Ini tentang seorang yang menjalani kehidupan dengan tanpa semangat.
Ataupun, kalau dia semangat itu hanyalah semangat mengutuk keadaan. Saya
agaknya membaca beberapa gejala, juga membaca beberapa tulisan kritikus yang
memastikan gejala ini. Sastrawan-sastrawan idealis, seniman-seniman idealis,
dan jurnalis-jurnalis idealis, sepertinya setengah mati membangun suatu tatanan
yang dia yakini sebagai yang ‘lebih bernilai, lebih bermoral’ dari pada
kehidupan nyata. Ramai-ramai mereka mengheningkan cipta kepada dunia yang fana
ini.
Gejala inilah, yang kalau saya seorang psikolog, akan menggolongkan
mereka sebagai sebuah penyakit. Entah mental
disorder, entah imagination diseorder.
Mungkin saya juga memiliki penyakit agak ke arah sana, tapi saya tidak mau
membicarakan diri saya sendiri. Mereka dahulu, saya belakangan. Itung-itung
cari aman. Lagipula, saya belum bisa mendefinisikan diri sendiri, karena saya
terlanjur terpengaruh oleh mereka untuk menyukai sastra, seni, dan jurnalistik
sekaligus.
Bla bla bla disorder ini, bisa digolongkan sebagai ketakutan yang teramat sangat akan
kehidupan modern. Katanya modernitas mengandung sebuah penyakit akut yang bisa
membuat seseorang menjadi individualistik. Dan itu, saya akui sangat berbahaya
bagi kesehatan. Bahkan, jika mau dibanding-bandingkan, individualisme ini lebih
berbahaya dari pada rokok. Kalau rokok merusak fisik, maka individualistik ini
merusak rohani. Langsung ke pusat kendali jiwa.
Phobia terhadap kehidupan dunia ini memang wajar jika dihadapkan pada
persoalan modernitas yang kompleks. Ada harapan besar di balik modernisasi yang
gencar di serukan pada tahun 2000. Dan sekarang, dua belas tahun sudah berlalu,
modernisme terus mengembangkan tangan-tangan tak terlihatnya (invisible hand) untuk menggelitik semua
sendi kehidupan. Akibatnya, beberapa negara dilumpuhkan dan tidak bisa mengatur
perekonomiannya sendiri. Seperti Indonesia, yang bahkan sejak tahun
kepemimpinan Soeharto sudah mulai kebingungan mengatur multinational corporation yang mengeduk untung dari kebodohan kebanyakan rakyat Indonesia –untuk lebih
tragisnya, baca pengakuan bandit ekonomi “John Perkin” ketika menyulap utang
Indonesia menjadi sangat mengerikan.
Modernisme, atas nama modernisme, semua usaha yang bernada
‘menguntungkan’ dilegalkan. Jadi, meskipun kebanyakan ‘orang yang idealis
seperti yang saya sebutkan diatas’ tidak membaca politik praktis, mereka sudah
bisa merasa asing dengan dunia ini. ini suatu hal yang luar biasa, menunjukkan
bahwa seorang dari mereka sangat peka terhadap perubahan-perubahan. Afrizal
Malna misalnya, menulis puisi yang cukup membingungkan seperti Sutardji. Saya
ingin tertawa ketika membaca karya puisi yang aneh begitu. Saya tidak tahu ada
apa dibalik apa, yang saya sangka, pasti mereka sudah habis kesabaran dengan
bahasa yang bisu. Akhirnya mereka bereksplorasi dan menemukan kehidupan baru
–setidaknya mereka hijrah dari dunia yang bobrok dan tidak mereka kenal kepada
dunia yang aneh tapi mereka mengenalnya. Dengan tidak ada seorangpun yang
mengenal dunia itu, maka tidak akan ada intervensi apapun atas dunia yang
mereka bangun.
Siapapun akan merasa aman berada di dunia yang mereka kenal. Karena
banyak orang juga sudah merasa asing dengan dunia ini, maka
berbondong-bondonglah orang melakuka ritual mengheningkan cipta. Mereka
membentuk komunitas-komunitas, lalu dengan komunitasnya mereka menciptakan
dunia tersendiri yang nyaman bagi mereka. Satu-satunya orang yang tidak tahu
menahu akan ‘apa yang terjadi’ dengan dunia ini adalah, para pekerja. Maksud
saya, para pekerja di perusahaan yang kehidupannya hanyalah sebatas memproduksi
‘kerja dan waktu’ agar mendapatkan gaji yang layak. Saya tidak berniat mengejek
atau menghina, sumpah. Saya hanya ingin mendefinisikan mereka saja berdasarkan
prasangka saya. Nyatanya, seorang pekerja hanya memikirkan bagaimaa weekend itu lebih dari segalanya. Mereka
tidak akan asing dengan dunia, mereka hanyalah asing dengan perusahaannya yang
‘mungkin’ dirasakannya tidak berprikemanusiaan. Padahal itu hanya karena
gaji/jabatannya tidak dinaikkan.
Jadi, sebagai orang yang sadar akan keasingan dunia ini,
seyogyanyalah kita mendaur ulangnya menjadi dunia yang kita kenal. Tidak lagi
merasa phobia terhadap hal asing,
tapi lebih kepada bagaimana mengenal keasingan itu sendiri. Sayangnya, saya
tidak bisa memberikan solusi yang cemerlang. Konsep sederhana yang bisa saya
tawarkan hanyalah sebuah kemustahilan.
Jadi, mustahil bahwa kita akan puas terhadap dengan dunia. Mustahil
bahwa dunia akan baik-baik saja. Mustahil bahwa tiba-tiba modernisme membawa
derajat yang sama antara laki-laki dan wanita tanpa ada produk kapitalis yang
menjadi buntut. Satu-satunya orang
yang yakin dengan ketidakmustahilan adalah jika ia punya harapan besar untuk di
untungkan.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.