang bebas tersebut. Jikapun ada UU ITE yang sering dianggap mengancam kebebasan berpendapat, kenyataannya tidak semua orang yang bicara kotor dan menyesatkan di media sosial akan terjangkau UU tersebut.

Kekacauan Literasi

Problem utama dari seruan ‘stop membaca berita covid-19” ini adalah karena masyarakat sulit membedakan postingan media sosial dan publikasi di media massa. Banyak sekali potongan berita di media massa, cuplikan video dari berita televisi, yang dicomot begitu saja lalu disebar melalui media sosial. Tentu, narasi yang dibangun oleh media sosial kebanyakan berbeda dengan isi berita sesungguhnya. Kondisi ini didukung oleh kemalasan masyarakat umum untuk langsung membaca atau menonton berita dari sumber utamanya. Mereka biasanya percaya begitu saja apa yang disebarkan oleh pengguna media sosial.

Media sosial di sisi lain juga menyesatkan karena munculnya echo chamber atau filter bubble. Echo chamber merupakan analogi bahwa yang bergema di ruang kosong adalah suara kita sendiri. Sedangkan filter bubble merupakan analogi bahwa kita disatukan oleh gelembung pemikiran yang sama, dan tidak menoleransi orang yang berbeda pemikiran. Artinya, ruang lingkup pertemanan kita biasanya orang-orang yang memiliki pikiran yang sama. Ini merupakan jebakan media sosial. Sudah sering kita melihat para pengguna media sosial saling memblock, unfollow, dan unfriend gara-gara berbeda pilihan politik, gara-gara tidak suka terhadap status tentang agama, bahkan karena beda klub sepak bola.

Berhenti membaca berita bukanlah sebuah solusi yang bijak. Apalagi berita ini tentang Covid-19 yang nyata-nyata sedang mengisolasi kita agar selalu berada di rumah. Informasi di media menyediakan seperangkat pengetahuan kepada kita untuk menghadapi Covid-19, sedangkan media sosial memutarbaliknya menjadi pengetahuan yang menyesatkan. Sebagaimana tanggapan banyak pegiat anti hoaks, musuh utama kita bukanlah informasi tentang Covid-19, tetapi hoaks tentang Covid-19. Karena itu, sudah waktunya masyarakat luas menyadari pentingnya memahami pesan-pesan di media, mampu memilihnya, dan menyaring setiap informasi sebelum dipercaya dan disebarluaskan.

Fathul Qorib, mantan wartawan yang sekarang menjadi staf pengajar dan peneliti media pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang.


0 comments:

Posting Komentar

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.