Suatu saat aku akan kembali ke
persimpangan itu, bertemu dengan kalian lalu menjabat tangan. Sungguh, impian
ini begitu menggebu. Aku sekarang tidak lagi sabar bagaimana aku wisuda lalu
pergi berkelana lagi. Istilah berkelana rasanya tidak tepat juga. Ah, bersama
orang-orang yang akhirnya begitu menghargaiku rasa-rasanya menyenangkan. Kalian
masih ingat ketika masih semester-semester awal? Aku selalu menyangka bahwa aku
akan bisa melampaui ini semua sendirian.
Aku melihat sekeliling yang
begitu ramai. Kelompok-kelompok mahasiswa begitu menggoda namun terlihat
menjijikkan. Bagaimana bisa hidup itu harus didasarkan pada hubungan-hubungan
yang terintegrasi dengan segala mood dan kelakuan. Bahkan sekumpulan orang itu
mampu menciptakan relasi sesamanya melebihi keluarganya. Itu bukan sekedar
komunitas dimana sesama anggotanya terikat dengan hobi yang sama –atau seperti
sebuah organisasi yang mengikat anggotanya dengan AD/ART. Itu hanyalah
sekelompok orang yang kebetulan dipertemukan oleh keadaan, kemudian mereka
memandang bahwa ada berbagai kecocokan.
Lihatlah, aku tidak memiliki apa
yang kalian ciptakan itu. Aku lebih merasa bahwa hidupku sendiri mampu
kuputuskan dengan pemikiran dan hatiku. Dalam teori komunikasi, aku tidak
mempercayai komunikasi kelompok semacam itu. Bahkan, kelompok kalian bukanlah
sebuah kelompok sebagaimana yang dibahas dalam komunikasi kelompok. Kalian
hanyalah sekumpulan orang yang tiba-tiba bertemu, memiliki komitmen untuk makan
bareng, ngopi bareng, pergi kuliah bareng, mengerjakan tugas bareng,
merencanakan sesuatu bareng, nyanyi bareng, menyukai hobi temennya yang lain
juga bareng.
Aku menyangka bahwa kalian
tidaklah percaya diri dengan kehidupan kalian sendiri. Kalian tidak percaya
dengan kekuatan kalian sendiri sehingga membutuhkan orang lain yang mampu
mempercayai diri kalian. Kalian membutuhkan orang lain untuk menegaskan bahwa
kalian ada. Kalian ingat? Itulah teori kebutuha Maslow –eksistensi diri
merupakan kebutuhan tertinggi dari manusia.
Sebenarnya aku tidak ingin
munafik membicarakan ini. Sepertinya Maslow dalam menciptakan konsep tersebut
juga sudah meneliti ribuan orang sehingga kita yang di Indonesiapun kemudian
membenarkan teorinya. Begitu pula aku, yang diam-diam sebenarnya sedang mencari
celah bagaimana aku akan memasuki komunitas kelas kita lalu menjadi tenar. Awal
itu, aku tidak memiliki kesempatan yang baik sebagaimana –mungkin aku perlu
menyebutkan beberapa : Mas Shohib, Hasin, Rasyid, Yuliana, dan Defy. Merekalah
raja kelas kita, memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan eksistensinya
terlebih dahulu.
Orang yang waktu itu terasa
terintimidasi adalah Rose Dian. Aku mengenalnya dengan baik sebagaimana aku
mengenal Desy. Dua orang yang sebenarnya menjadi incaranku. Jangan salah
sangka, aku mengincar orang-orang yang penyendiri, pendiam, dan orang-orang
yang terkena penyakit inferioritas. Desy bukan termasuk dalam kategori terkena
inferioritas, bahkan dia lebih dewasa dari yang lain sehingga ia bisa tenang
menjadi dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan Dian yang benar-benar kehabisan
waktu untuk berangkat lebih pagi ketika kuliah. Dia selalu telat dan dengan
alasan yang sama “rumah jauh” dan dia secara spesfik menyebut nama kecamatannya
“Arosbaya” sehingga dibuat gojlokan oleh teman-teman. Aku masih ingat yang
paling banter ketawanya adalah Defy –waktu itu aku belum mengenalnya sebaik
sekarang.
Sejak mata kuliah English for
Communicatin, pandangan anak komunikasi terhadap Diam mulai berubah. Dian
dengan setengah lancar melafalkan bahasa inggrisnya dalam sebuah presentasi.
Aku duduk di depan waktu itu sehingga aku tahu persis. Kemudian aku melihat
sekeliling dan orang-orang seperti berbisik kagum. Entah pada semester berapa,
Dian kemudian memutuskan memakai jilbab dan melepaskan kawat giginya yang
mengganggu. Aku tidak ingin mengatakan bahwa cara pandangku beda, tapi seluruh
teman komunikasi juga berbeda. dan yang paling terobsesi ku kira adalah orang
menertawakannya keras-keras waktu itu, yap betul, dialah Defy. :-peace
Desy menjadi teman pertamaku, dan
Dian semakin jauh karena jarang kelihatan di kelas. Desylah yang membelikanku
sebuah buku tulis yang seumur-umur tidak pernah terbayang dalam benakku,
namanya Binder kan? Begitu asing, dan aku begitu terpukau. Hingga saat itu aku
hanya menulis pelajaranku di kertas-kertas folio yang ku staples. Setelah itu,
aku memiliki pemikiran bahwa “jika selama satu minggu aku fokus belajar dan
merangkum satu mata kuliah, maka dalam waktu delapan minggu aku akan mampu
menguasai seluruh mata kuliah”. Memang terlalu bersemangat, terlalu percaya
diri, dan terlalu mengentengkan permasalahan. Nyatanya, aku telah merangkum
buku Pengantar Ilmu Komunikasi (Kitab Suci Komunikas kata dosen waktu itu)
karangan Prof. Deddy Mulyana. Jadi waktu itu, sebelum orang-orang satu kelas
mengenal apa itu komunikasi, aku telah mempelajari bagaimana kegagalan teori
komunikasi. Aku merasa sudah tahu, meskipun aku juga mengerti bahwa aku harus
mengecualikan beberapa orang seperti : Rasyid dan mungkin saja Yuliana
Mas Shohib dan Hasin : aku yakin
mereka hanya menggunakan dasar logika dan realitas dalam memahami teori
komunikasi selama masa kuliah. Tidak seperti Rasyid yang mampu menghubungkan
teori komunikasi plus realitas dengan apik, mencari permasalahannya sekaligus mencoba
berbagai macam solusi. Ah, aku belum menemukan orang sebegitu cerdas selain
dia. Mengenai Yuliana, akhir semester dua barulah muncul orang seperti apa dia
itu. Oya, aku seperti melupakan mengenai Chuswatul Hanifah (Ifa) dan Mawaddah.
Chuswatul Hanifah tidaklah
secerdas Yuliana. Mawaddah juga tidak secerdas Ifa. Jadi rating anak komunikasi
menurutku adalah :
Berdasarkan kecerdasan :
1. Rasyid
2. Yuliana
Setia Rahayu
3. Rose
Dian
4. Sultony
Dwi Firmansyah
5. Chuswatul
Hanifah
6. Ayu
Primanda
7. Mawaddah
8. Shohib
9. Hasin
10. Fathul Qorib
Berdasarkan kepandaian
1.
Rasyid
2. Shohib
3. Yuliana
Setia Rahayu
4. Hasin
5. Fathul
Qorib
6. Chuswatul
Hanifah
7. Ayu
Primanda
8. Mawaddah
9. Sultony
Dwi Firmansyah
10. Ahmad
Syarifuddin
Berdasarkan Popularitas (Semester 1-3)
1. Defy
Firman Al Hakim
2. Yuliana
Setia Rahayu
3. Mariyanti
4. Ayu
Primanda
5. Rasyid
6. Mawaddah
7. Chuswatul
Hanifah
8. Halimatus
Sa’diah
9. Aza
(Hanya karena dia cowoknya Mas Citra sebagai Ketua Himakom)
10. Agung
Setia Rahayu – Eh kliru, Setia hadi
Berdasarkan kebaikan padaku
(ngacau :-p)
1. Yuliana
setia Rahayu (akhir semester 3 – 7)
2. Mawaddah
(akhir semester 3 – 7)
3. Defy
Firman Al Hakim (Semester 5 – 6)
4. Halimatus
Sa’diyah (akhir semester 1 – 4)
5. Chuswatul
Hanifah (akhir semester 1 – 3)
6. Desy
Purwati (Semester 1-2 –masa-masa tersulit dalam kuliahku)
Sekarang waktunya bercerita
tentang orang yang paling baik kepadaku, Yuliana. Sebelumnya harus didahului
oleh pernyataanku “Aku mengaguminya”. Dan ku kira itu saja, karena menceritakan
mengenai seseorang yang kau kagumi lalu pelan pasti meninggalkanmu adalah
sesuatu yang menyakitkan bukan?
Ah, aku lelah, sebaiknya ini
saja, maafan bagi teman-teman yang tidak terdokumentasikan dalam catatan ini.
Terimakasih saja.
Rosedian, sepurane seng katah nggeh. ngapunten. Aku ketawa lepas sebenarnya untuk menghiburmu, agar ruang kelas jd riang. Seriang senyummu (aslinya). Intrepetasi Qorib kayaknya minta diinstal ulang. sini Rib, tak kecup mbun-mbunanmu. Terimakasih sudah menuliskan ringkasan kisah saat kuilah. Terimakasih atas ratingnya (padahal aku gak merasa populer, yang populer itu leli omplong). Apapun kisah dahulu, sekarang dan nanti, kisah tetap kisah. Toh kita pernah menjadi manusia anti racun saat se-Fisib keracunan makanan pas Ormasib. hehehe
BalasHapus