2012-05-08

Ideologi Akuarium

Aku melihat berbagai wajah dalam memandang kehidupan. Berkeliling sebentar mengunjungi beberapa orang malah membuat wajah-wajah ini menjadi jelas. Orang-orang bertumpukan tidak lagi menjadi manusia, semata-mata massa yang berkerumun. Tidak seperti lebah, semut, ataupun gerombolan ikan dan burung yang sangat berarti, namun orang-orang ini tidak hendak menjadi sesuatu. Marilah menyebutnya orang-orang akuarium.

Orang-orang dalam sejarahku termasuk dibutakan oleh segala hal. Tidak lagi harta, tahta, wanita, namun lebih kompleks lagi. Kekuasaan sekarang tidak lagi berbentuk fisik seperti presiden ataupun raja, tapi lebih kepada kekuasaan mental seperti yang telah dilakukan media massa jauh-jauh hari. Hal ini pada selanjutnya membuat kaum skinhead semakin meraja lela, sedangkan kaum beragama mulai terbagi-bagi. Cita-cita sebagian besar pemuda juga pada akhirnya berubah drastis, dari optimis positif menjadi optimis relatif.

Beberapa telivisi yang sekarang telah beranak pinak menjadi lebih dari 10 channel menyajikan berbagai macam peristiwa. Disana ada realitas yang hendak dibangun. Dengan segala niat, baik itu murni kapitalisme atau untuk merubah ideologi suatu bangsa, media massa telah sukses menjadikan kebodohan massal sebagai ideologi baru. Sebutlah acara-acara musik yang menghadirkan orang secara membeludak dari seluruh penjuru Indonesia, dahsyat, hip-hip hura, inbox, ringtone, dan lain sebagainya. Mereka menyedot perhatian banyak pemuda (terutama pelajar) untuk berpartisipasi dalam acara mereka.

Mereka digerakkan oleh keinginan yang tidak bisa mereka deteksi. Keinginan ini seperti sebuah inspirasi yang hadir secara tiba-tiba tanpa bisa diminta, dikendalikan, ataupun di tolak. Hal ini benar-benar menjadikan diri mereka menjadi robot yang dikendalikan oleh sesuatu (bisa media massa, bisa identitas komunal, bahkan bayangan-bayangan tanpa bentuk). Mungkin mereka ketika ditanya mengenai tujuan menghadiri/mengikuti apa yang mereka suka, mereka hanya menjawab bahwa mereka “suka”. Hanya itu saja. Bahkan jawaban-jawaban yang terlontar cenderung tanpa kontrol yang jelas, tanpa arti dan penjelasan. Di sinilah kita berdiri sekarang, dengan ikhlas.

Menolak Unconsiusness
Kita mesti menolak ideologi-ideologi yang menggerakkan ini, dalam arti bahwa kita mesti selalu memperbarui pengetahuan yang global. Jika kita hendak membuat sebuah website lalu menulis dengan penuh semangat, tanyakan kepada diri anda “apa yang sebenarnya anda inginkan?” bahka jika jawabannya sangat manusiawi, seperti untuk eksistensi diri, agar di puji orang lain, agar menjadi hebat, agar dilirik penerbit mainstream, itu tidak menjadi masalah. Jika di jawab seperti itu, paling tidak kita akan selalu menjaga kesadaran bahwa kita memiliki tujuan-tujuan –kemudian barulah kita tinjau tujuan kita dari ideologi masing-masing, sudah benarkah?

Kita harus membongkar ideologi akuarium, maksud saya suatu keadaan yang kita tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan secara sadar, sehingga masuk kepada ketidaksadaran dan kita menganggapnya biasa saja. Kita sadar ataupun tidak, tidak ada bedanya. Sebagaimana ikan-ikan di akuarium yang kesulitan menyadari bahwa ia sedang dalam pengawasan, sedang tidak bisa kemana-mana.  Di dunia ini, kita mesti selalu bertanya kepada diri, apa yang telah, sedang, dan akan kita lakukan. Bahkan sebuah rutinitas.

Dan rutinitas ini, dalam pandangan saya menjadi momok menakutkan bagi alam bawah sadar pelaku. Bagaimana tidak, kita melakukan hal yang sama setiap hari, dijam yang sama, tenpat yang sama, juga perasaan yang sama (nyaris tanpa perasaan). Ini seperti yang disebut alienasi, sebuah kejadian pengasingan diri sendiri terhadap perilakunya sehari-hari. Bayangkan, mengerikan bukan?

Maka, memutuskan gelombang ketidaksadaran massal adalah tugas berat yang menanti pemuda-pemuda indonesia, terutama mahasiswanya. Sebagai pemegang kendali ideologi, kita harus sama-sama memikirkan bahwa ideologi akuarium ini tengah membentuk akrakter bangsa Indonesia ke depan. Selanjutnya, kita akan bisa mengetahui keadaan Negara Indonesia 10-100 tahun ke depan. Semoga kita akan segera sadar.

2012-05-07

Keluarga Pembentuk Karakter Anak


Keluarga adalah item terkecil dari sebuah bangsa. Meskipun demikian tidak berarti peran keluarga juga menjadi kecil. Keluarga benar-benar menjadi cikal bakal lahirnya insan indonesia yang selanjutnya akan membawa negara dan bangsa indonesia menjadi bangsa unggul di mata dunia. Hal ini tidak bisa di pungkiri karena keluarga adalah satu-satunya lembaga pendidikan non formal yang pertama-tama di kenal oleh seorang manusia.

Saat lahir di dunia, kita berada dalam kondisi buta. Tidak tahu apa-apa mengenai apa yang harus dilakukan di dunia ini. Tuhan tidak memberi kita pemahaman sejak bayi agar kita bisa dibentuk oleh Ayah dan Ibu berdasarkan model pembelajaran yang berlaku. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya pendidikan sejak dini di keluarga.

Indonesia yang telah 61 tahun merdeka masih dianggap belum merdeka secara ekonomi, budaya, dan juga pendidikan. Banyak kajian yang menyatakan bahwa kita masih di jajah oleh budaya asing yang masuk secara diam-diam namun akurat melalui media massa. Tidak ada yang tahu bahwa kita juga terperangkap dalam peta konspirasi negara-negara adidaya yang menjadikan negara dunia ke tiga seperti Indonesia sebagai sasaran empuk. Contoh yang sangat jelas adalah tentang “kelatahan sosial” yang menjamur di pemuda kita. Budaya korea (K-pop) diserap begitu saja tanpa penyaringan yang ketat, budaya komik jepang yang mempengaruhi cara bermain anak-anak, juga model-model pacaran yang mencerminkan amerikanisasi. Kita harus tahu bahwa kita tengah di jajah.

Keadaan yang suram ini seharusnya kita putuskan sekarang juga. Melalui pendidikan, kita siapkan generasi selanjutnya menjadi generasi yang tangguh. Ini tidak bisa menunggu terlalu lama. Pertanyaannya, bagaimanakah cara yang efektif untuk memutus mata rantai kebodohan ini? Jawabnya adalah keluarga. Ya, keluarga berperan besar dalam menciptakan anak-anak bangsa yang berdaya saing. Dari sini, keluarga harus faham bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar. Terutama dalam membentuk karakter anak-anak berdasarkan karakter bangsa Indonesia yang santun, jujur, dan gotong royong.

Keluarga juga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal anak. Ketika terjadi interaksi antar anggota keluarga, seorang anak akan tahu bahwa dia tidak hidup sendiri. Komunikasi yang terjadi juga menjadikan seorang anak belajar untuk berinteraksi secara penuh, di hargai, dan penuh harap. Semakin dewasa, seorang anak akan belajar lebih banyak lagi. Tentang tolong-menolong yang belajar dari proses kakak adik, kasih sayang, tanggung jawab, kesetiaan, juga pentingnya kerja keras. Kesimpulannya, dari keluargalah seorang anak akan belajar mengenai dasar-dasar karakter sebuah bangsa. Jika demikian, maka seorang anak akan benar-benar menjadi pondasi yang kuat dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Membincang Komunikasi 1

Dunia semakin lama semakin semakin sunyi. Rasa-rasanya manusia semakin gagap berinteraksi dalam dunia riil. Ilmu komunikasi yang dipelajari di perkuliahan hanyalah teori dengan kajian-kajian yang menitikberatkan pada koneksi antarpesan. Ia seperti memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Siapa mengucapkan apa kepada siapa dengan media apa dan bagaimana responnya. Kalimat milik Lasswel itu begitu terkenalnya di dunia komunikasi hingga seluruh mahasiswa mampu hafalnya dengan baik. Apa itu yang dinamakan komunikasi efektif? Tentu tidak selalu, bahkan komunikasi efektif itu hanyalah isu ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai jasa entrepreneur. Dimana-mana sekarang ada pakar ilmu komunikasi yang memberikan seminar cara berkomunikasi yang efektif. Jelas-jelas itu proyek bisnis dari para entrepreneur ilmu komunikasi muda.

Kegagapan cara berkomunikasi ini memang fatal. Tidak ada satu teoripun yang dengan jelas menggambarkan bagaimana cara berfikir komunikasi yang berlandaskan pada psikologis manusia itu sendiri. Jika ada psikologi komunikasi, maka saya sangsi apakah itu benar-benar ilmu yang mempelajari cara berkomunikasi yang berdasarkan psikologis komunikan. Karena selama satu semester, saya hanya menjadi bulan-bulanan teori psikologi dan teori belajar yang murni diajarkan untuk mahasiswa prodi psikologi. Ia seperti pengantar, tidak kepada ilmu komunikasi, tapi lebih kepada psikologi. Sehingga, saya agaknya bisa berdebat dengan mahasiswa semester lima di prodi psikologi UIN Maliki ketika saya masih semester dua, dan saya memang telah melakukannya dengan hasil “tidak memalukan”.

Saya mengangankan ada teori komunikasi aktual yang menggabungkan sistem berfikir manusia sebagaimana yang dipelajari di dunia Neuro Learning Program. Disana dibahas cara berfikir manusia yang general hingga spesifik, dari otak kanan, otak kiri, hingga aktivasi otak tengah. Inilah yang dicontohkan oleh para pesulap dan hipnotist yang kerap hadir di televisi sekitar tahun 2010-2011. Mereka mampu menyihir penonton dengan perkataan-perkataan yang berbasis pada neuropsikologi manusia. Cara komunikasi mereka benar-benar tertata, mereka tahu mana yang harus diucapkan, mana yang harus diberi penekanan, dan anggota tubuh mana yang harus digerak-gerakkan agar penonton tidak menyadari bahwa keajaiban yang terjadi hanyalah teknik belaka.

Kemudian, jangan sampai kita membandingkan seorang doktor ilmu komunikasi dengan pesulap. Bahkan, jangan sampai kita membandingkannya dengan sales panci yang keliling di desa-desa. Saya yakin bahwa doktor itu akan melepaskan pangkatnya diam-diam. Kemarin di acara StandUp Commedy, hadir seorang pakar komunikasi UI sekaligus politikus Effendy Ghazali yang membawakan humor 10 menitan tanpa skenario. Saya tertawa geli sepanjang acara, bukan karena yang dibawakannya lucu, bukan, tapi dia memaksakan melucu agar dianggap lucu, jadilah saya menertawakannya. Saya telisik diri sendiri, sebagai orang yang sama bidang kajiannya, saya juga malu. Dia sangat tidak sebanding dengan Raditya Dika si penulis jorok tersebut. Apalagi pada saat yang sama, hadir Sudjiwo Tedjo dengan lawakan ndesonya. Mati rasalah apa yang dibawakan pakar komunikas tersebut.

Saya tidak bisa menjawab dimana letak kesalahan mempelajari ilmu komunikasi. Bahkan sampai saat ini saya yakin bahwa mahasiswa ilmu komunikasi adalah mahasiswa yang paling elit, mulai dari teorinya hingga prakteknya. Ambil contoh teori –teori komunikasi massa, kita mempelajari sebuah kesejatian. Kita diberi tahu apa itu realitas, representasi, dan hyperrealitas. Teori-teori yang diajarkan begitu memukau dunia yang telah dihuni manusia sejak 5 miliar tahun ini. Selain orang komunikasi, tidak ada yang tahu mengenai bujuk rayu periklanan, mengenai konsep kecantikan yang senantiasa berubah, juga mengenai logika berfikir sebuah iklan ketika memasuki otak kita. Saya yakinkah kepada anda, bahwa mempelajari ilmu komunikasi adalah mempelajari kemurnian dunia. Dibalik kebusukan bisnis, politik, sastra, sosial, budaya, bahkan pendidikan, disanalah komunikasi mengembangkan sebuah penyadaran kelas menengah –mahasiswa.

Lalu dibidang praktek komunikasi juga tidak diragukan lagi. Orang-orang yang melihat seorang wartawan dengan bermodalkan kertas lipat dan pulpen akan sedemikian tertarik. Apalagi melihat cewek-cewek cantik serta pemuda-pemuda casual yang berseliweran dilokasi perfilman. Kemudian, orang-orang yang kemana-mana membawa kamera DSLR atau handycam, orang-orang pasti ingin tahu siapa dan apa. Ilmu komunikasi adalah sebuah program studi prestise yang hanya ‘orang beruntung’ saja yang bisa masuk ke dunia itu.

Monumen Nasional Jakarta

Monumen nasional yang menjadi lambang ibu kota jakarta memang tidak begitu ramai dibicarakan. Hingga sekarang, keinginan untuk mengunjungi monumen nasional tidak begitu menggebu sebagaimana keinginan saya melancong ke daerah lain. Ini mungkin juga berarti bahwa jakarta (indonesia) merasa sudah cukup dalam mempromosikan wisata monumen tersebut. Padahal di dalamnya terdapat berbagai macam kebanggaan indonesia, khususnya terdapat museum yang mampu menceritakan sejarah Indonesia. Inilah yang seharusnya di jual dan menjadi nilai tambah, bukan hanya sebagai ikon pariwisata Jakarta, namun juga bernuansa pendidikan nasional.

Meskipun tanpa keinginan yang berarti, saya akhirnya menyempatkan diri mengunjunginya di panas kota Jakarta. Tepat dihari kepulangan saya ke Lamongan, pagi jam 09.00 saya mengunjunginya melewati Pasar Senen yang ramai. Kebetulan saya bisa pinjam sepeda motor dari seorang supir yang baik di wilayah Tampak Siring. Akhirnya meluncurlah sepeda motor saya ke jalanan kota Jakarta. Menggunakan sepeda motor kadang menjadi dua pilihan yang berkebalikan : panasnya luar biasa apalagi ketika Lampu Merah yang mencapai 120 detik, namun menjanjikan perjalanan yang lebih mengesankan mengingat wisata kota jakarta satu-satunya adalah kepadatan dan gedung bertingkatnya.

Bagi orang yang pertama datang, jika tidak menggunakan jasa pemandu wisata, cenderung akan terjebak mencari pintu masuk museum. Disana tidak ada papan petunjuk khusus mengenai tempat masuk pertama, atau tempat pertama untuk memulai wisata Monumen Nasional. Saya pun begitu, hanya karena kebetulan menemukan sebuah papan biru bertuliskan “Pintu Masuk”, entah disebelah mananya monas. Sepeda saya parkir dekat pintu masuk. Hebatnya, saya mencari-cari petugas parkir namun tidak ada. Saya sampai ragu apakah tempat parkir yang saya tempati ini legal atau tidak. Ini juga tidak biasa di negeri Indonesia, melihat dimanapun terdapat tukang parkir yang menarik bayaran, mulai dari restoran, pasar, toko, bahkan di Masjid sekalipun.

Setelah melihat sekeliling dan merasa aman-aman saja, saya mencari-cari papan petunjuk yang lain dimana pintu masuknya. Saya sebagai orang yang baru kesana ingin segera mendatangi badan monas yang tinggi besar. Namun saya masih penasaran dengan tulisan “pintu masuk” tersebut. Akhirnya saya menunggu, lalu kereta warna-warni datang membawa puluhan anak kecil sambil guidenya nyerocos : yah, disamping kiri adik-adik adalah pintu masuk menuju gedung monumen nasional bla…bla…bla (seterusnya saya tidak butuh).

Pintu masuk ini memang terlalu jauh dari monas dan tidak terlihat sama sekali dari jauh. Jelas-jelas pintu ini tidak masuk akal, tulisannya pun kecil. Akhirnya saya masuk, menuruni tangga, dan sampai pada terowongan sepanjang ±200 meter. Disana berkumpul orang-orang yang juga celingukan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Saya melihat-lihat lagi, diseberang ada dua loket tersedia, untuk pelajar (Rp 1.000) dan untuk umum (Rp 2.500). Saya mendatanginya dan membayar Rp 2.500 untuk tiket dewasa. Eh ternyata kurang Rp 500. Lho, jadinya Rp 3.000 dong? Korupsi lagi nih. Meskipun harga “murah sekali”, tetap saja saya tidak enak, masak hal begini saja di korupsi.

Lalu sayapun naik tangga dan sampai dipelataran lagi. Jaraknya sekarang tinggal 50 meter dari Monas. Lalu tiket disobek dan saya masih harus berjalan untuk masuk ke dalam museum melewati relief-relief kerajaan majapahit. Tidak ada yang menarik disini karena udaranya yang panas. Sambil cepat-cepat saya berjalan dan masuk ke ruang bawah tanah lagi. Disini lebih adem karena AC menyala normal. Lumayan. Disana, sepanjang sisi tembok terdapat diorama mengenai sejarah kemerdekaan RI. Lumayan bagus dibandingkan diorama di tempat pariwsata sejarah yang lain karena saya lihat, pada saat itu ada juga petugas kebersihan yang masuk ke dalamnya dan membersihkan patung-patung dan perangkatnya.

Diorama
Ruang Museum yang Berisi Diorama
Diorama Ibu Kartini

Menyenangkan ketika melihat negara ini dirawat dengan baik begitu, andaikan kementrian dan DPR dirawat seperti ini (ngayal). Setelah berkeliling melihat diorama yang bagus-bagus, akhirnya saya naik ke tagga berikutnya. Ternyata disana saya mesti bayar karcis masuk lagi. Jadi yang Rp 2.500 (bayar Rp 3.000) tadi itu hanya tiket museum? Hah, ku kira sudah lengkalp semua sampai ke puncak monas.

Di loket ini saya mesti bayar Rp 7.500 (tanpa korupsi) untuk dewasa, sedangkan untuk pelajar dan anak-anak harus bayar (Rp 2.500). Saya naik ke atas dan kembali ke pelataran yang lebih benar –pelataran monumen nasional yang lebar. Di atas saya lihat sayap monas yang berbentuk miring 750. Dengan keadaan yang keren itu, saya dihadapkan pada antrian yang panjang. Wah, menjengkelkan kalau begini. Padahal sudah jam 11.00 dan saya mesti balik ke Lamongan jam 15.00. Mau tidak mau antrilah saya dari pukul 11.00 hingga pukul 12.00. Lama sekali. Diujungnya ternyata dari tadi saya mengantri untuk naik lift menuju ke tempat paling atas dari Monas.

Tiket Untuk Naik Ke Monumen Nasional
Antrian Mengular

Dari sana, Jakarta terlihat luas dengan gedung-gedung yang megah. Tidak ada yang menyadari bahwa kita tengah ditipu karena Jakarta tidak hanya terdiri dari gedung bertingkat. Bahkan Jakarta memiliki jumlah lingkungan kumuh terluas di indonesia. Saya menjadi ngeri sendiri melihat Jakarta yang mempercepat pembangunan kawasan perumahan yang hanya orang kaya yang bisa menghuninya. Akan kemakah angin berhembus? Didada orang kayakah?

Monumen Nasional, adalah sejarah bangsa Indonesia. Didalamnya, ada kebanggaan dan juga kengerian. Indonesiaku, sembuhlah.


Pemandangan Kota Jakarta dari Atas Monumen Nasional

Bukan Promosi, tapi Jakarta benar-benar panas, jadi membawa minuman dingin adalah ide semerlang


2012-05-05

Mengenang Komunikasi '08


Suatu saat aku akan kembali ke persimpangan itu, bertemu dengan kalian lalu menjabat tangan. Sungguh, impian ini begitu menggebu. Aku sekarang tidak lagi sabar bagaimana aku wisuda lalu pergi berkelana lagi. Istilah berkelana rasanya tidak tepat juga. Ah, bersama orang-orang yang akhirnya begitu menghargaiku rasa-rasanya menyenangkan. Kalian masih ingat ketika masih semester-semester awal? Aku selalu menyangka bahwa aku akan bisa melampaui ini semua sendirian.

Aku melihat sekeliling yang begitu ramai. Kelompok-kelompok mahasiswa begitu menggoda namun terlihat menjijikkan. Bagaimana bisa hidup itu harus didasarkan pada hubungan-hubungan yang terintegrasi dengan segala mood dan kelakuan. Bahkan sekumpulan orang itu mampu menciptakan relasi sesamanya melebihi keluarganya. Itu bukan sekedar komunitas dimana sesama anggotanya terikat dengan hobi yang sama –atau seperti sebuah organisasi yang mengikat anggotanya dengan AD/ART. Itu hanyalah sekelompok orang yang kebetulan dipertemukan oleh keadaan, kemudian mereka memandang bahwa ada berbagai kecocokan.

Lihatlah, aku tidak memiliki apa yang kalian ciptakan itu. Aku lebih merasa bahwa hidupku sendiri mampu kuputuskan dengan pemikiran dan hatiku. Dalam teori komunikasi, aku tidak mempercayai komunikasi kelompok semacam itu. Bahkan, kelompok kalian bukanlah sebuah kelompok sebagaimana yang dibahas dalam komunikasi kelompok. Kalian hanyalah sekumpulan orang yang tiba-tiba bertemu, memiliki komitmen untuk makan bareng, ngopi bareng, pergi kuliah bareng, mengerjakan tugas bareng, merencanakan sesuatu bareng, nyanyi bareng, menyukai hobi temennya yang lain juga bareng.

Aku menyangka bahwa kalian tidaklah percaya diri dengan kehidupan kalian sendiri. Kalian tidak percaya dengan kekuatan kalian sendiri sehingga membutuhkan orang lain yang mampu mempercayai diri kalian. Kalian membutuhkan orang lain untuk menegaskan bahwa kalian ada. Kalian ingat? Itulah teori kebutuha Maslow –eksistensi diri merupakan kebutuhan tertinggi dari manusia.

Sebenarnya aku tidak ingin munafik membicarakan ini. Sepertinya Maslow dalam menciptakan konsep tersebut juga sudah meneliti ribuan orang sehingga kita yang di Indonesiapun kemudian membenarkan teorinya. Begitu pula aku, yang diam-diam sebenarnya sedang mencari celah bagaimana aku akan memasuki komunitas kelas kita lalu menjadi tenar. Awal itu, aku tidak memiliki kesempatan yang baik sebagaimana –mungkin aku perlu menyebutkan beberapa : Mas Shohib, Hasin, Rasyid, Yuliana, dan Defy. Merekalah raja kelas kita, memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan eksistensinya terlebih dahulu.

Orang yang waktu itu terasa terintimidasi adalah Rose Dian. Aku mengenalnya dengan baik sebagaimana aku mengenal Desy. Dua orang yang sebenarnya menjadi incaranku. Jangan salah sangka, aku mengincar orang-orang yang penyendiri, pendiam, dan orang-orang yang terkena penyakit inferioritas. Desy bukan termasuk dalam kategori terkena inferioritas, bahkan dia lebih dewasa dari yang lain sehingga ia bisa tenang menjadi dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan Dian yang benar-benar kehabisan waktu untuk berangkat lebih pagi ketika kuliah. Dia selalu telat dan dengan alasan yang sama “rumah jauh” dan dia secara spesfik menyebut nama kecamatannya “Arosbaya” sehingga dibuat gojlokan oleh teman-teman. Aku masih ingat yang paling banter ketawanya adalah Defy –waktu itu aku belum mengenalnya sebaik sekarang.

Sejak mata kuliah English for Communicatin, pandangan anak komunikasi terhadap Diam mulai berubah. Dian dengan setengah lancar melafalkan bahasa inggrisnya dalam sebuah presentasi. Aku duduk di depan waktu itu sehingga aku tahu persis. Kemudian aku melihat sekeliling dan orang-orang seperti berbisik kagum. Entah pada semester berapa, Dian kemudian memutuskan memakai jilbab dan melepaskan kawat giginya yang mengganggu. Aku tidak ingin mengatakan bahwa cara pandangku beda, tapi seluruh teman komunikasi juga berbeda. dan yang paling terobsesi ku kira adalah orang menertawakannya keras-keras waktu itu, yap betul, dialah Defy. :-peace

Desy menjadi teman pertamaku, dan Dian semakin jauh karena jarang kelihatan di kelas. Desylah yang membelikanku sebuah buku tulis yang seumur-umur tidak pernah terbayang dalam benakku, namanya Binder kan? Begitu asing, dan aku begitu terpukau. Hingga saat itu aku hanya menulis pelajaranku di kertas-kertas folio yang ku staples. Setelah itu, aku memiliki pemikiran bahwa “jika selama satu minggu aku fokus belajar dan merangkum satu mata kuliah, maka dalam waktu delapan minggu aku akan mampu menguasai seluruh mata kuliah”. Memang terlalu bersemangat, terlalu percaya diri, dan terlalu mengentengkan permasalahan. Nyatanya, aku telah merangkum buku Pengantar Ilmu Komunikasi (Kitab Suci Komunikas kata dosen waktu itu) karangan Prof. Deddy Mulyana. Jadi waktu itu, sebelum orang-orang satu kelas mengenal apa itu komunikasi, aku telah mempelajari bagaimana kegagalan teori komunikasi. Aku merasa sudah tahu, meskipun aku juga mengerti bahwa aku harus mengecualikan beberapa orang seperti : Rasyid dan mungkin saja Yuliana

Mas Shohib dan Hasin : aku yakin mereka hanya menggunakan dasar logika dan realitas dalam memahami teori komunikasi selama masa kuliah. Tidak seperti Rasyid yang mampu menghubungkan teori komunikasi plus realitas dengan apik, mencari permasalahannya sekaligus mencoba berbagai macam solusi. Ah, aku belum menemukan orang sebegitu cerdas selain dia. Mengenai Yuliana, akhir semester dua barulah muncul orang seperti apa dia itu. Oya, aku seperti melupakan mengenai Chuswatul Hanifah (Ifa) dan Mawaddah.

Chuswatul Hanifah tidaklah secerdas Yuliana. Mawaddah juga tidak secerdas Ifa. Jadi rating anak komunikasi menurutku adalah :
Berdasarkan kecerdasan :
1.    Rasyid
2.    Yuliana Setia Rahayu
3.    Rose Dian
4.    Sultony Dwi Firmansyah
5.    Chuswatul Hanifah
6.    Ayu Primanda
7.    Mawaddah
8.    Shohib
9.    Hasin
10. Fathul Qorib
Berdasarkan kepandaian
1.    Rasyid
2.    Shohib
3.    Yuliana Setia Rahayu
4.    Hasin
5.    Fathul Qorib
6.    Chuswatul Hanifah
7.    Ayu Primanda
8.    Mawaddah
9.    Sultony Dwi Firmansyah
10. Ahmad Syarifuddin
Berdasarkan Popularitas (Semester 1-3) 
1.    Defy Firman Al Hakim
2.    Yuliana Setia Rahayu
3.    Mariyanti
4.    Ayu Primanda
5.    Rasyid
6.    Mawaddah
7.    Chuswatul Hanifah
8.    Halimatus Sa’diah
9.    Aza (Hanya karena dia cowoknya Mas Citra sebagai Ketua Himakom)
10. Agung Setia Rahayu – Eh kliru, Setia hadi
Berdasarkan kebaikan padaku (ngacau :-p)
1.    Yuliana setia Rahayu (akhir semester 3 – 7)
2.    Mawaddah (akhir semester 3 – 7)
3.    Defy Firman Al Hakim (Semester 5 – 6)
4.    Halimatus Sa’diyah (akhir semester 1 – 4)
5.    Chuswatul Hanifah (akhir semester 1 – 3)
6.    Desy Purwati (Semester 1-2 –masa-masa tersulit dalam kuliahku)

Sekarang waktunya bercerita tentang orang yang paling baik kepadaku, Yuliana. Sebelumnya harus didahului oleh pernyataanku “Aku mengaguminya”. Dan ku kira itu saja, karena menceritakan mengenai seseorang yang kau kagumi lalu pelan pasti meninggalkanmu adalah sesuatu yang menyakitkan bukan?
Ah, aku lelah, sebaiknya ini saja, maafan bagi teman-teman yang tidak terdokumentasikan dalam catatan ini. Terimakasih saja.

Seribu Tawon Lalu


Malam ini ada potongan kejadian yang bertubi-tubi menghujam tubuhku. Ambruk, linglung, dan segala muara air mata datang dengan kenangannya. Akhirnya aku harus mencoba mendamaikan diriku sendiri karena jika tidak aku pasti akan rubuh. Motor-motor berkejaran di jalanan, mataku tajam menyeruput udara yang berhembus di bawanya, aku seperti ingin kembali pada suatu masa yang tidak bertanggal dan bertanda. Hanya ada dua warna di masa itu, hitam dan putih.
Aku melambaikan tanganku dengan gugup untuk menghentikan truk yang hampir menubrukku. Aku berdecit dan truk itu duduk di depanku dengan gemulai, bagai perempuan. Dan ku kira tidak ada hubungan antara truk dan perempuan kecuali dalam pengembaraannya yang dalam, hati mereka jauh tertanam di rumpun kehidupan yang bahkan untuk kekasihnya masih tersembunyi. Truk itu lalu menerobos tubuhku dengan kekuatan penuh, aku tersengat layaknya aku pengganggu sarang tawon. Seketika aku berfikir tentang tawon, gumpalan besar sarangnya ku pegang dengan kegugupan yang sama. Truk itu berubah menjadi sarang tawon sebesar rangkulanku, mereka mendengung di tubuhku yang sekarat. Aku memikirkan taman, aku bukan taman, aku bukan bunga. Dan tawon-tawon itu tak seharusnya memperlakukanku sebagaimana kekasih yang lama tak bertemu, menghisap, mengusap, mendesah, melolong, dan lunglai. Akupun lunglai seperti telah mendapatkan malam pertamaku. Ia, seorang perempuan yang bertubuh kurus, berwajah tegas seperti warna merah, dan tangannya menggenggam erat tanganku dengan keyakinan. Aku memikirkan sesuatu, truk dan tawon? Apa hubungan mereka dengan gadis ini?
Ku beranikan diri untuk bangun dan melihat wajahnya. Ia sebagaimana lampu temaram di bulan januari ketika kulingkari sebuah tanggal merah di kalender. Ia juga seperti warna biru di pucuk pandang angkasa, ia seperti, dan ia hanya seperti karena aku tidak memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Aku merasa nyaman dan damai berbaring di sampingnya. Ada kekuatan pengacau di tubuhnya sehingga otakku menjadi blank, aku hanya merasa bahagia, entah karena wajahnya yang temaram atau karena ia jelmaan truk dan tawon. Lalu tubuhku bergoyang di tiup angin, bau harum disekelilingku membuat mataku hidup. Taman, ya, ada taman disekelilingku. Dan aku menjadi bunga adenium yang berakar seperti tubuh perempuan. Lalu, dimanakah perempuan itu? Perempuan yang kubayangkan memiliki wajah yang temaram dan warna biru di pucuk pandang, dimanakah ia? Kuedarkan pandangan, kulihat bunga mawar dengan durinya di arahkan padaku. Mengapa ia lakukan itu padaku? Matanya setajam durinya, mahkotanya ia susun dengan warna yang norak, namun tawon-tawon itu merebutkannya layaknya jiwa-jiwa yang kosong memperebutkan halusinasi kolam air di padang pasir.
Lalu aku berjalan karena sedetik kemudian aku merasa ingin pergi melihat padang pasir. Dan aku benar-benar melakukannya. Aku bukan adenium lagi dan tidak ada tawon, tidak ada mawar yang melihatku setajam durinya. Kerongkonganku terasa kering. Ah, matahari membakar daun-daunku. Akar-akarku serabut sehingga kesulitan berjalan. Lalu tanganku, aku melihat ke tanganku yang tengah menggenggam sebotol coca cola berwarna biru. Botol itu berwarna biru, dan airnya terasa seperti biru, lalu perempuan itu berenang di dalamnya dengan tubuhnya yang seksi, namun kenapa ia juga biru? Apakah dunianya penuh kebiru-biruan? Tunggu sebentar, pikiranku mengacau, ia tidak berwarna biru, tidak ada warna biru di padang pasir. Kupejamkan mata dan ku berkata pelan “di padang pasir tidak ada warna biru, tidak ada perempuan berenang dengan tubuh biru”.
Ya, ternyata benar. Tidak ada warna biru lagi, juga perempuan itu. Ia sudah tidak berenang dengan warna birunya lagi. Tapi ia tidak ada, tidak ada lagi. Kenapa tidak kutanyakan namanya? Oh, apakah aku menyukainya? Ah, ya ya, tentu tidak. Ia bukan siapa-siapa. Sebaiknya aku memikirkan ke hal-hal lain yang lebih masuk akal. Misalnya tentang good. Bagus kan? Hahaha...pikiranku ternyata tepat, siang terik itu berubah menjadi hijau daun yang rimbun. Pohon sebesar ragkulanku bertebaran seperti thor, dan aku kalah cepat dengannya. Alangkah baiknya bila aku seperti motor, ya, motor, mengapa tidak? Bukankah goodyear itu nama sebuah benda bundar berwarna hitam yang digunakan berlari oleh mobil-mobil Formula 1? Ya, aku kemudian berlari dan berubah bentuk persis seperti film transformer. Aku menjadi mobil pajero sport? Wow, berlari berlari berlari dengan kecepatan penuh sambil tertawa-tawa karena monster-monster pohon itu tertinggal jauh dibelakang. Dari spion kulihat mereka berhenti sambil menarik nafas jauh dan dalam. Daun-daun disekeliling mereka bertebaran seperti bencana alam. Mereka masih menafas jauh dan dalam, pohon-pohon di depan mereka tercerabut dari akarnya dan melayang ke tubuh mereka. Apa-apaan itu? Aku semakin kencang memacu lariku hingga nafasku tinggal sejengkal, aku sama sekali tidak melihat kaca spion karena itu mengerikan. Apapun yang ada dibelakangku berhamburan menuju ke mulut thor yang lebar. Aku tidak ingin seperti itu, aku terus memacu lariku hingga tak kurasakan lagi angin yang menarik-narik bokongku. Aku memelankan tubuh dan melihat spion yang hampir oleng, di kaca, benda-benda masih berterbangan dan semakin parah karena tanah-tanahnya mengelupas. Ah, mengapa ini terjadi? Tidak-tidak, aku ingin biru, aku ingin perempuan itu tetap bertubuh biru dan berbaring disampingku. Aku ingin melihat wajahnya yang temaram seperti matahari seperempat di sore yang cerah.
Lalu aku membuka mataku. Perempuan itu tidak lagi bertubuh biru. Matanya memandangku dengan tajam, senyumnya melumpuhkanku. Aku terpaku dan hanya bisa berbaring dengan kedamaian yang luar biasa. Perempuan itu tetap memandangku sambil tersenyum. Aku ingin menjadi perempuan itu, ia memiliki mata yang indah.
Seketika kudapati pisau-pisau menancap dimukanya yang kuning. Darahnya begitu segar dan melumuri bibirku dengan asin. Mataku menatap matanya, matanya melayang dan mataku seperti bercumbu dengannya dalam waktu yang tidak ada batas, seperti berhenti, seperti selamanya. Aku gelagap, nafasku membiru menyusun rangkaian mutiara heksagonal dalam bion-bion air yang terbawa udara menuju matanya –indah sekali. Aku ingin memiliki matanya, biar kupasangkan di bagian mataku yang jelek. Juga hidungnya yang mencung akan kupasangkan dengan hidungku agar mereka kawin dan beranak yang manis. Sayang, biru matamu menelanku kini. Tak kudapati truk dan tawon memperebutkan diriku, juga dirimu yang serupa asap membumbung.
Kita hilang dalam persamaan kuadrat antara ruang dan waktu yang absurd. Kita berdiam dalam jarak dan merenungi bagaimana pertemuan dan perpisahan. Kita kembai menjadi jiwa-jiwa, api yang membakar, menjadi jilat, menjadi ricik...
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintamu harus menjadi aku.
Maka aku kembali pada jalan yang menjadikanmu seperti temaram dan laut biru. Biarlah kau berenang dalam botol minuman berenergi dan menjadi warna yang membimbingmu dalam hilang. Selamat tinggal.

Biodata Penulis
Fathul Qorib, lahir di Lamongan pada 20 Januari 1989. Menulis esai, cerpen, puisi, dan beberapa naskah pementasan. Ketua Forum Lingkar Pena Bangkalan 2011-2012, Ketua Studi Bahasa dan Sastra Univ Trunojoyo Madura 2010. Email : qorib.indonesia@gmail.com

Perempuan dijantung Abad


Sekarang, wanita sudah tidak perlu merasa resah lagi. Semua orang ramai-ramai menempatkan perempuan sebagai ikon perubahan. Meskipun kita semua tahu bahwa budaya/sistem patriarki tidak akan pernah bisa hilang di Indonesia. Perempuan, dijadikan mulia dan tokoh luar biasa yang sangat berbeda dengan laki-laki. Dalam posisi yang sama, tidak ada pahlawan kemerdekaan Indonesia yang mengalahkan popularitas Kartini. Laki-laki yang memerdekakan indonesia melalui berbagai cara: fisik (perang) dan non fisik (perundingan, penulisan, pendidikan) tetap tidak ada yang seterkenal Kartini yang hanya memperjuangkan pendiidkan (kesetaraan perempuan dalam hal pendidikan).

Kartini djadikan tonggak sejarah perjuangan perempuan dalam membebaskan dirinya. Sekarang, sisa-sisa perjuangan itu kemudian diteruskan dengan lebih luar biasa lagi. Berbagai penghargaan kepada perempuan-perempuan yang memiliki semangat perubahan pun diadakan. Seminar, pelatihan perempuan (entrepreneur, pendidikan, training, pengabdian), dan berbagai acara diselenggarakan atas nama perempuan. Yang ironis, acara seperti itu bukan tidak berarti apa-apa, malah seakan-akan perempuan melakukan reformasi/revolusi demi membebaskan dirinya dari cengkeraman laki-laki.

Di dunia ini tidak ada istilah man first, selalu saja ladies first. Dalam acara seminar umum pun kerap saya temui pembicara yang ketika membuka pertanyaan mengatakan : yang perempuan mungkin?

Perjalanan saya dari Jakarta – Surabaya suatu hari, menemukan sebuah kereta api bertuliskan “Kereta Khusus Perempuan”. Ini menambah daftar fasilitas yang khusus disediakan untuk perempuan (termasuk ASI room –ruang untuk menyusui). Memang ada anggapan bahwa perempuan tidak aman naik angkutan umum sendirian sehingga perlu adanya angkutan massal khusus perempuan. Ini menambah beban lelaki yang selalu dituding terhadap segala kejahatan yang menimpa perempuan. Laki-laki menjadi selalu salah. Memang ini harus dibicarakan karena perempuan punya alasan yang jelas terhadap tudingan itu. Yang perlu saya yakinkan, tidak semua laki-laki bersalah kepada perempuan.

Feminisme
Sebagai lulusan Komunikasi, saya patut berharap bahwa perempuan yang bergerak untuk membebeaskan perempuan dari berbagai hal yang tidak disukainya, tidak terjebak ke dalam ideologi feminisme yang kerap berakhir anarkis. Anarkis dalam pemikiran, anarkis dalam menganggap bahwa perempuan membutuhkan segala hal mengenai kebebasan. Pemikiran-pemikiran kaum feminis kadang terlampau jauh dalam menanggapi realitas yang terjadi. Ini terutama terjadi pada kaum feminism radikal yang rela menjadi lesbian untuk menghukum laki-laki. Ini juga terlihat tidak masuk akal melihat ada dualisme yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan dunia ini :laki-laki dan perempua.

Laki-laki dan perempuan ibarat siang dan malam, kiri dan kanan, serta pancaindera, yang kesemuanya diciptakan untuk saling melengkapi. Untuk itulah, seluruh ras manusia yang mengatakan bahwa kaum perempuan terancam dengan kehadiran kaum laki-laki adalah bullshit. Laki-laki memiliki sifat bawaan yang hanya bisa lengkap jika hanya dipasangkan dengan perempuan (yang juga memiliki sifat bawaannya).

Jari-jemari yang kita miliki membuktikan hal itu. Lihat saja bagaimana sela-sela jari kita diciptakan, ada ruang kosong yang tidak dapat dijangkau dari jari kejari. Ruang kosong iitu ibarat hati yang tidak dapat dibendung untuk mengatakan cinta kepada orang lain, sehingga timbullah pasangan yang kekal menjajal zaman. Jika tidak percaya, cobalah menangkupkan jari-jarimu kepada kekasih yang kau cintai, niscaya iu akan merembet ke hati dan membuat kehidupan lebih bersinar.

Jika perempuan masih saja melingkarkan dirinya ke ideologi feminisme, itu sama dengan menjauhkan diri dari realitas. Perempuan pejuang feminisme yang tanpa didasari oleh realitas sudah tentu akan selalu dikejar-kejar oleh kebohongan yang dibuatnya sendiri. Mereka sengaja merangkai sejarah dimana perempuan pernah dilecehkan, cerita sejarah mulai dari bangsa Arab hingga bangsa Amerika. Dan acara-acara menggugat patriarki yang bekembang di negara-negara Asia juga tidak luput dari kajian mereka.

Sudah saatnya kita menjadi perempuan yang cerdas. Saya yakin, Kartini (jika beliau yang dijadika sebagai rujukan) juga tidak menginginkan kaumnya terjebak ke dalam feminisme karena beliau mendasarkan perjuangannya pada adat-istiadat bangsa Indonesia.

Biodata Penulis
Fathul Qorib, lahir di Lamongan pada 20 Januari 1989. Menulis esai, cerpen, puisi, dan beberapa naskah pementasan. Ketua Forum Lingkar Pena Bangkalan 2011-2012, Ketua Studi Bahasa dan Sastra Univ Trunojoyo Madura 2010. Email : qorib.indonesia@gmail.com

Ketika Cinta Saling Menyalahkan


Sebagaimana malam ini, seringkali saya malah hanya ingin membaca sebuah puisi lalu meresapinya dalam-dalam. Dikarenakan khayalanku begitu jauh dari mencerahkan, karena membaca membuat saya diam mengaduh ;betapa banyak yang difikirkan oleh orang lain untuk menggugah orang lainnya.

Malam ini saya membaca lagi, lagi, dan lagi puisi Sapardi yang brjudul sajak kecil tentang cinta. Saya ingin membicarakan cinta lagi, entah mengapa, cinta benar-benar menjadi universal. Meskipun hati saya sedang dingin menerima cinta, tidak sekalipun saya pungkiri bahwa hidup saya penuh dengan keajaiban cinta. Karya-karya yang tercipta, pada awal-awal kehidupan saya total merupakan hasil dari cinta saya yang besar kepada perempuan. Yah, saya adalah orang umum yang gandrung menjadi penyair dadakan, sebagaimana Chairil (mungkin), atau Pablo Neruda (mungkin).

Ketika kita membicarakan cinta, maka kita akan membicarakan penyerupaan. Sering orang secara tidak sadar mencintai seseorang yang sangat mirip dengan dirinya. Jadi seperti ini : Abdul misalnya, mencintai Bunga (bukan nama sebenarnya) yang ketika bunga melakukan hal-hal yang disukai oleh Abdul, maka Abdul akan berkata “dia benar-benar belahan jiwaku yang hilang”. Atau ketika si cowok ikut sebuah organisasi, sebutlah teater, maka si cewek itu akan diajak (dan si cewek juga ikhlas) untuk menonton dirinya latihan teater, menonton pertunjukan tater, bahkan ada yang sampai pasangannya ikut bermain teater. Inilah yang selama ini di fahami oleh para remaja yang sedang hangat-hangat tahi ayam menerima pacarnya sebagai “someone special” yang rela melakukan segalanya demi cinta. Ini bermakna bahwa, seorang kekasih menginginkan penyerupaan total dari yang dikasihinya.

Jika penyerupaan itu gagal, maka si kekasih dianggap tidaklah mencintainya. Kekasih dihabisi dengan hujan kesalahan dari A sampai Z. Hal seperti ini sering terjadi pada cowok yang mencintai ceweknya mati-matian, sehingga rela menemani les piano, ikut pelajaran tambahan, ikut menemani belanja si cewek yang berjam-jam, ikut nge-gosip, lalu ketika suatu hari si cowok tidak bisa ikut menemani ceweknya, maka cewek akan marah-marah.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai bukan permasalahan sederhana yang mampu di fahami dengan kesamaan-kesamaan semu seperti itu. Memang ada beberapa orang yang bertemu lalu menikah karena satu hobi. Namun mereka tentu tetap mempertahankan segala perbedaan yang menjadikan mereka unik.

Marilah memulai lagi memaknai cinta yang seringkali dengan egois kita mendefinisikannya sesuai denga kebutuhan. Jika kita mencintai kekasih yang ada disamping kita sekarang, janganlah mengharapkannya menjadi seperti apa yang kita mau. Jika sampai demikian, maka kita hanyalah mencintai bayangan kita sendiri. Itulah yang tidak disadari oleh sebagian besar pecinta. Sudah saatnya kita mencintai pribadi-pribadi yang diciptkan oleh Allah dengan sangat unik, sesuai spesifikasinya masing-masing.

Yang perlu diingat adalah, pada setiap orang terdapat sifat baik dan buruk. Memang siapa yang menginginkan sifat buruk menghinggapi kekasih impian kita? Kita mesti merubahnya. Itu memang diperlukan demi kesempurnaan cinta kepada kekasih, bahkan jika itu tidak dirubah, maka suatu saat sifat itu bisa memisahkan mereka yang sedang jatuh cinta. Misalnya cowok yang pakaiannya selalu tidak rapi, mendapatkan cewek yang suka memperhatikan penampilan, ya si cowok harus nurut dalam masalah kostum sehari-hari. Yang pasti, kita mesti bersabar kepada kekasih kita. Saat kita menemukan ‘orang itu’, maka saat itulah waktunya membangun. Perbaiki semua hal yang bisa membuat kekasih kita mandul cintanya.

Bagaimana dengan suatu kebaikan yang tidak disukai oleh kekasih? Misalkan hobi bermain sepak bola? Permasalahan seperti ini harus benar-benar dibicarakan masing-masing. Logikanya adalah, ketika kita mencintai seseorang, maka seyogyanya kita mesti mencintai setiap detik dari kehidupan orang tersebut. Kegiatan yang bernama cinta itu tidak seharusnya dilakukan sepihak, jika memang terjadi demikian, maka biasanya yang mencintai akan merubah kebiasaannya demi sang pujaan hati. Hal demikianlah yang harus di hindari. Namun, dalam hemat saya, mencintai ataupun dicintai, sepihak ataupun tidak, jika hal itu bisa membawa kebaikan bagi diri kita dan si dia, maka capailah cinta itu sebaik-baiknya. Jagalah cinta itu hingga suatu saat si dia akan membuka hatinya dengan pertolongan Allah, asal di jalan yang benar. 

Biodata Penulis
Fathul Qorib, lahir di Lamongan pada 20 Januari 1989. Menulis esai, cerpen, puisi, dan beberapa naskah pementasan. Ketua Forum Lingkar Pena Bangkalan 2011-2012, Ketua Studi Bahasa dan Sastra Univ Trunojoyo Madura 2010. Email : qorib.indonesia@gmail.com

2012-05-01

Ulasan Buku: Requiem Bagi Rocker


(Refleksi Mengenang Murtidjono, 21 April 2012 di Taman Budaya Jawa Tengah)

Konon, puisi ditulis atas nama seribu kata sedih. Karena itu juga, malam tanggal 21 April ini puisi kembali menemani, bahkan menjadi ikon kesedihan dalam mengenang seorang tokoh besar kebudayaan di jawa tengah, Murtidjono. Puisi yang dikuratori oleh seniman kondang Sosiawan Leak ini mewakili sebagian rakyat indonesia, baik yang pernah bertemu semangat dengan Murtidjono, yang mengenal beliau lewat cerita saja, yang mengetahui beliau lewat media sosial, maupun yang sama sekali tidak mengenal beliau. Puisi dirasa mampu mewakili kesedihan dan rasa kehilangan yang demikian besar dari seluruh budayawan yang pernah terlibat sejarah dengan Murtidjono. Kumpulan puisi ini kemudian diberi judul “Requiem Bagi Rocker”.

Disepakati ataupun tidak, puisi memang menjadi salah satu karya besar yang mampu dihasilkan oleh peradaban. Dengan tiga lima bait kalimat ganjil, seluruh tangisan yang pernah dikenal manusia bisa terwakili. Di buku kumpulan puisi “Requiem Bagi Rocker” inilah tangisan diolah, kesedihan dididihkan, serta kenangan gamang didedahkan. Bukan untuk menjadi raungan tanpa akhir, tidak pula untuk mengerang kesakitan serta ketidakterimaan, tapi ini adalah sebuah proses kontemplasi dari perjalanan seseorang yang mengabdikan kehidupannya demi memperjuangkan kehidupan seni dan budaya. Disinilah juga akhirnya timbul bahwa seniman besar selalu berdarah-darah, dalam bahasa yang lain, berbunuh-bunuhan dengan dirinya sendiri.

Murtidjono memang bukan sosok yang bisa disamakan dengan penyair-penyair tua sekelasnya. Dia bukan penulis puisi intens, dia juga bukan penyair masyhur, namun kehadirannya mampu menghidupi nafas kesusastraan Indonesia. Terhitung dalam kumpulan puisi ini ada sekitar 120 penyair yang ikut meramaikan kenangan dalam bentuk puisi dan dua esai yang diletakkan diakhir buku. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa 120 orang tersebut, meskipun ada beberapa yang tidak pernah bersinggungan sama sekali, sedikit banyak ikut terbuka perjalanannya karena hadirnya Murtidjono.

Ini tidak lain karena keahlian Murtidjono dalam memimpin sebuah sistem kekuasaan. Sementara orang-orang berteriak bahwa seniman dan budayawan harus keluar dari kekuasaan dan menjauhi pemegang modal, Murtidjono dengan luar biasa malah memegang tampuk kepemimpinan tertinggi di Jawa tengah, yaitu sebagai Ketua Taman Budaya Jawa Tengah. Beliau menjadikan kekuasaan dan sistem sebagai alat. Ideologinya tetap mengarah dalam penjagaan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan meruwat desa (sawah, kerbau, bajak, petani, gunung, air, gunung, dan tanah) dalam setiap puisi-puisinya.

Dari sini kemudian, dengan sangat bijaksana, Leak membuat posisi Murtidjono sebagai milik publik. Dapat dipahami bahwa seseorang yang telah membesarkan orang-orang dengan semangat keikhlasan, suatu saat akan menjadi orang-orang yang tidak punya rumah kembali. Dalam arti tempat kembali yang lebih luas, bukan hanya rumah dimana keluarga sedang menangis sesenggukan. Akhirnya, Murtidjono telah diterima oleh seluruh perwakilan penyair yang ada di Indonesia ini pada 21 April 2012 serta menjadikan rumah indonesia sebagai rumah kembali beliau.

Meskipun acara ini dikerubuti oleh seniman-seniman kawakan, jangan sampai acara ini diklaim oleh kelompok atau perorangan sebagai temu sastrawan. Ini murni pertemuan untuk sebuah kenangan yang terlampau indah untuk dilupakan, dan terlalu sakit untuk diingat dari sosok Murtidjono. Namun tetap saja pertemuan ini perlu mendapat tempat. Ini adalah moment mengenang pencapaian Solo sebagai ikon kerja kebudayaan. Kehadiran Murtidjono di kota ini merupakan berkah sejarah yang tidak pernah tergantikan oleh apapun dan siapapun, sehingga kedepannya acara peringatan Murtidjono perlu digelar lagi dan lagi. Disamping sebagai perenungan, acara seperti ini diharapkan mampu dicontoh bagi penyair-penyair yang sampai sekarang masih bergelut dengan dunia kebudayaan agar tetap ikhlas menjadikan indonesia sebagai rumah pertama dalam berkarya. Baik itu karya kepenulisan, maupun karya dalam bentuk kerja kebudayaan.

Solo, 2012

Biodata Penulis
Fathul Qorib, lahir di Lamongan pada 20 Januari 1989. Menulis esai, cerpen, puisi, dan beberapa naskah pementasan. Ketua Forum Lingkar Pena Bangkalan 2011-2012, Ketua Studi Bahasa dan Sastra Univ Trunojoyo Madura 2010. Email : qorib.indonesia@gmail.com

Kereta Ekonomi Part 2




Naik kereta api memang tidak ada habisnya untuk diceritakan. Setelah kemarin ada cerita mengenai penjual nasi yang ketakutan karena pengawas gerbong datang, sekarang giliran seorang bayi yang selalu ketakutan melihat orang asing.

Lha di kereta api, semuanya kan orang asing. Jadi malam itu menjadi malam terheboh sepanjang sejarah perkeretaapian. Bayangkan saja, lagi enak-enakan diem, ayem, anak kecil itu meronta pengen keluar kereta. Karuan ibunya bingung minta ampun. Tapi terus terang saja saya tidak tahu ibunya yang mana. Di deretan kursi A11 B11 C11 itu ada empat biji manusia. 2 orang gadis (sepertinya gadis), satu bayi mungil usia 8bulan tapi gede banget, dan seorang ibu-ibu kurus. Kemungkinannya adalah (berdasarkan analisa saya sepanjang perjalanan), 1 gadis itu ibu dari si bayi (tipe ibu muda yang tidak mau menyusui anaknya), 1 gadis lagi temannya, dan ibu-ibu itu adalah nenek dari si bayi.

Mulai dari saya duduk di kursi 12E, bayi itu sudah ngempot susu botolan. Jadi setengah tertidur bayi itu. Suasana ramai sebagaimana kereta ekonomi pada umumnya. Tiba-tiba anak itu membuka matanya lebar sekali. Saya benar-benar tidak tahu, matanya bening lebar melirik ke kiri dan ke kanan. Bayi itu tenang sekali, melihat ke arahku dengan tatapan bulat. Aku merasa bahagia karena bayi itu tertarik padaku,  akupun tersenyum tanpa sepengetahuan ibunya. Lhadalah, tiba-tiba bayi itu menangis keras sekali. Kereta yang berjala cepat dengan suara pekak pun kalah keras dengan tangisannya.

Si Ibu (gadis muda tadi) segera memeriksa susu yang ada di dalam botol tersebut. Tinggal sedikit. Otomatis iapun membuka tas plastik hitam yang berisi susu bubuk khusus bayi dan dituangkan didalam botol tersebut. Kurang cekatan sih anak itu. Si bayi sudah meronta-ronta tidak karuan, ingin keluar, ingin jalan-jalan, ingin makan orang, atau ingin apa tidak ada yang tahu. Orang-orang disekitaran hanya tersenyum meski telinga seperti di surug sama tugu pahlawan. Kencang sekali suara bayi itu, sepertinya punya energi ekstra di pita suara lehernya.

Gadis cantik disebelahnya, yang saya tengarai sebagai teman perjalanan ibunya tersebut lalu mengulurkan tangan yang disambut gembira oleh si bayi. Tidak disangka. Susu bayi di ayunkan ke bibir bayi dan dilahap tanpa berkata-kata. Gadis tersebut kemudian menimbang-nimbang si bayi di gendongannya. Saya yakin kalau gadis mungil itu keberatan dengan bobot bayi yang –mungkin- mencapai 6kg. Ketika gadis itu hendak duduk, tiba-tiba si bayi merengek dan menangis kencang-kencang. Si nenek langsung meroyok bayinya dan menggendongnya dengan tetap mengarahkan botol susu di mulut bayi. Sejenak, suasana terkendali. Nenek itu menggendong bayinya sambil berdiri sambil meniup-niup udara seperti seruling –namun tidak ada suaranya.

Tiba-tiba dari arah belakang, ada tangan lelaki yang mengusap-usap kepala si bayi tanpa sepengetahuan ibu dan neneknya –tapi saya tahu. Kontan, bayi itu melek dan melihat lelaki itu terus menerus sebelum akhirnya nyanyiannya kencang membawai lagu penjual nasi-kopi-aqua-mizon-baju-ledre-wingko babat. Duh gusti, sampai kapan drama kecil ini akan berakhir? Sekarang jam 18.00, sedangkan kereta sampai di Jakarta pukul 05.00. Siksaan ini berasa satu bulan lamanya.

Bayi itu kemudian diambil sama ibunya “cup-cup-cup”, dia tidak tahu kalau si bayi menangis karena tangan lelaki yang menjamahnya. Itu tandanya si bayi tahu kalau lelaki yang menyentuhnya itu bukan muhrim, hehe…

Bayi itu tidak berhenti menangis dipelukan ibunya. Si nenek mengambil alih dan kembali meniup-niup angin yang tidak menimbulka bunyi merdu apapun. Si bayi tetap tidak terkendali. Akhirnya teman ibunya, di gadis mungil itu turut ambil bagian lagi. Tiba-tiba tangisan bayi terhenti total. Hening. Si Ibu dan nenek terasa plong, wajahnya menyiratkan sejuta kata lega. Jiah, drama ini tidak ada matinya.

Tidak bertahan lama, si nenek yang kasihan melihat sang gadis kecapekan menggendong cucunya itu mengambil alih gendongan. Pertama bayi diam saja, dia membuka matanya sambil mengedarkan pandangan ke sekitar, saya sudah curiga, pandangan seperti itu akan berakhir tangisan panjang. Neneknya tanpa curiga apa-apa tiba-tiba berkata “lihat masnya (menunjuk ke anak SMP yang duduk terbangun dari tidurnya) bangun gara-gara kamu, halo masnya, haloo…!” disambutlah sama s bayi dengan suara big sound. “Hwaaa!!!!!Hwaaaaa!!”.

“Kasih minyak telon perutnya, masuk angin itu…” kata seorang dari belakang kursi saya yang dari tadi memperhatikan.
“Lha bayinya juga pilek kok, meler terus itu, gak bawa obat anu ta?” tukas ibu-ibu dari seberang.
“Jangan dikasih susu terus-terusan, kembung…” kata seorang Bapak, lalu yang bicara itu tiba-tiba kentut keras-keras. “Lho, sing gedhe wae kembung, opo maneh sing bayek…” (Lho, yang besar saja kembung, apa lagi yang masih bayi…) komentar bapak itu.

Nenek dari bayi itupun langsung membawa bayinya jalan-jalan. Mendengar berbagai komentar yang seakan-akan menolong tersebut, si nenek tidak suka. Mungkin itu di dengar seperti pelecehan bahwa dia tidak mampu merawat atau bagaimana. Pokoknya wajahnya berubah lesu dan jengkel.

Beberapa menit bebas dari polusi udara, bayi itu datang lagi. Kali ini membawa kedamaian. Ia tidur dengan pulas di gendongan neneknya. Perempuan itu tetap saja berdiri sambil terus bergoyang berharap si bayi merasa nyaman. Lama kemudian, si ibu yang tidak tidak tega kepada ibunya (alias nenek dari si bayi) menyuruhnya untuk duduk. Ibunya dengan keras memprotes “Iki lho nangis terus, lungguh-lungguh…!” (Ini lho nangis terus, duduk-duduk…). Mendengar teriakan itu, si ibu langsung lemas dan s bayi kembali menggemparkan dunia perkeretaapian. Saat itu sudah pukul 23.46, orang-orang yang sudah tidur kembali membuka matanya dan bangun lagi memandang ke arah bayi dan keluarga pemain sinetron tersebut.

Aku sungguh kasihan, meskipun aku ikut terbangun, tapi aku tetap tersenyum memandang ke arah ibunya. Yah, perjalanan ini, akan terus seperti ini berulang-ulang. Dari tangis ketangis sampai ke terbawa mimpi.