2012-10-31

Phobia

Ini tentang seorang yang menjalani kehidupan dengan tanpa semangat. Ataupun, kalau dia semangat itu hanyalah semangat mengutuk keadaan. Saya agaknya membaca beberapa gejala, juga membaca beberapa tulisan kritikus yang memastikan gejala ini. Sastrawan-sastrawan idealis, seniman-seniman idealis, dan jurnalis-jurnalis idealis, sepertinya setengah mati membangun suatu tatanan yang dia yakini sebagai yang ‘lebih bernilai, lebih bermoral’ dari pada kehidupan nyata. Ramai-ramai mereka mengheningkan cipta kepada dunia yang fana ini.

Gejala inilah, yang kalau saya seorang psikolog, akan menggolongkan mereka sebagai sebuah penyakit. Entah mental disorder, entah imagination diseorder. Mungkin saya juga memiliki penyakit agak ke arah sana, tapi saya tidak mau membicarakan diri saya sendiri. Mereka dahulu, saya belakangan. Itung-itung cari aman. Lagipula, saya belum bisa mendefinisikan diri sendiri, karena saya terlanjur terpengaruh oleh mereka untuk menyukai sastra, seni, dan jurnalistik sekaligus.

Bla bla bla disorder ini, bisa digolongkan sebagai ketakutan yang teramat sangat akan kehidupan modern. Katanya modernitas mengandung sebuah penyakit akut yang bisa membuat seseorang menjadi individualistik. Dan itu, saya akui sangat berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, jika mau dibanding-bandingkan, individualisme ini lebih berbahaya dari pada rokok. Kalau rokok merusak fisik, maka individualistik ini merusak rohani. Langsung ke pusat kendali jiwa.

Phobia terhadap kehidupan dunia ini memang wajar jika dihadapkan pada persoalan modernitas yang kompleks. Ada harapan besar di balik modernisasi yang gencar di serukan pada tahun 2000. Dan sekarang, dua belas tahun sudah berlalu, modernisme terus mengembangkan tangan-tangan tak terlihatnya (invisible hand) untuk menggelitik semua sendi kehidupan. Akibatnya, beberapa negara dilumpuhkan dan tidak bisa mengatur perekonomiannya sendiri. Seperti Indonesia, yang bahkan sejak tahun kepemimpinan Soeharto sudah mulai kebingungan mengatur multinational corporation yang mengeduk untung dari kebodohan kebanyakan rakyat Indonesia –untuk lebih tragisnya, baca pengakuan bandit ekonomi “John Perkin” ketika menyulap utang Indonesia menjadi sangat mengerikan.

Modernisme, atas nama modernisme, semua usaha yang bernada ‘menguntungkan’ dilegalkan. Jadi, meskipun kebanyakan ‘orang yang idealis seperti yang saya sebutkan diatas’ tidak membaca politik praktis, mereka sudah bisa merasa asing dengan dunia ini. ini suatu hal yang luar biasa, menunjukkan bahwa seorang dari mereka sangat peka terhadap perubahan-perubahan. Afrizal Malna misalnya, menulis puisi yang cukup membingungkan seperti Sutardji. Saya ingin tertawa ketika membaca karya puisi yang aneh begitu. Saya tidak tahu ada apa dibalik apa, yang saya sangka, pasti mereka sudah habis kesabaran dengan bahasa yang bisu. Akhirnya mereka bereksplorasi dan menemukan kehidupan baru –setidaknya mereka hijrah dari dunia yang bobrok dan tidak mereka kenal kepada dunia yang aneh tapi mereka mengenalnya. Dengan tidak ada seorangpun yang mengenal dunia itu, maka tidak akan ada intervensi apapun atas dunia yang mereka bangun.

Siapapun akan merasa aman berada di dunia yang mereka kenal. Karena banyak orang juga sudah merasa asing dengan dunia ini, maka berbondong-bondonglah orang melakuka ritual mengheningkan cipta. Mereka membentuk komunitas-komunitas, lalu dengan komunitasnya mereka menciptakan dunia tersendiri yang nyaman bagi mereka. Satu-satunya orang yang tidak tahu menahu akan ‘apa yang terjadi’ dengan dunia ini adalah, para pekerja. Maksud saya, para pekerja di perusahaan yang kehidupannya hanyalah sebatas memproduksi ‘kerja dan waktu’ agar mendapatkan gaji yang layak. Saya tidak berniat mengejek atau menghina, sumpah. Saya hanya ingin mendefinisikan mereka saja berdasarkan prasangka saya. Nyatanya, seorang pekerja hanya memikirkan bagaimaa weekend itu lebih dari segalanya. Mereka tidak akan asing dengan dunia, mereka hanyalah asing dengan perusahaannya yang ‘mungkin’ dirasakannya tidak berprikemanusiaan. Padahal itu hanya karena gaji/jabatannya tidak dinaikkan.

Jadi, sebagai orang yang sadar akan keasingan dunia ini, seyogyanyalah kita mendaur ulangnya menjadi dunia yang kita kenal. Tidak lagi merasa phobia terhadap hal asing, tapi lebih kepada bagaimana mengenal keasingan itu sendiri. Sayangnya, saya tidak bisa memberikan solusi yang cemerlang. Konsep sederhana yang bisa saya tawarkan hanyalah sebuah kemustahilan.

Jadi, mustahil bahwa kita akan puas terhadap dengan dunia. Mustahil bahwa dunia akan baik-baik saja. Mustahil bahwa tiba-tiba modernisme membawa derajat yang sama antara laki-laki dan wanita tanpa ada produk kapitalis yang menjadi buntut. Satu-satunya orang yang yakin dengan ketidakmustahilan adalah jika ia punya harapan besar untuk di untungkan.

2012-10-20

Sarjana Muda yang Pulang ke Kampung

Kita patut berharap kepada para sarjana yang telah menyelesaikan studinya yang “hebat” tersebut, kemudian kembali ke kampung, dengan harapan ia mampu membangun desanya menjadi desa mandiri yang tidak lagi “menyediakan makanan bagi orang kota yang lalu desa tersebut disia-siakan”. Kita patut berbangga kepada para mahasiswa yang mau kembali ke desa lalu berupaya dengan sekuat tenaga menjadikan pemuda-pemuda desa yang tidak sekolah, sebagai basis kekuatan baru sebuah kebudayaan di desanya.

Sarjana muda, selalu masih memiliki imajinasi yang tinggi terhadap kehidupannya. Harapanya masih sehangat ideologinya, nyalanya begitu terang hingga bisa melenyapkan kegelapan warga desa. Perlu di catat, saya tidak mengharapkan prasangka buruk bahwa orang desa itu ndeso, cacat pemikiran, tidak modern, dan tidak berkebudayaan. Meskipun harapan-harapan mengenai datangnya sarjana muda ke desa akan membawa dampak yang positif, bukan berarti penduduk desa itu negatif. Bahkan, lebih dari itu, tonggak dari bangsa kita adalah penduduk desanya.

Lalu sayang sekali, adanya sarjana muda yang kembali ke desa adalah sebuah masa penting bagi prasangka yang lain. Penduduk desa masih memandang seorang sarjana sebagai “sang maha” sukses, sehingga jika ada mahasiswa yang pekerjaannya menjadi wirausahawan, itu tidak masuk akal. Dalam bayangan masyarakat desa, seorang sarjana (minimal telah mengenyam pendidikan tinggi) itu seharusnya menjadi guru, pegawai, pejabat, ataupun presiden. Tidak ada dalam cerita mereka, seorang sarjana yang pekerjaannya pentas keliling (seperti mahasiswa seniman), jualan, apalagi penjaga toko.

Ini adalah bukti bahwa penduduk desa merupakan masyarakat yang pengetahuannya terpisah dari kenyataan. Butuh waktu lama untuk meyakinkan orang tua sendiri bahwa anaknya yang sarjana akan pulang ke rumah begitu saja. Ia akan mengembangkan keilmuannya di desa, itu juga pemahaman yang susah. Ketika anda memandang hal ini sebagai orang kota, maka anda tidak akan pernah memahaminya. Coba saja ketika anda melakukan Kuliah Kerja Nyata ke penduduk yang benar-benar desa, kita adalah rajanya pengetahuan. Omongan kita seakan omongan tuhan yang harus di gugu dan di tiru.

Sarjana itu seorang yang harus bisa mendpatkan uang hanya dengan duduk. Pokoknya semua hal yang menyenangkan itu bisa disandangkan oleh penduduk desa ke sarjana. Sehingga pada masa awal kita kuliah, orang tua kita mengomongkan kita terus menerus, kesana-kemari menceritakan bahwa anaknya telah kuliah, mereka begitu bangga bahwa anaknya bisa menempuh pendidikan yang mendapatkan status sebagai “Maha”siswa. Padahal jika saja mereka tahu apa yang selalu dikerjakan oleh mahasiswa di bangku kuliah, mereka akan tahu bahwa kuliah bukan jaminan sebuah kesuksesan.

Namun jangan berkecil hati bagi yang kuliah, ini semua adalah langkah awal. Jika memang kuliah (atau sekolah pada umumya) adalah jaminan, kenapa ada mata kuliah kewirausahaan yang mementahkan perkuliahan kita? Dengan alasan softskill, kewirausahaan bukanlah jalan keluar bagi mahasiswa. Jika ingin berwirausaha, keluarlah dari bangku sekolah dan meminjam modal untuk membangun sebuah usaha.

Memang menjadi sarjana muda itu tidak mudah. Menurut orang kota, sarjana muda itu tidak apa-apanya karena masih banyak sarjana yang menganggut. Sedangkan menurut orang desa, sarjana itu merupakan jaminan hidup nyaman, bekerja di kota-kota besar, di ruangan berAC, lalu menerima gaji jutaan tiap bulan. Dua hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi sarjana muda.

Mahasiswa sejatinya bukan fisik. Ini lebih ke mental. Pemikiran mahasiswa itu dicurahkan untuk merubah masyarakat, apapun yang dilakukannya bertujuan untuk orang yang lebih banyak. Sebagai sarjana muda, apapun yang akan dan telah dilakukan, berusahalah menganalisis semua persoalan yang ada di masyarakat. Dengan begitu, kita akan benar-benar menerapkan prinsip dasar kita sebagai mahasiswa. Setelah semua apa yang kita lakukan bisa diterima oleh masyarakat, saatnya kita mengontrol. Kita terus awasi apa yang terjadi di masyarakat, terus mengadakan analisa, dan akhirnya, rubahlah segala hal yang rusak menjadi baik.

2012-10-18

Catatan Lagi


Aku ingin menceritakan tentangmu kepada setiap orang yang mungkin ada disampingku kelak. Tapi itu tidak mungkin, karena menceritakanmu kepadanya akan membuat dia sakit hati karena cemburu. Aku juga ingin menceritakanmu kepada setiap orang yang mungkin menjadi sahabat perempuanku. Tapi itu juga tidak mungkin karena itu akan membuat mereka tidak berguna karena tidak bisa menjadi sepertimu.

Jika aku menceritakanmu kepada mereka seperti yang selalu dibayangkan oleh laki-laki, maka mereka akan cemburu. Bahwa kau cantik dan berbakti, bahwa kau baik dan shalihah, bahwa kau menarik dan puitis, bahwa kaulah lukisan bunga-bunga, bahwa kaulah pahatan berukir, bahwa kaulah maha karya abadi, bahwa kaulah masterpiece keindahan, bahwa kau lah perempuan yang tidak pernah terbayangkan dalam setiap kehidupan laki-laki.

Jika aku menceritakan mengenai hal itu kepada setiap orang yang pernah ada disampingku, maka mereka akan cemburu –sebagaimana cemburunya sikap Aisah kepada Khadijah yang selalu di ceritakan oleh Muhammad kepada setiap istrinya.

Tapi apa yang lebih di rasakan oleh laki-laki selain dari kebaikan perempuan? Tidak ada yang lain. Jikapun cantik adalah abadi, maka kecantikan bagaimanapun akan menimbulkan kebosanan. Jika pemahaman agama adalah suatu tolak ukur kebaikan seseorang, berapa banyak orang yang keseleo karena ahli agama? Namun kau bukanlah dua hal yang selalu ku idamkan itu, karena kau perempuan dan kau baik.

Seseorang yang baik hatinya, bagaimanapun dia berupa, bagaimanapun dia beragama, dia akan membaktikan dirinya untuk orang lain. dan nyata sekali kau tidak memikirkan dirimu sendiri, bahkan ketika detik terakhir masa lajangmu, aku semakin ragu.

Jika aku menceritkanmu kepada setiap orang, mengenai setiap kebaikan yang kau pupuk di dalam hatimu, maka setiap orang akan bersedia menyuntingmu. Jika aku menceritakan kepada setiap orang mengenai kepolosanmu terhadap dunia ini, maka setiap orang akan berlomba mencarimu lalu menjadikanmu benda seni yang abadi.

Namun, aku tahu, aku tahu, ada beberapa hal yang akan membuat orang-orang mati kebosanan ketika menemanimu. Ada beberapa dari kehidupanmu yang tidak diketahui oleh orang-orang yang iri kepadamu. Ada beberapa kemungkinan dari setiap perkataanmu, perbuatanmu, yang tidak mudah ditafsirkan sehingga membuat orang kebingungan setengah mati.

Kau suka mematikan lampu kamarmu, suatu hal yang aku pahami sebagai siksa batin yang pahit. Kau menikmati diam-mu, menjadi hal yang ku pahami sebagai tidak ada pilihan untuk menjadi yang lain. Bagaimana bisa seorang perempuan yang hendak kuceritakan kepada orang lain, dan membuat orang lain iri setengah mati itu, ternyata memiliki kehidupan yang lebih gelap daripada kelam itu sendiri?

Aku merasakannya, aku menangisinya sebagai kenyataan. Ada beberapa kehidupan yang mendungnya tidak pernah berakhir. Kau, berakhirlah segala kepedihan ketika menemukan seorang lelaki yang akan memapahmu menuju langit.

Tapi yang kudapat bukanlah harapanku. Kau mengatakan kepadaku bahwa dia bahkan tidak tahu apa-apa tentangmu. Dia tidak mengenal hatimu? Kenapa kau lakukan ini pada dirimu sendiri, adik kecilku? Aku berharap bahwa dia akan menggenggam tangamu ketika kalian berdiri di stasiun dan terminal yang ramai. Aku berharap dialah yang menyalakan lampu-lampu kamarmu yang gelap, lalu menceritakanmu mengenai pagi. Aku sungguh-sungguh berharap bahwa dialah masa depan, yang membawamu mengitari lautan lalu berakhir di sebuah masjid di India.

Aku berharap dialah orang yang akan menumbuhkan bunga-bunga keabadian dihatimu, lalu memelukmu sepanjang hidupnya, menjadi orang yang tidak pernah melepasmu meskipun sedetik. Menjadi orang yang memberimu kebebasan dan kepercayaan, memberimu kekuatan dan kelembutan, memberimu doa dan pengertian, serta memberimu anak-anak kecil yang kelak kau sebut mereka sebagai lambang kasih sayang Allah.

Inilah harapan seorang sahabat kepada sahabatnya, harapan seorang kakak kepada adiknya, harapan seorang kekasih kepada kekasihnya, sehingga tidak ada yang lain dari harapan itu kecuali ridlo dari Allah. Ini adalah doaku.

2012-10-16

Filosofi Diam


Kita berjalan di atas catwalk bersama-sama sambil memainkan peran masing-masing, lalu kita menyebutnya hidup. Seseorang terlihat bahagia, seseorag terlihat sedih, dan seseorang terlihat cuek dengan hidupnya. Namun sejatinya mereka semua adalah “terlihat”, bagaimana kejadian yang sebenarnya hanyalah dia, sahabatnya, dan Allah yang tahu. Kita bahkan lebih sering memberikan kesan bahagia kepada orang lain dari pada kesan bahagia terhadap diri kita sendiri. Ini adalah kebutuhan manusia untuk diaggap sukses, yang kemudian mereka berharap dengan anggapan itu, mereka akan lebih di hormati, diperhatikan, dan ditaati. Semua itu merupakan upaya untuk menyembunyikan diri dari orang lain, dan tidak jarang, kita juga mencoba menyembunyika diri kita dari diri sendiri, upaya ini disebut sebagai diam.

Teman saya –biasa saya panggil Ny Robinson- adalah salah orang yang saya hormati. Dia memiliki kehidupannya sendiri dan seringkali membuatku tercekik, tersenyum, bersedih, bahagia, dan juga merasa aneh (lebih sering yang terakhir). Kita bisa menyebutnya orang yang aneh (a weird person). Salah satu keanehannya yang paling akut adalah diam. Ia suka berdiam diri seakan itu adalah segalanya. Ia mencintai ke-diam-annya. Ia lebih banyak diam dari pada semua yang pernah ia lakukan terhadap hidu itu sendiri. Pada suatu ketika, aku ngobrol dengannya lalu bertanya :

“Lagi apa?”
“Lagi diam”
“Berarti tidak ada kerjaan? Kenapa tidak sms aku?”
“Kalau aku sms kamu, berarti saya tidak ingin diam”
“Apa sih enaknya diam?”
“Nggak ada, nggak enak. Tapi aku nggak tahu untuk tidak menjadi diam”
15.10.2012 16:43

Yang mengerikan adalah bahwa dia tidak bisa memilih yang lain kecuali diam. Mari kita yakiini dahulu bahwa kegiatan diam ini tidak hanya dialami oleh teman saya tersebut. Bahkan diri saya sendiri yang ketika melakukan perjalanan di hidup ini sering kali bertanya, sering kali merasa, sering kali terkejut, lalu saya berdiam diri untuk menikmati semua itu. Begitu juga anda bukan? Kadang kala kita diam sambil membaca sebuah puisi, lalu kita menangis. Kadang kita diam sambil merenung, lalu timbullah semangat dalam diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Kadang kala kita diam, dan hanya diam, lalu tiba-tiba menangis tanpa tahu sebabnya.

Diam tersebut merupakan usaha untuk membohongi diri sendiri. Kita tahu banyak kejadian yang tidak sesuai keinginan namun kita tidak bisa melakukan apa-apa. Ada orang yang kita cintai tapi kita tidak sanggup menjadi pantas untuk meminangnya. Ada kesedihan yang dialami orang lain dan kita ingin sekali menolong mereka tapi kita tidak sanggup. Kesemua hal tersebut akan menimbulkan kesedihan, alih-alih membohongi diri sendiri, kita memilih diam. Dengan diam itu kita bisa melakukan segalanya, dan lebih dari cukup untuk sekedar merenungi, memotivasi diri, dan memecahkan persoalan meskipun hanya sebatas pikiran.

Makna diam

Diam adalah sebuah sikap fisik. Dari yang saya bayangkan mengenai teman saya ataupun juga para pertapa, bahwa mereka berdiam hanyalah secara fisik. Jadi jika kita ingin mengatakan bahwa diam itu tidak bergerak dan tidak berfikir, itu jelas salah. Bahkan beberapa orang yang kita katakan pendiam juga sebenarnya berfikir lebih banyak dari kita. Hal ini bisa kita lihat kejiwaan seseorang berdasarkan karakter prikologisnya, namun disini, bolehlah tidak usah kita bahas.

Namun apa yang kita fahami tentang diam selama ini masihlah berkutat pada penghakiman bahwa diam itu tidak membawa manfaat. Kita menganggap dengan berdiam diri, seseorang tidak akan mendapatkan kehangatan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Memang, jika itu dilihat secara fisik, diam membawa mudharat ;tidak adanya komunikasi dengan orang lain dalam waktu tertentu bahkan membuat penyakit psikologis tertentu. Bahkan yang sering kita menyebut mereka sebagai psikopat, atau yang lebih umum adalah orang aneh.

Menjadi diam tidak melulu putus komunikasi. Beberapa orang memang pendiam, namun mereka memiliki dunia yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seperti teman saya diatas, dia berdiam diri di kamarnya, lalu sambil mematikan lampunya dia duduk di pojok ruangan sambil berfikir banyak hal –saking banyaknya sampai dia tidak ingat satupun. Dia memiliki dunianya sendiri.

Memang ketika kita tengah diam, kadang kita merasa ada kenikmatan yang tidak bisa di ungkapkan, sekaligus kesakitan yang sangat. Hal ini hampir sama dengan diam-nya orang yang sedang putus cinta, dia akan jadi pendiam, penyendiri, lalu mulai teringat-ingat kisah cintanya, tentang si dia, tentang harapan dan kebahagiaannya, lalu teringat bagaimana kekasihnya menyakiti hatinya lalu mereka putus. Di balik diam-nya, tersembunyi rasa nikmat yang menghubungkan pikirannya dengan masa lalu, tapi secara bersamaan timbul penyesalan dan rasa sakit yang luar biasa.

Bagaimana dengan ungkapan bahwa diam itu emas? Memang, diam itu emas jika kita mengaturnya dengan baik. Karena dengan sedikit bicara (diam) kita akan banyak mendengar, dengan banyak mendengar kita akan banyak berfikir, dengan banyak berfikir, kita akan semakin bijak. Tapi tidak semua orang memahami bahwa ketika diam itu dikatakan emas, bagaimana kalau bicara baik?

Sudah jelas dalam sabda Nabi Muhammad, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang benar, atau diam”. Maka, jika kita mampu berbicara yang baik, mampu menguasai ilmu kalam sehingga bisa menyadarkan banyak orang, bisa membela agama Allah, maka tentu saja, tidak ada yang lebih tinggi dari pada bicara tentang itu semua. Ketika kita bicara hanya untuk melecehkan diri sendiri, maka kita semestinya diam –atau kita dianggap tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.

Akhirnya, diam itu memiliki berbagai macam versi. Karena diamnya seorang perempuan atau laki-laki kepada pasangannya juga merupakan diam dalam wacana yang berbeda. Begitu juga diamnya orang yang ngambek, diamnya orang bisu, diamnya orang yang sedang marah, diamnya orang pemalu, dan diamnya orang yang tidak punya kepercayaan diri untuk bicara. Banyak hal dalam ke-diam-an. Dan lebih banyak lagi yang tidak kita ketahui mengapa teman saya diatas, menyukai diam.

Saya ada kalimat menarik, baik ini ku ucapkan kepada temanku diatas, dan kepada semua pembaca; “if what you see by the eye doesn’t please you, then close your eyes and see from the heart. Becouse the heart can see beauty and love more then eyes can ever wonder”.
October, 19 2012

2012-10-11

Pare in English


Jika kita membicarakan bahasa inggris, maka kita sebagai orang Indonesia harus mengenal Pare. Sebagai “kampung inggris”, Pare menyajikan berbagai macam cara untuk menguasai bahasa tersebut. Penyebutan “kampung Inggris” ini juga merupakan salah satu hal terunik yang ada di dunia. Karena tidak ada di kota lain, yang berhak menyandang nama kampung bahasa tertentu di dunia. Dengan adanya penyebutan ini, menjadi nyatalah bahwa kebutuhan akan bahasa internasional itu menjadi penting.

Saya tidak di bayar untuk membangga-banggakan pare sebagai kampung inggris. Namun saya terlah mencoba belajar disana, dan bisa saya katakan kalau saya adalah alumni dari kampung tersebut.

Pertama saya survey ke sana, saya terkejut atas sarana/prasarana yang disediakan oleh masing-masing kursusan. Saya membayangkan bahwa kursus bahasa inggris disana sama dengan kursus ditempat lain, dengan asumsi ;gedung yang bagus, kursi berderet-deret, alat multimedia, dan tutor yang berpengalaman dari Amerika atau British. Begitulah awalnya, dan betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa disana adalah kebalikan dari semua bayangan saya tersebut.

Saya kecewa atas pandangan saya sendiri. lihat, saya kecewa kepada pandangan diri saya sendiri terhadap sistem pendidikan. Saya menganggap, semua hal yang berbau modernitas akan membawa dampak yang sangat-sangat positif. Dan itu tidak berpengaruh disini.

Saya menjumpau gubuk-gubuk beratap rumbia. Kelas-kelas diatas karpet yang terbentang. Rumah-rumah warga yang dikontrakkan untuk belajar bersama. Serta tutor-tutor muda dan bersemangat yang berasal dari lulusan sendiri. Dengan hal tersebut, Pare berkembang menjadi sebuah basis kekuatan pembelajaran bahasa inggris yang dominan, bahkan di Asia Tenggara. Menakjubkan bukan?

Saya sempat belajar disana selama dua bulan. Saya memilih tempat (yang saya sebenarnya tidak tahu, tapi ternyata salah satu dari yang) terbaik. Yaitu KRESNA. Berdasarkna informasi yang saya dapat, KRESNA termasuk dari lembaga kursus yang biayanya termurah. Meskipun murah sekali (2 minggu = 35rb, atau langsung seluruh materi ngebut selama dua bulan seperti saya dengan biaya 300.000) namun kualitasnya tidak kalah dengan lembaga kursus yang berbiaya mahal.

Saya telah membandingkannya. Jadi tidak usah ragu. Saya juga tidak di bayar oleh KRESNA untuk membahas kebaikan lembaga tersebut, namun apa saya kalau saya puas dan kemudian menuliskannya disini? Datanglah ke Pare dan carilah lembaga yang bisa memuaskan anda.

Disana anda bisa belajar khusus Grammar, khusus Speaking, Pronounciation, dan lain-lain dah, banyak sekali. Jangan lupa, pelarajan dimulai setiap tanggal 10 dan 25, jadi datanglah sebelum tanggal itu untuk mendaftarkan diri dan mencari kos atau camp.

Media Massa dan Opini Publik

“Anda sedang memasuki Abad Informasi, dan inilah satu-satunya jalan yang akan merubah hidup anda sepanjang masa. Mulailah hari ini, bergerak dan ikuti arah hidup anda yang paling benar dengan Tiensi International”

Di atas adalah iklan yang sangat memukau. Bagaimana sebuah produk multilever marketing dijadikan standar kebenaran untuk sebuah kemajuan di abad informasi ini. Tidaklah salah mereka menggunakan klaim seperti itu, tidak ada yang salah dan benar dalam media. Semuanya bisa di manipulasi dengan menciptakan realitas-realitas yang sama sekali terputus dengan realitas sebenarnya, istilah yang tepat adalah skizofernia. Berkali-kali kita mendengar bahwa ini adalah abad media, atau abad informasi. Media menjadi hal yang sangat penting sehingga kemudian muncul ungkapan siapa yang menguasai media maka dia adalah pemenang, apapun, politik, bisnis, bahkan untuk penggalangan dana sosial. Media menyediakan informasi yang tiada habisnya untuk dkonsumsi, media menjadi pengatur kehidupan, setiap pakaian kita, setiap langkah kita, bahkan kita tidak tahu bahwa apa yang didepan kita adalah semua yang telah ditayangkan oleh media.

Semua kalangan masyarakat kini bisa dijamah oleh media massa, mulai radio, surat kabar lokal, sampai internet memiliki pangsa pasar yang berbeda dan menyeluruh pada lapisan masyarakat. Media massa memiliki kemampuan untuk memberitahukan kepada masyarakat atau khalayak tentang isu-isu tertentu yang dianggap penting. Ketika sebuah peristiwa tidak pernah diberitakan oleh media massa, maka sebesar apapun peristiwa tersebut dan seesensial apapun tidak akan dikenal oleh masyarakat luas, maka itu berarti juga tidak akan bisa menjadi opini publik.

Tentunya masih ingat teori yang digagas oleh Maxwell Mc Combs dan Donald Shaw tentang Agenda Setting. Sebuah teori yang bila kita cermati, kadang membuat kita sadar diri tentang pengaruh media yang sangat luar biasa ini. Teori agenda setting merupakan salah satu teori tentang proses dampak media atau efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Jadi media massa tidak hanya memiliki kemampuan sekedar memberitahukan/menginformasikan tentang suatu peristiwa, namun juga menekankan suatu peristiwa itu sehingga akan dianggap penting atau tidak oleh masyarakat. Gampang saja, dengan sering memblow up peristiwa tersebut secara massif dan berulang-ulang/redundan maka peristiwa tersebut dengan sendirinya akan dianggap penting oleh khalayak. Lebih jelasnya, teori ini berbunyi “media massa, dengan memperhatikan pada beberapa isu tertentu dan mengabaikan lainnya, akan mempengaruhi opini public. 

Orang cenderung mengetahui tentang hal-hal yang disajikan oleh media massa dan menerima susunan prioritas yang ditetapkan media massa terhadap berbagai isu tersebut”. Saya ulangi, jadi teori ini membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Topik yang lebih banyak mendapat perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan begitu pula sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media massa akan dilupakan oleh khalayak.

Jadi sangat mungkin kita duduk disini dan mempelajari abjad mulai a-z adalah perintah dan pengartian kita dari sebuah pesan media massa. Ketika kita pergi ke toko hendak membeli sabun, maka yang pertama kali keluar gambaran tentang sabun adalah apa yang sering di iklankan oleh televisi. Apakah kita sadar? Bahkan bisa jadi kitalah yang dijalankan oleh sebuah media, bukan kita yang menjalankan media. Ironis.

Istilah lain untuk ini adalah hiperrealitas sebuah media. Secara gamblang Hiperrealitas berarti kecenderungan membesarkan satu fakta dan menyembunyikan fakta yang lain. Media mampu menyembunyikan realitas yang ada dan mengadakan sesuatu yang tidak nyata. Bukan masalah film horor, tapi ketika kemarin kita melihat tayangan langsung disalah satu stasiun televisi pidato Abu Rizal Bakrie dalam rangka Ulang Tahu Parta GOLKAR yang ke-45, yang memberikan pujian dan sekaligus penghargaan Adi Luhur kepada almarhum Soeharto, dan kemudian disusul oleh seluruh stasiun televisi yang menayangkannya, dan media cetak keesokan paginya, tentu ini namanya menghidupkan soeharto yang sudah mati. Sedangkan kita tahu bahw pelik permasalahan Korupsi dan KPK belum selesai. Maka sejenak media mengalihkan perhatian kita tanpa sadar.

Hal lain yang membuat media sebagai raja yang bisa mengoperasikan jalannya opini publik adalah kemampuannya untuk menyedot perhatian rakyat kecil (grass root) agar seolah-olah ikut merasakan, ikut merasa penting, dan seolah-olah dilibatkan dalam suatu peristiwa atau kejadian. Disini media tidak hanya mencetak agenda setting masyarakat tapi juga ikut menetapkan penting tidaknya suatu peristiwa, ikut menentukan hal apa yang harus ditonton dan yang tidak harus ditonton oleh masyarakat.

Perihal Cinta - Son


Jika aku adalah kembara angin gunung yang terbang mencari sarangnya, kaulah sarang itu. Kaulah alasan yang tepat untuk pemberhentianku.

Jika aku adalah matahari, kuharap kaulah bunga-bunga yang tiap hari ku sayangi dengan pancaran senyumku. Mencapai tiap kembangnya dengan pemekaran sempurna, seperti adenium kita yang lugu. Jika aku matahari, maka kaulah bumiku sayang, yang menyerap tiap tetes kasihku dan menyimpannya dalam tubuhnya yang damai. Jika aku adalah matahari, kaulah seorang perempuan yang berteduh di dalam kamarnya, menyapaku takut-takut, dan hanya membayangkanku saja dari jauh.

Jika aku adalah hujan, kaulah gadis kecil yang berlarian menghindari tiap tetes air mataku. Kaulah gadis berpayung yang hanya berdiam diri ditengah hujan sambil menyembunyikan tetes air matamu yang bening. Aku menyerapnya ke akar-akarku dan kusimpan dalam dadaku yang luas. Tak sanggup aku melihat air mata menetes dari hati yang lembut. Jika aku adalah hujan, maka kaulah hujan paling deras yang bisa kubayangkan. Jika aku adalah hujan, maka kaulah penikmatku satu-satunya, gadis kecil yang melihatku dari kedalaman matanya.

Jika aku adalah hujan, kaulah gadis kecil yang berlarian menabur-naburkanku seperti bunga-bunga yang kau cintai. Jika aku adalah hujan, kaulah yang setiap saat membuat puisi tentangku dan berharap aku datang disaat hatimu ingin menangis sehingga aku bisa menyimpan isakmu pada dadaku yang dalam.

Kuperhatikan wajahmu, seperti sebuah patung yang dipahat dari batu surga, setetes air dan kecipaknya menimbulkan riak yang putih berkilau seperti matahari. Ketika sore, wajahmu menjadi lebih berpelangi dengan gurat warna samar namun membekas.

Wajahmu, seperti novel yang kubaca di waktu gerimis datang. Menceritakan kota-kota dilangit yang terdiri dari awan dan hujan. Udaranya dingin, mendekapkan tubuhku ke wajahmu, lalu kulihat bidadari berterbangan dari mata ke hidungmu, dari pipi ke bibirmu.

Jika kau adalah hujan, akulah yang akan paling sering memperhatikan setiap tetes tubuhmu. Jika kau adalah hujan, akan kubuatkan istana tentangmu dari serpihan hatiku yang jatuh tercecer. Jika kau adalah hujan, aku akan berdiri dibawahmu merasakan lembut dan kerasnya aliranmu.

Jika kau adalah jari jemari, maka aku adalah tiap sendi yang mengurat menjadi penguatmu. Jika kau adalah jari-jari, kusiapkan ciuman ditiap pagi untuk merenggutmu dari tempat tidur. Kaulah yang bergetar lembut dalam tiap tetes darahku, jika kau jari jemari, ijinkan aku menggenggamnya erat, ijinkan kusimpan jari jemarimu dalam pintu besi hatiku.

Jika kau adalah seorang manusia, jadilah aku nafas dan denyut jantungmu. Menghidupkanmu dari sejak kau bangun dengan jiwa baru, hingga kelelahan meberangus senyum sayumu. Tiap gerakmu adalah tuntunan bagiku, menjadikanmu satu-satunya perempuan yang akan menggapai semua mimpiku.

Kaulah hujanku. Kaulah bungaku. Kaulah bukuku. Kaulah jemariku. Kaulah padang pasirku. Kaulah jemariku. Kaulah jalanku. Untukmulah semua pujianku tertuju.

Ny. Robinson dalam Kenanganku

Hal pertama yang ingin kulakukan ketika kita bertemu adalah memegang tangamu dan mencium setiap jemarimu dengan sepenuh hatiku. Hal seperti inilah yang mungkin selalu ingin disampaikan Kahlil Gibran kepada kekasihnya. Dan aku benar-benar telah jatuh kepada keindahan dari setiap sikapmu, meskipun dalam beberapa hal kita telah sepakat bahwa kau adalah “perempuan yang aneh”.

Ijinkan aku menjadi orang yang mengagumimu. Ijinkan aku menjadi orang yang mabuk dalam gula-gula. Jangan menganggap aku hanya menurutkan sesuatu yang tidak penting. Bagiku, fase ini adalah fase dimana aku menemukan kembali makna hidupku. Aku terlalu lama melakukan perjalanan sendirian, kau tahu rasanya kan? Dan sekarang aku menemukamu, aku benar-benar menjadi berguna karena setiap perjalananku ada yang mendengarkan, ada yang menyukainya, ada yang tak bosan. Menjadi kenyataan bahwa satu hal yang tak bisa kutahan adalah untuk tidak mengirimimu sms.

Aku tahu akan semua kekhawatiranmu, entah ini mengenai ketidakpantasanku atau ketakutanmu sendiri terhadap waktu yang tidak bisa kau halau. Kita pernah membicarakannya dalam sms-sms kita yang pendek, namun aku tidak bisa memejamkan mata sedetikpun sejak kejadian itu. Satu hal yang pasti, aku memiliki rencana panjang terhadapmu, bahwa mimpi kita untuk pergi melihat apa itu pegunungan, lembah, laut, pantai, merasakan angin, berdiam diri bersisian, juga perjalanan-perjalanan yang kita angankan semuanya akan terjadi.

Tersenyumlah kepadaku. Aku tahu bahwa kelemahan perempuan adalah sebuah rayuan. Tapi aku tidak hendak merayumu karena aku benar-benar tidak tahu dari apa hatimu dibuat. Kau tidak sebagaimana perempuan lain yang bisa saja tidak mau lepas dariku karena kata-kataku yang manis membuai. Tapi dirimu berbeda, dan sayangnya kau sama sekali tidak tertarik dengan semua pujianku terhadapmu. Itu menyedihkan sekali bagiku. Terutama karena aku tidak bisa membuktikan apapun bahwa aku serius untuk menjadikanmu bagian terpenting dalam perjalanan hidupku.

Apakah kita masih muda? Tidak, bahkan yang paling aku takutkan adalah waktu yang tiba-tiba memintamu untuk meninggalkanku sementara aku belum menyiapkan diriku sendiri.

Adik, sekarang ceritakanlah kepadaku, kepada orang yang benar-benar menyayangimu, kepada orang yang benar-benar ingin menjadikanmu sebagai perempuan satu-satunya setelah ibunya yang tinggal di sebuah desa terpencil.

Kau pernah mengatakan takut dengan waktu. Kau tidak punya keberanian berjalan disampingku dan lebih memilih dibelakangku, apakah kau bermaksud meninggalkan orang yang tidak punya tujuan lain selain kepadamu? Kau tidak memiliki kekuatan untuk menghalau waktu, apakah maksudnya itu? Hal ini menakutkanku, kau tahu, kau mengibaratkan dirimu seperti permen kapas, aku ingin menangis membaca itu, maka secepatnya kita mengalihkan pembicaraan tentang itu. Tapi sumpah aku tidak bisa tidur memikirkannya.
Lalu mengenai pertanyaanku bahwa bagaimana jika aku tiba-tiba datang ke rumahmu dan melamarmu? Kau menjawab “ku nggak akan kaget, tapi mungkin kau yang akan kaget”. Apakah jawabmu sehingga aku mesti kaget? Tentu saja kau tidak akan mau menerima lamaranku, aku tahu. Tapi paling tidak, aku aka melakukan itu agar aku tidak perlu kecewa suatu hari nanti ketika aku mengingatmu. Bahwa aku telah melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lakukan kepada perempuan lain.
Kau juga pernah mengatakan kalau kau bisa menjadikanku jatuh cinta padamu, maka kau akan loncat-lonact kegirangan seperti anak kecil yang dapat coklat. Tapi yang sebenarnya, apakah kau akan menerimaku jika aku benar-benar mencintaimu? Dan jawabanmu kemarin adalah, No. Tidak? Meski kita tidak pernah tahu cinta itu apa, karena yang kutahu, aku ingin selalu berbicara denganmu, berhubungan denganmu, menanyakan kabarmu, mengirimimu puisi, menuliskan namamu disetiap perjalananku, dan kalau memungkinkan membawamu kepada ibuku dan mengenalkanmu sebagai perempuan paling baik diseluruh dunia.

Kau juga berencana akan bercerita mengenai seseorang yang kau cintai, aku akan dengan senang hati mendengarnya. Kaulah sahabatku, adikku, dan tidak ada yang lebih menggembirakanku kecuali kau mendapatkan apa yang kau inginkan. Ceritakanlah orang yang beruntung itu. J
Aku tahu bahwa saat kita bertemu kita akan kehilangan semua pembicaraan. Maka sekarang semuanya aku tulis. Tapi mungkin tidak semuanya, ini hanyalah sebagian yang pernah kita janjikan. Kau meminta cerita-ceritaku kan? Ya, aku akan menceritakannya.

Berjanjilah bahwa kenyataan aku memiliki perasaan yang aneh kepadamu ini tidak akan merubah bagaimana persahabatan kita. Ingatkan aku, selalu ingatkan aku jika aku melampaui apa yang tidak seharusnya aku lakukan terhadapmu. Misalkan, jika kau tidak suka menerima puisi-puisiku, ingatkan aku. Jika kau tidak suka keinginanku untuk memegang jemarimu, ingatkan aku. Bahkan jika kau tidak suka aku mencintaimu, ingatkan aku. Aku memiliki semua sikap untuk menghalau hatiku sendiri, aku memiliki kemampuan untuk membohongi perasaanku, aku memiliki sifat munafik kepada diriku sendiri. jadi, jangan segan-segan mengingatkanku demi keutuhan persahabatan kita.

aku ingin memberikan penjelasan kepadamu mengenai bagaimana cinta sejati itu. Tidak kutulis disini karena sebaiknya aku langsung menjelaskannya kepadamu. Kau berhak mendapatkan pemahaman itu mengingat kau tidak pernah jatuh cinta J. Dan dengan itu, meskipun kau tidak menikah denganku, kau akan dapat memahami bagaimana calon suamimu akan mencintamu.

apakah kau mengingat tulisan ini?
baca baik-baik, mungkin kau mengenalnya…

Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Keteguhanku runtuh juga atas sebuah keyakinan
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Menuntunku diujung kegelapan menuju tepi yang tanpa batas
yang ia yakini sebagai sebuah keyakinan
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mencoba menuntun kalbuku menuju dunia tanpa batas itu
Mencoba memahami relungku dalam sunyi dan sepi
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Membawaku kesebuah tepian dimana tak pernah kupijakkan langkahku
Bukan karena aku tak mau tapi karena aku terlalu kerdil
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Menawarkanku sejuk semilir angin yang tak pernah kurasa desirnya
Mengakrabkan aku dengan gemericik air
Membiarkanku menari dalam angan
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mengajakku tertawa lepas membahana bersama samanya
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mengajarkanku menutup mata untuk menggapai semua angan
Meninggalkan semua ketakutan disudut keheningan sang malam
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Meninggalkan aku ditepian yang ku takuti
Membiarkanku merasakan sejumput senyuman untuk sebuah kebahagiaan

Semua itu bukan untuknya, tapi untukku
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mencoba membuatku berdiri di atas kerapuhanku, mempercayai keteguhanku
Lirihnya yang selalu ku ingat, kau pasti bisa

Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Memandangku dengan mata berbinar, bukan bibirnya yang menyentuh batinku
Tapi binar matanya yang menembus tiap sudut direlung kalbuku
Mencoba melepaskanku dai tabir-tabir ketidakberdayaan
Meyakinkan aku atas apa yang tidak ku yakini

Hei kau laki-laki
Mengapa kau begitu percaya pada perempuan  ini
Hei kau laki-laki
Mungkin masih tak dapat kupahami keyakinanmu
Tapi aku akan kembali di ujung purnama untuk menanyakan kembali keyakinanmu
Bukan karena kau, bukan juga karena aku
Tapi karena keyakinanku atas sederhanamu, tiap jengkal tuturmu atas kuha

Untuknya, laki-laki yang datang padaku atas nama keyakinan

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi laki-laki itu. Membaca setiap baitnya membuatku yakin bahwa aku tahu mengenai dirimu, tapi kenyataannya, semakin aku membacanya, semakin aku mengenalmu, semakin aku tidak tahu bagaimana sejatinya dirimu. Lihat dari sudut pandangku, bahwa betapa kebingungannya aku.

2012-10-09

Membicarakan Mahasiswa


Ada yang tidak beres di program studi kita. Sungguh. Tanpa saya sadari saya sudah lulus cepat-cepat meninggalkan segala hal yang berbau pendidikan. Meskipun begitu saya melanjutkan membaca beberapa orang, beberapa buku, dan terngiang dalam sejarah kemahasiswaan saya, saya gagal berkuliah.

Kegagalan pertama bersumber dalam diri setiap mahasiswa, yaitu ketidakfahaman menjadi mahasiswa itu sendiri. Secara tidak langsung kitalah yang akan di baca sebagai bangsa yang besar, bukan masyarakat yang pendidikannya cuma SR (Sekolah Rakyat), ataupun pemerintahan yang sarat dengan korupsi. Dua hal yang terakhir adalah momok paling menyakitkan bagi bangunan bangsa Indonesia, dan kita tidak menyadari apa-apa mengenai diri sendiri bahwa kita adalah mahasiswa.
Ketika membaca orang-orang –sebutlah, Einstein, Habermas, Marx, Nietzsche, Barthes, saya bertemu dalam biografi mereka, ada tulisan “tesis kesarjanaannya yang berada di bawah bimbingan Prof… “. Dari sana saya menyimpulkan bahwa sejatinya, tesis (kita menyebutnya sebagai skripsi) sangat-sangat penting sebagai dasar keilmuan mereka. Dan penyebutan pembimbing tesis tersebut juga merupakan sesuatu yang penting.

Kejadian yang saya alami ternyata bukan seperti itu. Proses pembuatan skripsi saya sungguhlah berat, namun tidak seperti yang sekarang saya bayangkan, hampa dan kosong. Bahkan kalau saya menjadi seseorang, saya tidak akan menyebut Tatag Handaka dan Farida Nurul R, sebagai pembimbing dan juga tidak menyebut skripsi saya. Betapa memalukannya jika saya harus menyebut skripsi beserta pembimbing saya namun saya tidak tahu apa-apa tentang teori yang ada dalam skripsi itu.
Ini benar-benar sebuah kesalahan. Untuk itulah kiranya perlu perombakan pemikiran yang besar dalam pengurusan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa.

Mahasiswa yang memilih lulus dengan skripsi harus menyiapkan benar mental rasionalitas dan intuisinya. Memilih permasalahan dan teori yang benar-benar menyentil nuraninya, mengusik pemikirannya, dan lebih dari itu, didalaminya sebagai sesuatu yang sakral. Begitu pula dosen pembimbing yang menjadi tulang punggung kelurusan struktur karya tulis, mereka harus benar-benar faham mengenai keilmuan tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini banyak dosen yang menjadi dosen hanya karena telah lulus magister. Hal ini juga menyakitkan, apalagi mengingat beberapa dosen yang seharusnya tidak patut menjadi pembimbing dan malah menyesatkan mahasiswanya –bahkan sejak memilih judul. Anda tidak asing dengan hal ini bukan?

Maaf kalau tulisan ini tidak runut. Yang saya ingin tekankan disini adalah tentang peran skripsi dan dosen pembimbing dalam meraih keilmuan pertama mahasiswanya. Jikapun pada masa lalu si dosen pembimbing adalah produk gagal dari universitasnya, maka mulai saat membaca tulisan ini dosen tersebut harus jujur dan profesional dalam membimbing.

Mungkin beberapa dosen meluluskan mahasiswanya karena kasihan. Hal ini wajar sebagai mahasiswa, dan bagi saya itu tidak masalah. Saran saya dosen pembimbing mesti tahu kemampuan mahasiswanya tersebut. jika memang mahasiswanya tidak bisa berfikir secara holistik mengenai teori dan permasalahannya, maka kasihanilah dia dan luluskanlah dengan nasehat-nasehat yang relevan. Jika ada mahasiswa yang ideologi dan kemampuan akademisnya tinggi, junjunglah dia hingga melampaui dosen itu sendiri. Kasih motivasi yang serius sehingga dia akan membayangkan masa depannya sebagai masa depan sebuah pencerahan.

Dengan demikian, tidak terjadi perasaan gagal dalam diri lulusan yang tengah mengulas kembali romantisme perkuliahannya. Sebagaimana saya yang merasa bahwa seharusnya saya bisa menyusun skripsi lebih baik sehingga nantinya bisa saya gunakan sebagai dasar keilmuan saya. Namun itu tidak masalah, meskipun dengan bangga saya menyebutkan bahwa “program ilmu komunikasi adalah program studi terbaik bagi orang yang hidupnya semangat, atraktif, ekspresif, kreatif, inovatif, global…” tapi saya tidak mendalaminya sama sekali. Itu karena saya sebenarnya masih belum mengetahui apa itu ilmu komunikasi.

Mulai sekarang, pak dosen, saya mohon, luluskanlah mahasiswa yang sebenarnya. Bukan mahasiswa yang tergesa-gesa kerja, bukan mahasiswa yang gandrung berorganisasi namun pemikirannya nihil, tapi mahasiswa akademis yang menyusun skripsinya dengan sepenuh hati, ahli, dan menjadi dasar keilmuannya suatu saat nanti.

Dan bersama ini, saya berikan saran mengenai bagaimana seorang mahasiswa yang kerjanya berorganisasi, (dalam konteks ilmu komunikasi, kerjaannya cuma menulis jurnalistik –aktif di pers, suka otak atik fotografi, membuat film, ataupun jalan-jalan) agar bisa lulus dan dapat juga dibanggakan dengan kemampuannya.

Membicarakan Ke-Mahasiswa-an

Saya merasa ada yang tidak beres dengan pendidikan yang saya dapatkan. Jujur, ini adalah kelalaian terbesar saya sebagai mahasiswa. Meskipun saya lulus dalam posisi yang menguntungkan –cumlaude dan hanya 7 semester, itu tidak membuat catatan akademis saya gemilang. Ketika melihat ke belakang, betapa kekecewaan yang maha besar menggelantung.

Ini semata-mata sebagai koreksi bagi diri saya sendiri, juga bagi beberapa mahasiswa dan dosen yang menjadi pusat manara intelektual. Sebagai mahasiswa kita mesti sadar bahwa tanggung jawab ini bukan hanya kepada orang tua di rumah –sebagaimana yang sering saya dengan dari mahasiswa-mahasiswi bahwa tujuan mereka adalah membahagiakan orang tua, dan terkesan klise sebab tiap minggu mereka pulang untuk meneguk susu lalu berangkat lagi sebagai mahasiswa yang tidak bersalah.

Tanggung jawab ini adalah tanggung jawab seorang nabi kepada umatnya, seorang kyai kepada santrinya –dan kita bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat umum yang tidak pernah tahu bagaimana universitas itu. Harapan masyarakat ada pada para mahasiswanya. Sebab sebagaimana kita tahu bahwa pemerintahan sebagai struktur (bangunan) dan sistem (cara kerja) nya sudah tidak (pernah) bisa diharapkan lagi. Jika kita kemudian bermanja-manja dan berlindung dibalik KKN dan Bakti Desa sebagai sesuatu yang sudah kita lakukan, maka kita hanya terjerumus kepada prasangka. Apalagi kemudian, yang kita fikirka hanyalah agar nanti setelah kita lulus mendapatkan posisi penting dalam pekerjaan.

Saya-pun bersalah kepada masyarakat saya, juga kepada diri sendiri yang (sering) kumanjakan dengan pura-pura bekerja keras. Saya mengerjakan skripsi lebih dari 400 halaman hanya dalam waktu dua bulan, dan kusadari bahwa itu tidak lagi sebuah karya ilmiah. Seharusnya saya membuat skripsi yang serius meski lebih tipis dan lebih lama, namun dengan kesungguhan membaca daftar pustaka yang terpampang dibagian akhir karya tersebut. Sampai saat ini saya masih sangsi apakah keilmuan saya bisa saya pergunakan untuk membangun masyarakat.

Apakah pemikiran ini terlalu muluk? Saya kira iya, mengingat mahasiswa sekarang hanya bisa menangis karena cinta, tanpa bisa menangis karena kebodohan keilmuannya.

Hal yang harus dibenahi, dan ini wajib –bukan kemungkinan, adalah sistem kelulusan mahasiswa yang berdasarkan pada penggarapan sebuah karya tulis (skripsi). Padahal, dalam hemat saya, skripsi hanyalah sebuah lambang, hanyalah sebuah tanda dari berbagai interpretasi mengenai keabsahan seseorang untuk dapat menyandang gelar kesarjanaannya.

Saya tidak hendak merubah tradisi tersebut, karena tentu saja wilayah ini jauh dalam jangkauan saya pribadi –bukan sebagai akademisi, bukan sebagai praktisi. Hal yang bisa saya tawarkan adalah diadakannya beberapa pilihan untuk bisa dikatakan lulus. Jadi skripsi hanyalah satu dari persyaratan tersebut. kalau dalam wilayah program stdui ilmu komunikasi, ada beberapa tema untuk dijadikan standar kelulusan.

Pertama adalah skripsi itu sendiri, yang berupa kajian teoritis mengenai permasalahan serius dan penting. Ini tidak ada yang berubah, hanya meneruskan tradisi yang sudah ada. kedua adalah dengan membuat film, (ketiga) hasil fotografi, (keempat) kerja jurnalistik, (kelima) public relation, dan lain-lain dengan standar tertentu yang digodod denga cermat.

Dengan begini, seorang mahasiswa yang selamanya aktif di dunia organisasi dan hanya tahu bagaimana cara menjadikan seorang kawannya sebagai presiden mahasiswa tetap bisa berpartisipasi dalam kelulusannya. Misalkan ia tidak harus membuat skripsi tersebut, tapi malah secara lebih praktis menulis langkah-langkah cermat yang harus dilakukan agar seseorang menang dalam pemilihan umum (ini masuk dalam mata kuliah Kampanye Politik, Marketing Politik, Pencitraan dan Iklan Politik, Isu-isu Politik Kontemporer, Teknik Mencari dan Menulis Berita, dan lain-lain).

Atau mahasiswa bisa menjual beberapa produk yang berdasarkan analisinya terhadap mata kuliahnya sendiri (dalam konsentrasi Ilmu Komunikasi Bisnis). Ketika ia mampu merumuskan dasar-dasar harus dikerjakan oleh seorang marketer (atau seorang public relatin) maka ia telah menjadikan teori-teori perkuliahannya sebagai sesuatu yang bisa dibuktikan –bukan hanya sebagai teori belaka yang sering mengganggu jalannya perkuliahan.

Begitu pula seorang mahasiswa yang disibukkan hanya dengan jalan-jalan, membuat film, foto-foto, ini semua bisa dijadikan standar umum kelulusan. Dengan adanya standar tertentu, film, foto, ataupun dokumenter yang dihasilkan oleh mahasiswa bisa diajukan untuk syarat kelulusan. Dengan begini, tidak akan ada lagi hal sia-sia yang dilakukan oleh mahasiswa terkait dengan aktifitasnya selama kuliah.

2012-10-06

Perjalanan

Rabu, 3 Oktober 2012 aku berada di Banten dan tengah mengadakan perjalanan ke Lampung. Sebenarnya aku tidak merencanakan akan menginjakkan kaki ke tanah Sumatera, namun ketika beberapa hari di Banten, keinginan itupun ada.

Mengapa aku mengadakan perjalanan? Pertanyaan itupun tiba-tiba menggelayut seperti gadis manja. Jika itu hanya digunakan untuk bersenang-senang dan bersombong diri, itu bisa juga dikatakan demikian. Karena kadang aku tidak bisa menahan untuk tidak menulis di status tentang perjalanan yang sedang kutempuh. Jika itu semata-mata untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku bisa menjelajahi dunia kecil ini, maka betapa tidak berharganya perjalananku.

Aku hanya bisa mengira-ngira karena sesungguhnya akupun tidak mengerti tujuan yang sebenarnya dari sebuah perjalanan. Jika aku mau berfikir agak jernih, maka aku akan menjawab begini :
Perjalanan yang sepertinya dilakukan oleh fisik seyogyanya dilakukan pula oleh batin kita. Semata-mata kita membutuhkan penyegaran dari hidup yang keras ini. tidak munafik, menjadi hukum alam bahwa tidak ada orang yang seratus persen bahagia di dunia. Pasti ada kalanya kita memiliki pemikiran bahwa kita sedang tidak bahagia, dan alangkah bahagianya orang yang begini dan begitu.

Perjalanan membuat kita tahu bahwa keindahan dunia ini terletak dari bagaimana kita menikmatinya. Kita harus selalu menemukan keindahan dari posisi kita sekarang. Karena betapapun nikmat, banyak uang, serta banyak relasi yang bisa membuat kita seakan-akan akan bahagia selamanya, kita pasti bosan dengan keadaan nyaman tersebut. ini sama dengan tempat wisata yang ada di daerah kita sendiri, bahkan orang dari seberang propinsi datang, kita mah tenang-tenang aja karena bosan dan tidak tertarik.

Jadi, kita mesti menyegarkan kembali otak dan kehidupan kita dengan mengadakan perjalanan. Dan hal yang salah dalam memahami sebuah perjalanan adalah kesan mahal dan jarak jauh. Perjalanan tidak mesti menghabiskan budget maksimum karena akomodasinya yang kelewat batas. Kita bisa melihat daerah sekitar kita sendiri, bagi yang daerahnya perbukitan atau pegunungan, pantai dan laut, hutan dan persawahan, maka beruntunglah. Karena kita seharusnya bisa sekali-kali mengadakan camping dengan anggota keluarga maupun tema-teman sekantor (sepermainan) di akhir pekan. Itu cukup menghibur mengingat kita menghabiskan akhir minggu dengan tidur doang.

Jika kita tidak sanggup melakukan hal yang demikia (padahal gampang saja), kita bisa memilih cara yang lain. Ini terutama bagi penikmat transportasi dan orang yang tidak mabuk kendaraan, melakukan perjalanan sebenarnya. Ibarat Trans Jogja atau Trans Jakarta yang memiliki rute memutari daerahnya. Kita bisa naik kereta (kelas tergantung) dari stasiun A ke stasiun B denga jarak tempuh 4-7 jam, lalu kembali lagi menggunakan bus atau kereta api lagi.

Jalan-jalan seperti ini bukanlah perkara yang sulit namun tidak semua orang bisa merasakannya. Sehingga kebutuhan jalan-jalan sebenarnya adalah kebutuhan semua orang yang kehidupannya monoton. Tinggal bagaimana kita mengeset acara jalan-jalan itu menjadi nol budget, dekat, dan tetap nempel di hati.

Rumah Dunia


Banten menerimaku dengan lapang dada, kotanya begitu tua, orangnya macam orang tempo dulu. Saya agaknya dimanja dengan pelayanannya, teman yang ramah, gunung, rumah dunia, juga benteng ambruk yang eksotis.

Banten, aku seperti tidak ingin pulang. Ini adalah mimpi, perjalanan adalah mimpi, dan kata ‘pulang’  menjadi ragu. Realitas kadang meragukan karena mimpi lebih menggiurkan.

Rumah Dunia. Itulah komunitas yang kali ini kujadikan lahan kunjungan tidak resmi. Dari sekian banyak perjalanan kutempuh, selain akan mati di kawah Bromo dan pendakian maut Arjuno, Rumah Dunia adalah salah satu perjalanan yang paling mengesankan. Karena kunjungan ke rumah dunia bukan semacam perjalanan mencari makna dari alam, lebih dari itu, buku-buku yang sejatinya menggambarkan berbagai cara yang dilakukan oleh manusia dalam upayanya menjadi manusia sejati.

Rumah dunia, sebagaimana yang kita ketahui merupakan komunitas (yang tidak lagi) kecil yang fokus menggarap masyarakat agar memiliki budaya literasi yang tinggi demi masa depan bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam seluruh kegiatannya yang betul-betul murni demi kecerdasan masyarakat –terutama mayarakat sekitar rumah dunia sendiri.

Perpustakaan rumah dunia
Waktu saya kesana, Mas Gong (Pendiri) yang menjadi Ketua Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Indonesia sedang menggarap Sembako Buku ke beberapa TBM yang ada di Jawa Barat selama dua minggu. Otomatis saya tidak bisa menimba ilmu kepada beliau dengan leluasa. Akhirnya lah saya banyak berdiam di perpustakaan rumah dunia yang berjanji mengantarkan saya ke dunia yang benar-benar lain dari dunia yang selama ini saya kenal –itulah sejatinya fungsi perpustakaan. Saya di suguhi oleh ratusan buku yang benar-benar saya dambakan selama hidup saya yang suka mencuri buku ketika masa SD.

Disini saya benar-benar dimanjakan dalam berbagai kesempatan. Saya di suruh makan sendiri di rumah Bu Tias (Tias Tatanka –penulis, istri Mas Gong), bebas mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh rumah dunia, menempati kamar luas dengan kasur busa yang hangat, juga sambutan meriah dari relawan-relawan disana. Saya sepertinya menghadapi orang Banten secara keseluruhan, semoga begitulah Banten akan terlihat selamanya.

Hana dan Saya di perpustakaan Rumah Dunia

perpustaakn rumah dunia

Disini berkumpul beberapa penulis muda bersemangat yang sehari-harinya disibukkan denga seputar buku, menulis, pers, dan kuliah. Pokoknya yang bernuansa belajar. Saking sibuknya, sering saya berputar-putar mencari mereka di rumah dunia dan tak satupun yang kulihat. Saya sendirian, tamu yang sendirian di tempat asing. Walhasil, sayapun akhirnya terbiasa karena bisa seenaknya membuat mie dan kopi/teh untuk menemani pembacaan buku yang saya lakukan.

Dalam sehari saya bisa menghabiskan dua buku setebal 300-500 halaman. Ini bukanlah hal yang mustahil dan bukan pula sesuatu yang luar biasa. Sebelumnya saya pernah mengkhatamkan Musashi dalam waktu 2 hari. Count of Monte Cristo dan Memoar Menggenggam Dunia dalam waktu 1 hari. Mungkin terlihat terlalu cepat, tepi saran saya, ini tidak untuk ditiru. Karena membaca buku (terutama sastra) tidak sama dengan membaca makalah perkuliahan yang isinya tidak terlalu penting.

Namun semua itu kulakukan karena demi melihat buku yang sedemikian banyaknya, namun waktu yang miliki hanya sedikit. Ini 100:1 (seratus buku dibandingkan waktu saya yang hanya satu hari). Jadi kalau saya masih harus menghabiskan buku setebal 500 halaman dalam waktu 1 minggu, maka saya hanya akan membaca satu buku itu selama di rumah dunia. Lihat, betapa saya tidak punya piliha untuk tidak berlaku sombong dengan membaca buku secara serampangan.

Saya menikmati setiap menit disana, baik itu waktu tidur saya maupun waktu saya sibuk membaca buku dengan perut keroncongan. Saya hampir tidak memikirkan bagaimana perut saya bisa terisi, tapi saya memikirkan bagaimana saya bisa menghabiskan buku-buku yang ada lalu pulang dengan kekayaan baru. Tapi itu semua belum cukup. Saya masih harus menyesal karena saya hanya punya waktu satu minggu, dan waktu itu akan datang dua hari lagi. Tapi sekarang, saya tidak memegang buku apapun untuk ku habiskan. Yah, setelah menyesal membaca Pappilon buku yang pertama, saya termangu-mangu ;buku apa lagi yang harus saya baca? karena dari sekian banyak buku ada beberapa yang monumental (tapi saya tidak suka atau saya tidak tahu), dan beberapa hanyalah sampah pasar demi popularitas. Jadi, apa yang akan saya baca jika referensi mengenai buku yang wajib saya baca saya tidak punya?

Banyak rupanya buku yang kelihatannya bagus, banyak di singgung, tapi saya tidak suka. Meskipun ada beberapa yang akhirnya saya baca juga. Akhirnya, sekarang ini, saya harus menengok lagi beberapa buku yang kutinggalkan. Ditemani secangkir kopi yang kubuat dengan sepenuh hati, aku membuka Politik Sastra oleh Saut Situmorang. Dengan ini, sebenarnya saya takut karena kritik itu menyakitkan. Dan sebagai pemula, sering saya mendapati diri ditengah persimpangan beberapa penulis tenar –antara berpihak dan berlepas. Bahwa sastra, begitu pula politik, tengah mengalami suatu pergulatan yang serius.