2019-12-23

Memutus Intoleransi di Negeri (Paling) Beragama


Menjelang Natal, umat beragama di Indonesia pasti digaduhkan dengan isu-isu intoleransi. Isu ini berputar pada pelarangan pemakaian atribut Natal, pelarangan pengucapan ‘selamat Natal’ dari muslim kepada umat kristiani, bahkan sampai pada isu larangan pelaksanaan Natal. Meskipun sangat disayangkan, tetapi kondisi tersebut belum menggambarkan keseluruhan cerita intoleransi di Indonesia. Masih banyak kasus intoleransi yang tidak diketahui orang awam sehingga belum menjadi agenda penting bagi banyak kalangan untuk memutus rantai intoleransi tersebut.

Wahid Foundation yang concern di bidang penelitian toleransi beragama, mencatat adanya ratusan peristiwa intoleransi di Indonesia. Tahun 2016, misalnya ada 315 kasus intoleransi. Tahun 2017 turun sedikit menjadi 265 kasus, dan tahun 2018 meningkat lagi menjadi 276 kasus. Tiga aktivitas intoleransi tertinggi adalah pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan, penyesatan agama, dan pelarangan aktivitas. Adapun pelaku dari tindakan intoleransi tidak hanya dilakukan sekelompok orang atau individu, tetapi juga oleh negara.

Jumlah-jumlah ini mencengangkan karena warga Indonesia selalu menyuarakan persatuan di tengah kebhinnekaan. Karena itu, kondisi semacam ini sulit dipercaya tetapi benar-benar terjadi. Diperlukan langkah pasti untuk mencari solusinya sehingga siapapun yang hidup di Indonesia bisa merasakan kedamaian berdasarkan keyakinannya. Ada infrastruktur komunikasi yang dapat digunakan untuk mendamaikan kasus-kasus horizontal tersebut, yaitu media massa, dan media sosial. Kedua perangkat ini harus dimanfaatkan sehingga bisa mencegah meluasnya konflik.

Sebenarnya di media sosial sendiri sudah banyak yang meng-counter isu intoleransi dengan informasi-informasi toleransi yang menyejukkan. Tapi sebagaimana hukum sosial yang mengatakan ‘keburukan akan selalu cepat menyebar dibandingkan dengan kebaikan’, maka hal itulah yang terjadi pada kehebohan intoleransi. Masalahnya media sosial tidak ditata dengan baik, tidak terkoordinasi sehingga tidak menimbulkan efek yang besar bagi tersebarnya toleransi.

Peace Journalism

Aktivitas jurnalistik harus menjadi pioneer dalam menyebarkan gagasan toleransi. Toleransi merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mungkin suatu negara bisa berdiri dengan pembangunan yang terus menerus jika terjadi gesekan antar masyarakatnya. Perlu dipahami bahwa toleransi harus digaungkan oleh kelompok mayoritas sehingga memiliki daya dorong ke seluruh pelosok negeri. Jika mayoritas bisa menjadi contoh yang baik di bidang toleransi maka minoritas akan dengan mudah mendukung toleransi tersebut.

Jika unsur masyarakat sudah menggaungkan toleransi, maka tugas media kemudian untuk mem-blow up nya sehingga menginternalisasi dalam kehidupan setiap individu di Indonesia. Media harus menjadi bagian dari ‘juru pendamai’ masyarakat agar tidak terjadi chaos dan mengganggu aktivitas bermasyarakat. Karena media memiliki peran penting sebagai satu-satunya sumber informasi yang dapat dipercaya. Informasi selain dari media massa bisa dianggap hoax, spam, disinformasi, atau fake news. Mengapa demikian? Karena selain media massa, tidak ada sumber lain yang memiliki gatekeeper dengan kode etik yang teruji.

Bayangkan jika media sosial digunakan sebagai parameter kebenaran informasi, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan massal. Hal itu disebabkan setiap orang yang memiliki akun dapat mempublikasikan tulisannya ke media sosial tanpa mendapatkan sortiran dari orang yang dapat dipercaya. Berbeda dengan media massa yang memiliki sistem kerja jurnalistik yang teruji ratusan tahun. Jika wartawan tidak melakukan verifikasi terhadap fakta, maka beritanya pasti cacat. Jika redaktur tidak melakukan cek silang terhadap karya wartawan maka beritanya bisa jadi menipu. Sama halnya dengan pimpinan redaksi harus mempertimbangkan berita apa yang harus dijadikan headline, dan berita apa yang harus digugurkan dari meja redaksi.

Dalam konteks inilah media massa harus bertransformasi menjadi peace journalism yang dalam setiap pemberitaannya mempertimbangkan kedamaian khalayaknya. Karena banyak penelitian yang mengaitkan berita-berita di media massa dengan peningkatan kekerasan di suatu daerah. Padahal media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk menciptakan dunia yang terhindar dari kepalsuan dan menyuarakan kebenaran secara terus-menerus. Kebenaran itu sendiri akan bermuara pada kedamaian sehingga jangan sampai media massa yang malah memperkeruh keadaan di masyarakat.

Peace journalism sendiri bukanlah konsep yang benar-benar baru dan ingin mengubah praktik jurnalistik yang ada di dunia. Peace journalism tetaplah jurnalistik yang sekarang ada dengan segala hiruk-pikuknya. Titik penting dari peace journalism adalah bagaimana media membuat pilihan tentang apa yang harus diberitakan dan bagaimana memberitakan informasi tersebut; tidak hanya melaporkan apapun yang dilihat oleh wartawan di lapangan. Hasil akhirnya adalah menciptakan pemahaman di masyarakat untuk menghargai perbedaan dan menanggapi perbedaan dengan penuh kedamaian.

Pilihan-pilihan ini seringkali harus membuat wartawan bekerja keras mulai dari melakukan peliputan hingga penayangan beritanya. Bentuk radikal dari peace journalism adalah media massa tidak memuat pemberitaan yang berkemungkinan menimbulkan konflik. Cara yang halus adalah dengan terus memberitakan kerjasama-kerjasama lintas golongan, lintas iman, dan lintas kebudayaan guna mengampanyekan toleransi. Cara-cara lain dapat dilakukan oleh tim redaksi berdasarkan kebutuhan termasuk mempertimbangkan peletakan halaman dalam berita cetak, jam tayang untuk televisi, dan jumlah penayangan berita di media siber.

Media Sosial

Solusi terakhir untuk memutus rantai intoleransi di Indonesia adalah dengan menyebarkan gagasan bhinneka tunggal ika melalui media sosial. Media sosial memiliki hukumnya sendiri, berbeda dengan media massa yang mengikuti undang-undang dan kode etik. Media sosial berputar bebas seperti roller coaster yang berputar-putar sampai penumpangnya muntah-muntah. Yang patut dicatat dari media sosial adalah penggunanya yang cenderung generasi milenial dan generasi alfa. Dua generasi digital inilah yang harus dipegang untuk masa depan Indonesia yang lebih toleran.

Generasi Y (milenial) dan generasi z ini masih mencari jati diri sehingga perlu diperluas aktivitas lintas iman dan kebudayaan yang dapat dijadikan referensi hidup damai di Indonesia. Jika media massa sudah mendukung peace journalism, masyarakat umum memperbanyak aktivitas toleransi secara riil, dan kampanye toleransi banyak disebar melalui media sosial maka masa depan Indonesia bisa lebih optimis. Kini tinggal bagaimana semua pihak ini saling merangkul dan berkomitmen menciptakan Indonesia bebas intoleransi, dengan komposisi kerja yang disesuaikan dengan kapasitasnya masing-masing.

Tentu ini tugas berat! Tidak ada yang ringan untuk membangun bangsa. Tetapi toh harus tetap diupayakan untuk menjamin anak cucu kita nanti bisa menikmati negeri Indonesia yang sejuk dan damai.

2019-12-09

Pemuda: Puja-Puji di Era Disrupsi


Berbicara tentang pemuda dan prestasinya di tingkat dunia, kita cenderung akan pesimis. Layaknya berbicara tentang pendidikan, olahraga, kreativitas, dan teknologi, kesemuanya membuat pandangan langsung menunduk. Padahal dalam sedetik kita searching di mesin mencari internet, akan ditemukan banyak prestasi mengesankan yang diraih oleh pemuda Indonesia dari tahun ke tahun.

Belum lagi 23 pemuda Indonesia yang masuk dalam Forbes 30 Under 30 Asia di tahun 2019 yang sukses membangun ekonomi digital, atau pahlawan olahraga yang mengharumkan bangsa selama Asian Games 2018. Masih banyak alasan agar kita membanggakan pemuda Indonesia dengan prestasinya yang luar biasa. Bahkan jika kita memasukkan Nadiem Makariem dan Ahmad Zaki sebagai pemuda, maka betapa spektakulernya pemuda Indonesia.

Banyak orang mengharapkan masa depan Indonesia gemilang karena surplus demografi yang akan diterima Indonesia di tahun 2030-2040 mendatang. Hampir 64 persen warga negara ini akan berusia produktif  -sebagian besar pemuda- sehingga menjadi sumber tenaga dan pemikiran yang mumpuni untuk membawa bangsa ini ke panggung dunia. Pertanyaannya sekarang apakah pemuda sudah setangguh itu untuk diserahi tanggung jawab yang berat ini?

Jika melihat fakta prestasi pemuda boleh jadi optimisme masih kuat terpegang. Secara akademis, banyak siswa berprestasi dalam kompetisi science, musik, dan olahraga. Di bidang teknis banyak pemuda Indonesia yang berhasil mengembangkan keilmuannya di bidang big data dan analisisnya. Mereka menguasai berbagai pengetahuan yang dapat diandalkan di masa depan. Meskipun jajaran menteri di Kabinet Indonesia Maju tidak ada pemuda berusia di bawah 30 tahun, itu bukan alasan kualitas pemuda Indonesia buruk.

Sebabnya, menteri adalah jabatan yang riskan karena berhubungan dengan birokrasi dan politik sehingga pemuda minim pengalaman dikhawatirkan mengacaukan sistem. Karena itu pemuda harus belajar di luar jalur-jalur mainstream agar kreatifitas, mental kritis, serta jiwa kolaboratifnya terasah. Saat prestasinya sudah teruji, maka boleh bagi pemuda berbangga menjadi menteri sebagaimana Nadiem dan Wishnutama.

Membayangkan Pemuda Masa Depan

Menjadi pemuda di masa sekarang tidak cukup dengan mengandalkan otot untuk berbuat banyak bagi dunia. Otot mungkin berguna bagi pemuda ketika agrikultur dan revolusi industri 2.0 masih mendominasi angkatan kerja Indonesia. Zaman berubah, otot sudah digantikan dengan otak yang bisa mengubah setiap peluang menjadi keuntungan. Tidak perlu membuat produk sendiri untuk bisa berjualan barang dan jasa.

Sekarang, otot dan otak sebagai modal utama pemuda tersebut harus digabung-hubungkan dengan kreatifitas menciptakan peluang serta keluwesan dalam menjalin kerja sama yang saling mendapatkan manfaat. Nama zaman ini adalah ‘industri 4.0’ yang merupakan masa di mana teknologi informasi dan komunikasi mengendalikan segalanya. Ilmu pengetahuan sekarang bergerak menuju ke kolaborasi antar sektor, bukan lagi kompetisi.

Karena itu semua kerja-kerja menuju perubahan harus ditata ulang agar bisa tetap berpartisipasi. Perusahaan sebesar apapun pada akhirnya akan collaps jika enggan memanfaatkan era disrupsi ini. Sebagaimana media massa yang berhenti cetak jika tidak beralih ke konvergensi, maka seperti itulah sebuah pendidikan, kebudayaan, olahraga, science, dan sosial, harus mempertimbangkan disrupsi segala bidang.

Pemuda masa depan adalah pemuda yang sadar pola-pola pendidikan di zamannya dihubungkan dengan karakteristik industri. Ketika masa masih fase industri 3.0, sebuah perusahaan mencukupkan diri dengan otomatisasi mesin-mesin produksi. Lembaga pendidikan mengajarkan pengetahuan menggunakan teknologi semata untuk memudahkan proses pembelajaran. Penguasaan terhadap teknologi penting, tetapi memahami pesan, memodifikasi dan mengarahkan pesan, jauh lebih penting di era industri 4.0.

Maka di revolusi industri 4.0 ini pendidikan harus memanfaatkan internet of things (IoT), artificial intteligent (AI), cloud computing, dan virtual reality (CR) untuk setiap pembelajarannya. Pemuda sebagai pemilik zaman harus menguasai berbagai pengetahuan baru yang berhubungan dengan internet, data, dan algoritma, yang tidak seberapa penting di masa 10 tahun lalu, tetapi menjadi penentu umat manusia di lima sampai sepuluh tahun mendatang.

Karena itu, ketika Nadiem Makarim dipilih Presiden RI Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, satu hal yang diinginkannya adalah link and match dunia pendidikan dan dunia industri. Jokowi tampaknya memahami dampak industri 4.0 yang sekarang masih susah payah dibangun dalam sistem pendidikan Indonesia. Nadiem tentu memiliki tugas berat untuk mewujudkannya.

Memperingati sumpah pemuda yang ke 91 ini, sebenarnya tanggung jawab besar ada pada pundak pemuda. Selama ini pemuda dipuja-puji sebagai generasi emas yang bisa mengangkat martabat Indonesia, memperbaiki kualitas pendidikan, serta menjadi sumber daya manusia yang unggul. Pemuda harus membantu tugas kementrian dalam mencapai padunya pendidikan dengan industri.

Pemuda yang berusia 16-30 tahun sebagaimana UU No 40 Tahun 2009 sebagian besar masih sekolah dan kuliah di perguruan tinggi. Tanggung jawabnya adalah mempelajari dengan sungguh-sungguh pengetahuan yang bisa diterapkan di masa disrupsi mendatang. Perguruan tinggi yang menaungi sebagian besar pemuda harus menyediakan pembelajaran yang bukan hanya mengakomodasi akademisi mahasiswa, tetapi juga soft skill mereka.

Dengan kolaborasi antar sektor yang saat ini gencar di lakukan beberapa startup buatan pemuda Indonesia, maka optimisme terhadap pemuda di masa depan akan semakin besar. Tantangannya tidak sederhana, tetapi pemuda selalu bisa menemukan solusi yang bisa merevolusi cara bekerjanya agar tetap dapat berkontribusi aktif dalam perkembangan dunia.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya!. 

Penulis adalah Fathul Qorib., Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Tulisan ini telah dimuat oleh detik pada link : https://news.detik.com/kolom/d-4763871/pemuda-dan-puja-puji-di-era-disrupsi

2019-11-11

Intelektual Retoris


Kaum intelektual mendapatkan posisi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di manapun, golongan terpelajar dan terdidik ini memperoleh perlakuan khusus dengan dongengan bahwa mereka mampu memecahkan masalah dengan cepat, tepat, dan obyektif. Kaum intelektual dijadikan tim ahli anggota dewan, dijadikan penasehat di pemerintahan, juga diberi alokasi waktu khusus untuk berbicara sebagai ahli di berbagai media massa. Secara singkat, kaum intelektual adalah permata bagi negeri di manapun ia berada.

George Orwell, penulis asal Inggris yang terkenal dengan novel “Animal Farm”-nya, memperjelas posisi penting kaum intelektual dalam kalimatnya yang menarik; “Rakyat jelata secara keseluruhan masih hidup di dunia yang baik dan jahat absolut, yang mana kaum intelektual telah lama melarikan diri”. Ia beranggapan bahwa kaum intelektual telah terbebas dari masalah dikotomi kehidupan yang hanya ada hitam dan putih, salah dan benar, malaikat dan iblis.

Bisa jadi itu adalah pernyataan yang meninabobokan. Kenyataannya kaum intelektual malah memperparah kondisi sosial dengan melanggengkan persoalan hitam-putih dengan istilah ilmiah-tidak ilmiah. Masyarakat di luar tradisi kampus seringkali dianggap tidak ilmiah sehingga dicemooh. Intelektual-akademisi tidak sadar bahwa dirinya sering terbelenggu dalam permasalahan pelik yang bahkan tidak hanya ada hitam-putih, tapi juga abu-abu yang rawan dengan kesalahan dan kebohongan. Di sinilah intelektual kemudian terjebak dengan retorikanya sendiri.

Karena sifat ilmiah-non ilmiah inilah maka dosen dan mahasiswa lebih banyak kesulitan mengaplikasikan keilmuannya di tengah masyarakat ketika pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bahkan tidak jarang, mereka yang harus belajar ke masyarakat secara langsung karena keilmuan teoritisnya tidak bisa dipraktikkan. Kenyataan ini tentu pahit dirasakan oleh mahasiswa yang sehari-hari dicekoki metode ilmiah yang dianggap agung dan mulia. Karena bagaimanapun mahasiswa berfikir, berorganisasi, dan beraktivitas di kampus, akan sia-sia jika tidak bisa dikembangkan di masyarakat.

Selain itu, kaum intelektual dengan institusinya juga memiliki paradoks yang bisa dibilang lucu. Suatu kampus yang memiliki banyak program studi belum tentu dapat mengaplikasikan keilmuan dosen-dosennya. Kampus yang memiliki Program Studi Administrasi Publik belum tentu memiliki tata administrasi yang bagus. Kampus yang memiliki dosen-dosen ekonomi juga jarang yang bisa membangun sistem koperasi yang sesuai dengan teori-teori di dalam kelas. Begitupun kampus dengan Program Studi Arsitektur Lanskap, belum tentu memiliki taman-taman yang indah.

Kritik terhadap kaum intelektual yang hanya duduk di menara gading ilmu pengetahuan sudah lama dilakukan. Mereka menjaga jarak terlalu jauh dengan masyarakatnya sehingga kehilangan sensifitas keilmuannya terhadap kebutuhan masyarakat. Tetapi kritik semacam ini bisa jadi ditanggapi negatif oleh kalangan intelektual dan akademisi itu sendiri karena merasa sudah memberikan sumbangan besar terhadap negara –meskipun sumbangan ini abstrak. Tetapi kritik tinggal kritik karena kenyataannya semakin banyak kaum intelektual yang dihasilkan kampus, semakin besar pula ketidakjelasannya.

Sebab itu, Charles Bukowski dengan sentilannya yang nakal malah menganggap kaum intelektual adalah orang-orang yang mengatakan hal sederhana dengan cara yang rumit, berbeda dengan seorang seniman yang mengatakan hal-hal sulit dengan cara yang sederhana. Padahal yang seharusnya terjadi adalah seorang intelektual harusnya mampu mengurai persoalan pelik bagi kaum awam menjadi lebih masuk akal dan sederhana.

Kemampuan seorang intelektual untuk menyederhanakan persoalan ini tercermin dalam pikiran-pikirannya yang terstruktur dalam tradisi penelitiannya yang ketat. Sebagai seorang pembaca dan peneliti, kaum intelektual bisa menganlisis persoalan mendasar masyarakat, menentukan metode, menggunakan teori sebagai analisis, memberi kesimpulan, lalu memberikan saran-saran perubahan agar masyarakat hidup lebih bermartabat. Bahkan dalam Teori Kritis, kaum intelektual merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap kesejahteraan, kemerdekaan, kesehatan, dan kebahagiaan masyarakat.

Tentu hal tersebut bisa dikatakan bombastis. Tetapi perlu disadari bahwa kaum intelektual sebagai penanggung jawab sosial ini sebenarnya bermuara pada kritik terhadap pemikiran Karl Marx yang menganggap kelas proletar sebagai pembebas ketertindasan. Jika ketertindasan ini berkaitan dengan fisik dan mengangkat senjata mungkin benar. Tapi kondisi saat ini ketertindasan lebih berkaitan dengan psikis dan berjalan tanpa disadari. Penjajahan tidak lagi dengan merampas tanah atau hasil bumi, tetapi dengan menjajah budaya dan pemikiran.

Oleh karena itu, yang menjadi subyek revolusi -penggerak perubahan-, sudah bukan lagi kelas proletar. Hal ini sudah ditinggalkan sejak lama meskipun ketika demo oleh aktivis kampus, pembagian kelas borjuis dan proletar tetap dipakai. Adalah kaum intelektual yang setiap harinya berkutat dengan buku, penelitian, provokasi, dan pengabdian kepada masyarakatnya lah yang menjadi subyek revolusi (Lubis, 2016:11). Bagaimana kaum intelektual dapat menjadi subyek perubahan di lingkungan masyarakatnya? tentu dengan menggunakan rasionya sehingga dapat menganalisis dengan tepat persoalan apa yang dihadapi masyarakat sekaligus menemukan penawarnya.

Misalnya iklan televisi yang lebih banyak menggunakan tubuh perempuan sebagai komoditas ekonomi. Iklan sabun, shampoo, body lotion, dan pembersih wajah, semuanya menggunakan perempuan dengan konotasi ‘cantik’ sehingga menciptakan kebutuhan palsu terhadap produk tersebut. Masyarakat akan memahami apa adanya dan menginginkan tubuh sebagaimana tubuh bintang iklan. Sebagai intelektual yang memahami bias gender dalam periklanan, harus memberi pemahaman kepada masyarakat tentang penerimaan diri sebagai makhluk sempurna yang diciptakan tuhan.

Demikian pula informasi-informasi di jagat internet yang dimanfaatkan oleh buzzer politik demi menyebar hoax, keresahan dan ketakutan, juga kebohongan publik, tidak akan disadari oleh masyarakat umum. Masyarakat luas hanya mendapat informasi dengan data palsu lalu mempercayainya begitu saja sebagai fakta. Maka menjadi tugas kaum intelektual untuk menemukan akar persoalannya lalu mencari solusi agar masyarakat bisa tersadarkan. Minimal kaum intelektual harus bisa menyebarkan gagasan literasi media sehingga tidak terpengaruh propaganda politik praktis hingga post truth.

Tugas intelektual di dunia yang banjir informasi ini semakin berat. Karena itu, intelektual sesungguhnya tidak hanya transfer knowledge di kelas-kelas seperti yang disebut Gramsci sebagai intelektual tradisional, tetapi juga menjadi intelektual organik yang beraksi di masyarakat untuk melakukan gerakan penyadaran. Kita tidak cukup hanya berteriak di dalam kelas dan ruang-ruang publik terbatas, tetapi juga perlu turun ke masyarakat secara langsung dengan memegang peran kunci hidup bermasyarakat. Dengan begitu, kita akan terhindar dari intelektual retoris, yang seolah-olah memiliki nalar terang, padahal gagap dalam bertanggung jawab sosial.



(Tulisan ini telah dimuat Terakota pada link : https://www.terakota.id/intelektual-retoris/)

2019-10-31

Nadiem dan Pendidikan Berbasis Industri



Beberapa hari ini nama Nadiem Makarim meroket. Headline media massa, opini di berbagai platform media, hingga meme di media sosial, semuanya membicarakan sosok menteri termuda dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan jabatan strategis yang berkaitan dengan harapan rakyat Indonesia akan pendidikan berkualitasa, bukan sekadar persoalan anggaran yang besar dan kewenangan yang luas.

Masyarakat tampak lelah melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang jauh tertinggal dari negara lain. Karena itu tidak menjadi soal apakah menterinya seorang professor atau seorang praktisi, hanya prestasi yang membuat menteri dibanggakan. Seperti yang diketahui, jabatan menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya diisi oleh profesor -yang merupakan jabatan tertinggi dunia akademik- juga seorang mantan rektor —yang merupakan jabatan tertinggi di struktural perguruan tinggi. Tetapi apakah mereka telah membawa perubahan terkait pendidikan Indonesia secara signifikan?

Secara pasti sulit untuk menjawab kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut World Bank, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Dalam website Times Higher Education, perguruan tinggi di Indonesia tidak pernah mencapai 500 universitas terbaik di dunia dari tahun 2016 sampai 2019. Dengan kondisi ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara berani mendudukkan seorang pendiri startup menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia bukan dari kalangan akademis, bukan seorang professor dan tidak pernah menjabat sebagai rektor.

Record pemilihan menteri Jokowi yang sama kontroversinya dengan Nadiem adalah Susi Pudjiastuti yang lulusan SMP dan bertato, pada Kabinet Indonesia Kerja. 'Eksperimen' tersebut dinilai berhasil karena hastag #WeWantSusi menjadi trending topic di Twitter ketika Jokowi tidak lagi menugaskan Susi dalam jajaran kabinetnya yang baru. Karena itu harus diakui apa yang dilakukan Jokowi merupakan sesuatu yang spektakuler dan out of the box, atau istilah lain yang bisa menggambarkan betapa tidak terduganya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Link and Macth Dunia Industri

Jokowi sendiri menjelaskan bahwa pemilihan Nadiem sebagai menteri pendidikan agar dapat menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia industri. Harapan ini bersifat praktis bukan ideologis. Teknis bukan teoritis. Maka Nadiem dan seluruh pendidik harus bisa menerjemahkannya dalam kurikulum dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tantangan industri. Ini adalah sinyal dari presiden untuk mengarahkan model pendidikan yang mudah, kreatif, serta siap pakai, bukan berbelit-belit dan akhirnya tidak berguna bagi lulusan.

Pemikiran ini bisa mengarah pada pengembangan pendidikan di era disrupsi yang sedang hangat dibicarakan beberapa tahun belakangan. Kondisi ini tidak perlu ditakuti sehingga harus melakukan perubahan besar-besaran. Era disrupsi hanya mengubah kondisi-kondisi teknis, bukan pada fungsi dan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tetap sama untuk membangun manusia Indonesia yang kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan berakhlak mulia. Sedangkan metode pembelajarannya bisa secara kreatif diciptakan untuk mengakomodasi era disrupsi; seperti konvergensi dan penggunaan teknologi terkini.

Ada dua cara pandang untuk memahami link and match pendidikan dengan industri agar tidak terjebak pada pemikiran yang sempit. Pertama, soal pesimisme pendidik ber-paradigmna kritis yang cenderung tidak mempercayai industri sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Kebutuhan untuk memenuhi dunia kerja dengan sumber daya manusia yang andal memang penting, tetapi jangan sampai mereduksi fungsi manusia sebagai individu yang bebas dan kreatif.

Tradisi kritis memganggap dunia kerja lebih banyak mematikan imajinasi karena berisi rutinitas dan tekanan-tekanan yang melulu berhubungan dengan produksi barang dan jasa. Perhatian yang berlebihan pada keilmuan praktis/teknis ini pada akhirnya akan berujung pada matinya keilmuan sosial, seni, budaya, dan sastra yang dapat mendangkalkan nilai kemanusiaan. Nadiem sebagai menteri harus paham bahwa pendidikan pada dasarnya untuk memaksimalkan potensi kemanusiaan tersebut, bukan menciptakan robot-robot pekerja.

Secara umum dunia industri bisa dikatakan mengobrak-abrik sistem pendidikan di Indonesia. Kini seluruh kurikulum perguruan tinggi harus merujuk pada kebutuhan industri. Instrumen penilaian dalam akreditasi selalu berhubungan dengan output dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang bisa dimanfaatkan oleh dunia industri atau masyarakat umum secara langsung. Padahal sudah lama diketahui, dunia akademik selalu terlambat merespon cepatnya laju industri.

Karena itu link and match dunia pendidikan dengan dunia industri tidak boleh diterapkan mentah-mentah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Akan banyak negatifnya jika melihat peserta didik hanya sebagai pekerja-pekerja di masa mendatang. Mereka sudah tidak lagi berupaya untuk mempelajari sastra, kesenian, dan atau berfikir kritis karena hal-hal tersebut tidak dipakai dalam dunia kerja. Kita tentu tidak mau masa depan Indonesia terjajah oleh industri yang kaku dan menjemukan.

Kedua, dunia pendidikan harus bersiap untuk memasukkan unsur kebutuhan industri dalam kurikulumnya. Setiap program pendidikan harus memperhatikan materi pembelajaran yang berbasis pada kebutuhan industri dengan skala-skala prioritas, baik itu lokal, nasional, maupun internasional. Pekerjaan di masa mendatang memang berubah, sudah bukan didominasi pegawai, guru, penjahit, dan tukang servis, tapi mengarah pada data scientist, app developer, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan teknologi.

Pekerjaan itu mungkin tidak ada di lima tahun yang lalu, tetapi menjadi pekerjaan yang menjanjikan di lima tahun mendatang. Bahkan ilmu sosial yang sejak dulu mempelajari pola komunikasi, perubahan sosial, dan pengelolaan persepsi masyarakat secara langsung ke lapangan, sudah akan berganti dengan analisis big data. Aplikasi seperti Drone Emprit yang dikembangkan untuk menjelajahi komunikasi di dunia maya sekarang bisa melacak, menganalisis, memprediksi, hingga mengubah perilaku masyarakat tanpa harus mendatangi kabupaten/kota satu persatu.

Memang betul, Nadiem sebagai sosok pemuda mampu mengembangkan aplikasi Go-Jek yang dapat menolong jutaan orang di Indonesia. Keberhasilan ini yang tampaknya ingin dilihat Jokowi dalam sistem pendidikan Indonesia. Tetapi harus diingat bahwa manusia tidak semata-mata butuh bekerja, masyarakat Indonesia tidak semata-mata bergantung dengan dunia industri. Industri bisa membantu masyarakat untuk hidup lebih mudah, tetapi karakter dan kepribadian kemanusiaan Indonesia jangan sampai tercerabut.

Tampaknya ini menjadi tugas berat bagi Nadiem. Tapi bagaimanapun, kita harus optimis menatap masa depan pendidikan di Indonesia. Jadi, selamat bekerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru!



(Tulisan ini dimuat oleh Indotribun pada link : https://www.indotribun.id/nadiem-dan-pendidikan-berbasis-industri/)

2019-10-01

Mahasiswa Baru; Sebuah Transformasi Intelektual


Menjadi mahasiswa semakin digemari, bukan hanya karena intelektualnya yang mumpuni, tetapi juga karena gengsi. Orang tua, om, tante, kakek, dan nenek, sudah menyadari bahwa menyekolahkan anak hingga jenjang kuliah sudah menjadi kewajiban. Kuliah menjadi semacam standar sosial baru di lingkungan kampung yang sarjananya masih bisa dihitung jari. Apalagi di daerah Jawa Timur masih didominasi oleh pedesaan sehingga sarjana memiliki potensi dihormati yang tinggi.

Di kampung, sarjana tidak hanya dipandang mampu mengurusi persoalan yang sesuai dengan jurusannya. Seorang sarjana Ilmu Komunikasi tidak hanya dituntut untuk bisa mendesain banner atau menjadi MC suatu acara, tetapi ia juga harus bisa memberikan komentar soal hukum jika ada anggota keluarga yang berurusan dengan polisi. Seorang sarjana pertanian bisa jadi diminta berdoa di pernikahan saudara. Sama dengan sarjana teknik arsitektur harus bisa membenahi handphone dan printer jika rusah.

Kondisi ini bisa dianggap lucu, tetapi kondisi itu betul-betul terjadi di kampung. Sehingga tanggung jawab mahasiswa semakin besar untuk menjadi manusia serba bisa demi nama baiknya dan keluarga. Bulan April sampai Agustus seperti sekarang, merupakan momen siswa SMA/Sederajat bertransformasi menjadi mahasiswa. Mereka akan belajar menjadi manusia intelektual baru yang berbeda dengan cara-cara belajar konvensional semasa pelajar. Mahasiswa sudah bisa memilih mata kuliah yang bermanfaat atau kurang bermanfaat –alih-alih memilih mata kuliah yang disenangi atau tidak.

Berubahnya status intelektualitas ini harus diimbangi dengan semangat perubahan oleh mahasiswa baru. Jangan sampai mahasiswa menjadi beban pendidikan karena ketidaksiapannya menghadapi tantangan hidup di jenjang yang berbeda. Tugas mahasiswa yang berat akan mulai dikenalkan dalam Orientasi Mahasiswa Baru dengan sebutan Trifungsi Mahasiswa; Agent of Change, Man of Analysis, dan Social Control. Tetapi selama proses pembelajaran normal yang empat tahun, trifungsi mahasiswa ini hampir pasti tidak akan diingat lagi, berganti dengan tugas-tugas kuliah, pacaran, main game, hingga malas-malasan di kamar kos.

Kualitas Mahasiswa

Mahasiswa perlu mengingat bahwa tugasnya tidak hanya belajar di jenjang akademik, tetapi juga beraktivitas dalam masyarakat. Semua itu tercermin dalam proses pendidikan yang akan ditempuhnya di perguruan tinggi. Ketika membahas teori-teori di dalam kelas, mahasiswa punya tanggung jawab penuh untuk belajar –mungkin juga menghafalkan- berbagai macam teori beserta contoh-contohnya. Tetapi ketika ia dihadapkan dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maka mahasiswa punya tanggung jawab penuh mengaplikasikan teori dan keilmuannya ke dalam masyarakat.

Untuk menentukan kualitas mahasiswa memang sulit-sulit gampang. Masing-masing orang memiliki perspektifnya sendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang dan preferensinya. Apalagi secara umum kualitas perguruan tinggi di Indonesia dianggap tertinggal dari negara lain. Dari setiap variable kualitas pendidikan, baik mahasiswa maupun dosennya, juga selalu mendapat ranking buruk. Contoh yang paling mencolok adalah membaca, berdasar penelitian dari Central Connecticut State University (CCSU) dengan tajuk “World's Most Literate Nations” menempatkan Indonesia nomor 60 dari 61 negara di dunia yang rajin membaca.

Penelitian sejenis dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2015-2016 dengan nama program The Program for International Student Assesment (PISA) yang meranking seluruh negara di dunia untuk skor nilai matematika, science, dan membaca. Untuk ranking membaca, Indonesia sebagaimana yang bisa kita tebak berada di urutan paling akhir dengan skor 386. Skor paling tinggi diraih Singapura dengan angka 525 disusul negara Ireland (5151), dan Kanada (514).

Untuk mempersempit pembahasan ini, kita bisa lihat kualitas mahasiswa dari tiga aspek, pertama, dari sisi akademik. Salah satu capaian besar sebuah perguruan tinggi adalah apabila mahasiswanya lulus tepat waktu dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4.0. Hal ini bisa menjadi salah satu aspek penilaian mahasiswa berkualitas di bidang akademik. Mahasiswa dengan kualitas akademik tinggi hampir selalu berkaitan dengan kemampuan membaca yang tinggi. Sedihnya, Perpustakaan Nasional (2017) merilis bahwa orang Indonesia hanya membaca 5-9 buku setiap tahunnya yang tergolong sangat rendah.

Kemampuan akademik mahasiswa harus ditingkatkan melalui membaca sehingga kualitas hidup masyarakat juga turut meningkat. Karena membaca adalah dasar dari semua pengetahuan. Sehingga ketika mahasiswa jarang membaca ia tidak akan mampu menilai persoalan sosial dengan obyektif. Padahal sebagai man of analysis mahasiswa harus mampu menganalisa persoalan dari sebab-sebab hingga solusinya. Mahasiswa yang rajin membaca akan bisa membuat perbedaan yang besar dalam mencari solusi dibandingkan mahasiswa yang malas membaca.

Kedua, dari sisi keorganisasian. Mahasiswa harus mampu mengorganisir diri dan lingkungannya dalam sebuah wadah organisasi yang memiliki tujuan bersama. Saat ini perusahaan multinasional banyak menerapkan syarat karyawan yang memiliki kualifikasi : komunikatif, kolaboratif, kompetitif, dan sanggup bekerja di bawah tekanan. Kesemuanya itu tidak didapatkan mahasiswa di dalam kelas tetapi melalui organisasi yang diikutinya. Karena berorganisasi akan mengajarkan mahasiswa untuk memiliki daya tempa berkompetisi dengan mahasiswa lainnya.

Mahasiswa yang berorganisasi akan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka dan suka tantangan. Karena itu mahasiswa organisatoris memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkompetisi di berbagai lini dibandingkan mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam organisasi apapun. Kondisi-kondisi ini harus dipahami oleh mahasiswa secara mendalam sehingga mereka tidak meninggalkan organisasi hanya karena faktor akademik. Kemampuan berorganisasi akan membawa mahasiswa pada kompetisi-kompetisi di luar dirinya secara fair dan terbuka sehingga dapat membangun daya kolaborasi yang mumpuni.

Ketiga, mahasiswa berkualitas bisa diukur dari kemampuannya untuk bekerja dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan. Bekerja di sini dapat diartikan dalam unsur ekonomis bisa juga sosial. Mahasiswa yang bekerja dan menghasilkan uang untuk mensupport kehidupannya memiliki nilai plus guna memahami realitas yang sesungguhnya. Bekerja dan berwirausaha bisa menjadikan mahasiswa dewasa untuk menghargai jerih payah siapapun yang membantunya kuliah. Bekerja di versi lain adalah untuk kepentingan sosial yang tidak menghasilkan kapital. Membangun komunitas baca, sekolah anak jalanan, hingga aktif menjadi volunteer di berbagai komunitas juga membuat mahasiswa jadi jempolan.

Tetapi rumusnya jelas, mahasiswa harus selalu kembali ke tugasnya untuk menyelesaikan studi. Jangan sampai aktivitas bernilai ekonomis maupun sosial ini kemudian menghambat akademik mahasiswa lalu membuatnya jadi beban. Ketiga syarat di atas harus dilakukan dalam rangka membangun pribadi mahasiswa yang berkualitas sehingga akan bermanfaat bagi masyarakatnya kelak. Sering kali mahasiswa terpaksa harus memilih satu; ketika ia rajin kuliah, organisasi tidak ikut. Ketika ia rajin berorganisasi maka nilai akademik jeblok. Mahasiswa harus menjadi siswa yang superpower untuk bisa berprestasi dalam bidang akademik, organisasi, dan lingkungan sosial. Inilah yang membedakan mahasiswa dengan pelajar di tingkat SMP-SMA.

(Tulisan ini telah dimuat oleh Indotribun, berikut linknya : https://www.indotribun.id/mahasiswa-baru-sebuah-transformasi-intelektual/)


2019-09-05

Membangun Sustainable Tourism di Malang Raya


Masyarakat modern tidak lagi menganggap wisata sebagai kebutuhan tersier yang hanya dilakukan satu tahun sekali ketika musim liburan. Wisata saat ini merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh –terutama- generasi milleneal dan seluruh anggota keluarganya. Moment wisata bersama keluarga sudah menjadi agenda rutin yang akan terus-menerus menghidupkan potensi ekonomi penduduk yang tinggal di kawasan wisata. Tinggal bagaimana konsep wisata ini dikemas sehingga menyedot perhatian publik di seluruh Indonesia.

Desa Pujon Kidul, Kabupaten Malang, misalnya telah sukses menjadi tempat penyelenggaraan Advocacy Horizontal Learning (AHL) pada Agustus 2019 lalu. Seluruh anggota Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI) terpesona dengan cara Pujon Kidul menyulap area persawahan menjadi ikon wisata di Malang Raya. Tentu saja konsep itu tidak sehari jadi, tetapi membutuhan waktu bertahun-tahun dengan konsistensi memegang visi desa. Bahkan di tahun 2017, Desa Pujon Kidul memperoleh dua award, Desa Wisata Agro Terbaik Nasional dari Kemendesa PDTT, dan Pokdarwis Mandiri dari Menteri Pariwisata.

Di Malang Raya sendiri kita tentu tidak asing dengan istilah ‘desa wisata’ dan ‘kampung wisata’ yang digagas pemerintah daerah. Selain Pujon Kidul, ada juga Kampung Jodipan yang tidak kalah aktraktif mendandani rumah, jalan, lorong, dan jembatan dengan warna-warna cerah dan ceria. Kemudian di Kota Batu, ada Kampung Wisata Kungkuk yang juga menyediakan wisata ala kampung yang adem dan penuh ketenangan. Semuanya membangun konsep sendiri-sendiri sesuai dengan potensi desa tersebut sehingga tidak akan bersaing dengan potensi dari desa lain yang juga mengembangkan pariwisata.

Pariwisata sebenarnya menjadi pondasi perekonomian di Indonesia sejak lama. Tetapi perkembangan teknologi digital saat ini membuat pariwisata tumbuh kembali menjadi sumber perekonomian baru yang lebih menjanjikan. Media online yang tumbuh menyebar ke seluruh perangkat elektronik masyarakat menyediakan akses informasi yang massif dan menggiurkan. Hadirnya media sosial seperti Facebook dan Instagram juga membawa budaya baru konsumsi pariwisata; yang dulu sekadar melepas penat dari pekerjaan harian, sekarang menjadi ajang eksistensi diri dan narsistik di Generasi Y dan Z.

Karena itu pembangunan pariwisata saat ini menemukan momentnya yang luar biasa. Sebagaimana prinsip ekonomi; industri pariwisata juga meminimalisasi pengeluaran tetapi tetap bisa meraup keuntungan yang besar. Tinggal melakukan polesan di berbagai tempat yang instagramable maka pengunjung akan berdatangan dengan sendirinya. Mereka yang datang ini pun akan sekaligus menjadi duta wisata melalui berbagai postingan media sosialnya. Tetapi bagaimanapun mudahnya pemasaran wisata saat ini, prinsip pembangunan kawasan pariwisata tidak bisa parsial dan setengah-setengah.

Pemerintah dan pemangku kebijakan harus memperhatikan beberapa hal yang merupakan prinsip pembangunan industri pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). United Nation World Tourism Organization (UNWTO) menggarisbawahi beberapa cara membangun industri ini agar bisa bersinergi dengan warga; pertama, memanfaatkan sumber daya lingkungan secara optimal. Lingkungan tempat tinggal manusia merupakan salah satu realitas yang akan bertahan lama hingga ratusan tahun. Karena itu memanfaatkan apapun yang ada di lingkungan sekitarnya bisa menjadi sumber obyek wisata yang tidak ada habisnya, sekaligus menguatkan masyarakat yang tinggal di sana.

Desa Jaddih di Kabupaten Bangkalan memanfaatkan bongkahan-bongkahan batu pegunungan yang selesai ditambang hingga menjadi wisata paling banyak dikunjungi di sana. Desa Pujon Kidul juga secara percaya diri memanfaatkan persawahan yang dimilikinya hingga membuat wisatawan terkesan. Mungkin desa-desa wisata seperti di Dieng Kulon, Banjarnegara, beruntung karena berada di atas awan sehingga secara alami menarik. Tetapi apa yang dimanfaatkan oleh Desa Jaddih bisa menjadi contoh kegigihan warga setempat untuk tetap mencari potensi dari desanya; apalagi di sana udara panas, berdebu, dan pintu masuknya jauh dari jalan raya.

Kedua, menghormati keaslian warisan sosial-budaya masyarakat setempat. Pariwisata memang terkesan dengan hura-hura dan menghabiskan uang sehingga tempat yang cocok adalah wisata-wisata buatan seperti Dufan atau Marina Bay Sands. Tetapi siapa nyana wisata petik apel di Kota Batu juga menarik ribuan wisatawan untuk mencoba menjadi seorang petani. Wisatawan tertarik untuk memetik Apel Malang yang terkenal, apalagi diiming-imingi dengan makan sepuasnya di dalam kebun. Tradisi warga setempat akan selalu menarik perhatian wisatawan karena mereka ingin mencoba hal baru.

Karena itu konsep pariwisata yang berkelanjutan ini jangan malah memangkas aktivitas warga desa setempat. Jika memungkinkan wisatawan bisa diajak bersosialisasi secara natural oleh warga untuk menanam padi sebagaimana di Pujon Kidul dan Wisata Kampung Tani. Wisatawan juga bisa diajak tinggal bersama, memasak dan makan makanan khas warga yang tidak mungkin ada di tempat lain. Pengalaman ini akan sangat berkesan bagi wisatawan karena mereka tidak bisa menemukan hal yang sama di daerah asalnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, wisata semacam ini bisa memperkuat nilai kebhinekaan warga sehingga nasionalisme Indonesia tetap terjaga.

Ketiga, memastikan perekonomian jangka panjang yang layak dan stabil. Kemajuan pariwisata yang pesat harus berdampak langsung ke warga sekitar dengan peningkatan kehidupan yang layak secara ekonomi. Hal ini penting karena warga yang mendapatkan manfaat secara langsung dari industri pariwisata di desanya akan memiliki sense of belonging tinggi sehingga turut menjaga keutuhan pariwisatanya. Konsep kepastian memperoleh pendapatan dari hasil wisata ini harus diatur secara ketat dan berkeadilan sehingga semua warga mendapatkan hak yang sama dengan kontribusi yang sama besar.

Beberapa pemanfaatan pariwisata di bidang ekonomi misalnya dengan membuat buah tangan khas dari desa tersebut. Selain itu area industri pariwisata secara otomatis harus menyediakan berbagai akomodasi; rumah makan, toko snack dan minuman, penginapan, hingga sarana transportasi. Dengan penataan yang cermat dan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan maka perekonomian warga akan terdongkrak dengan sendirinya. Jika semua saling menjaga karena seluruh warga dapat merasakan manfaatnya, maka datangnya wisatawan secara terus-menerus akan membuat perekonomian warga ikut stabil.

Sustainable tourism ini cocok diterapkan di Malang Raya yang sejak lama mengembangkan desa-desa wisata. Dengan sedikit sentuhan yang disesuaikan dengan masing-masing potensi desa, maka simsalabim, seluruh desa akan berdaya dan mampu menghidupi warganya sendiri.

2019-08-19

Sarjana dan Problem Manusia Dewasa



Banyak hal di dunia ini yang membutuhkan keberanian. Beberapa hanya keberanian di level remah-remah rengginang, misalnya berani mandi di pagi hari, berani bertanya di dalam kelas, atau berani beol ketika sedang naik gunung. Beberapa hal lainnya membutuhkan keberanian level sultan, seperti menjadi sarjana dan pada akhirnya adalah menjadi dewasa. Kita akan menanggung beban beserta semua konsekuensinya sendirian –tidak ada manusia lainnya yang bisa kita jadikan kambing hitam.

Menjadi sarjana adalah sebuah kesalahan. Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Mengapa sarjana bersalah? karena sebagian besar sarjana di dunia ini akan berakhir menjadi sampah; sebagian lainnya memunguti sampah-sampah tersebut lalu membuangnya ke laut; dan sebagian kecil lainnya mengais sisa-sisa sampah di laut untuk dihancurkan atau diolah menjadi barang berguna. Kondisi ini tampaknya bombastis dan halusinasi –terutama bagi saya- sebagai pengajar perguruan tinggi, tetapi percayalah itu kondisi sebenarnya.

Karena pada dasarnya, banyak pengajar di perguruan tinggi –sama seperti saya, yang juga seorang sarjana- bermental rendahan, yang menjadikan tridharma perguruan tinggi sebagai kegiatan administratif, dan menjadikan profesi dosen sebagai pekerjaan untuk menghasilkan uang. Sampah akan menghasilkan sampah. Demikian dosen, demikian pula mahasiswanya yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan tidak ambil pusing dengan tugas intelektualitasnya sama sekali.

Setiap kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan hampir dapat dipastikan hanya diisi oleh beberapa mahasiswa. Memang betul banyak organisasi mahasiswa yang menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, juga diskusi-diskusi dan pemutaran film, tetapi rata-rata hanya untuk menggugurkan program kerja organisasi. Hal itu bisa dilihat dari rencana tindak lanjut dari setiap kegiatan itu, hampir dipastikan tidak akan berjalan sebagaimana yang dimaksud oleh proposal. Semuanya hilang tiba-tiba dan tidak berbekas.

Kondisi ini pada akhirnya akan melahirkan sarjana yang pintar membuat acara tetapi tidak substantif dalam menyelesaikan persoalan sosial. Mereka hanya akan menjadi tukang-tukang penyelenggara kegiatan tanpa manfaat yang membumi. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh sarjana kita adalah pekerjaan teknis, bukan pekerjaan berfikir, menemukan dan menganalisis, tidak juga memberikan solusi. Kita akan terus memproduksi anak-anak bangsa yang bermental pekerja –yang dari sana kita bisa dibodohi, atau mereka membodohi, agar bisa makan uang banyak.

Jika masyarakat yang dihasilkan oleh perguruan tinggi tidak bisa memberikan harapan maka manusia dewasa kita juga loyo; tidak berbobot, dan cenderung korup. Kita bisa bertanya kepada diri sendiri fungsi dan kegunaan apa kita diciptakan sampai sekarang? Memang jawabannya bakal beragam dan penuh percaya diri. Tetapi jika kita merasa bahwa manfaat kita besar, pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah: apakah jika kita tidak diciptakan, atau kita mati sesegera mungkin, akan ada yang menggantikan posisi itu? jawabannya; tentu saja banyak.

Posisi dan kegunaan kita akan selalu bisa digantikan oleh orang lain semudah kita mencari ganti makanan di aplikasi Go/Grab Food. Itu adalah bukti bahwa kita tidak sehebat yang kita kira. Barangkali kita adalah manusia yang dipaksa dewasa lalu harus melakukan aktivitas-aktivitas menjengkelkan yang tidak sesuai dengan kesenangan. Menjadi mahasiswa, bagi mahasiswa, adalah pekerjaan yang sulit. Tetapi jika dilihat dari sisi manusia dewasa yang telah meninggalkan bangku perkuliahan, menjadi mahaisiswa adalah persoalan sepele. Pekerjaan mahasiswa hanya belajar, berorganisasi jika mau, dan bekerja jika tidak punya uang.

Persoalan enggan belajar adalah persoalan mahasiswa sendiri. Persoalan tidak mendapatkan posisi di organisasi adalah karena ketidakaktivan mahasiswa di organisasi tersebut. Karena jaman sekarang mencari anggota aktif organsisasi sudah seperti mencari jarum di tumpukan taik kuda. Dan persoalan tidak memiliki uang ketika kuliah adalah persoalan klasik yang bisa diselesaikan dengan belajar serius untuk mendapatkan beasiswa, atau bekerja. Banyak pekerjaan yang bisa dipilih ketika kuliah, semuanya sah dan dimaklumi. Kesemuanya ini membutuhkan keseriusan, mengikis sifat manja, juga niat berjuang luar biasa dari mahasiswa itu sendiri.

Ketika masih mahasiswa, semuanya bisa selesai dengan kerja keras. Tetapi menjadi dewasa tidak sesimpel itu. Begitu sarjana sudah tersemat dalam toga di kepala mahasiswa, dia harus bisa bekerja profesional, dan ketidaksiapannya untuk bekerja akan mendapatkan gempuran secara real time. Saat KKN di desa-desa kita masih bisa belajar mengajar di sekolah, belajar membantu menyabit rumput petani, belajar membuat alamat desa, kesemuanya dimaknai belajar sehingga kekeliruannya, kejelekannya, ketidakrapiannya bisa dimaklumi.

Jangan kira KKN adalah potret kehidupan di perkampungan yang membahagiakan. Ketika KKN mahasiswa tidak memikirkan pekerjaan dan uang karena pekerjaannya hanya membantu warga, dan uang sudah dibayarkan di muka sehingga urusan makan sudah beres. Semua warga tersenyum karena kalian suka membantu. Tetapi menjadi dewasa tidak semanja itu. Kita harus bekerja dan menghasilkan uang, uang menghasilkan baju dan makanan, juga pendidikan bagi anak sendiri dan adik-adik yang masih sekolah.

Menjadi dewasa kita akan diberikan tanggung jawab untuk dikerjakan secara sempurna; tanpa kesalahan, dan tanpa ampun. Seorang pekerja konstruksi, tidak membuat palang pintu masuk desa yang serampangan; seorang penginput data di bank tidak akan diberi toleransi jika ada kesalahan huruf dan angka ke dalam sistem; seorang pekerja pemasaran harus berwajah cantik, kulit kuning, tinggi, bokong semok, berpakaian terbuka untuk bisa datang menawarkan rokok ke klien; dan seorang manager harus bisa memanajemen perusahaan agar bisa selalu profit.

Jika ketika mahasiswa kita masih baca buku, maka setelah dewasa buku hanya menjadi lambang kebanggaan di ruang tamu. Ketika mahasiswa masih bisa ngopi dengan kawan, tertawa terbahak, mengumpat presiden, dan mengepalkan tangan ke penindasan, maka setelah dewasa warung kopi menjadi tempat keluh kesah karena kontrak kerja akan berakhir seminggu lagi. Mahasiswa masih bisa meminta keringanan ke dosen agar nilainya diperbaiki, tetapi orang dewasa akan didepak bahkan sebelum mengetuk pintu pimpinan.

Menjadi dewasa adalah pilihan, tapi pilihan yang buruk. Maka sarjana harus menguatkan dirinya berjalan di bawah terik matahari dan tetap berlari di tengah hujan badai. Tangisan-tangisan sarjana akan membawa kepada penyadaran bahwa hidup harus diperjuangkan. Jika hidup kemudian manis padamu, teriakkan matursuwun kepada Sang Gusti, lalu pikirkan teman yang masih berjuang. Mereka akan malu meminta bantuan, tetapi tawaran tetap harus diberikan. Meski dunia bakal jahat padamu, wahai sarjana, tetaplah menjadi baik.

2019-08-17

Gunung Penanggungan



Kami melakukan perjalanan dengan penuh keyakinan di suatu Sabtu. Tentu setelah browsing tentang jalur pendakian, estimasi waktu, dan biaya ditambah sedikit drama karena ketidaktepatan janji. Mata menyala, otot menguat, dan teriakan seperti remaja kota, kami seakan hendak mencari sebuah kebijaksanaan yang berada di puncak gunung; barangkat dari sana kami akan menjadi resi yang sakti mandraguna.

Tetapi sebuah perjalanan sakral sekalipun akan terkotori dengan pertanyaan-pertanyaan profan. Misalnya, untuk apa sebenarnya kita naik gunung? Atau dengan siapa kita harus naik gunung? Dengan pacar atau teman? Itu pertanyaan remeh yang harusnya tidak usah ditanyakan karena malah membuat perjalanan sangat duniawi. Kami sepakat untuk tidak yakin dengan jawaban klise semacam; naik gunung untuk mencari jati diri, atau naik gunung untuk belajar tentang kehidupan.

Karena itu, tanpa perhitungan yang matang, 10 bungkus mie instan kami masukkan ke tas carrier yang penuh dengan baju hangat. Hitung-hitungan dimulai, di mana beras harus diletakkan, dan kompor, dan nesting, dan tenda, juga matras, harus ditenggelamkan ke tasnya siapa. Semua harap-harap cemas agar tidak kebagian barang banyak dan berat. Di situlah seni menata isi tas carrier, juga seni berjalan bareng. Semua ingin enteng, semua ingin menuju puncak dengan beban ditanggungkan ke pundak kawannya.



Dari pengetahuan di internet, kami menjadi tahu bahwa di Gunung Penanggungan ada satu jalur khusus yang sepanjang menuju puncak terdapat candi-candi peninggalan jemaat hindu-budha; namanya Jalur Jolotundo. Namanya juga khas dan angker, tidak seperti jalur pendakian lewat Tamiajeng yang ramai. Tetapi google rupanya menyesatkan kami, karena setibanya kami di sana, bukan Jalur Jolotundo yang kami jejak, malah jalur yang baru dibuka; yaitu melalui Desa Ngurirejo.



Tapi rejeki tidak jauh juga tampaknya, karena di jalur ini terdapat 6 candi yang dapat membuat foto selfie kita jempolan hingga membuat sebal haters. Dengan ragu-ragu, sekitar pukul 15.00 WIB kami mulai menanjak pelan. Saya sebagai slow climber garis keras harus berkali-kali berhenti untuk mencari nafas. Maklum!. Sementara remaja lainnya yang bareng dalam pendakian, penuh semangat dan bergegas seakan hendak mengejar matahari yang mulai meredup. Kuteriaki mereka dan kuminta untuk pelan-pelan, tapi mereka tetap kencang di depan.

Pos Pendaftaran - Pos 2

Perjalanan dari pos pendaftaran menuju pos 2 cenderung menanjak santai. Di sinilah harusnya saya mulai beradaptasi. Karena otot pegawai memang terbuat dari agar-agar sehingga musti banyak penyesuaian. Karena itu, baru 15 menit kemudian kami sampai di Pos 2 -yang bangunannya berupa gubuk tanpa dinding. Kalau pendaki pro, menuju pos 2 tidak akan berkeringat, dan mungkin hanya memakan waktu 5 menit.


Oya, pos pendaftaran ini tampaknya tidak resmi karena uang yang kami berikan tidak berbalas kwitansi atau tiket apapun. Hanya ada list nama asal-asalan, peta yang habis sehingga harus diambilkan ke desa, dan air yang mengalir semacam kencing batu. Sempat khawatir karena sepeda motor rentalan kami harus ditaruh di sana selama 2 hari. Tetapi tawakal kami kepada Allah semesta alam, maka hati kami kuatkan. Kami pasrahkan sepeda motor itu kepada penduduk desa tanpa jaminan apapun.

Pos 2 - Candi Carik

Kami hampir putus asa dan merasa salah jalan karena tidak bertemu Candi Carik hingga 2 jam. Menurut perkiraan kami yang asal-asalan, harusnya kami sampai di Candi Carik sekitar setengah jam. Karena itulah kami ragu dan akhirnya, tepat sebelum magrib kami berbahagia karena bertemu candi. Kami langsung melakukan ritual foto-foto dibarengi dengan semangat 45 karena merasa jalurnya sudah benar.


Carik, dalam terminologi Jawa, adalah sekretaris desa yang bertugas mengurusi seluruh administrasi -sering juga mengurusi segala macam persoalan- yang ada di kampung. Tapi untuk arti dari Candi Carik sendiri saya tidak tahu menahu. Candi ini bentuknya menggunung ke atas dengan sekitar 20 undakan. Kami tidak berhenti lama karena matahari mengejar di belakang. Tas segera kami panggul, bergerak menuju ketinggian.



Candi Carik - Candi Lurah

Perjalanan menuju Candi Lurah tidak begitu mengesalkan karena hanya dalam waktu 10 menit kita sudah sampai. Itu membuat kami takjub dan sangat bersemangat. Tapi malam sudah menjelang sehingga foto-foto tidak berguna. Kami hanya istirahat secukupnya lalu kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan malam memang lebih aman bagi pendaki. Karena suasana yang temaram, hawa dingin, dan julang pegunungan tidak kelihatan, perjalanan menjadi lebih mudah.


Candi Lurah - Candi Siwa

Menuju ke Candi Siwa tidak begitu berat karena jalanan agak landai. Hanya membutuhkan 10 menit untuk sampai Siwa. Bonusnya gunung penanggungan memang ada beberapa, salah satunya menuju Candi Siwa. Tetapi candi ini letaknya di bawah jalan sehingga tidak akan kelihatan ketika malam. Sehingga ketika mau ke Candi Siwa kita harus turun sedikit. Dengan beberapa pertimbangan kami akhirnya hanya istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan tanpa mampir ke Candi Siwa.


Candi Siwa - Candi Wisnu - Candi Guru

Dua candi terakhir ini berada di ketinggian yang lumayan sehingga beban berat akan semakin kerasa. Dalam peta yang diberi oleh petugas di Pos 1 nama candi Wisnu tidak ada sehingga membuat kita pusing. Kami ragu untuk melanjutkan perjalanan karena begitu tersesat di pegunungan, jalan kembali tidak akan mudah ditemukan. Jika tersesat di hutan atau gunung, maka kembalilah ke bawah, bukannya terus melanjutkan perjalanan. Keyakinan ini pula yang membuat kami bingung.


Lalu kami bersepakat untuk terus maju dengan perasaan was-was. Kami berjanji akan kembali jika perjalanan buntu. Jadi, selama jalan setapak masih kelihatan jelas, kami yakin itulah jalan yang benar menuju ke puncak. 20 menit perjalanan yang meragukan itu akhirnya berhenti di Candi Guru. Ini menunjukkan bahwa jalan kami benar karena sesuai dengan peta. Lumayan melegakan untuk meneguk air botol yang kami bawa bersama.

Candi Guru - Gua Butol

Setelah kami melewati Candi Guru, semak semakin tebal dan savana tampaknya sudah terlihat di beberapa tempat. Perjalanan kami teruskan sampai kembali bertanya-tanya dimana Gu Butol yang ada dalam peta. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 2 jam sehingga pikiran semakin kalut. Kami meyakini harusnya Gua Butol tidak jauh. Waktu itu di Kota Malang seringkali suhu menunjukkan angka 15 derajat sehingga sangat dingin. Di perjalanan malam ini, kami juga merasakan hal yang sama, dingin sangat terasa menembus jaket dan kaos yang kami pakai.


Kami akhirnya berhenti di suatu tanah lapang yang tidak cukup untuk dua tenda. Kami ragu mau melanjutkan. Dua orang yang masih setrong mencoba mendaki lagi untuk mendapatkan petunjuk. Tapi mereka turun lagi setelah mendapati beberapa pepohonan yang muncul tiba-tiba. Agak ambigu karena di sekeliling hanya ada ilalang. Beberapa dari kami memutuskan untuk membuat camp di tempat ini karena melanjutkan perjalanan tampaknya berbahaya.

Setelah hampir setengah jam mendekap tubuh yang kedinginan, dari bawah ada senter dari pendaki lain yang berkilat-kilat. Kami teriak, mereka teriak. Semakin lama kami semakin yakin bahwa mereka sedang menuju ke arah kami. Dengan keyakinan itu, berarti jalan ini jalan yang benar. Dengan semangat tinggal separuh, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. 15 menit kemudian kami sampai di wilayah pepohonan yang rapat.

Wilayah ini agak menyenangkan karena banyak pohon untuk dipakai pegangan. Istirahat juga bisa bersandar ke pepohonan. Perjalanan berlanjut dengan nafas yang memburu karena tanjakan semakin sadis. Kami saling membantu untuk mendaki karena beberapa tanjakan cenderung curam. Setelah 30 menit, teman yang berjalan duluan berteriak kalau ada gua gelap di bebatuan. Kami yang di bawah bersemangat lalu berhamburan sampai tiba di depan gua.

Gua Butol

Goa ini bisa menampung sekitar 3 tenda ukuran sedang. Malam itu dingin sekali. Jadi beruntung kami bermalam di gua sehingga tidak seberapa dingin, bahkan cenderung hangat. Kami membawa lontong dari Pasar Landungsari sehingga tidak perlu memasak nasi malam itu. Keuntungan membawa lontong ini juga bisa menghemat air, karena tidak perlu bersihkan beras, dan memasak beras dengan air yang lumayan.


Tetapi memakan lontong saja tidak menarik jadi kami tetap masak mie instan sebagai penambah rasa. Hmm...nyam nyam. Kaki yang menegang sepanjang perjalanan akhirnya bisa istirahat dengan leluasa. Kami seduh kopi dan minum pelan-pelan sambil menikmati suasana di atas pegunungan. Kondisi istirahat semacam ini akan sangat dirindukan ketika sudah turun. Hingga larut kemudian, lampu tenda meredup karena kehabisan baterai. Kami tidur lelap hingga jam 04.00 WIB alarm berbunyi.

Gua Butol - Puncak

Perjalanan di pagi hari merupakan perjalanan yang paling malas. Bagaimana tidak, enak-enak tidur harus bangun dengan mata terbuka lebar. Bukan hanya bangun, tetapi harus melakukan perjalanan menuju puncak yang tanjakannya cukup untuk membuat nyari menciut. Tetapi apapun kondisinya, kalau kepalang tanggung sudah di sana ya akan tetap dilakukan. Bagaimana lagi.


Dua botol air kami siapkan di satu tas yang di bawa satu orang. Kami mendaki dengan semangat baru karena ada beberapa perempuan yang juga bersemangat di depan. Seolah-oleh kita tidak mau kalah dengan mereka. Pendakian menuju puncak sangat berbeda karena tiba-tiba banyak orang yang sekarang menuju ke titik yang sama. Lampu senter berkilau dari bawah, atas, dan segala arah. Mengherankan karena kemarin tak satupun orang kami. temui.

Dalam waktu 40 menit perjalanan kami ternyata sudah sampai puncak. Jam 5 yang masih terlalu dini, tetapi di puncak sudah penuh orang. Beberapa tenda juga terpasang di sana. Rupanya mereka menginap di puncak gunung, wow, pasti dingin dan berangin. Camp di puncak gunung sebenarnya tidak disarankan karena langsung beratapkan langit dan tidak ada apapun yang bisa menghalau angin.

Matahari muncul pukul 05.30 pelan-pelan. Tiba-tiba puncak gunung penanggungan seperti pasar dadakan yang ramai dan bergerombol di mana-mana. Naik gunung sekarang bukan aktivitas eksklusif lagi, tetapi sudah menjadi kegiatan populer sebagaimana ke pantai atau pusat wisata lainnya. Kamera bersiap, orang memperebutkan monent matahari terbit di setiap bagian gunung. Penuh sesak dan menggemaskan.

Kami juga bagian dari budaya populer tersebut. Foto-foto di setiap moment, lalu jengah dan duduk saja sambil ngobrol. Sekitar satu setengah jam kemudian kami turun dari puncak menuju Gua Botol. Turun dari puncak cukup cepat karena hanya 15 menit saja. Saya yang masuk Gua Butol duluan langsung menyiapkan makanan; nasi, mie instan, tempe goreng, dan sarden. Teman-teman yang datang belakangan packing sekadarnya, lalu makan bersama sebelum benar-benar turun gunung.

Setelah semuanya merasa siap, kami packing dengan cepat, memastikan semua api telah padam, memastikan semua sampah telah terangkut ke dalam tas, lalu turun dengan cita-cita makan mie ayam beserta es teh lengkap dengan gorengan dan tambahan nasi pecel.