Aku tidak harus meminta maaf kepada diriku sendiri karena
tidak bisa lebih teguh dari yang aku duga. Meskipun kegoyahan itu kadang
menyelamatkanku, atau lebih tepatnya : sepertinya menyelamatkanku. Karena saat
kita menolak suatu rencana, kita akan berpaling pada rencana lainnya. Hanya
karena kita menjalani salah satu rencana, lalu kita menjadi yakin bahwa rencana
yang sedang kita jalani adalah yang terbaik; padahal siapa yang tahu?
Keresahan dan keteguhan ini berhubungan dengan sesuatu yang
pelik; urusan pekerjaan. Menjadi membingungkan saat pemuda dengan kepercayaan
diri yang kuat menjadi plinplan terkait sesuatu yang teramat penting ini. Dan
aku, adalah pemuda itu. Sebulan yang lalu aku merasa yakin akan keluar dari
media yang mengenalkanku Kota Batu, Malang Voice, lalu tiba-tiba hingga bulan
sekarang aku tetap bekerja sepenuh waktu bersamanya.
Aku tidak terkejut sama sekali dengan keputusan
ketidakpindahanku dari media ini. Sungguh. Karena sebetulnya aku dipenuhi
keraguan; keraguan yang sama; antara aku harus keluar atau tetap tinggal.
Keraguan ini seperti sikap plinplan “kalau tetap di sini oke saja, kalau pindah
juga oke saja”. Begitulah. Akhirnya aku tidak punya tanggung jawab apapun untuk
meminta maaf, baik pada diriku sendiri atau kepada orang lain.
Orang lain ini adalah rekan wartawan yang hanya lima orang.
Dua lainnya masih bekerja keras hingga saat ini bersamaku, dan dua orang
lainnya sudah hilang entah kemana. Pertama kali memang kami yakin untuk keluar
secara bergantian, namun suasana di kantor yang mendadak landai membuat kami
berdebar-debar. Apakah keputusan keluar itu benar? Lalu tidak ada jawaban, semua
menjadi hening.
Saat mengobrol dengan wartawan lain, kini, semuanya menjadi
berbeda. Sebenarnya aku adalah orang baru dalam pertemanan dan pekerjaan
mereka. Pimpinan redaksi, kepala marketing, dan empat rekan wartawan ini adalah
satu kesatuan yang sejak awal membangun Malang Voice. Dari duka bersama,
didengungkan menjadi kekuatan bersama. Muncullah media online itu, yang sebelum
launching, aku datang dengan segala kepercayaan diri.
Meskipun aku yakin dapat mengimbangi kepenulisan para
wartawan ini, rupanya aku salah. Tipe menulisku yang ala koran tidak berguna
sama sekali di online. Banyak kalimat, frasa, dan kata yang harus dipangkas,
dan menimbulkan teriakan di grup; mulai dari kekasaran normal hingga kekasaran
lintas planet mengalamat padaku. Aku tabah, tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Meski pada suatu saat, aku merasa tidak sanggup lagi.
Menjadi wartawan dengan paling banyak kesalahan bukanlah hal
yang menyenangkan. Berkali-kali bangun tidur, kita sudah merasa gelisah akan
kehidupan yang pahit. Semenjak berita pertama pukul 06.00 WIB, emosi sudah
menguasai grup. Dan itu semua berakhir pukul 21.00 WIB. Tidur dalam
kegelisahan, kecapekan, ketidakpuasa, dan keesokan hari bangun dengan kekalutan
yang sama.
Lalu, apa yang harus kulakukan selain keluar dengan alasan
sudah tidak sanggup lagi? Iyup, betul. Karena pengalaman dan ilmu yang kudapat
selama ini rupanya sudah diluar dugaan. Aku menjadi bisa menulis kalimat
singkat tanpa embel-embel sama sekali. Tidak ada kalimat majemuk dalam media
online. Aku faham, dan sangat bersyukur berada di media yang super amazing.
Dan begitulah, hingga saat ini aku masih tinggal dan bekerja
dengan orang-orang ini. Berkali-kali pikiran ingin pergi datang, aku
menepisnya. Menepisnya hingga suatu hari aku siap melanglang lagi, menuntaskan
keinginan dan mimpi yang sepertinya menjauh. Dan beberapa rencana memang sudah
terpatri, membisiki angin, suatu saat aku akan terbang lagi.
Okay, sebenarnya apa yang mendasari setiap keinginan
manusia? Aku merasa beberapa hal menjadi tidak penting sama sekali. Apakah aku
tetap bekerja di sini atau aku harus keluar lalu mencari pekerjaan yang lain.
Tidak ada yang dapat menjamin apakah di sini lebih baik atau di sana lebih
buruk. Semua hal, menurut beberapa motivator, tergantung penyikapannya. Saat
aku bekerja dengan penuh cinta, di situlah aku akan bahagia –bullshit.
Bagaimana aku menjalani hidup, saat ini merupakan sesuatu
yang ambigu. Tanggung jawab yang sudah muncul satu demi satu menjadikan hidup
semakin aneh. Apakah aku benar-benar yakin dengan semua kehidupan ini? Beberapa
janji ingin aku ingkari. Beberapa tanggung jawab ingin kubuang lalu kutinggal
pergi. Segala-galanya, kalaulah boleh kukatakan sedang salah.
Sayangnya aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai.
Bukan soal pekerjaan, tapi perkuliahan. Kepulanganku dari Papua yang mantap
ingin melanjutkan master komunikasi merupakan konsekuensi paling penting. Dari
kampung ini aku tidak bisa mengelak. Berkali-kali aku bilang pada diri sendiri,
apapun yang terjadi perkuliahan tidak boleh dikorbankan. Dan memang, tidak ada
yang perlu aku pilih guna meninggalkan kampus kecuali kecenderunganku untuk
berkeliling lagi dan lagi.
Keliling lagi aja thul. Biar kenceng pikirannya.
BalasHapusAbseno pisan nang situsku, dan ber komentar thul.
Http://www.malangartchannel.com