Banyak hal di dunia ini yang membutuhkan keberanian.
Beberapa hanya keberanian di level remah-remah rengginang, misalnya berani
mandi di pagi hari, berani bertanya di dalam kelas, atau berani beol ketika
sedang naik gunung. Beberapa hal lainnya membutuhkan keberanian level sultan, seperti
menjadi sarjana dan pada akhirnya adalah menjadi dewasa. Kita akan menanggung
beban beserta semua konsekuensinya sendirian –tidak ada manusia lainnya yang
bisa kita jadikan kambing hitam.
Menjadi sarjana adalah sebuah kesalahan. Menjadi dewasa
adalah sebuah pilihan. Mengapa sarjana bersalah? karena sebagian besar sarjana
di dunia ini akan berakhir menjadi sampah; sebagian lainnya memunguti
sampah-sampah tersebut lalu membuangnya ke laut; dan sebagian kecil lainnya
mengais sisa-sisa sampah di laut untuk dihancurkan atau diolah menjadi barang berguna.
Kondisi ini tampaknya bombastis dan halusinasi –terutama bagi saya- sebagai
pengajar perguruan tinggi, tetapi percayalah itu kondisi sebenarnya.
Karena pada dasarnya, banyak pengajar di perguruan tinggi –sama
seperti saya, yang juga seorang sarjana- bermental rendahan, yang menjadikan
tridharma perguruan tinggi sebagai kegiatan administratif, dan menjadikan
profesi dosen sebagai pekerjaan untuk menghasilkan uang. Sampah akan
menghasilkan sampah. Demikian dosen, demikian pula mahasiswanya yang lebih
banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan tidak ambil pusing dengan tugas intelektualitasnya sama sekali.
Setiap kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
hampir dapat dipastikan hanya diisi oleh beberapa mahasiswa. Memang betul banyak
organisasi mahasiswa yang menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, juga
diskusi-diskusi dan pemutaran film, tetapi rata-rata hanya untuk menggugurkan
program kerja organisasi. Hal itu bisa dilihat dari rencana tindak lanjut dari
setiap kegiatan itu, hampir dipastikan tidak akan berjalan sebagaimana yang
dimaksud oleh proposal. Semuanya hilang tiba-tiba dan tidak berbekas.
Kondisi ini pada akhirnya akan melahirkan sarjana yang
pintar membuat acara tetapi tidak substantif dalam menyelesaikan persoalan
sosial. Mereka hanya akan menjadi tukang-tukang penyelenggara kegiatan tanpa
manfaat yang membumi. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh sarjana kita adalah
pekerjaan teknis, bukan pekerjaan berfikir, menemukan dan menganalisis, tidak
juga memberikan solusi. Kita akan terus memproduksi anak-anak bangsa yang
bermental pekerja –yang dari sana kita bisa dibodohi, atau mereka membodohi,
agar bisa makan uang banyak.
Jika masyarakat yang dihasilkan oleh perguruan tinggi tidak
bisa memberikan harapan maka manusia dewasa kita juga loyo; tidak berbobot, dan
cenderung korup. Kita bisa bertanya kepada diri sendiri fungsi dan kegunaan apa
kita diciptakan sampai sekarang? Memang jawabannya bakal beragam dan penuh
percaya diri. Tetapi jika kita merasa bahwa manfaat kita besar, pertanyaan
berikutnya yang harus dijawab adalah: apakah jika kita tidak diciptakan, atau
kita mati sesegera mungkin, akan ada yang menggantikan posisi itu? jawabannya;
tentu saja banyak.
Posisi dan kegunaan kita akan selalu bisa digantikan oleh
orang lain semudah kita mencari ganti makanan di aplikasi Go/Grab Food. Itu
adalah bukti bahwa kita tidak sehebat yang kita kira. Barangkali kita adalah manusia
yang dipaksa dewasa lalu harus melakukan aktivitas-aktivitas menjengkelkan yang
tidak sesuai dengan kesenangan. Menjadi mahasiswa, bagi mahasiswa, adalah
pekerjaan yang sulit. Tetapi jika dilihat dari sisi manusia dewasa yang telah
meninggalkan bangku perkuliahan, menjadi mahaisiswa adalah persoalan sepele.
Pekerjaan mahasiswa hanya belajar, berorganisasi jika mau, dan bekerja jika
tidak punya uang.
Persoalan enggan belajar adalah persoalan mahasiswa sendiri.
Persoalan tidak mendapatkan posisi di organisasi adalah karena ketidakaktivan
mahasiswa di organisasi tersebut. Karena jaman sekarang mencari anggota aktif
organsisasi sudah seperti mencari jarum di tumpukan taik kuda. Dan persoalan tidak
memiliki uang ketika kuliah adalah persoalan klasik yang bisa diselesaikan
dengan belajar serius untuk mendapatkan beasiswa, atau bekerja. Banyak
pekerjaan yang bisa dipilih ketika kuliah, semuanya sah dan dimaklumi.
Kesemuanya ini membutuhkan keseriusan, mengikis sifat manja, juga niat berjuang
luar biasa dari mahasiswa itu sendiri.
Ketika masih mahasiswa, semuanya bisa selesai dengan kerja
keras. Tetapi menjadi dewasa tidak sesimpel itu. Begitu sarjana sudah tersemat
dalam toga di kepala mahasiswa, dia harus bisa bekerja profesional, dan
ketidaksiapannya untuk bekerja akan mendapatkan gempuran secara real time. Saat KKN di desa-desa kita
masih bisa belajar mengajar di sekolah, belajar membantu menyabit rumput
petani, belajar membuat alamat desa, kesemuanya dimaknai belajar sehingga
kekeliruannya, kejelekannya, ketidakrapiannya bisa dimaklumi.
Jangan kira KKN adalah potret kehidupan di perkampungan yang
membahagiakan. Ketika KKN mahasiswa tidak memikirkan pekerjaan dan uang karena
pekerjaannya hanya membantu warga, dan uang sudah dibayarkan di muka sehingga
urusan makan sudah beres. Semua warga tersenyum karena kalian suka membantu.
Tetapi menjadi dewasa tidak semanja itu. Kita harus bekerja dan menghasilkan uang,
uang menghasilkan baju dan makanan, juga pendidikan bagi anak sendiri dan
adik-adik yang masih sekolah.
Menjadi dewasa kita akan diberikan tanggung jawab untuk
dikerjakan secara sempurna; tanpa kesalahan, dan tanpa ampun. Seorang pekerja
konstruksi, tidak membuat palang pintu masuk desa yang serampangan; seorang penginput
data di bank tidak akan diberi toleransi jika ada kesalahan huruf dan angka ke
dalam sistem; seorang pekerja pemasaran harus berwajah cantik, kulit kuning,
tinggi, bokong semok, berpakaian terbuka untuk bisa datang menawarkan rokok ke
klien; dan seorang manager harus bisa memanajemen perusahaan agar bisa selalu
profit.
Jika ketika mahasiswa kita masih baca buku, maka setelah
dewasa buku hanya menjadi lambang kebanggaan di ruang tamu. Ketika mahasiswa
masih bisa ngopi dengan kawan,
tertawa terbahak, mengumpat presiden, dan mengepalkan tangan ke penindasan,
maka setelah dewasa warung kopi menjadi tempat keluh kesah karena kontrak kerja
akan berakhir seminggu lagi. Mahasiswa masih bisa meminta keringanan ke dosen
agar nilainya diperbaiki, tetapi orang dewasa akan didepak bahkan sebelum mengetuk
pintu pimpinan.
Menjadi dewasa adalah pilihan, tapi pilihan yang buruk. Maka
sarjana harus menguatkan dirinya berjalan di bawah terik matahari dan tetap
berlari di tengah hujan badai. Tangisan-tangisan sarjana akan membawa kepada
penyadaran bahwa hidup harus diperjuangkan. Jika hidup kemudian manis padamu, teriakkan matursuwun kepada Sang Gusti, lalu pikirkan teman yang masih berjuang. Mereka akan malu meminta bantuan,
tetapi tawaran tetap harus diberikan. Meski dunia bakal jahat padamu, wahai sarjana, tetaplah menjadi baik.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.