Lengking suara Lek Sukardi di speaker Masjid Nur Jaman baru saja selesai. Ia terisak memberitakan kematian Mustangin ke seluruh penduduk desa. Mustangin, lelaki berusia seratus tahun baru saja meninggal. Kata saksi mata, Mustangin sengaja mati di bawah hujan, lalu ia terbawa aliran air ke selokan dan berubah jadi ikan-ikan kecil menuju sungai. Tapi semua orang tahu kalau saksi mata itu hanya membual dan patut ditertawakan.
Berita kematian Mustangin itu tentu saja membuat heboh seisi desa. Tidak ada koran, tidak muncul di televisi, tetapi para lelaki di warung kopi ramai membicarakan Mustangin. Mustangin memang bukanlah siapa-siapa, dia hanya orang tua berusia seratus tahun yang menghuni rumah tua. Ia muncul dari punggung bukit, lalu duduk di warung kopi satu-satunya di desa itu. Hingga meninggal, tak satupun orang yang tahu dari mana dia berasal.
Desas-desusnya, Mustangin adalah warga korban gusur perusahaan minyak yang akan beroperasi di kampungnya. Keluarga lain mendapatkan ganti rugi yang sepadan, ada yang berlebih, tapi tidak kepada Mustangin. Karena tanah yang ia tinggali adalah tanah kakek neneknya sehingga tidak pernah sekalipun ia risau dengan surat-menyurat. Ketika waktunya penghitungan ganti rugi, tanahnya langsung dicaplok.
Ia berjalan hingga berbulan-bulan, ada yang mengatakan bertahun-tahun, sambil menangis. Tapi ia sering bercerita, jarak kampungnya dengan kampung ini hanya dua hari jalan kaki. Jadi banyak yang berspekulasi kalau dia berputar-putar sambil mencari dukungan agar tanahnya dikembalikan, atau dia berhenti dan bertapa di suatu tempat lalu ia melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi itu misteri yang juga tidak jelas sampai Mustangin meninggal.
“Mustangin itu tipikal waliyullah yang menyamar. Ia sering terlihat termangu di depan rumah tuanya saat warga kesulitan air untuk mengairi sawah, lalu ia berdoa dan mendadak hujan turun,” kata Zulfikli. Dia tokoh agama, sekaligus bisa menyembuhkan bermacam penyakit.
Zulfikli, nama asli yang ia harapkan adalah Zulkifli. Tapi orang tuanya tidak bisa baca tulis sehingga ketika nama anaknya dicatat secara sembarangan oleh petugas sensus dari kecamatan, orang tua Zulfikli manut saja. Apalagi petugas kecamatan dibekali seragam dan pulpen yang terlihat mentereng bagi warga desa. Ketika mulai belajar agama di pondok pesantren, Zulfikli habis ditertawai semua ustad dan para santri.
Nama yang terbalik, kata kepala kamar santri kepada Zul, bisa membawa ketidakberuntungan. Zul akan bernasib buruk, tidak bahagia, dan sering kena masalah. Karena itu, Zul sering merasa kalau ilmu agama tidak pernah masuk dalam kepalanya karena namanya yang terbalik.
Saat usianya menginjak 40 tahun di Kampung Kudu, ia bertemu Mustangin di depan rumah. Orang-orang juga tahu ia bertemu dengan Mustangin. Yang tidak diketahui oleh warga kampung adalah, di saat itu Zulfikli merasa ada angin segar berhembus. Tiba-tiba ia mengingat semua ilmu tauhid, fikih, tajwid, hingga tasawwuf yang ia pelajari di pesantren. “Ini ilmu ladunni,” getar hati Zulfikli mengingat kepercayaan di pesantrennya, bahwa suatu hari seorang santri bisa tiba-tiba pandai tanpa tahu dari mana datangnya ilmu itu.
Sejak itulah ia mulai adzan di masjid, salat sendirian tanpa jemaah, lalu warga mulai berdatangan. Empat puluh hari kemudian ia dikenal sebagai kiyai dan dianggap mampu mengobati segala macam penyakit dengan semburan ludahnya.
“Bisa jadi, dia kan memang tidak pernah melukai hati orang? Selalu sendiri dan menghindari dari dosa-dosa, tidak seperti kita,” timpal Qohar. Dia semacam ajudan tak resmi dari Kyai Zul. “Dulu sewaktu sawahku kena tikus, saya lihat Mustangin tersenyum dari rumahnya saat aku mengantarkan anak lanangku ke sekolah, besoknya tikus tidak ada di sawah,” cerita Qohar membahana. Kali ini dia sengaja mengarang cerita agar lebih dipercaya oleh warga di sana.
***
Pagi sekali, setelah membongkar kotak amal masjid serta membersihkan rekening hingga tinggal Rp 50 ribu saja, Lek Sukardi berangkat ke Toko Bangunan Gunawan. Ia membeli 30 sak semen, tiga pick-up pasir, batu-bata, serta 10 timba cat warna putih. Semuanya dialamatkan ke Masjid Nur Jaman. Lek Sukardi akan membangun sebuah makam kosong yang diberi nisan Mustangin. Lek Sukardi percaya bahwa makam tersebut akan bisa memberi penghormatan yang baik kepada Mustangin.
Malam sebelumnya ia sudah berdiskusi dengan Kyai Zulfikli soal keinginannya. Setelah bicara hingga empat jam sejak pukul 9 malam, Kyai Zulfikli yang dongkol itu hanya bisa manggut-manggut. Ia sendiri kadang meragukan apakah Mustangin sehebat itu. Tetapi orang-orang terlanjur percaya bahwa dirinya mendapatkan pemahaman keagamaan setelah bertemu dengan Mustangin. Mau tidak mau, dia harus memberi izin untuk pembuatan makam atas nama Mustangin di belakang masjid.
Ketika membangun makam, Lek Sukardi mengajak 15 orang dewasa di Desa Kudu. Seringkali ia mendegar bunyi burung tekukur dan merasa bunyi burung itu sebagai doa kepada para pekerja. Mereka semakin giat dan semangat meskipun yang disediakan oleh Lek Sukardi hanya teh panas dan pisang bertundun-tundun karena di sekitar masjid banyak pisang. Kadang, Lek Sukardi tiba-tiba menghadap ke barat lalu diam selama lima belas menit. Semua pekerja melihat Lek Sukardi, tapi tidak berani menyapanya.
Kadang Lek Sukardi tiba-tiba mandi. Kadang Lek Sukardi tiba-tiba salat empat rakaat lalu kembali menemani pekerja makam. Hari itu pun sama, Lek Sukardi diam di tempat pohon kajaran yang tua. Bahkan ketika pekerja memanggilnya untuk istirahat minum teh, Lek Sukardi bergeming seolah-olah sedang mendengarkan seseorang dari balik pohon.
“Saya baru diajak ngobrol dengan Mustangin,” kata Lek Sukardi. Ia berjalan pelan lalu duduk di antara mereka yang sedang menyapu keringat.
“Dia katanya sudah enak di alam kubur, ada banyak keindahan yang dirasakan. Kalian tau kan tadi wajah Mustangin yang tersenyum-senyum?” tambah Lek Sukardi, sembari menebar pandangan ke pekerja.
Mereka tidak paham harus menjawab bagaimana karena memang tidak ada apa-apa yang bisa dilihat. Mereka hanya tau Lek Sukardi berdiri diam, dan tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba ketawa, tiba-tiba selesai.
“Ada pesan dari Mustangin, kalau seluruh pekerja makam ini akan mendapatkan rejeki yang luas saat panen akhir musim ini. Ponakan Pak Supri nanti beasiswa kuliahnya pasti lancar, istrinya Lek Mad penjual kerupuk juga katanya bakal hamil lagi,”
Lek Sukardi kemudian masuk ke kamar mandi masjid. Terdengar suara debur air menyiram tubuhnya. Pekerja makam yang mendengar janji Mustangin lewat Lek Sukardi semakin menyadari bahwa pekerjaannya itu bisa membawa keberuntungan. Saat pulang bekerja, mereka menceritakan kisah bagaimana Lek Sukardi berbicara dengan Mustangin. Desas-desus bahwa Mustangin adalah wali besar semakin santer terdengar.
Bahkan di desa tetangga, terdengar pula bahwa makam Mustangin tiba-tiba muncul di belakang masjid padahal masyarakat Desa Kudu hanya bekerja pagi hari sebelum ke sawah. Tiba-tiba sore harinya, bangunan sudah muncul seolah-olah dikerjakan 15 pekerja dalam sekali waktu. Mereka semua membahas Mustangin yang hidup selama ratusan tahun. Mereka mendengar Mustangin dapat mengusir tikus. Mereka juga mendengar Kyai Zulfiki pandai gara-gara diludahi mulutnya oleh Mustangin.
Kyai Zulkifli marah tapi tidak tahu harus marah ke siapa. Ia tidak bisa melakukan apa-apa atas desas-desus. Suara angin tidak bisa didakwa melakukan kesalahan. Apa yang dipahami orang-orang desa, bagaimanapun tidak masuk akalnya, tidak bisa disangkal dengan logika. Kyai Zulfikli bahkan tidak bisa menerangkan lagi tentang bid’ah dan khurafat yang semakin merasuki pikiran warga desa.
Ia mengingat-ingat ketika beberapa kali salat subuh dini hari di masjid atau ketika salat dzuhur dan azhar, selalu saja ada orang asing dari desa tetangga yang datang membawa makanan dan dupa untuk diletakkan di makam kosong Mustangin. Warga desa juga akhirnya berdatangan. Mereka menganggap Mustangin yang telah meninggal itu memiliki karomah sehingga dapat menyebarkan wangi makamnya sampai ke desa-desa yang jauh dari Desa Kudu.
Semenjak mengurusi makam, Lek Sukardi sudah jarang terlihat di Masjid Nur Jaman. Ia memang selalu berwajah cerah dan bahagia. Berbeda sekali dengan Lek Sukardi yang dulu ia kenal, hanya petani tambak mujair kecil, selalu lusuh dan capek. Bahkan itu adalah sebuah keajaiban, pikir Kyai Zulfikli. Bagaimana bisa seorang yang meninggalkan masjid dan menjadi penjaga makam malah kelihatan bahagia? Kyai Zulfikli heran.
Sehari-hari Lek Sukardi menyapu dan mengepel makam yang lantainya dari granit. Kuburan kosong Mustangin bahkan dimarmer dengan biaya puluhan juta. Warga terbengong-bengong sedang Kyai Zulfikli semakin mencurigai ada yang salah dengan desa itu. Ia yakin, Lek Sukardi menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal sejak awal Lek Sukardi hanya ingin membangun makan sederhana dari anyaman bambu, berdoa secukupnya kepada Mustangin, dan Kembali mengurusi masjid seperti biasanya.
**
Kamis malam, selepas memimpin jemaah salat isya’, Kyai Zulfikli duduk-duduk di serambi masjid. Lampu mati. Hampir pukul 10 malam, orang-orang yang ziarah ke makam belum juga sepi. Dari kejauhan, tiga orang yang tak ia kenal datang ke makam Mustangin. Kyai Zulkifli sebenarnya sudah tidak asing dengan kedatangan orang-orang ke makam itu. Bahkan bisa dibilang, dari hari ke hari semakin banyak yang berdatangan. Bahkan Masjid Nur Jaman sepi, tetapi orang yang berdoa di makam itu membeludak.
Ketika ia terus-menerus memandang ke tiga orang itu, dari arah samping makam muncul bayangan gelap berbau minyak misk. Bau itu menusuk hingga Kyai Zulfikli begidik, lalu bangkit dari duduknya. Ia melihat sosok itu, di kepalanya, ia yakin itu adalah Mustangin. Tubuhnya kelu, ia menelan ludah dan mengucapkan doa-doa secepat kilat. Bayangan itu tampak berjalan, terus maju hingga lampu dari makam menyorot dan terlihat Lek Sukardi berjalan ke arah Kyai Zulfikli.
“Astagfirullah, Lek Kardi, kukira tadi Mustangin,” ucap Kyai Zulkifli hampir setengah teriak. Ia masih terus mengucapkan istighfar dan kalimat syahadat.
“Lho Pak Kyai melihat Mustangin juga? Saya hampir tiap hari melihat Mustangin di sekitar tempat ini,” kata Lek Sukardi berbisik. Ia mengeluarkan bungkusan dari plastik hitam. Segepok uang diserahkan ke Kyai Zulkifli. “Ini uang buat Kyai, boleh buat pribadi, membangun pondok, boleh buat membangun masjid,” Lek Sukardi nyerocos.
“Masyallah, uang apa ini Lek?” Kyak Zulkifli masih belum mengulurkan tangannya.
“Ini dari Mustangin, kemarin malam saya bermimpi didatangi Mustangin. Lalu disuruh bongkar di bawah makam itu, katanya ada uang disuruh ngasih ke Kyai,” Lek Sukardi ngomong lancar dan meyakinkan.
Kyai Zulfikli masih diam. Ia masih terus saja merasa ada yang salah dengan semua hal yang mengarah ke Mustangin. Terutama sekali, perubahan Lek Sukardi yang awalnya lelaki kampungan, menjadi agak pintar dan penuh taktik. Melihat perubahan yang drastis sejak kematian Mustangin ini, Kyai Zulfikli terus saja membayangkan sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Tiba-tiba ia jadi teringat tiga orang yang baru datang tadi. Seketika itu juga Kyai menuju ke makam meninggalkan Lek Sukardi. Ia masuk ke ruangan Lek Sukardi yang bersebelahan dengan makam, terlihat tiga orang itu sedang membungkuk di sebuah tirai. Kyai Zulfikli membuka tirai itu lalu tersingkaplah Mustangin, tanpa baju hanya memakai sarung. Kyai terperangah, Mustangin hampir lompat.
Tergopoh-gopoh Lek Sukardi datang dan mengusir tiga orang yang ada di sana. Lek Sukardi menutup pintu, menguncinya, lalu menenangkan Kyai Zulfikli.
“Jangan suruh aku tenang, bedebah anjing! Dalang dan wayang apa yang kalian mainkan?” teriak Kyai Zulfikli.
Mustangin keluar dari Lorong bertirai. Ia sudah memakai kaos longgar, lalu meminta Kyai Zulfikli duduk. Tetapi Kyai Zulfikli seperti tembok, kaku dan enggan roboh. “Ngomong sekarang, setan alas. Datang dari kuburan mana kau selama ini?” Kyai Zulfikli masih teriak.
Lek Sukardi menjulurkan jari ke mulutnya agar Kyai Zulfikli memelankan suara. Tampak sekali ia takut jika warga yang memuja Mustangin mendengar keributan itu.
“Aku tidak mati,” ucap Mustangin, pelan dan hampir tak terdengar. Tapi Kyai Zulfikli tahu apa yang akan dilanjutkan lelaki yang dianggap meludahi mulutnya hingga pandai agama itu.
“Kamu mati, pura-pura mati, Sukardi menebarkan desas-desus, kau dipuja, dan kalian mendapatkan sedekah dari itu semua. Nah seperti itu kan? Ngaku babi anjing,” teriak Kyai Zulfikli. “Kau Sukardi, habis uang amal masjid kau pakai bangun makam ini. Kurang ajar, kualat kau Kardi, Mustangin,” tangan Kyai Zulfikli mengacung-acung ke muka Sukardi.
Kyai Zulfikli keluar kamar tanpa bisa dicegah oleh Mustangin ataupun Lek Sukardi. Berat rasanya hati Kyai Zulfikli. Ia mengucap salam kepada seluruh penziarah. Ia meneteskan air mata. Terbata-bata, ia menjelaskan bahwa Mustangin hanyalah sosok orang tua yang baik di desa tersebut.
“Mustangin belum meninggal, dan ini makam kosong. Tidak ada yang bisa menolong kalian untuk menjadi kaya, pandai, atau mendapatkan manfaat lain di sini. Pulanglah,” ujar Kyai Zulfikli. Ia kemudian pergi. Ia ingin pulang. Air matanya masih menderas, sungguh dunia seperti hendak kiamat. “Kejahatan ditutupi dengan amat baiknya. Duh gusti, petaka apa yang kau turunkan ini,” lirik Kyai Zulfikli.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.