Cintanya kepada Nueva sesederhana buah kira-kira, yang
menyimpan jalur-jalur rahasia untuk dipersatukan kembali oleh tangan jernih
anak-anak Patipi.
Dari Konflik ke Konflik
Orang yang telah
membaca novel ini, pasti akan jatuh cinta dengan tokoh-tokoh yang dipajang rapi oleh penulis bak porselen
di toko barang antik. Pun jatuh cinta dengan keindahan alam, keindahan budaya,
kekuatan adat, dan juga cara-cara menyelesaikan persoalan bagi masyarakat adat
Patipi di Semenanjung Onim, Fak Fak, Papua Barat.
Tampaknya kekuatan
penulis adalah dalam hal mendiskripsikan realitas yang ada dalam angannya.
Realitas ini, bisa jadi adalah realitas yang diharapkan oleh penulis terhadap
sesuatu. Termasuk tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh penulis, adalah merupakan
orang-orang yang diharapkan untuk tumbuh dan dewasa dalam diri penulis. Lelaki
dan perempuannya, perangai dan tabiatnya juga.
Selain tokoh ini,
ada beberapa keindahan alam yang masuk menjadi latar yang seksi bagi
adegan-adegan yang dituliskan. Keindahan alam ini berbaur dengan kebudayaan
yang akan sulit ditemui di daerah lain selain di Patipi, juga menyatu dengan
hukum-hukum adat yang merupakan hukum pertama sebelum adanya hukum keagamaan,
apalagi hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan terutama
kisahnya adalah sesuatu yang memukau untuk perjalanan seorang pemuda adat
seperti Atar, pemuda muslim yang diharapkan menjadi pimpinan adat, namun malah
dikenal sebagai pelanggar adat sehingga ia memutuskan untuk hengkang dari Patipi
untuk merantau ke Jayapura. Tampaknya seluruh masa depannya terenggut, tapi
sesungguhnya kisah Atar malah baru bermula.
Konflik di awal
berupa fitnah ini memang menjadi sesuatu yang lumrah bagi kalangan pembuat
novel, karena rasanya tidak mungkin membuat tokoh utama “benar-benar” mengalami
kesalahan adat yang fatal. Namun bagaimana kelanjutannya, adalah tantangannya.
Atar menjadi mahasiswa di Jayapura lalu menyedot berbagai macam perhatian,
lagi-lagi memang sudah seharusnya bagi seorang tokoh utama, dan pembaca harus
tahu bagaimana cara penulis membuat Atar melakukan itu; karena sangat menarik
dan berpengetahuan.
Atar dengan segala
kemampuannya di Universitas Cenderawasih ini tidak luput dari tangan dingin
sang guru di kampung halamannya, Werfra Hindom. Maka dari itulah dia kemudian
masuk dalam kemelut, keluar dari kemelut, lalu berhasil sebagai pemenang saat
ia mampu membuat gadis keturunan Portugis-Papua, Aitana Maria, selalu berfikir
tentangnya.
Dengan pengalaman
ini menimbulkan kedewasaan dan kesadaran lebih dalam diri Atar sehingga ia
kemudian memutuskan untuk pulang ke Patipi. Di sana ia akhirnya menjalani
sidang dalam suasana yang betul-betul baru bagi pelancong seperti dirinya.
Satu-satu terkuak, siapa saja yang akhirnya harus mengaku bahwa kejadian masa
lalu adalah fitnah, dan beberapa orang tampil sebagai pahlawan yang disamarkan
oleh penulis.
Dari konflik ke
konflik, penulis malah menghadirkan konflik yang sering terjadi di Papua
sebagai latar saja. Inilah yang tampaknya menjadikan novel ini lebih humanis
dalam menyajikan persoalan Papua, meskipun ada kesan menghindar. Menyelesaikan
kisah ini, biarlah saya bertanya kepada penulis yang bisa menjadi konflik batin
saya; mengapa dua tokoh utama perempuan yang ada di dalam novel harus
blesteran? Nueva : Papua-Parsi, dan Aitana : Papua-Portugis?
Tantangan Mewacanakan Papua
Memilih Papua
sebagai setting cerita memiliki dua konsekuensi yang bertolak belakang.
Konsekuensi pertama adalah Papua sebagai daerah yang baru, bahkan asing bagi
sebagian besar pembaca tanah air. Kedua, karena Papua –meskipun asing- telah
dikenal karena pemberitaan-pemberitaan media massa: alam yang indah, budaya
yang memukau, mayoritas umat kristiani, dan tentu saja konflik tak berujung.
Maka sekali lagi
soal pendeskripsian, memang mutlak diperlukan karena Papua adalah sesuatu yang
baru bagi masyarakat Indonesia. Baru, dalam artian untuk datang ke Papua
dibutuhkan perjalanan panjang dan mahal. Dan apabila Papua memang dikenal, itu
hanya sebagian kecilnya saja, seperti Raja Ampat, atau PT Freeport Indonesia
yang terkenal sebagai perusahaan emas terbesar di dunia. Itu saja, tidak lebih.
Dengan konsekuensi
seperti ini, penulis ternyata mampu menghadirkan “konsep baru” tentang Papua
untuk pembaca seantero nusantara dengan
pendeskripsian yang tidak menggurui. Konsep baru yang dihadirkan adalah dengan
cara mengeksplor sebanyak-banyaknya keindahan budaya pesisir (catatan: selama
ini yang terekspose adalah budaya masyarakat pegunungan tengah Papua), merekam
jejak Islam di Papua, dan tentu saja mengeliminir konflik yang terjadi menjadi
sekelebatan.
Kemampuan yang
dimiliki oleh penulis dalam memilah dan memilih kisah untuk dihadirkan menjadi
penting bagi konteks penyebaran informasi tentang Papua. Novel ini betul-betul hadir
untuk memberi warna baru dalam pola pemahaman masyarakat tentang Papua. Dan tentunya
akan banyak yang berdecak kagum ternyata Islam dan budaya di Papua menjadi satu
kesatuan yang sempurna, termasuk bagaimana sistem adat ternyata mampu
mengalahkan agama.
Ngomong-ngomong
mengenai sistem adat dan agama yang ada di Fak Fak, Papua Barat, penulis telah
merangkaikannya dengan begitu apik. Hal-hal yang sifatnya bertentangan,
beriringan, dan kesatuan antara agama dan adat diolah dengan jeli sehingga
menunjukkan keaslian budaya masyarakat yang tinggal di Patipi secara khusus,
dan Semenanjugn Onim secara luas.
Seluruh orang
Indonesia yang beradab tidak akan menyangkal bahwa kekayaan budaya Papua dan
kekuatan adat yang dipegang adalah hal yang istimewa. Dengan hadirnya agama,
tidak serta merta kekuatan adat menjadi lemah, sebaliknya malah menunjukkan
eksistensi adat itu sendiri. Itulah yang ditunjukkan oleh penulis mengenai adat
di Patipi, dan begitu juga bisa diseragamkan pada adat di seluruh Papua.
Maka dari itu, di Fak
Fak ini kemudian dikenal Satu Tunggu Tiga Batu, artinya Satu Adat Tiga Agama
dengan tiga agama besar yaitu Islam, Katolik, dan Protestan dan satu adat. Bisa
difahami bahwa diantara masyarakat yang ada di fak Fak masih menyimpan satu kekerabatan
sehingga kehidupan antar agama berbaur menjadi satu. Yang bisa dicatat adalah pertama,
sikap toleransi antar agama begitu besar, kedua, adat lebih penting dari pada
agama.
Mengapa adat lebih
penting dari pada agama? Karena jika boleh egois, agama datang tidak lebih baru
dari adat, maka adatlah yang didahulukan. Terkait pemahaman ini, penulis
mencontohkan sebuah kehidupan yang ekstrem di Walesi, Kabupaten Jayawijaya
dimana Babi masih menjadi sesuatu yang bernilai sangat tinggi sehingga
masyarakatnya masih berhubungan dengan babi (menyentuh, memakan, menjadikannya
mas kawin) meskipun telah memeluk agama Islam.
*oleh Fathul Qorib, Agustus 2014. Tulisan ini dimuat di Radar Probolinggo, Jatim
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.