anak-anak bermain bola di halaman, maknya msjid kemudian ditinggikan ke lntai 3 |
Tidak ada yang menyangka bahwa di sudut Kota
Jayapura berdiri sebuah masjid yang memiliki catatan gemilang pada tahun 1940-an.
Di sana adalah pusat kegiatan umat muslim yang ada di Kota Jayapura waktu itu.
Namun menghadapi zaman yang baru, masjid itu, meskipun susah, tetap bertahan
dengan segala cara.
Suasana lengang
pada siang Bulan Ramadhan waktu itu. Yang terdengar hanyalah koor nyanyian siswa-siswi SMP Nurul Huda
yang sedang melafalkan surat-surat pendek dari Al Quran. Ketika waktu Shalat
Dzuhur tiba, H. Suyono keluar dari rumahnya yang ada di samping bangunan
sekolah sekaligus bangunan Masjid Jami Kota Jayapura itu. “Kita shalat
dulu,”ucapnya singkat ketika ditemui oleh wartawan Cenderawasih Pos.
Dia adalah Ketua
Takmir Masjid Jami Kota Jayapura yang sehari-sehari berada di sana untuk
meramaikan masjid. Suyono merupakan salah satu saksi sejarah berkembangnya umat
muslim di Kota Jayapura dalam usianya yang saat ini mencapai 62 tahun. Ingatannya
masih tajam menceritakan bagaimana Kota Jayapura waktu itu masih sepi dan masih
ada dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Banyak pedagang
dari berbagai belahan nusantara yang datang ke Kota Jayapura untuk berdagang, kata
Suyono, namun tidak menemukan satupun masjid untuk digunakan sebagai ibadah maupun
istirahat. Pada tahun 1943, banyak pedagang muslim dari Ternate, Tidore, dan
Waigeo, yang melakukan perdagangan di Kota Jayapura sehingga mencari-cari masjid
untuk melakukan shalat lima waktu di sela-sela berdagang.
Saat itulah timbul
inisiatif dari para sesepuh untuk membangun sebuah masjid pertama-tama di Kota
Jayapura, yang kemudain diberi nama Masjid Jami Kota Jayapura. “Namanya
sederhana, tidak seperti di daerah lain yang pemeluk islamnya banyak, tapi di
sini namanya Masjid Jami saja, karena di Kota Jayapura, jadi namanya Masjid
Jami Kota Jayapura,”sambung lelaki asal Ngawi, Jawa Timur itu.
Selain itu,
Masjid Jami Kota Jayapura waktu itu digunakan pula sebagai sentral
masjid-masjid lain yang berikutnya dibangun, termasuk juga pusat kegiatan
keislaman yang ada di Provinsi Papua. Maka dari itu, Suyono pernah mengenang
bahwa di masjid itu juga ada sebuah mesin telepon menggunakan tenaga gerak yang
diputar dengan tangan, termasuk Radio Republik Indonesia yang suka menyiarkan
secara langsung khutbah jumat di sana.
foto masa muda Suyono bersama teman-temannya di depan Masjid Jami |
“Itu dulu,”
tegas Suyono. Pada tahun-tahun terakhir ini Masjid Jami Kota Jayapura hanya
digunakan untuk jamaah shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat tarawih jika
waktu Ramadhan. Bahkan jamaahnya semakin berkurang karena banyak masjid yang
dibangun di tempat lain. Waktu ada perencanaan untuk pelebaran masjid pada
tahun 1975, Masjid Jami tidak bisa lagi direnovasi karena lokasi tanahnya yang
sempit.
Maka dari itu,
kemudian ada orang yang mewakafkan tanah yang saat ini dibangun Masjid Raya
Kota Jayapura yang bangunannya belum finish. Bahkan sejak tahun 1975 berdirinya
Masjid Raya, Masjid Jami tidak pernah melaksanakan jamaah shalat jumat lagi.
Hingga pada tahun 1996 pihaknya menghadap ke Kanwil Agama Provinsi Papua untuk
meminta ijin agar Masjid Kota Jayapura kembali bisa melakukan Shalat Jumat,
karena bagaimanapun, sebagai masjid tertua harus dilestarikan.
“Ramadhan ini
kita tingkatkan tadarusannya setiap malam. Shalat tarawih juga setiap malam,
takjil kalau menjelang waktu berbuka puasa. Kami berharap saja agar pemerintah
bisa memperhatikan masjid ini karena ini masjid punya sejarah juga,”ujar Suyono
yang telah berada di Kota Jayapura selama 36 tahun itu.
Dari tahun ke
tahun, masjid yang dibangun pada 1943 tersebut terus mengalami perubahan dan
renovasi. Pertama-tama masjid berdiri hanya terdiri dari lantai satu saja. Lama
kelamaan, pada tahun 1990-an kebutuhan pendidikan bagi putra-putri mereka yang
ada di sekitar masjid juga meminta perhatian, maka dibangunlah Madrasah Diniyah
yang khusus mempelari agama-agama islam. Berturut-turut berdirilah MI Nurul
Huda, SD Nurul Huda, SD Nurul Huda II, dan jenjang paling tinggal adalah SMP
Nurul Huda.
Saat ini, Masjid
Jami Kota Jayapura berada di lantai tiga dari kompleks gedung tersebut.
Dinaikkan ke lantai tiga karena kebanyakan anak-anak bermain di halaman masjid
sehingga akan mengotori masjid. Bukan hanya itu, anak-anak yang bermain kadang
lupa waktu sehingga ketika saat shalat masih berlangsung malah bermain bola.
Maka dari itulah, dengan beberapa pertimbangan, akhirnya masjid di letakkan di
lantai tiga sementara lantai dua dan satu digunakan untuk kantor dan sekolah.
“Di belakang
Asuransi Jiwasraya yang di APO itu ada makam-makan yang mereka adalah generasi
pertama kali meramaikan masjid di sini. Itu sejarah kita, kalau ada yang punya
sumber sejarah atau informasi lain ya silahkan di masukkan ke kami,”lanjut
Suyono.
Bahkan beberapa
anekot disampaikan oleh Suyono bahwa Masjid Jami adalah masjidnya kaum
pedagang, masjid yang merakyat. Pasalnya, yang datang untuk melakukan shalat di
sana kebanyakan adalah para pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan juga
buruh serta karyawan yang ada di pertokoan sekeliling Masjid Jami.
*oleh Fathul Qorib, Juli 2014, dimuat oleh Koran Cenderawasih Pos
Salam buat Pak Suyono. Saya Muhammad Arief Albani putranya Bapak H. Muslimin Dirdjo dan Cucunya KH. Manshur D. Rahmat.
BalasHapusMungkin nama itu tidak asing bagi warga sekitar Masjid Jami' hingga Masjid Raya Baiturrahim.
Bagaimana dengan Masjid Al Fatah Abepantai? Di Sana ada kuburan muslim tertua di Kota Jayapura.... beberapa tokoh Agama, Ulama salah satunya Gus Anom Dari Jawatimur datang ke Masjid Abepantai di Tahun 2014. Saya ingat betul beliau sampaikan tentang Masjid Abepantai,,, para tetua di Abepantai juga sampaikan ada 3 Masjid tertua di Kota Jayapura, Masjid Abepantai, Masjid Panti Asuhan Muhammadiyah dan Masjid Jami Kota Jayapura...
BalasHapus