Saya merasa ada yang tidak beres
dengan pendidikan yang saya dapatkan. Jujur, ini adalah kelalaian terbesar saya
sebagai mahasiswa. Meskipun saya lulus dalam posisi yang menguntungkan
–cumlaude dan hanya 7 semester, itu tidak membuat catatan akademis saya
gemilang. Ketika melihat ke belakang, betapa kekecewaan yang maha besar
menggelantung.
Ini semata-mata sebagai koreksi
bagi diri saya sendiri, juga bagi beberapa mahasiswa dan dosen yang menjadi
pusat manara intelektual. Sebagai mahasiswa kita mesti sadar bahwa tanggung
jawab ini bukan hanya kepada orang tua di rumah –sebagaimana yang sering saya
dengan dari mahasiswa-mahasiswi bahwa tujuan mereka adalah membahagiakan orang
tua, dan terkesan klise sebab tiap minggu mereka pulang untuk meneguk susu lalu
berangkat lagi sebagai mahasiswa yang tidak bersalah.
Tanggung jawab ini adalah
tanggung jawab seorang nabi kepada umatnya, seorang kyai kepada santrinya –dan
kita bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat umum yang tidak pernah
tahu bagaimana universitas itu. Harapan masyarakat ada pada para mahasiswanya.
Sebab sebagaimana kita tahu bahwa pemerintahan sebagai struktur (bangunan) dan
sistem (cara kerja) nya sudah tidak (pernah) bisa diharapkan lagi. Jika kita
kemudian bermanja-manja dan berlindung dibalik KKN dan Bakti Desa sebagai
sesuatu yang sudah kita lakukan, maka kita hanya terjerumus kepada prasangka.
Apalagi kemudian, yang kita fikirka hanyalah agar nanti setelah kita lulus
mendapatkan posisi penting dalam pekerjaan.
Saya-pun bersalah kepada
masyarakat saya, juga kepada diri sendiri yang (sering) kumanjakan dengan
pura-pura bekerja keras. Saya mengerjakan skripsi lebih dari 400 halaman hanya
dalam waktu dua bulan, dan kusadari bahwa itu tidak lagi sebuah karya ilmiah.
Seharusnya saya membuat skripsi yang serius meski lebih tipis dan lebih lama,
namun dengan kesungguhan membaca daftar pustaka yang terpampang dibagian akhir
karya tersebut. Sampai saat ini saya masih sangsi apakah keilmuan saya bisa
saya pergunakan untuk membangun masyarakat.
Apakah pemikiran ini terlalu
muluk? Saya kira iya, mengingat mahasiswa sekarang hanya bisa menangis karena
cinta, tanpa bisa menangis karena kebodohan keilmuannya.
Hal yang harus dibenahi, dan ini
wajib –bukan kemungkinan, adalah sistem kelulusan mahasiswa yang berdasarkan
pada penggarapan sebuah karya tulis (skripsi). Padahal, dalam hemat saya,
skripsi hanyalah sebuah lambang, hanyalah sebuah tanda dari berbagai
interpretasi mengenai keabsahan seseorang untuk dapat menyandang gelar kesarjanaannya.
Saya tidak hendak merubah tradisi
tersebut, karena tentu saja wilayah ini jauh dalam jangkauan saya pribadi
–bukan sebagai akademisi, bukan sebagai praktisi. Hal yang bisa saya tawarkan
adalah diadakannya beberapa pilihan untuk bisa dikatakan lulus. Jadi skripsi
hanyalah satu dari persyaratan tersebut. kalau dalam wilayah program stdui ilmu
komunikasi, ada beberapa tema untuk dijadikan standar kelulusan.
Pertama adalah skripsi itu sendiri, yang berupa kajian teoritis
mengenai permasalahan serius dan penting. Ini tidak ada yang berubah, hanya
meneruskan tradisi yang sudah ada. kedua adalah dengan membuat film, (ketiga) hasil fotografi, (keempat) kerja jurnalistik, (kelima) public relation, dan lain-lain dengan standar tertentu yang digodod
denga cermat.
Dengan begini, seorang mahasiswa
yang selamanya aktif di dunia organisasi dan hanya tahu bagaimana cara
menjadikan seorang kawannya sebagai presiden mahasiswa tetap bisa
berpartisipasi dalam kelulusannya. Misalkan ia tidak harus membuat skripsi tersebut,
tapi malah secara lebih praktis menulis langkah-langkah cermat yang harus
dilakukan agar seseorang menang dalam pemilihan umum (ini masuk dalam mata
kuliah Kampanye Politik, Marketing Politik, Pencitraan dan Iklan Politik,
Isu-isu Politik Kontemporer, Teknik Mencari dan Menulis Berita, dan lain-lain).
Atau mahasiswa bisa menjual
beberapa produk yang berdasarkan analisinya terhadap mata kuliahnya sendiri
(dalam konsentrasi Ilmu Komunikasi Bisnis). Ketika ia mampu merumuskan
dasar-dasar harus dikerjakan oleh seorang marketer (atau seorang public relatin) maka ia telah menjadikan
teori-teori perkuliahannya sebagai sesuatu yang bisa dibuktikan –bukan hanya
sebagai teori belaka yang sering mengganggu jalannya perkuliahan.
Begitu pula seorang mahasiswa yang
disibukkan hanya dengan jalan-jalan, membuat film, foto-foto, ini semua bisa
dijadikan standar umum kelulusan. Dengan adanya standar tertentu, film, foto,
ataupun dokumenter yang dihasilkan oleh mahasiswa bisa diajukan untuk syarat
kelulusan. Dengan begini, tidak akan ada lagi hal sia-sia yang dilakukan oleh
mahasiswa terkait dengan aktifitasnya selama kuliah.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.