sepur nang singapura rodok penak tumpa'ane |
Hal yang paling men-diamput-kan di dunia ini adalah pengen jadi
orang lain. Bukan hanya soal wajah cakep, kekayaan, pekerjaan, atau bisa
jalan-jalan wisata, tapi bahkan istri dan pacar orang lain juga pengen kita
miliki. Istilah inggrisnya, rumput tetangga selalu lebih hijau. Bayangkan
rumput kita yang sudah disiram tiap hari, ya tetap aja kering kerontang.
Memang pengen jadi orang lain bukan berarti kita kalah cakep
atau kalah nasib baik. Soalnya, nasib itu nggak ditentukan oleh tuhan saja, tapi
rupa-rupa usaha kita juga mempengaruhinya. Jadi persoalan pengen jadi orang lain
itu bukan hanya soal enteng, tapi berat. Karena hubungannya jelas, harus
dilihat dari berbagai sudut pandang, ya sosiologi, psikologi, ya vulkanologi, atau
juga logi-logi yang lain.
Nah masalahnya, kita harus bisa cepat menjadi orang lain.
Kalau kita posisi jelek, bagaimana agar kita jadi ganteng, minimal nggak
malu-maluin pas makan di Mc Donal atau kafe-kafe gaul. Kalau pas bokek, gimana
caranya agar cepetan kaya. Kalau pas nggak punya pacar bahenol, ya gimana
caranya agar dapat yang semok. Banyak cara bisa ditempuh, sayangnya kebanyakan
kita goblok dan merasa oke dengan kegoblokan sendiri.
Jadi bagaimana agar bisa berubah menjadi orang lain?
Seorang ideolog pesohor, Marx, telah membagi kita semua
dalam tiga kelompok besar. Yakni pemodal, buruh, dan pemilik tanah. Gaya hidup masing-masing
orang ini berbeda. Kenapa berbeda? Karena yang dimiliki seseorang berbeda satu
dengan lainnya, terlepas bahwa sifat kita sebagai individu juga sangat berbeda –yang
akhirnya akan membedakan tingkah laku kita pula.
Seorang pemodal, akan lebih memikirkan bagaimana cara
mempertahankan semua kondisi apa seperti sedia kala. Jadi pemodal yang memiliki
uang banyak, yang dalam terminolog Marx disebut borjuis ini, punya gaya hidup
manja atau memanjakan orang lain. Hal inilah yang mungkin kita anggap kehidupan
gemerlap dan flamboyan. Kita pengen seperti orang itu. Padahal ya uang kita,
diamput, pas pasan banget.
Menurut pengikut Hegel (hegelian) yang revolusioner ini, seorang
pemodal akan berfikir bagaimana mempertahankan status quo, alias status nggak
jelas, dari semua yang ada. Dengan begitu ia akan aman. Karena pemodal yang
memiliki aset dimana-mana sangat benci dengan perubahan. Perubahan yang
mengarah ke politik dan sosial, akan mempengaruhi perusahaannya sehingga
kemungkinan rugi besar akan terjadi.
Pemikiran seperti itulah yang terjadi, sehingga saat Wali Kota
atau Bupati turun ke lapangan, semua pemodal akan menyambutnya seakan-akan dia
adalah dewa. Sebab, ditangan pimpinan daerah inilah segala ijin brengsek mereka
dikabulkan. Kalau pimpinan daerah diberikan priviledge tertentu, semua
pekerjaan akan aman. Keuntungan akan mengalir ke kantong pemodal terus menerus.
Sementara buruh, berfikirnya ya seperti kita ini. Progressif
dan revolusiner. Progressif berarti punya pikiran ke depan yang lebih baik,
sedangkan revolusioner berarti menghendaki perubahan secara menyeluruh dan
mendasar. Ingat, menyeluruh dan mendasar, tapi dengan tujuan ke depan yang
lebih baik. Itu yang musti kita pegang, karena saya yakin yang membaca tulisan
ini adalah kaum buruh semua. Diamput kan?.
Dengan pemikiran seperti inilah, Marx sangat yakin bahwa
suatu perubahan besar hanya akan terjadi ketika buruh bersatu. Dalam konteks
Indonesia, perubahan terbesar karena para pemudanya, yang punya pemikiran
progressif dan revolusioner pula. Maka jangan heran, pemuda dan buruh itu mirip-mirip
seperti saudara. Tapi bila ada buruh namun masih muda, kemungkinan Marx akan
senang setengah mati berkawan dengan orang itu.
Lalu apa hubungannya dengan menjadi orang lain? Ya itu. Pembagian peran. Bila kita ingin hidup
seperti seseorang, berperanlah seperti dia. Peran yang dimaksud di sini adalah
peran sosial yang seseorang itu mainkan. Bila kita iri dengan kehidupan seorang
birokrat, bersiap-siaplah menjadi PNS. Kalau kita ingin hidup bebas dan bisa
pergi ke mana saja, maka berhentilah jadi buruh sekarang juga. Jadilah pengusaha,
terus jadilah backpacker.
Karena masih menurut Marx dalam Materialisme Dialektika-nya,
yang menentukan semua ini adalah kelas-kelas sosial. Bila kelas sosial kita rendahan
atau proletar atau kasta waisya dan paria, bersiaplah terus dihisap oleh
pemodal. Jelas bahwa kelas-kelas sosial ini bukan ada dengan sendirinya, tapi
diciptakan, dikonstruksikan. Bahkan segala pemikiran kita (yang di dalam
otak dan hati) juga dikonstruksi oleh
sesuatu di luar kita. Diamput.
Jadi, bukan kesadaran kita untuk menentukan keadaan sosial,
tetapi sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Lihat,
betapa semunya kesadaran kita. Termasuk keinginan kita menjadi orang lain
adalah semu. Jadi apa yang kau inginkan sekarang? Tetap ingin menjadi ornag
lain? Ambillah peranmu, sekarang juga!.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.