Beberapa hari ini nama Nadiem
Makarim meroket. Headline media
massa, opini di berbagai platform
media, hingga meme di media sosial,
semuanya membicarakan sosok menteri termuda dalam Kabinet Indonesia Maju
tersebut. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa posisi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan merupakan jabatan strategis yang berkaitan dengan harapan rakyat
Indonesia akan pendidikan berkualitasa, bukan sekadar persoalan anggaran yang
besar dan kewenangan yang luas.
Masyarakat tampak lelah melihat
kondisi pendidikan di Indonesia yang jauh tertinggal dari negara lain. Karena
itu tidak menjadi soal apakah menterinya seorang professor atau seorang
praktisi, hanya prestasi yang membuat menteri dibanggakan. Seperti yang
diketahui, jabatan menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya diisi oleh
profesor -yang merupakan jabatan tertinggi dunia akademik- juga seorang mantan
rektor —yang merupakan jabatan tertinggi di struktural perguruan tinggi. Tetapi
apakah mereka telah membawa perubahan terkait pendidikan Indonesia secara
signifikan?
Secara pasti sulit untuk menjawab
kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut World Bank, kualitas pendidikan
Indonesia masih rendah. Dalam website Times
Higher Education, perguruan tinggi di Indonesia tidak pernah mencapai 500
universitas terbaik di dunia dari tahun 2016 sampai 2019. Dengan kondisi ini, Presiden
RI Joko Widodo (Jokowi) secara berani mendudukkan seorang pendiri startup menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Dia bukan dari kalangan akademis, bukan seorang professor dan tidak
pernah menjabat sebagai rektor.
Record pemilihan menteri Jokowi yang sama
kontroversinya dengan Nadiem adalah Susi Pudjiastuti yang lulusan SMP dan
bertato, pada Kabinet Indonesia Kerja. 'Eksperimen' tersebut dinilai berhasil
karena hastag #WeWantSusi menjadi trending
topic di Twitter ketika Jokowi tidak lagi menugaskan Susi dalam jajaran
kabinetnya yang baru. Karena itu harus diakui apa yang dilakukan Jokowi
merupakan sesuatu yang spektakuler dan out
of the box, atau istilah lain yang bisa menggambarkan betapa tidak
terduganya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Link and Macth
Dunia Industri
Jokowi sendiri menjelaskan bahwa
pemilihan Nadiem sebagai menteri pendidikan agar dapat menghubungkan dunia
pendidikan dengan dunia industri. Harapan ini bersifat praktis bukan ideologis.
Teknis bukan teoritis. Maka Nadiem dan seluruh pendidik harus bisa
menerjemahkannya dalam kurikulum dan metode pembelajaran yang sesuai dengan
tantangan industri. Ini adalah sinyal dari presiden untuk mengarahkan model
pendidikan yang mudah, kreatif, serta siap pakai, bukan berbelit-belit dan
akhirnya tidak berguna bagi lulusan.
Pemikiran ini bisa mengarah pada pengembangan
pendidikan di era disrupsi yang sedang hangat dibicarakan beberapa tahun
belakangan. Kondisi ini tidak perlu ditakuti sehingga harus melakukan perubahan
besar-besaran. Era disrupsi hanya mengubah kondisi-kondisi teknis, bukan pada
fungsi dan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tetap sama untuk membangun
manusia Indonesia yang kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan berakhlak
mulia. Sedangkan metode pembelajarannya bisa secara kreatif diciptakan untuk
mengakomodasi era disrupsi; seperti konvergensi dan penggunaan teknologi
terkini.
Ada dua cara pandang untuk memahami
link and match pendidikan dengan
industri agar tidak terjebak pada pemikiran yang sempit. Pertama, soal pesimisme pendidik ber-paradigmna kritis yang
cenderung tidak mempercayai industri sebagai indikator keberhasilan pendidikan.
Kebutuhan untuk memenuhi dunia kerja dengan sumber daya manusia yang andal
memang penting, tetapi jangan sampai mereduksi fungsi manusia sebagai individu
yang bebas dan kreatif.
Tradisi kritis memganggap dunia kerja
lebih banyak mematikan imajinasi karena berisi rutinitas dan tekanan-tekanan
yang melulu berhubungan dengan produksi barang dan jasa. Perhatian yang
berlebihan pada keilmuan praktis/teknis ini pada akhirnya akan berujung pada
matinya keilmuan sosial, seni, budaya, dan sastra yang dapat mendangkalkan
nilai kemanusiaan. Nadiem sebagai menteri harus paham bahwa pendidikan pada
dasarnya untuk memaksimalkan potensi kemanusiaan tersebut, bukan menciptakan
robot-robot pekerja.
Secara umum dunia industri bisa
dikatakan mengobrak-abrik sistem pendidikan di Indonesia. Kini seluruh
kurikulum perguruan tinggi harus merujuk pada kebutuhan industri. Instrumen
penilaian dalam akreditasi selalu berhubungan dengan output dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang
bisa dimanfaatkan oleh dunia industri atau masyarakat umum secara langsung.
Padahal sudah lama diketahui, dunia akademik selalu terlambat merespon cepatnya
laju industri.
Karena itu link and match dunia pendidikan dengan dunia industri tidak boleh
diterapkan mentah-mentah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Akan banyak
negatifnya jika melihat peserta didik hanya sebagai pekerja-pekerja di masa
mendatang. Mereka sudah tidak lagi berupaya untuk mempelajari sastra, kesenian,
dan atau berfikir kritis karena hal-hal tersebut tidak dipakai dalam dunia
kerja. Kita tentu tidak mau masa depan Indonesia terjajah oleh industri yang
kaku dan menjemukan.
Kedua,
dunia pendidikan
harus bersiap untuk memasukkan unsur kebutuhan industri dalam kurikulumnya.
Setiap program pendidikan harus memperhatikan materi pembelajaran yang berbasis
pada kebutuhan industri dengan skala-skala prioritas, baik itu lokal, nasional,
maupun internasional. Pekerjaan di masa mendatang memang berubah, sudah bukan
didominasi pegawai, guru, penjahit, dan tukang servis, tapi mengarah pada data scientist, app developer, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan
teknologi.
Pekerjaan itu mungkin tidak ada di
lima tahun yang lalu, tetapi menjadi pekerjaan yang menjanjikan di lima tahun
mendatang. Bahkan ilmu sosial yang sejak dulu mempelajari pola komunikasi,
perubahan sosial, dan pengelolaan persepsi masyarakat secara langsung ke
lapangan, sudah akan berganti dengan analisis big data. Aplikasi seperti Drone
Emprit yang dikembangkan untuk menjelajahi komunikasi di dunia maya sekarang
bisa melacak, menganalisis, memprediksi, hingga mengubah perilaku masyarakat
tanpa harus mendatangi kabupaten/kota satu persatu.
Memang betul, Nadiem sebagai sosok
pemuda mampu mengembangkan aplikasi Go-Jek yang dapat menolong jutaan orang di
Indonesia. Keberhasilan ini yang tampaknya ingin dilihat Jokowi dalam sistem
pendidikan Indonesia. Tetapi harus diingat bahwa manusia tidak semata-mata
butuh bekerja, masyarakat Indonesia tidak semata-mata bergantung dengan dunia
industri. Industri bisa membantu masyarakat untuk hidup lebih mudah, tetapi
karakter dan kepribadian kemanusiaan Indonesia jangan sampai tercerabut.
Tampaknya ini menjadi tugas berat
bagi Nadiem. Tapi bagaimanapun, kita harus optimis menatap masa depan
pendidikan di Indonesia. Jadi, selamat bekerja Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang baru!
(Tulisan ini dimuat oleh Indotribun pada link : https://www.indotribun.id/nadiem-dan-pendidikan-berbasis-industri/)
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.