Kaum
intelektual mendapatkan posisi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di manapun, golongan terpelajar dan terdidik ini memperoleh perlakuan khusus
dengan dongengan bahwa mereka mampu memecahkan masalah dengan cepat, tepat, dan
obyektif. Kaum intelektual dijadikan tim ahli anggota dewan, dijadikan
penasehat di pemerintahan, juga diberi alokasi waktu khusus untuk berbicara
sebagai ahli di berbagai media massa. Secara singkat, kaum intelektual adalah
permata bagi negeri di manapun ia berada.
George Orwell,
penulis asal Inggris yang terkenal dengan novel “Animal Farm”-nya, memperjelas
posisi penting kaum intelektual dalam kalimatnya yang menarik; “Rakyat jelata secara keseluruhan masih
hidup di dunia yang baik dan jahat absolut, yang mana kaum intelektual telah
lama melarikan diri”. Ia beranggapan bahwa kaum intelektual telah terbebas
dari masalah dikotomi kehidupan yang hanya ada hitam dan putih, salah dan
benar, malaikat dan iblis.
Bisa jadi itu
adalah pernyataan yang meninabobokan. Kenyataannya kaum intelektual malah
memperparah kondisi sosial dengan melanggengkan persoalan hitam-putih dengan
istilah ilmiah-tidak ilmiah. Masyarakat di luar tradisi kampus seringkali
dianggap tidak ilmiah sehingga dicemooh. Intelektual-akademisi tidak sadar
bahwa dirinya sering terbelenggu dalam permasalahan pelik yang bahkan tidak
hanya ada hitam-putih, tapi juga abu-abu yang rawan dengan kesalahan dan
kebohongan. Di sinilah intelektual kemudian terjebak dengan retorikanya
sendiri.
Karena sifat
ilmiah-non ilmiah inilah maka dosen dan mahasiswa lebih banyak kesulitan
mengaplikasikan keilmuannya di tengah masyarakat ketika pelaksanaan Kuliah
Kerja Nyata (KKN). Bahkan tidak jarang, mereka yang harus belajar ke masyarakat
secara langsung karena keilmuan teoritisnya tidak bisa dipraktikkan. Kenyataan
ini tentu pahit dirasakan oleh mahasiswa yang sehari-hari dicekoki metode
ilmiah yang dianggap agung dan mulia. Karena bagaimanapun mahasiswa berfikir,
berorganisasi, dan beraktivitas di kampus, akan sia-sia jika tidak bisa
dikembangkan di masyarakat.
Selain itu,
kaum intelektual dengan institusinya juga memiliki paradoks yang bisa dibilang
lucu. Suatu kampus yang memiliki banyak program studi belum tentu dapat
mengaplikasikan keilmuan dosen-dosennya. Kampus yang memiliki Program Studi
Administrasi Publik belum tentu memiliki tata administrasi yang bagus. Kampus
yang memiliki dosen-dosen ekonomi juga jarang yang bisa membangun sistem
koperasi yang sesuai dengan teori-teori di dalam kelas. Begitupun kampus dengan
Program Studi Arsitektur Lanskap, belum tentu memiliki taman-taman yang indah.
Kritik terhadap
kaum intelektual yang hanya duduk di menara gading ilmu pengetahuan sudah lama
dilakukan. Mereka menjaga jarak terlalu jauh dengan masyarakatnya sehingga
kehilangan sensifitas keilmuannya terhadap kebutuhan masyarakat. Tetapi kritik
semacam ini bisa jadi ditanggapi negatif oleh kalangan intelektual dan
akademisi itu sendiri karena merasa sudah memberikan sumbangan besar terhadap
negara –meskipun sumbangan ini abstrak. Tetapi kritik tinggal kritik karena
kenyataannya semakin banyak kaum intelektual yang dihasilkan kampus, semakin
besar pula ketidakjelasannya.
Sebab itu, Charles
Bukowski dengan sentilannya yang nakal malah menganggap kaum intelektual adalah
orang-orang yang mengatakan hal sederhana
dengan cara yang rumit, berbeda dengan seorang seniman yang mengatakan hal-hal
sulit dengan cara yang sederhana. Padahal yang seharusnya terjadi adalah
seorang intelektual harusnya mampu mengurai persoalan pelik bagi kaum awam
menjadi lebih masuk akal dan sederhana.
Kemampuan
seorang intelektual untuk menyederhanakan persoalan ini tercermin dalam
pikiran-pikirannya yang terstruktur dalam tradisi penelitiannya yang ketat. Sebagai
seorang pembaca dan peneliti, kaum intelektual bisa menganlisis persoalan
mendasar masyarakat, menentukan metode, menggunakan teori sebagai analisis,
memberi kesimpulan, lalu memberikan saran-saran perubahan agar masyarakat hidup
lebih bermartabat. Bahkan dalam Teori Kritis, kaum intelektual merupakan orang
yang paling bertanggung jawab terhadap kesejahteraan, kemerdekaan, kesehatan, dan
kebahagiaan masyarakat.
Tentu hal
tersebut bisa dikatakan bombastis. Tetapi perlu disadari bahwa kaum intelektual
sebagai penanggung jawab sosial ini sebenarnya bermuara pada kritik terhadap
pemikiran Karl Marx yang menganggap kelas proletar sebagai pembebas
ketertindasan. Jika ketertindasan ini berkaitan dengan fisik dan mengangkat
senjata mungkin benar. Tapi kondisi saat ini ketertindasan lebih berkaitan
dengan psikis dan berjalan tanpa disadari. Penjajahan tidak lagi dengan
merampas tanah atau hasil bumi, tetapi dengan menjajah budaya dan pemikiran.
Oleh karena itu,
yang menjadi subyek revolusi -penggerak perubahan-, sudah bukan lagi kelas
proletar. Hal ini sudah ditinggalkan sejak lama meskipun ketika demo oleh
aktivis kampus, pembagian kelas borjuis dan proletar tetap dipakai. Adalah kaum
intelektual yang setiap harinya berkutat dengan buku, penelitian, provokasi,
dan pengabdian kepada masyarakatnya lah yang menjadi subyek revolusi (Lubis, 2016:11).
Bagaimana kaum intelektual dapat menjadi subyek perubahan di lingkungan
masyarakatnya? tentu dengan menggunakan rasionya sehingga dapat menganalisis
dengan tepat persoalan apa yang dihadapi masyarakat sekaligus menemukan
penawarnya.
Misalnya iklan
televisi yang lebih banyak menggunakan tubuh perempuan sebagai komoditas
ekonomi. Iklan sabun, shampoo, body
lotion, dan pembersih wajah, semuanya menggunakan perempuan dengan konotasi
‘cantik’ sehingga menciptakan kebutuhan palsu terhadap produk tersebut. Masyarakat
akan memahami apa adanya dan menginginkan tubuh sebagaimana tubuh bintang
iklan. Sebagai intelektual yang memahami bias gender dalam periklanan, harus
memberi pemahaman kepada masyarakat tentang penerimaan diri sebagai makhluk
sempurna yang diciptakan tuhan.
Demikian pula
informasi-informasi di jagat internet yang dimanfaatkan oleh buzzer politik demi menyebar hoax,
keresahan dan ketakutan, juga kebohongan publik, tidak akan disadari oleh
masyarakat umum. Masyarakat luas hanya mendapat informasi dengan data palsu
lalu mempercayainya begitu saja sebagai fakta. Maka menjadi tugas kaum
intelektual untuk menemukan akar persoalannya lalu mencari solusi agar
masyarakat bisa tersadarkan. Minimal kaum intelektual harus bisa menyebarkan
gagasan literasi media sehingga tidak terpengaruh propaganda politik praktis hingga
post truth.
Tugas
intelektual di dunia yang banjir informasi ini semakin berat. Karena itu,
intelektual sesungguhnya tidak hanya transfer
knowledge di kelas-kelas seperti yang disebut Gramsci sebagai intelektual
tradisional, tetapi juga menjadi intelektual organik yang beraksi di masyarakat
untuk melakukan gerakan penyadaran. Kita tidak cukup hanya berteriak di dalam
kelas dan ruang-ruang publik terbatas, tetapi juga perlu turun ke masyarakat
secara langsung dengan memegang peran kunci hidup bermasyarakat. Dengan begitu,
kita akan terhindar dari intelektual
retoris, yang seolah-olah memiliki nalar terang, padahal gagap dalam
bertanggung jawab sosial.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.