Suasana kantor lengang. Sudah dua jam aku
ngobrol dengan Direktur Utama Cenderawasih Pos, Suyoto, dan menelan banyak hal.
Mulai dari pencerahan hingga obrolan tanpa mutu antara dua orang lelaki –satu
muda dan satu tua. Setiap redaktur datang, aku hanya merasa bahwa mereka tahu
bahwa mulai hari ini aku menerima punishment,
karena aku melakukan kesalahan dalam pemuatan berita.
Kesalahan pemuatan berita ini membuat nama
baik diriku meluncur ke liang kecoa. Aku dianggap tidak kredibel, membuat
berita bohong, memuat foto palsu, dan lain sebagainya, bahkan dianggap lari
dari tanggung jawab pada saat berita itu sudah menyebar luas. Pas sekali dengan
tugas yang dibebankan padaku untuk pergi ke Makassar dengan waktu kemunculan
berita itu. Aku lemah, kalah, terbodohi, dan merasa goblok sejak pemuatan
berita itu, terjerembab.
Sementara yang lebih mengerikan adalah
kredibilitas koran, dimana saya bekerja di dalamnya, digugat oleh banyak orang.
Aku menjadi merasa bersalah, koran besar yang mengajariku banyak hal, membuatku
berkehidupan cukup, akhirnya kuseret menuju lubang kecoa pula. Bagaimana tidak,
akibat sebuah tipuan sederhana, aku dan mediaku menjadi bulan-bulanan banyak
media lainnya, dan juga banyak orang.
Baik materi maupun immateri, perusahaan
tempatku bekerja rugi. Secara materi, pada saat puluhan orang datang ke kantor
gara-gara berita itu, mereka dikasih “sangu” satu-satu. Entah berapa, namun
yang jelas jumlahnya besar karena ini Papua, di mana uang Rp 300.000 adalah
sesuatu yang biasa. Aku tidak bisa mengelak ketika sebuah surat peringatan
datang padaku malam itu, dan Pemred dengan tabah hati menyerahkannya sembari
memberikan petuah.
Jadi, aku kalah hari ini. Ditarik dari tugas
sehari-hari, dan harus berada di kantor dalam waktu yang tidak ditentukan.
Manusia memang sering kalah dengan kenyataan. Karena kenyataan adalah
satu-satunya punishment yang tidak mungkin dapat dipalingkan. Atas semua yang
kita lakukan atau tidak kita lakukan, akan ada punishment yang membuat kita
merasa bahwa kita adalah orang yang paling sengsara waktu itu.
Namun demikian, punishment juga bisa menjadi
cambuk untuk berbuat lebih baik lagi. Sayangnya, orang-orang lebih bangga untuk
terus menerus berada dalam melankolisme kehidupan, merasa terlantar, dan
menikmati keterlantaran itu sedemikian rupa. Bagi kita yang seperti ini,
tentunya tidak akan merasa bahwa punishment merupakan sesuatu yang
menguntungkan.
Kali ini, dan beberapa kali pada masa lalu,
kehadiran punishment padaku tidak kumaknai sebagai hukuman. Ini hanya merupakan
kenyataan bahwa kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Aku
sering mengatakan kepada kawan dalam bercandaan sehari-hari, hidup itu kejam. Dan kekejaman itu
berdampak padaku, bahwa meskipun tidak salah, hanya karena semua orang
menganggapmu salah, maka kita harus menerima punishment.
Jelas-jelas aku melakukan seluruh pekerjaan
sesuai dengan koridor yang ada. Namun ada beberapa hal yang kadang membuat
sebuah kesalahan menjadi masuk akal. Lalu apa yang harus dilakuknn oleh
seseorang yang kalah dalam kehidupannya? Tentu saja dia harus menerima apa yang
ada. Masalah membuat resolusi, itu bisa dilakukan oleh pahlawan lainnya. Karena
yang susah dilakukan manusia yang merasa benar, adalah menerima kenyataan bahwa
dia salah meskipun hanya dianggap salah.
Potret kerja jurnalistik yang kadang
bersikutan dengan media lawan menjadikan pekerjaan lebih berat dari yang
seharusnya. Terutama jika media itu besar, dipercaya kredibilitasnya, dipercaya
pemilihan anglenya, dipercaya keakuratannya, dan lain sebagainya, maka ia harus
mati-matian mempertahankan itu. Salah satunya adalah adalah dengan menekan wartawan
agar mendapatkan berita eksklusif.
Membuat berita eksklusif masih menjadi jalan
termudah untuk membuat media menjadi terkenal. Dan saya, mungkin wartawan
lainnya, juga akhirnya akan jatuh pada lubang eksklusifitas itu. Karena kita
musti cepat, diam-diam, sembunyi-sembunyi, akhirnya data kurang akurat, kesalahan
tidak ada yang membenarkan, dan ketika naik ke media, seluruh orang akan
bertanggung jawab.
Namun bagaimanapun, membuat berita ekslusif
adalah kewajiban dari setiap wartawan. Bagaimanapun media tidak menekannya,
namun jika kita sadar bahwa membuat berita dengan data dan daya diri sendiri
adalah lebih nikmat rasanya, maka kita seharusnya begitu. Namun yang membedakan
seorang wartawan menjadi eksklusif dengan wartawan
sharing adalah kegigihan dan keuletannya. Wartawan yang uletakan
mengerjakan semuanya dengan caranya sendiri.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.