2014-12-17

Sayonara; Pangdam Cenderawasih yang Dibenci dan Dihormati

Menuliskan kesan terhadap seorang tokoh publik bisa menjadikan kita seperti memakan buah simalakama; serba salah. Namun ketika diminta untuk menuliskan kesan kepada sosok Jenderal Bintang Dua ini, tampaknya saya tidak perlu merasakan itu karena pada setiap kalimat yang dilontarkan olehnya tercermin pertemanan, kebapakan, juga ketegasan.
Maka dari itulah saya asal saja bicara bahwa Mayjend TNI Drs. Christian Zebua,MM adalah seorang 'tokoh Papua' yang dihormati sekaligus dibenci. Ada banyak orang yang membencinya, namun lebih banyak lagi yang menghormatinya. Dalam beberapa wawancara kepada narasumber, saya melihat ada dua hal ini yang terpatri di hati orang Papua.
Pangdam Dibenci
Saya menyadari bahwa saya tidak lama mengenal Mayjend TNI Christian Zebua, sehingga tidak terlalu dalam juga menyelaminya. Namun kesan paling mendalam yang saya rasakan adalah sikapnya yang tegas terhadap anggota kelompok Organisasi Papua Merdeka atau biasa disebut pihak kepolisian sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata.
Sikap yang tegas itu sering kali memunculkan kata-kata yang keras guna mengungkapkan bahwasanya tidak sekalipun dirinya -sebagai Pangdam, membiarkan suatu kelompok merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata seperti “tumpas” dan “kutuk” terhadap kelompok yang menakut-nakuti masyarakat dengan senjata mematikan itu.
Maka dari itulah, beberapa narasumber yang pro terhadap kemerdekaan Papua akan membenci bahkan memaki Panglima asli Nias ini. Pangdam -bersama dengan pihak kepolisian, sering dianggap sebagai orang yang memasung hak berdemokrasi rakyat Papua saat ingin menyuarakan kemerdekaan.
Pangdam juga dianggap orang yang terlalu keras terhadap orang Papua, dan bisa menjadi bumerang bagi Panglima sendiri. pernyataan-pernyataannya mengenai penumpasan terhadap kelompok OPM membuat gerah sebagian orang yang pro terhadap kemerdekaan, dan antipati terhadap pembangunan di Tanah Papua dengan damai.
Namun bagaimanapun Pangdam menyuarakan ketegasannya terhadap kelompok bersenjata itu, niatnya jelas, yaitu ingin melindungi masyarakat. Hingga pada gedung dimana Pangdam berkantor, tulisan besar terpampang gagah: Ksatria Pelindung Rakyat. Dapat difahami, bahwa tujuan kerasnya pernyataan Pangdam adalah dalam rangka melindungi rakyat, sehingga bagi kelompok OPM jangan pernah macam-macam dengan rakyat yang ingin hidup damai.
Pangdam Dihormati
Orang pertama yang menghormati Pangdam, tentu saja adalah saya sebagai penulis kesan ini. Dan saat mengenang Pangdam yang sudah menjabat sebagai Staf Ahli KSAD ini, saya juga terkeanng pada dua nama besar, pertama adalah Laksanaman Madya TNI (Purn) Fredy Numberi, dan kedua adalah Pdt. Izaak Samuel Kijne.
Ketika Pangdam mengadakan acara tatap muka dengan para wartawan sebagai salam perpisahan, Pangdam menyebutkan akan melounching bukunya yang berkisah tentang penanganan kasus-kasus di Papua. Buku ini, akan bisa menjadi panduan sempurna bagi panglima berikutnya yang akan memegang tampuk kepemimpinan Kodam XVII/Cenderawasih. Dengan menulis buku itu, Mayjend TNI Drs. Christian Zebua dengan pasti telah meletakkan dasar sejarah tentang pencapaiannya yang abadi. Karena seperti pepatah Yunani, scripta manen verba volant (yang ditulis akan abadi, yang diucapkan akan terbang dibawa angin).
Hal itulah yang saya tahu dari Fredy Numberi, penulis buku setebal 636 halaman berjudul Quo Vadis Papua dengan sambul berupa lelehan darah merah ke Pulau Papua. Pangdam, sebagaimana Fredy Numberi, adalah sama-sama seorang abdi negara yang berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Dan Pangdam, sebagaimana Fredy Numberi, telah mengabadikan pengabdiannya di dalam bukunya yang akan dibaca, dipelajari, dan dicontoh, oleh penerus-penerus bangsa.
Lalu bagaimana saya bisa mengingat seorang pendeta ketika mengenang Pangdam murah senyum ini? Jelas sekali, bahwa Mayjend TNI Christian Zebua terlampau sering mengutip perkataan dari Pendeta Izaak Samuel Kijne, sang pelopor pendidikan di Tanah Papua. Bagi orang yang sudah mengenai dengan baik, pasti akan mengingat perkataan di bawah ini :
Barang siapa bekerja di Tanah ini (Papua) dengan tekun dan giat serta jujur dan setia, maka ia akan berjalan dalam tanda heran yang satu ke tanda heran yang lainnya. Tetapi barang siapa yang bekerja di tanah ini dengan khianat dan tanpa kesetiaan, maka dia akan memperoleh kutuk, kutuk, kutuk, dan terkutuk.
Itu adalah pernyataan dari Pendeta Izaak Samuel Kijne yang sering dikutip dalam buku apapun yang ditulis oleh orang Papua kemudian hari. Kemudian, Pangdam pertama dair Nias ini, mungkin karena kesan yang ditimbulkan oleh kalimat itu, menggunakannya dalam berbagai kesempatan guna mengetuk, kalau bisa mendobrak, hati masyarakat Papua.
Dengan kalimat ampuh itu, “khotbah-khotbah” yang disampaikan oleh Pangdam mengalir deras seperti oase ditengah gurun pasir. Pendengar dari berbagai kalangan, akan bisa melihat ketegasan yang disertai konsep keagamaan, yang disampaikan oleh Pangdam, lalu mengamininya bersama-sama. Dari sinilah, seluruh orang menghormati, mengapresiasi, dan menjunjung tinggi, apa yang telah dilakukan oleh Christian Zebua.

2014-12-15

Sejenak Kalah


Suasana kantor lengang. Sudah dua jam aku ngobrol dengan Direktur Utama Cenderawasih Pos, Suyoto, dan menelan banyak hal. Mulai dari pencerahan hingga obrolan tanpa mutu antara dua orang lelaki –satu muda dan satu tua. Setiap redaktur datang, aku hanya merasa bahwa mereka tahu bahwa mulai hari ini aku menerima punishment, karena aku melakukan kesalahan dalam pemuatan berita.

Kesalahan pemuatan berita ini membuat nama baik diriku meluncur ke liang kecoa. Aku dianggap tidak kredibel, membuat berita bohong, memuat foto palsu, dan lain sebagainya, bahkan dianggap lari dari tanggung jawab pada saat berita itu sudah menyebar luas. Pas sekali dengan tugas yang dibebankan padaku untuk pergi ke Makassar dengan waktu kemunculan berita itu. Aku lemah, kalah, terbodohi, dan merasa goblok sejak pemuatan berita itu, terjerembab.

Sementara yang lebih mengerikan adalah kredibilitas koran, dimana saya bekerja di dalamnya, digugat oleh banyak orang. Aku menjadi merasa bersalah, koran besar yang mengajariku banyak hal, membuatku berkehidupan cukup, akhirnya kuseret menuju lubang kecoa pula. Bagaimana tidak, akibat sebuah tipuan sederhana, aku dan mediaku menjadi bulan-bulanan banyak media lainnya, dan juga banyak orang.

Baik materi maupun immateri, perusahaan tempatku bekerja rugi. Secara materi, pada saat puluhan orang datang ke kantor gara-gara berita itu, mereka dikasih “sangu” satu-satu. Entah berapa, namun yang jelas jumlahnya besar karena ini Papua, di mana uang Rp 300.000 adalah sesuatu yang biasa. Aku tidak bisa mengelak ketika sebuah surat peringatan datang padaku malam itu, dan Pemred dengan tabah hati menyerahkannya sembari memberikan petuah.

Jadi, aku kalah hari ini. Ditarik dari tugas sehari-hari, dan harus berada di kantor dalam waktu yang tidak ditentukan. Manusia memang sering kalah dengan kenyataan. Karena kenyataan adalah satu-satunya punishment yang tidak mungkin dapat dipalingkan. Atas semua yang kita lakukan atau tidak kita lakukan, akan ada punishment yang membuat kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling sengsara waktu itu.

Namun demikian, punishment juga bisa menjadi cambuk untuk berbuat lebih baik lagi. Sayangnya, orang-orang lebih bangga untuk terus menerus berada dalam melankolisme kehidupan, merasa terlantar, dan menikmati keterlantaran itu sedemikian rupa. Bagi kita yang seperti ini, tentunya tidak akan merasa bahwa punishment merupakan sesuatu yang menguntungkan.

Kali ini, dan beberapa kali pada masa lalu, kehadiran punishment padaku tidak kumaknai sebagai hukuman. Ini hanya merupakan kenyataan bahwa kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Aku sering mengatakan kepada kawan dalam bercandaan sehari-hari, hidup itu kejam. Dan kekejaman itu berdampak padaku, bahwa meskipun tidak salah, hanya karena semua orang menganggapmu salah, maka kita harus menerima punishment.

Jelas-jelas aku melakukan seluruh pekerjaan sesuai dengan koridor yang ada. Namun ada beberapa hal yang kadang membuat sebuah kesalahan menjadi masuk akal. Lalu apa yang harus dilakuknn oleh seseorang yang kalah dalam kehidupannya? Tentu saja dia harus menerima apa yang ada. Masalah membuat resolusi, itu bisa dilakukan oleh pahlawan lainnya. Karena yang susah dilakukan manusia yang merasa benar, adalah menerima kenyataan bahwa dia salah meskipun hanya dianggap salah.

Potret kerja jurnalistik yang kadang bersikutan dengan media lawan menjadikan pekerjaan lebih berat dari yang seharusnya. Terutama jika media itu besar, dipercaya kredibilitasnya, dipercaya pemilihan anglenya, dipercaya keakuratannya, dan lain sebagainya, maka ia harus mati-matian mempertahankan itu. Salah satunya adalah adalah dengan menekan wartawan agar mendapatkan berita eksklusif.

Membuat berita eksklusif masih menjadi jalan termudah untuk membuat media menjadi terkenal. Dan saya, mungkin wartawan lainnya, juga akhirnya akan jatuh pada lubang eksklusifitas itu. Karena kita musti cepat, diam-diam, sembunyi-sembunyi, akhirnya data kurang akurat, kesalahan tidak ada yang membenarkan, dan ketika naik ke media, seluruh orang akan bertanggung jawab.

Namun bagaimanapun, membuat berita ekslusif adalah kewajiban dari setiap wartawan. Bagaimanapun media tidak menekannya, namun jika kita sadar bahwa membuat berita dengan data dan daya diri sendiri adalah lebih nikmat rasanya, maka kita seharusnya begitu. Namun yang membedakan seorang wartawan menjadi eksklusif dengan wartawan sharing adalah kegigihan dan keuletannya. Wartawan yang uletakan mengerjakan semuanya dengan caranya sendiri.

2014-12-14

Menulis Biar Gaya


Sejak hilangnya blog-ku beberapa bulan lalu, aku kehilangan semangat menulis. Alasannya menjadi sederhana karena aku tidak bisa memposting tulisan itu ke dalam blogku. Ada semacam alasan yang tersembunyi, yang seharusnya aku tahu; bahwa salah satu alasanku menulis adalah agar tulisanku dibaca. Mungkin ada yang menulis dengan ikhlas, tanpa mengharapkan apa-apa entah dibaca orang atau tidak –dan aku sadar bahwa itu bukanlah aku.

Sesekali aku ingin menulis tentang hidupku, sesekali aku ingin menulis tentang kehidupan orang lain. Banyak tulisan yang mustinya aku buat karena setiap hari aku menghabiskan 24 jam untuk melakukan pekerjaan sebagaimana orang dewasa. Pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan dunia tulisan ini seharusnya membuatku semakin produktif menulis, bukannya malah mengatakan “aku setiap hari sudah menulis, tetapi menulis berita,”.

Banyak hal yang seharusnya kutulis, iya benar, banyak hal. Kadang aku bertemu dengan orang-orang yang menjengkelkan karena memiliki gaya bahasa yang tidak lazim, atau memiliki nara sumber yang arogan. Tetapi banyak narasumber yang memiliki kualitas percakapan yang bagus sehingga tidak perlu mengedit terlalu banyak untuk membuat sebuah tulisan berita.

Hari ini, kubertemu dengan dua orang yang bisa kita anggap sebagai veteran perang, meskipun tidak ada benar-benar perang di Papua. Itu adalah kata sumberku. Perang yang ada di Papua hanyalah perang ideologis, lebih tepatnya perang politis. Mereka tidak berperang secara fisik seperti orang jawa dengan mengangkat bambu runcing, namun lebih kelompok-kelompok kepentingan yang mendesak pemerintah asing (belanda) untuk meninggalkan Papua.

Menemukan mereka juga cukup sulit karena saya tidak ada kenalan sama sekali dengan para veteran. Dua orang ini akhirnya saya temukan setelah menemui beberapa teman, yang dari temannya teman, menemukan rumah seorang veteran yang sudah meninggal. Dari tetangga tetangganya, kemudian naiklah kami ke sebuah alamat di Hamadi, lalu berjumpa dua orang ini.

Selain banyak menulis yang berkaitan dengan pekerjaan saja, sebenarnya banyak juga yang dapat saya tulis dari sisi lainnya. Pekerjaaan menulis memang membutuhkan kreatifitas pemikiran, namun untuk pemula seperti saya, sebenarnya kreatifitas yang dibutuhkan untuk penulis tidak benar-benar dibutuhkan. Aduh, sebenarnya dibutuhkan, namun saya sengaja mementahkannya agar kebutuhan kreaitiftas itu tidak digunakan sebagai alasan sehingga tidak menulis sama sekali.

Jika alasan kita adalah karena mood untuk dapat menulis, maka sebaiknya itu diganti saja. Mood tetap dibutuhkan, namun jika ada dorongan eksternal yang membuat kita semangat menulis, maka mood itu akan tercipta dengan sendirinya. Dorongan itu bisa berupa blog, catatan facebook, atau akun online lainnya yang dari sana kita bisa pamer dan mendapatkan pujian dari beberapa orang –yang mungkin orang-orang itu kemudian jatuh cinta pada anda.

Dengan pamer seperti ini, kita akan memacu diri sendiri untuk bisa menulis. Buktinya, beberapa kali saya harus memamerkan diri saya dihadapan orang lain yang hanya bisa mendengar cerita saya keliling Indonesia mini. Jika mereka menginginkan saya cerita lebih banyak, maka akan saya sarankan untuk berkunjung ke blogku. Dari sana saya akan mendapatkan kepercayaan diri sebagai penulis lepas yang produktif –karena ingin mendapatkan pujian.

Anda pernah membayangkan akan menjadi terkenal dengan menulis? Mungkin mulai dari sekaranglah saatnya. Bayangkan bila anda berbicara kepada orang lain, lalu menawarkan mereka untuk meliaht blog anda. Ketika mereka melihat blog itu, dan kemudian mereka jatuh cinta, anda tinggal tersenyum saja gembira.

2014-12-11

Absurditas Kosong Kosong

lelaki tua dan beban, karya basuki abdullah

Manusia yang memiliki akal budinya merantau dari masa ke masa, dari langit hingga ke bumi terdalam. Aku adalah mata yang berjumpalitan oleh waktu, menari dalam paruh yang hari-harinya menjadi bisu. Virus yang telah lama mengendap dalam ruang di mana relikui menjadi lagu dan nyanyian para pendosa. Dan jika simalakama datang lagi sebagai manusia kelas atas, maka aku adalah dewa yang menjadi mimpi skali lagi.

Lalu bilamana aku akan mencari jati diri jika anjing dan bulu-bulu menjadi kutu yang tidak pernah beranak pinak menjadi hama. Dan tiba saatnya semua harus menghalangi ketakutan seperti panah-panah yang menjilati seluruh luka batin. Karena dalam setiap keadaan, aku akan dapat melihat tumpukan buku, dan barisan prajurit yang tidak akan pernah mampu melawan kebenaran.

Dan bila benar juga, bahwa kenyataan adalah tekanan hidup paling retak. Jika membuatnya lemah, maka kelemahan akan menggerogoti jiwamu, dan jika kuat kau koyak maka akan rompal juga setiap mantera dari dalam dirimu. Tetapi dari kejauhan di kedalamanmu sendiri, adakah hal yang paling membanggakan dari sebuah mimpi?

Karena kenyataan memang bejat untuk diharap kebenarannya, maka kita terbiasa membuat mimpi menjadi kenyataan yang seakan-akan nyata senyata dirimu dan segala kesakitan yang kau rasakan dalam kenangan. Lagi pula, mana ada kenyataan yang dapat mengalahkan mimpi yangmenjadi kerusakan dalam setiap keputusasaan seorang anak manusia.

Mimpi sebagaimana yang tidak kau tahu, seperti kidung yang tidak ada gunanya untuk menelantarkannya sekalipun. Adapun setiap langkah yang menjadi cermin jam dinding, dan segala teralis besi yang menjadi urat darah sudah tidak relevan lagi ketika disandingkan dengan cinta apalagi mimpi. Meskipun mimpi adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli, namun kenyataan menjadikannya pencitraan yang hangat. Dan lagi, tidak semuanya bisa dikembali seperti kepunyaan kita sendiri.

Kita semua adalah anak-anak jaman yang diperuntukkan menegakkan kebenaran, dari tertatih-tatih menjadi kuat, lalu menjadi tua dan pantas masuk panti jompo. Jika keinginan kita sudah terlewatkan, berganti pada sesuatu yang sepenuhnya baru, yang itu adalah pikun. Entah kita menerima atau menolaknya, namun tetap saja kita adalah anak uban yang tidak akan menjadi bagian dari dongeng masa lalu.

Kesemuanya menjadi sepi saat kita adalah raja diraja. Tidak ada orang yang akan mendekatimu karena pertemanan, dan semuanya adalah kehadiran yang tak sunyi dari pengkhianatan. Lalu apakah kita hanyalah rupa jaman yang tidak sehat, yang segala kebutuhannya binasa bersama kodratnya?

Jurnalis Wajib Sebar Gagasan Kesetaraan Gender

Para perempuan yang ikut tergabung dalam Sekolah Politik Perempuan Maupe di Kabupaten Maros
Posisi perempuan yang selalu dianggap lemah menjadi agenda penting yang dibahas dalam diskusi tiga hari, antara tiga pemateri On Track Media Indonesia dan 15 Jurnalis Lokal Indonesia Timur. Padahal perempuan telah berkontribusi aktif dalam segala bidang, namun mereka juga yang terpinggirkan dalam setiap pengambilan keputusan.

Fathul Qorib - Makassar

Rombongan wartawan dari 5 media lokal kawasan Indonesia Timur dibawa menuju Desa Majannang, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka pelatihan menjadi jurnalis yang berwawasan responsif gander. Jalan menuju ke kampung ini cukup jauh, memakan waktu sekitar 4 jam dari Kota Maros dan harus melewati persawahan yang luas.

Perjalanan itu tentu saja tidak mulus. Jalanan sempit dengan kondisi bebatuan yang tidak rata membuat perut mual, belum lagi kubangan-kubangan yang membuat perut seperti diaduk. Namun kondisi itu dapat dilenakan karena hamparan sawah luas dengan gambaran padi yang usai dipanen mengiringi seluruh perjalanan.

Hingga empat jam kemudian, di rumah salah seorang warga bernama Kasmawati Ahmad (33), wartawan diminta turun. Setelah berbasa basi sejenak, ternyata dia adalah narasumber yang harus dikorek kehidupannya untuk dijadikan human example bagaimana pendidikan bisa menjadikan perempuan mandiri. Memang Kasmawati tampak seperti perempuan di desa lainnya, berkerudung, pakaian sederhana, dan tentunya seorang ibu rumah tangga.

Namun Kasmawati ternyata sudah berubah banyak setelah mengikuti Sekolah Politik Perempuan Maupe di Maros. Karena sebelumnya, Kasmawati hanyalah seorang korban pernikahan dini dengan lelaki yang terpaut usia 18 tahun di atasnya, dan dia harus rela. Namun kini, Kasmawati telah mandiri dengan selalu dicantumkannya namanya saat rapat-rapat pembangunan desa, bahkan berani menggugat cerai suaminya karena tidak pernah dinafkahi.

“Saya aktif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering diabaikan baik oleh keluarga maupun oleh perempuan sendiri. Saya ingin menyadarkan semakin banyak wanita di luar sana, yang mungkin takut dan pasrah akan ketidakadilan yang mereka alami,”tuturnya.

Bahkan bukan hanya Kasmawati Ahmad, ada sekitar 40-an perempuan lainnya di Maros yang telah bertransformasi dari perempuan domestik menjadi perempuan publik usai mengikuti Sekolah Politik Perempuan Maupe. Belum lagi, para perempuan yang tergabung dalam LSM lainnya, sebut saja Perempuan Kepala Keluarga, Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant Care, juga lembaga keagamaan khusus perempuan seperti ‘Aisyiah.

Dari sinilah, wartawan diminta menjadi pelopor untuk memahamkan masyarakat mengenai kesetaraan gender. Gender bukan dalam artian kodrati sebagaimana jenis kelamin, tetapi peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil dari konstruksi social yang dapat berubah dari zaman ke zaman.

“Di media massa, perempuan cenderung menjadi objek fetish, objek peneguhan pola kerja patriarki, objek seksis, objek pelecehana dan kekerasan. Media massa bisa menjadi reflector dari ketidakadilan gender yang dalam masyarakat karena mengambil fakta social tanpa disertai perspektif,”papar DY Suharya, coach On Track Media, dalam salah satu presentasinya.


Dalam penulisan jurnalistik yang sensitive gender, seorang wartawan juga harus memilih kata, grammar, cara pengungkapan, dan gambar, yang tidak menghargai perempuan sebagai seorang manusia yang setara dengan laki-laki. Salah satu contoh, menurut Suharya, adalah saat seorang wartawan memilih judul “Remaja Putri Keluyuran, Digilir 8 Berandalan,”.

Dari judul itu, seorang perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual laki-laki, kembali menjadi korban pelecehan oleh media massa. Suharya mengakui bahwa judul yang bagus akan menarik pembaca, namun jurnalis sendiri mestinya tahu bahwa itu tidak sensitif terhadap gender sehingga harus dihindari.
Terkait dengan judul itu, perempuan disalahkan karena keluar malam, sehingga pantas untuk digilir sebagaimana “piala” oleh para lelaki. Suharya melanjutkan, kejadian yang sama adalah saat perempuan disalahkan ketika mamakai rok mini, sehingga menjadi korban pemerkosaan. Dan yang paling menjengkelkan, kata Suharya, adalah saat ada penelitian “keperawanan perempuan,” dan bukan “keperjakaan lelaki”.

“Dalam visualisai, berbagai kasus pembersihan tempat pelacuran adalah salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Kemudian kalimat di tempat itulah dia puas melampiaskan nafsunya menandakan bahwa perempuan itu lemah, rentan, tidak berdaya sehingga layak dijadikan pelampiasan. Ini media harus sadar,”imbuhnya.

Selain judul itu, diskusi penulisan responsif gender juga membahas judul berita yang lain, seperti “Gadis SMU Digarap Dirumah Kosong,”,”Sebagai Ganti Kegadisan Istrinya yang Janda, Ayah Perkosa Anak Tiri,” dan “Ngiler Lihat Tubuh Montok, Wanita Lagi Susu Anak Diperkosa,”. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam berbagai judul media massa itu, dipaparkan sedemikian rupa karena tidak menaikkan harkat dan martabat seorang perempuan.   
 
Selain menyoal penulisan, seorang jurnalis juga diminta untuk memilih fakta yang dapat menjunjung perempuan dan atau memihak kepada kasus-kasus perempuan. Misalnya mengangkat ketokohan seorang perempuan yang memiliki power tertentu, baik dalam bidang ekonomui, sosial, maupun pemerintahan. Termasuk juga menjadikan seorang perempuan sebagai sumber dalam setiap pemberitaan yang berhubungan dengan kepentingan publik. 

“Ada lagi yang lain, adalah porsi pekerja media yang perempuan juga dapat dipastikan lebih sedikit dari pada laki-laki. Mungkin disebabkan perempuan banyak cutinya, hamil, menstruasi, dan sebagainya, padahal itu adalah kodrat. Termasuk porsi pemberitaan mengenai perempuan juga biasanya lebih sedikit, apalagi masuk pada headline seorang perempuan, itu jarang sekali,”tegas Suharya.


Adapun pemilihan wartawan lokal yang kemudian dilatih untuk responsif terhadap gender, Suharya mengaku bahwa wartawan lokal memang berada dalam posisi strategis. Menurutnya, wartawan lokal dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dan menggulirkan isu serta mempengaruhi opini. Ujung yang diharapkan adalah adanya kebijakan para pemimpin suatu wilayah untuk lebih mengakomodir perempuan dalam berbagai bidang.

Konstruksi soal gender yang mengatakan bahwa laki-laki itu kuat, kasar, dan rasional, sementara perempuan itu lemah, lembut, dan emosional, haruslah direkonstruksi kembali. Menurut Suharya, keyakinan itu bukanlah kodrat tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah panjang. Padahal pembagian peran, sifat, maupun watak kedua jenis kelamin ini dapat dipertukarkan.

“Kita harus menggunakan kalimat-kalimat fakta yang jelas, tidak boleh konotatif. Misalnya mengapa keperawanan menjadi sebuah ukuran buat laki-laki dalam menilai harkat perempuan? Kata “ternoda” dan “keperawanan” dalam bahasa jurnalistik itu bersifat patrairki,”tandasnya.***

*Dari Pelatihan Penulisan Jurnalistik Responsif Gender di Makassar oleh www.ontrackmedia.org
*Dimuat di Koran Cenderawasih Pos

Ulasan Buku: Menjadikan Wacana Papua Lebih Humanis


Cintanya kepada Nueva sesederhana buah kira-kira, yang menyimpan jalur-jalur rahasia untuk dipersatukan kembali oleh tangan jernih anak-anak Patipi.

Dari Konflik ke Konflik

Orang yang telah membaca novel ini, pasti akan jatuh cinta dengan tokoh-tokoh  yang dipajang rapi oleh penulis bak porselen di toko barang antik. Pun jatuh cinta dengan keindahan alam, keindahan budaya, kekuatan adat, dan juga cara-cara menyelesaikan persoalan bagi masyarakat adat Patipi di Semenanjung Onim, Fak Fak, Papua Barat.

Tampaknya kekuatan penulis adalah dalam hal mendiskripsikan realitas yang ada dalam angannya. Realitas ini, bisa jadi adalah realitas yang diharapkan oleh penulis terhadap sesuatu. Termasuk tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh penulis, adalah merupakan orang-orang yang diharapkan untuk tumbuh dan dewasa dalam diri penulis. Lelaki dan perempuannya, perangai dan tabiatnya juga.

Selain tokoh ini, ada beberapa keindahan alam yang masuk menjadi latar yang seksi bagi adegan-adegan yang dituliskan. Keindahan alam ini berbaur dengan kebudayaan yang akan sulit ditemui di daerah lain selain di Patipi, juga menyatu dengan hukum-hukum adat yang merupakan hukum pertama sebelum adanya hukum keagamaan, apalagi hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan terutama kisahnya adalah sesuatu yang memukau untuk perjalanan seorang pemuda adat seperti Atar, pemuda muslim yang diharapkan menjadi pimpinan adat, namun malah dikenal sebagai pelanggar adat sehingga ia memutuskan untuk hengkang dari Patipi untuk merantau ke Jayapura. Tampaknya seluruh masa depannya terenggut, tapi sesungguhnya kisah Atar malah baru bermula.

Konflik di awal berupa fitnah ini memang menjadi sesuatu yang lumrah bagi kalangan pembuat novel, karena rasanya tidak mungkin membuat tokoh utama “benar-benar” mengalami kesalahan adat yang fatal. Namun bagaimana kelanjutannya, adalah tantangannya. Atar menjadi mahasiswa di Jayapura lalu menyedot berbagai macam perhatian, lagi-lagi memang sudah seharusnya bagi seorang tokoh utama, dan pembaca harus tahu bagaimana cara penulis membuat Atar melakukan itu; karena sangat menarik dan berpengetahuan.

Atar dengan segala kemampuannya di Universitas Cenderawasih ini tidak luput dari tangan dingin sang guru di kampung halamannya, Werfra Hindom. Maka dari itulah dia kemudian masuk dalam kemelut, keluar dari kemelut, lalu berhasil sebagai pemenang saat ia mampu membuat gadis keturunan Portugis-Papua, Aitana Maria, selalu berfikir tentangnya.

Dengan pengalaman ini menimbulkan kedewasaan dan kesadaran lebih dalam diri Atar sehingga ia kemudian memutuskan untuk pulang ke Patipi. Di sana ia akhirnya menjalani sidang dalam suasana yang betul-betul baru bagi pelancong seperti dirinya. Satu-satu terkuak, siapa saja yang akhirnya harus mengaku bahwa kejadian masa lalu adalah fitnah, dan beberapa orang tampil sebagai pahlawan yang disamarkan oleh penulis.

Dari konflik ke konflik, penulis malah menghadirkan konflik yang sering terjadi di Papua sebagai latar saja. Inilah yang tampaknya menjadikan novel ini lebih humanis dalam menyajikan persoalan Papua, meskipun ada kesan menghindar. Menyelesaikan kisah ini, biarlah saya bertanya kepada penulis yang bisa menjadi konflik batin saya; mengapa dua tokoh utama perempuan yang ada di dalam novel harus blesteran? Nueva : Papua-Parsi, dan Aitana : Papua-Portugis?

Tantangan Mewacanakan Papua

Memilih Papua sebagai setting cerita memiliki dua konsekuensi yang bertolak belakang. Konsekuensi pertama adalah Papua sebagai daerah yang baru, bahkan asing bagi sebagian besar pembaca tanah air. Kedua, karena Papua –meskipun asing- telah dikenal karena pemberitaan-pemberitaan media massa: alam yang indah, budaya yang memukau, mayoritas umat kristiani, dan tentu saja konflik tak berujung.

Maka sekali lagi soal pendeskripsian, memang mutlak diperlukan karena Papua adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Baru, dalam artian untuk datang ke Papua dibutuhkan perjalanan panjang dan mahal. Dan apabila Papua memang dikenal, itu hanya sebagian kecilnya saja, seperti Raja Ampat, atau PT Freeport Indonesia yang terkenal sebagai perusahaan emas terbesar di dunia. Itu saja, tidak lebih.

Dengan konsekuensi seperti ini, penulis ternyata mampu menghadirkan “konsep baru” tentang Papua untuk pembaca seantero nusantara  dengan pendeskripsian yang tidak menggurui. Konsep baru yang dihadirkan adalah dengan cara mengeksplor sebanyak-banyaknya keindahan budaya pesisir (catatan: selama ini yang terekspose adalah budaya masyarakat pegunungan tengah Papua), merekam jejak Islam di Papua, dan tentu saja mengeliminir konflik yang terjadi menjadi sekelebatan.

Kemampuan yang dimiliki oleh penulis dalam memilah dan memilih kisah untuk dihadirkan menjadi penting bagi konteks penyebaran informasi tentang Papua. Novel ini betul-betul hadir untuk memberi warna baru dalam pola pemahaman masyarakat tentang Papua. Dan tentunya akan banyak yang berdecak kagum ternyata Islam dan budaya di Papua menjadi satu kesatuan yang sempurna, termasuk bagaimana sistem adat ternyata mampu mengalahkan agama.

Ngomong-ngomong mengenai sistem adat dan agama yang ada di Fak Fak, Papua Barat, penulis telah merangkaikannya dengan begitu apik. Hal-hal yang sifatnya bertentangan, beriringan, dan kesatuan antara agama dan adat diolah dengan jeli sehingga menunjukkan keaslian budaya masyarakat yang tinggal di Patipi secara khusus, dan Semenanjugn Onim secara luas.

Seluruh orang Indonesia yang beradab tidak akan menyangkal bahwa kekayaan budaya Papua dan kekuatan adat yang dipegang adalah hal yang istimewa. Dengan hadirnya agama, tidak serta merta kekuatan adat menjadi lemah, sebaliknya malah menunjukkan eksistensi adat itu sendiri. Itulah yang ditunjukkan oleh penulis mengenai adat di Patipi, dan begitu juga bisa diseragamkan pada adat di seluruh Papua.

Maka dari itu, di Fak Fak ini kemudian dikenal Satu Tunggu Tiga Batu, artinya Satu Adat Tiga Agama dengan tiga agama besar yaitu Islam, Katolik, dan Protestan dan satu adat. Bisa difahami bahwa diantara masyarakat yang ada di fak Fak masih menyimpan satu kekerabatan sehingga kehidupan antar agama berbaur menjadi satu. Yang bisa dicatat adalah pertama, sikap toleransi antar agama begitu besar, kedua, adat lebih penting dari pada agama.

Mengapa adat lebih penting dari pada agama? Karena jika boleh egois, agama datang tidak lebih baru dari adat, maka adatlah yang didahulukan. Terkait pemahaman ini, penulis mencontohkan sebuah kehidupan yang ekstrem di Walesi, Kabupaten Jayawijaya dimana Babi masih menjadi sesuatu yang bernilai sangat tinggi sehingga masyarakatnya masih berhubungan dengan babi (menyentuh, memakan, menjadikannya mas kawin) meskipun telah memeluk agama Islam.

*oleh Fathul Qorib, Agustus 2014. Tulisan ini dimuat di Radar Probolinggo, Jatim

2014-12-10

Masjid Tertua Kota Jayapura


anak-anak bermain bola di halaman, maknya msjid kemudian ditinggikan ke lntai 3
 Tidak ada yang menyangka bahwa di sudut Kota Jayapura berdiri sebuah masjid yang memiliki catatan gemilang pada tahun 1940-an. Di sana adalah pusat kegiatan umat muslim yang ada di Kota Jayapura waktu itu. Namun menghadapi zaman yang baru, masjid itu, meskipun susah, tetap bertahan dengan segala cara.

Suasana lengang pada siang Bulan Ramadhan waktu itu. Yang terdengar hanyalah koor nyanyian siswa-siswi SMP Nurul Huda yang sedang melafalkan surat-surat pendek dari Al Quran. Ketika waktu Shalat Dzuhur tiba, H. Suyono keluar dari rumahnya yang ada di samping bangunan sekolah sekaligus bangunan Masjid Jami Kota Jayapura itu. “Kita shalat dulu,”ucapnya singkat ketika ditemui oleh wartawan Cenderawasih Pos.

Dia adalah Ketua Takmir Masjid Jami Kota Jayapura yang sehari-sehari berada di sana untuk meramaikan masjid. Suyono merupakan salah satu saksi sejarah berkembangnya umat muslim di Kota Jayapura dalam usianya yang saat ini mencapai 62 tahun. Ingatannya masih tajam menceritakan bagaimana Kota Jayapura waktu itu masih sepi dan masih ada dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Banyak pedagang dari berbagai belahan nusantara yang datang ke Kota Jayapura untuk berdagang, kata Suyono, namun tidak menemukan satupun masjid untuk digunakan sebagai ibadah maupun istirahat. Pada tahun 1943, banyak pedagang muslim dari Ternate, Tidore, dan Waigeo, yang melakukan perdagangan di Kota Jayapura sehingga mencari-cari masjid untuk melakukan shalat lima waktu di sela-sela berdagang.

Saat itulah timbul inisiatif dari para sesepuh untuk membangun sebuah masjid pertama-tama di Kota Jayapura, yang kemudain diberi nama Masjid Jami Kota Jayapura. “Namanya sederhana, tidak seperti di daerah lain yang pemeluk islamnya banyak, tapi di sini namanya Masjid Jami saja, karena di Kota Jayapura, jadi namanya Masjid Jami Kota Jayapura,”sambung lelaki asal Ngawi, Jawa Timur itu.

Selain itu, Masjid Jami Kota Jayapura waktu itu digunakan pula sebagai sentral masjid-masjid lain yang berikutnya dibangun, termasuk juga pusat kegiatan keislaman yang ada di Provinsi Papua. Maka dari itu, Suyono pernah mengenang bahwa di masjid itu juga ada sebuah mesin telepon menggunakan tenaga gerak yang diputar dengan tangan, termasuk Radio Republik Indonesia yang suka menyiarkan secara langsung khutbah jumat di sana.

foto masa muda Suyono bersama teman-temannya di depan Masjid Jami
 “Itu dulu,” tegas Suyono. Pada tahun-tahun terakhir ini Masjid Jami Kota Jayapura hanya digunakan untuk jamaah shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat tarawih jika waktu Ramadhan. Bahkan jamaahnya semakin berkurang karena banyak masjid yang dibangun di tempat lain. Waktu ada perencanaan untuk pelebaran masjid pada tahun 1975, Masjid Jami tidak bisa lagi direnovasi karena lokasi tanahnya yang sempit.

Maka dari itu, kemudian ada orang yang mewakafkan tanah yang saat ini dibangun Masjid Raya Kota Jayapura yang bangunannya belum finish. Bahkan sejak tahun 1975 berdirinya Masjid Raya, Masjid Jami tidak pernah melaksanakan jamaah shalat jumat lagi. Hingga pada tahun 1996 pihaknya menghadap ke Kanwil Agama Provinsi Papua untuk meminta ijin agar Masjid Kota Jayapura kembali bisa melakukan Shalat Jumat, karena bagaimanapun, sebagai masjid tertua harus dilestarikan.

“Ramadhan ini kita tingkatkan tadarusannya setiap malam. Shalat tarawih juga setiap malam, takjil kalau menjelang waktu berbuka puasa. Kami berharap saja agar pemerintah bisa memperhatikan masjid ini karena ini masjid punya sejarah juga,”ujar Suyono yang telah berada di Kota Jayapura selama 36 tahun itu.

Dari tahun ke tahun, masjid yang dibangun pada 1943 tersebut terus mengalami perubahan dan renovasi. Pertama-tama masjid berdiri hanya terdiri dari lantai satu saja. Lama kelamaan, pada tahun 1990-an kebutuhan pendidikan bagi putra-putri mereka yang ada di sekitar masjid juga meminta perhatian, maka dibangunlah Madrasah Diniyah yang khusus mempelari agama-agama islam. Berturut-turut berdirilah MI Nurul Huda, SD Nurul Huda, SD Nurul Huda II, dan jenjang paling tinggal adalah SMP Nurul Huda.

Saat ini, Masjid Jami Kota Jayapura berada di lantai tiga dari kompleks gedung tersebut. Dinaikkan ke lantai tiga karena kebanyakan anak-anak bermain di halaman masjid sehingga akan mengotori masjid. Bukan hanya itu, anak-anak yang bermain kadang lupa waktu sehingga ketika saat shalat masih berlangsung malah bermain bola. Maka dari itulah, dengan beberapa pertimbangan, akhirnya masjid di letakkan di lantai tiga sementara lantai dua dan satu digunakan untuk kantor dan sekolah.

“Di belakang Asuransi Jiwasraya yang di APO itu ada makam-makan yang mereka adalah generasi pertama kali meramaikan masjid di sini. Itu sejarah kita, kalau ada yang punya sumber sejarah atau informasi lain ya silahkan di masukkan ke kami,”lanjut Suyono.

Bahkan beberapa anekot disampaikan oleh Suyono bahwa Masjid Jami adalah masjidnya kaum pedagang, masjid yang merakyat. Pasalnya, yang datang untuk melakukan shalat di sana kebanyakan adalah para pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan juga buruh serta karyawan yang ada di pertokoan sekeliling Masjid Jami.

Jika dulu adalah buruh pelabuhan yang pertama shalat di sini, maka saat ini tetap saja buruh, karyawan, dan pedagang yang shalat di sana. Tapi Suyono tetap bangga dengan itu semua.

*oleh Fathul Qorib, Juli 2014, dimuat oleh Koran Cenderawasih Pos

Bus Anti Peluru Hingga Truk Bermuatan 310 Ton

 
Haull Truck yang mampumemuat 310 ton batu tambang
Berwisata adalah hal biasa bagi setiap orang di indonesia. Tetapi wisata tambang, mungkin adalah hal baru yang dikenalkan oleh Freeport Indonesia. Raksasa tambang asal negeri Paman Sam ini mengajak beberapa jurnalis untuk melihat langsung operasional pertambangan mereka dari dekat. Bagaimana kisahnya?

Tepat ketika cuaca sedang panas-panasnya di Timika, wartawan Cenderawasih Pos mendarat dengan selamat di bandara Mozes Kilangin. Cuaca panas bukan hanya karena matahari, tetapi juga karena sedang terjadi konflik sosial yang sempat menghilangkan beberapa nyawa dan membuat belasan warga lain terluka.

Setelah menunggu setengah jam di bandara, seorang staf Corporate Communication (Corcom) PT Freeport Indonesia datang sambil bertanya dengan sopan, dia adalah Kare Tulungan yang nantinya akan menjadi seamcam tour guide bagi wartawan. Setelah berbasa-basi sejenak, kami langsung berangkat menuju Kota Tembagapura, sebuah kota yang bisa dikatakan sentral pemukiman karyawan perusahaan PT Freeport Indonesia.

Untuk masuk ke Kota Tembagapura, kami harus didaftarkan terlebih dahulu guna mendapatkan kartu universal yang berfungsi sebagai alat transaksi, id pengenal, juga kartu untuk mendapatkan segala jaminan sebagaimana karyawan PT Freeport Indonesia. Berbekal kartu itulah, kami memasuki sebuah kendaraan yang mirip dengan bus kota, namun kepala bus lebih mirip dengan truk sehingga di kalangan wartawan menyebutnya sebagai bustruk.

Di dalamnya bustruk tersebut persis sama dengan bus pada umumnya di Pulau Jawa. Yang kelihatan aneh dan membuat penasaran adalah di dalam bus itu dikelilingi oleh semacam lempeng besi berwarna hitam yang berfungsi untuk anti peluru. Kata Karel, guide kami, itu bukanlah lempengan besi namun serat kayu dengan kerapatan tingkat tinggi sehingga memiliki bobot ringan namun mampu menjadi pelapis anti peluru.

Penggunaan bustruk anti peluru tersebut dapat difahami karena beberapa waktu silam, kendaraan milik Freeport tersebut sempat diserang oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan korban. Penembakan yang terjadi di wilayah pegunungan juga terjadi di jalanan menuju PT Freeport Indonesia itu. Tak pelak, perusahaan yang menginginkan seluruh karyawan dan siapapun yang hendak menuju Freeport aman, membuat lapisan anti peluru dan anti panah di dalamnya.

Saking amannya perjalanan tersebut, beberapa karyawan yang kebetulan satu bustruk sama Cenderawasih Pos, pulas tidur mendengkur. Karel kemudian banyak bercerita mengenai PT Freeport Indonesia hingga kelelahan menyerang kami semua dan tertidur sebagaimana karyawan PT Freeport yang lain.

Perjalanan yang lebih dari tiga jam ke Tembagapura tersebut diiringi oleh rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Pukul 15.30 WIT kita sampai di Tembagapura dengan ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara kabut sudah memenuhi kota, gerimis terus mengguyur, dan angin menjadi semakin dingin. Jaket yang tebal sangat berguna di Tembagapura, terutama jika dilengkapi dengan jas anti hujan.

Ternyata hujan tersebut tidak juga bergenti hingga tengah malam, begitupula cuaca yang sembab dan dingin. Baru dua tiga jam berhenti, gerimis atau hujan lebat akan datang lagi sehingga membuat suasana kota menjadi seperti terus menerus tertidur. Padahal sebagaimana diketahui, perusahaan yang baru saja menandatangani kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia ini memiliki ribuan karyawan yang bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan shift yang terjadwal secara teratur.

Hal itu terbukti dari banyaknya karyawan yang tiba di apartemennya pada pukul 23.00 WIT sementara karyawan lainnya baru berangkat bekerja. Banyak pula yang baru pulang pada pagi dini hari, sedangkan karyawan yang lain juga berangkat pagi-pagi. Menurut Karel, setiap shiftnya,karyawan akan bekerja selama 8 jam saja lalu pulang untuk istirahat dan diganti dengan karyawan yang lain. Ini membuat efektivitas pekerjaan di PT Freeport Indonesia terjaga sehingga produksi akan tetap berjalan kontinyu.

Setelah beristirahat, malam sekitar pukul 20.00 WIT kami makan bersama dengan karyawan PT. Freeport Indonesia di suatu tempat luas yang disebut Karel sebagai Messhall. Untuk masuk ke dalamnya, kami cukup menscan id card bertuliskan Visitor ke scanner lalu bisa makan sepuasnya dengan berbagai macam pilihan menu. Yang unik, selesai makan, kami harus membawa piring dan gelas masing-masing menuju tempat pencucian, membuang sisa makanan dan minuman ke tempat sampah, baru memberikan piring dan gelasnya ke petugas kebersihan.

Meskipun hujan masih terus turun hingga kami kembali ke apartemen, untungnya, pagi-pagi saat kami siap untuk bertualang ke Grasberg, hujan benar-benar berhenti. Pegunungan yang ada di Tembagapura tampak indah dan menawan, terutama puluhan sumber mata air yang muncul begitu saja dari bebatuan gunung di tempat yang tinggi sehingga membentuk air mancur.

Perjalanan menuju Grasberg ini menggunakan kendaraan yang sama dengan bustruk model pertama (anti peluru), namun tanpa serat kayu anti peluru yang menghalangi pandangan. Ada dua jenis kendaraan yang digunakan untuk operasional sehari-hari di Tembagapura, yaitu bustruk dan sebuah mobil biasa bermuatan lima orang. Dengan bustruk itulah kami memuncak ke Mile 74 yang berketinggian 2.800mdpl dan memang hanya bisa sampai di sana.

Usai naik bustruk model kedua, kami kemudian memasuki sebuah kamar yang dikelilingi oleh kaca tembus pandang. Beberapa saat, ruangan tersebut bergoyang ke kanan dan kekiri, lalu pelan-pelan meluncur menunggu ketinggian 3.500mdpl. Dari sana, bustruk kami diganti lagi dengan bustruk yang lebih berwarna putih susu. Bustruk inilah yang akan membawa kami menuju Grasberg Mince yang berada di ketinggian 4.265mdpl.

Dalam perjalanan menuju ke tempat tertinggi yang dioperasikan oleh PT. Freeport Indonesia inilah kami disuguhi oleh operasional kendaraan super raksasa yang bahkan bisa menampung bebatuan hingga berat total 310 ton. Kendaraan truk ini bergerak lincah seperti robot-robot luar angkasa dalam film Transformer yang dikendalikan oleh seorang supir yang dididik di Institut Pertambangan Menangkawi.

Tepat pukul 09.00 WIT kami sudah sampai di Grasberg Open Mine, atau Tambang Terbuka Grasberg yang telah dioperasikan oleh PT Freeport Indonesia sejak akhir 1989 dan akan ditutup pada akhir 2016, dua tahun lagi.

*oleh Fathul Qorib, Juli 2014, dimuat oleh Koran Cenderawasih Pos