Malam
ini ada potongan kejadian yang bertubi-tubi menghujam tubuhku. Ambruk,
linglung, dan segala muara air mata datang dengan kenangannya. Akhirnya aku
harus mencoba mendamaikan diriku sendiri karena jika tidak aku pasti akan
rubuh. Motor-motor berkejaran di jalanan, mataku tajam menyeruput udara yang
berhembus di bawanya, aku seperti ingin kembali pada suatu masa yang tidak
bertanggal dan bertanda. Hanya ada dua warna di masa itu, hitam dan putih.
Aku
melambaikan tanganku dengan gugup untuk menghentikan truk yang hampir
menubrukku. Aku berdecit dan truk itu duduk di depanku dengan gemulai, bagai
perempuan. Dan ku kira tidak ada hubungan antara truk dan perempuan kecuali
dalam pengembaraannya yang dalam, hati mereka jauh tertanam di rumpun kehidupan
yang bahkan untuk kekasihnya masih tersembunyi. Truk itu lalu menerobos tubuhku
dengan kekuatan penuh, aku tersengat layaknya aku pengganggu sarang tawon.
Seketika aku berfikir tentang tawon, gumpalan besar sarangnya ku pegang dengan
kegugupan yang sama. Truk itu berubah menjadi sarang tawon sebesar rangkulanku,
mereka mendengung di tubuhku yang sekarat. Aku memikirkan taman, aku bukan
taman, aku bukan bunga. Dan tawon-tawon itu tak seharusnya memperlakukanku
sebagaimana kekasih yang lama tak bertemu, menghisap, mengusap, mendesah,
melolong, dan lunglai. Akupun lunglai seperti telah mendapatkan malam
pertamaku. Ia, seorang perempuan yang bertubuh kurus, berwajah tegas seperti
warna merah, dan tangannya menggenggam erat tanganku dengan keyakinan. Aku
memikirkan sesuatu, truk dan tawon? Apa hubungan mereka dengan gadis ini?
Ku
beranikan diri untuk bangun dan melihat wajahnya. Ia sebagaimana lampu temaram
di bulan januari ketika kulingkari sebuah tanggal merah di kalender. Ia juga
seperti warna biru di pucuk pandang angkasa, ia seperti, dan ia hanya seperti
karena aku tidak memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Aku merasa nyaman
dan damai berbaring di sampingnya. Ada kekuatan pengacau di tubuhnya sehingga
otakku menjadi blank, aku hanya merasa bahagia, entah karena wajahnya yang
temaram atau karena ia jelmaan truk dan tawon. Lalu tubuhku bergoyang di tiup
angin, bau harum disekelilingku membuat mataku hidup. Taman, ya, ada taman
disekelilingku. Dan aku menjadi bunga adenium yang berakar seperti tubuh
perempuan. Lalu, dimanakah perempuan itu? Perempuan yang kubayangkan memiliki
wajah yang temaram dan warna biru di pucuk pandang, dimanakah ia? Kuedarkan
pandangan, kulihat bunga mawar dengan durinya di arahkan padaku. Mengapa ia
lakukan itu padaku? Matanya setajam durinya, mahkotanya ia susun dengan warna
yang norak, namun tawon-tawon itu merebutkannya layaknya jiwa-jiwa yang kosong
memperebutkan halusinasi kolam air di padang pasir.
Lalu
aku berjalan karena sedetik kemudian aku merasa ingin pergi melihat padang
pasir. Dan aku benar-benar melakukannya. Aku bukan adenium lagi dan tidak ada
tawon, tidak ada mawar yang melihatku setajam durinya. Kerongkonganku terasa
kering. Ah, matahari membakar daun-daunku. Akar-akarku serabut sehingga
kesulitan berjalan. Lalu tanganku, aku melihat ke tanganku yang tengah
menggenggam sebotol coca cola berwarna biru. Botol itu berwarna biru, dan
airnya terasa seperti biru, lalu perempuan itu berenang di dalamnya dengan
tubuhnya yang seksi, namun kenapa ia juga biru? Apakah dunianya penuh kebiru-biruan?
Tunggu sebentar, pikiranku mengacau, ia tidak berwarna biru, tidak ada warna
biru di padang pasir. Kupejamkan mata dan ku berkata pelan “di padang pasir
tidak ada warna biru, tidak ada perempuan berenang dengan tubuh biru”.
Ya,
ternyata benar. Tidak ada warna biru lagi, juga perempuan itu. Ia sudah tidak
berenang dengan warna birunya lagi. Tapi ia tidak ada, tidak ada lagi. Kenapa
tidak kutanyakan namanya? Oh, apakah aku menyukainya? Ah, ya ya, tentu tidak.
Ia bukan siapa-siapa. Sebaiknya aku memikirkan ke hal-hal lain yang lebih masuk
akal. Misalnya tentang good. Bagus
kan? Hahaha...pikiranku ternyata tepat, siang terik itu berubah menjadi hijau
daun yang rimbun. Pohon sebesar ragkulanku bertebaran seperti thor, dan aku kalah cepat dengannya. Alangkah
baiknya bila aku seperti motor, ya, motor, mengapa tidak? Bukankah goodyear itu nama sebuah benda bundar
berwarna hitam yang digunakan berlari oleh mobil-mobil Formula 1? Ya, aku
kemudian berlari dan berubah bentuk persis seperti film transformer. Aku
menjadi mobil pajero sport? Wow,
berlari berlari berlari dengan kecepatan penuh sambil tertawa-tawa karena
monster-monster pohon itu tertinggal jauh dibelakang. Dari spion kulihat mereka
berhenti sambil menarik nafas jauh dan dalam. Daun-daun disekeliling mereka
bertebaran seperti bencana alam. Mereka masih menafas jauh dan dalam,
pohon-pohon di depan mereka tercerabut dari akarnya dan melayang ke tubuh
mereka. Apa-apaan itu? Aku semakin kencang memacu lariku hingga nafasku tinggal
sejengkal, aku sama sekali tidak melihat kaca spion karena itu mengerikan.
Apapun yang ada dibelakangku berhamburan menuju ke mulut thor yang lebar. Aku tidak ingin seperti itu, aku terus memacu
lariku hingga tak kurasakan lagi angin yang menarik-narik bokongku. Aku
memelankan tubuh dan melihat spion yang hampir oleng, di kaca, benda-benda
masih berterbangan dan semakin parah karena tanah-tanahnya mengelupas. Ah,
mengapa ini terjadi? Tidak-tidak, aku ingin biru, aku ingin perempuan itu tetap
bertubuh biru dan berbaring disampingku. Aku ingin melihat wajahnya yang
temaram seperti matahari seperempat di sore yang cerah.
Lalu
aku membuka mataku. Perempuan itu tidak lagi bertubuh biru. Matanya memandangku
dengan tajam, senyumnya melumpuhkanku. Aku terpaku dan hanya bisa berbaring
dengan kedamaian yang luar biasa. Perempuan itu tetap memandangku sambil
tersenyum. Aku ingin menjadi perempuan itu, ia memiliki mata yang indah.
Seketika
kudapati pisau-pisau menancap dimukanya yang kuning. Darahnya begitu segar dan
melumuri bibirku dengan asin. Mataku menatap matanya, matanya melayang dan
mataku seperti bercumbu dengannya dalam waktu yang tidak ada batas, seperti
berhenti, seperti selamanya. Aku gelagap, nafasku membiru menyusun rangkaian
mutiara heksagonal dalam bion-bion air yang terbawa udara menuju matanya –indah
sekali. Aku ingin memiliki matanya, biar kupasangkan di bagian mataku yang
jelek. Juga hidungnya yang mencung akan kupasangkan dengan hidungku agar mereka
kawin dan beranak yang manis. Sayang, biru matamu menelanku kini. Tak kudapati
truk dan tawon memperebutkan diriku, juga dirimu yang serupa asap membumbung.
Kita
hilang dalam persamaan kuadrat antara ruang dan waktu yang absurd. Kita berdiam
dalam jarak dan merenungi bagaimana pertemuan dan perpisahan. Kita kembai
menjadi jiwa-jiwa, api yang membakar, menjadi jilat, menjadi ricik...
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintamu harus menjadi aku.
Maka
aku kembali pada jalan yang menjadikanmu seperti temaram dan laut biru. Biarlah
kau berenang dalam botol minuman berenergi dan menjadi warna yang membimbingmu
dalam hilang. Selamat tinggal.
Biodata Penulis
Fathul Qorib, lahir di Lamongan pada 20 Januari 1989. Menulis esai, cerpen, puisi, dan beberapa naskah pementasan. Ketua Forum Lingkar Pena Bangkalan 2011-2012, Ketua Studi Bahasa dan Sastra Univ Trunojoyo Madura 2010. Email : qorib.indonesia@gmail.com
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.