2013-01-26

Masalah dalam Life of Pi: Ulasan Film


Kehidupan memang tidak pernah salah memilih. Ia memberikan cobaan kepada siapapun dengan segenap kemampuan alami yang dimilikinya. Namun kita semua, pada awalnya sungguhlah orang yang tidak tahu apa-apa, karena seperti yang kita lihat, orang yang kuat bukanlah orang yang tidak punya masalah, tapi sebaliknya, memiliki banyak masalah besar namun ia sanggup menyelesaikannya dengan sukses.

Pertama kali Pi mendapatkan masalahnya, adalah karena namanya yang pelafalannya mirip sekali dengan pelafalan “kencing -Pissing” di India. Piscine Pada masa kanak-kanak, menjadi ejekan teman sedesa bukanlah yang menarik untuk diceritakan. Mungkin kita tidak pernah tahu bagaimana itu bisa menjadi moment yang paling menakutkan bagi masa perkembangan kanak-kanak. Tapi begitulah yang terjadi, karena anak-anak masih memerlukan definisi tentang hidupnya dari lingkungan, bahkan ia membutuhkan pengakuan dari teman-temannya lebih dari kita orang dewasa memahaminya. Maka itu, memberikan nama yang baik sangat dianjurkan oleh agama kita.

Namanya adalah Piscine Molitor Patel. Piscine Molitor adalah nama sebuah kolam renang di Perancis yang menjadi inspirasi pembuatan nama tersebut oleh seseorang. Ceritanya agak panjang, kita akan membahasnya nanti dalam overview yang ke tiga, namun kalimat ini mungkin mewakili keanehan inspirasi tersebut “jika kau ingin anakmu memiliki jiwa yang bersih, kau harus membawanya sesekali berenang di kolam Pisine Molitor”.

Dengan nama yang begitu sulit bagi lidah India, Pi mulai berfikir untuk memperkenalkan dirinya ketika menginjak Sekolah Menengah Pertama. Ia menjelaskan “Namaku Piscine Molitor Patel, Perlu kalian ketahui: Pi adalah Abjad keenam belas dari alfabet Yunani Yang juga digunakan dalam matematika untuk mewakili rasio dari setiap keliling lingkaran untuk diameternya Sebuah bilangan irasional dari panjang tak terhingga, biasanya dibulatkan menjadi tiga angka, seperti 3.14”.

Pi menemukan sendiri kenapa dia harus menjelaskan namanya menjadi sesuatu yang menakjubkan sebelum ia akan di olok-olok lagi. Begitulah kehidupan membawa kita pada perubahan untuk sesuatu, sebagaimana Pi melakukan antisipasi yang cerdas. Ini adalah permasalahan awal seorang manusa Pi dengan kolam renang yang menjadi inspirasi.

Masalah yang kedua adalah tentang kebun binatang. Ayah Pi, bukan sebuah kebetulan adalah seorang ahli zoologi yang mendirikan sebuah kebun binatang di India. Tidak perlu digambarkan bagaimana suasana kebun binatang. Dan ini sempat tidak membuat saya faham karena di awal film, kita disuguhi pembukaan mengenai hewan-hewan yang sedang bermain. “apakah saya sedang menonton channel national geographic?” ucapku sendiri. Namun memang, tidak ada yang tanpa alasan, itu adalah pembukaan kepada gerbang pengetahuan kita akan lingkungan tokoh utama Pi.

Ia pernah mengajak seorang temannya untuk memberi makan harimau besar di kandangnya. Ia membawa daging ditangannya dan di julurkan ke dalam kandang. Waktu serasa berjalan lambat, terjadi saat berpandangan antara Pi dan harimau tersebut. Kemudian temannya itu berlari menjauh lalu datang lagi dengan ayah Pi yang marah besar melihat kelakuan anaknya. Ayahnya menarikcepat-cepat tubuh anaknya tersebut dan mendemonstrasikan bagaimana harimau adalah seekor binatang buas nomor satu.

Di sana dia memahami bagaimana cara kerja alam semesta ini meskipun ia merasa telah melihat sebuah jiwa di mata harimau tersebut. Bagaimanapun seekor harimau, akan mencabik-cabik mangsa yang diumpankan oleh ayahnya tersebut; seekor kambing yang diikat diluar kandang namun mampu dijangkau oleh harimau itu dan dibawanya ke dalam kandang. Pi begitu terpukul dan kemudian melihat dunia denga lebih ‘realistis’, dengan lebih nyata. Ia sebelumnya adalah seorang yang mudah terpesona kepada dunia, memandang bahwa kehidupan baik-baik saja, akhirnya sadar bahwa dunia penuh dengan kehidupan yang misterius –yang banyak ia tidak ketahui.
Ia menjadi orang gelisah, dan di film itu ditunjukkan bagaimana ia mulai membaca buku Dostoyevsky dan Camus.

Saya agak terkejut juga melihatnya, sepertinya, sastra memang sebuah jalan terang nan gelap untuk memahami semua emosi yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Pi kembali menemukan pemahamannya terhadap dunia.
Kemudian masalah yang ketiga adalah cinta. Ia bertemu dengan Ananti di sebuah tempat latihan tari di mana Pi menjadi penabuh gendangnya. Di sini tidak banyak diceritakan karena memang tidak banyak memberikan pengaruh kepada jalannya cerita. Bahkan sampai di sini, inti dari cerita dalam film ini masih belum tersentuh.

Ketika makan malam berlangsung, saat Pi sedang membayangkan pacar pertamanya itu, sang ayah merencanakan untuk pindah ke Kanada karena tanah tempat kebun binatang akan di kuasai oleh pemerintah. Pi langsung sedih dan terus berdebat bahwa ia tidak mau pindah.

Masalah yang ke empat dan terbesar adalah ketika Pi harus terombang-ambing di atas laut selama tujuh bulan. Kapal yang sedianya digunakan untuk pindah ke Kanada oleh keluarga Pi karam di hantam badai, dan menyisakan Pi di atas kapal kecil bersama; seekor zebra, seekor hyna, seekor orang utan, dan seekor harimau bengali. Inilah awal dari semua kejadian yang ada dalam film ini.

Pi harus bertahan hidup di atas kapal kecil itu. Setelah Zebra, Hyna, dan orang utan habis disantap sang harimau, Pi harus memikirkan segala cara untuk agar tidak menjadi santapan berikutnya. Kuasa tuhan yang mampu menyelamatkan Pi dari hidupnya, hingga Pi kemudian, di masa dewasanya, berkata “bahkan saat tuhan sepertinya menelantarkanku, dia hanya menyaksikan. Bahkan saat ia tampak acuh tak acuh pada penderitaanku, dia hanya menyaksikan. Dan di saat aku berada di luar harapan untuk selamat, dia memberiku istirahat, dan memberiku tanda untuk melajutkan perjalanan”.

Maka, semua orang mendapatkan masalah masing-masing. Kita hanya harus bertahan, dan melampaui semua itu dengan jiwa besar.

2013-01-25

Menuju Puncak Bukit

Di suatu pagi pukul 08.00, ketika matahari tengah hangat, dan kabut-kabut gunung terangkat; aku berangkat dengan gentar menapaki jalanan beton menuju sebuah bukit. Itu pagi yang benar-benar menakjubkan setelah sekian lama aku terkurung dalam perjalanan yang membosankan di atas kapal.

Dengan ucapan bismillah, kumulai langkah pertama. Kutinggalkan sekelompok mahasiswa universitas hasanuddin yang berjubel di aula pertemuan pada gedung megah tersebut. Aku melambai pada beberapa orang yang tidak ku kenal, dan mereka tidak mengenalku, mereka hanya memandangiku dari kejauhan –menerka, berharap mereka juga mengenalku, tapi tidak ada kenangan apapun yang muncul di kepala mereka. Aku hanya iseng, sebagaimana Jack yang melambai kepada orang-orang yang menonton kapal Titanic, dan berteriak; “See u again… see u again… bye bye…!” padahal tak satupun dari mereka mengenalnya, begitupula sebaliknya.

Membayangkan menjadi Jack yang telah berganti kehidupan, aku tersenyum sendiri sambil mendongak ke punggung bukit yang akan kudaki. Ia serupa anak tangga menuju surga, dan aku membayangkan di ujungnya akan ada sungai madu berkelok dengan beberapa bidadari nyasar yang sedang ritual mandi. Lalu aku terkekeh, menggelengkan kepala, dan membenahi sebotol air di dalam ransel yang terasa mengganjal punggungku. Perjalananku terus bergulir dengan bahagia.

Pagi itu aku naik ke puncak sendiri saja karena tidak ada yang punya waktu luang menemaniku. Lagipula aku masih belum mengenal banyak orang, hanya beberapa saja dari mereka yang kebetulan berkenalan di dalam mobil yang mengantarkan kami ke sini. Ya, sebagaimana orang lain yang hari-harinya diisi dengan rutinitas, berdecak heran mengenai perjalananku. Mungkin aku akan di klasifikasikan sebagai ‘pengangguran yang bangga’, tidak punya uang dan nekat, kemudian mereka bertepuk tangan.

Dan nampaknya, perjalanan sendirian menembus hutan semacam ini tidak begitu baik untuk dikerjakan. Aku baru berjalan melewati dua kali tanjakan yang lumayan, dan itu sudah cukup untuk mendirikan bulu romaku mengingat ‘aku sendirian di dalam hutan’. Sekelilingku hanyalah semak yang rimbun, kemudian tumbuhan perdu, lalu pepohonan tinggi dan besar. Semakin jauh, aku melihat hutan yang menjadi gelap. Langkah kakiku tetap tegap meskipun mataku kini sedang awas mengawasi setiap pergerakan yang terjadi –bunyi daun jatuh, gemeresak angin, dan tiupan beburungan menjadi begitu jelas ditelingaku.

Tiba-tiba guntur mengguruh di langit. Aku mendongak, menebak apakah akan segera mendung dan hujan. Tapi langit tampaknya tidak perlu dikhawatirkan. Kakiku terus melangkah, sekarang adalah jalan setapak yang becek di kanan kirinya. Tampaknya hujan semalam masih menyisakan banyak kubangan air di mana-mana. Keringat muncul satu dua dikeningku tapi aku masih belum butuh istirahat. Kuusap dengan sapu tangan biruku, dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di kegelapan hutan sana.

Kutenglengkan kepalaku mencoba untuk mendengar lebih jelas, seperti ada suara gemerincing angin pedesaan. Suara itu persis seperti lonceng-lonceng karapan sapi di sawah. Lonceng itu begitu samarnya, beriringan dengan angin dingin yang bertiup lembut di tengkukku, dan membuat bulu kudukku kembali berdiri. Aku tahu, aku tahu, tidak akan ada hantu pada pagi jam segini, tapi kadang ketakutan muncul tanpa bisa dikontrol oleh otak. Aku hanya cukup merasa bahwa aku ketakutan, dadaku sejenak berdegup, dan suara lonceng itu hilang ditelan cericit burung.

Suara kemudian berganti dengan lengkingan jangkrik yang bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainya. Lengkingannya cukup untuk membuat kebisingan seluruh hutan, aku benar-benar harus menutup telingaku dengan kedua tangan. Guruh kembali datang, langit masih tampak baik bagiku. Tapi kali ini aku tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan. Entah masih berapa lama lagi, katanya untuk menuju puncak hanya dibutuhkan waktu setengah jam. Dan aku baru berjalan 20 menit, mungkin sedikit lagi, 10 menit lagi.

Ketika aku melirik jam di hapeku, nyaring lonceng itu kembali datang. Aku mencoba untuk menalarnya, apakah mungkin di ketinggian seperti ini, hutan gelap, lengkingan hewan aneh, terdengar bunyi lonceng yang bergemirincing? Tidak, itu hal yang mustahil. Bahkan aku tidak pernah mendengar ada mitos seperti ini pada orang-orang yang sedari tadi bercerita di dalam mobil. Dadaku kembali berdegub. Apakah ini? Aku mulai ragu.

Tetes hujan menampakkan dirinya, satu jatuh di hape yang sedang kupandangi. Lalu kudongakkan kepalaku ke langit, dan melihat mendung yang menggumpal. Dalam sekejap, hutan semakin gelap seperti telah memasuki waktu maghrib. Entah mengappa, kakiku masih melangkah ke atas, mungkin sedikit lagi ke puncak, tapi mungkin juga, semenit lagi hujan lebat akan turun. Dan bunyi lonceng itu, apakah aku yakin bahwa semua baik-baik saja?

Tidak, aku tidak yakin. Oh tuhan, kutarik nafasku dalam-dalam. Kakiku kuhentakkan agar mau berhenti. Lalu aku menyebut nama tuhan berkali-kali, inilah kelemahan manusia. Aku memfokuskan pandangan ke arah suara lonceng itu. Kini loncengnya semakin nyaring, seperti sengaja mengarah padaku, sengaja datang ke arahku. Aku tegang, darahku seperti mengalir lebih cepat, gigiku bergemetak, ludahku kutelan, dan tanganku menggenggam seperti siap siaga. Entah apa yang akan terjadi, tapi aku tidak ingin menuju surga sekarang ini meskipun surga itu sangat menggairahkan.

Pipiku menggembung mengeluarkan nafas, aku mengingat beberapa hal pada saat seperti itu. Aku mengingat rumah, tentu saja, rumah, yang selalu menerimaku kembali, dan mengantarku pergi. Kini aku sedang berjarak ratusan kilo meter, sendirian ditengah hutan, yang tidak mungkin akan ditemukan orang dalam satu-dua hari ini. Pada jarak pandang terjauhku, kusudah melihat adanya pergerakan di semak-semak yang beriring dengan bunyi lonceng. Gerimis kemudian datang, aku benar-benar harus kembali, turun, dan mungkin meringkuk tidur di kasur yang hangat.

Tapi kakiku malah terpaku di sana. Aku menjadi ingin tahu ada apa dengan lonceng yang berisik tersebut. Hujan semakin besar, aku tidak sabar menunggu; “ayo, datang, ayo ayo ayooo…” bisikku sambil menguatkan gigitan pada gigiku sendiri. Aku seperti menantang. Dadaku semakin penuh.

Lalu lonceng itu seakan di hadapanku, kusudah bisa melihat mereka. Beberapa tubuh yang besar kecoklatan, berlari kencang. Kabut lagi-lagi mengganggu. Tubuhku kian gemetar. Duh, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku mesti lari sekarang? Toh tidak ada yang melihatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya. Aku benar-benar menunggu. Semenit kemudian, bersamaan dengan kabut yang tersingkap, aku berteriak keras-keras “Haaaaaaaaaa…..”. Sumpah, aku berteriak keras-keras seakan hendak mengusir segala ketakutan akan suara lonceng pada tubuh kecoklatan tersebut. Dan benar, mereka lari ketakutan, menyebar kemana-mana, dan aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Aku terus tertawa keras-kera sampai air mataku keluar, lalu berlari turun diiringin hujan yang kian deras. Aku belum sampai ke puncaknya, dan kurasa, aku sudah merasakan ketakutan puncakku menghadapi kematian seorang diri.

Live In Lembaga Dakwah Kampus

Saya tidak terbiasa menulis tentang keagamaan karena hal ini tidak banyak disukai di dunia luar. Kita mesti mengakui bahwa agama, dalam banyak case, dianggap memperjauh masalah keduniawian. Betapa sering kita mendengar lontaran bahwa “agama adalah kegelapan”. Dan agama, jika di sandingkan dengan ilmu pengetahuan, akan dianggap sebagai sesuatu yang kolot, bau, kuno, dan tidak memperbaiki keadaan.  Di Ambon yang pernah terjadi perang itu, agama malah dijadikan isu pemecah belah.

Dalam film Life of Pi (based on novel by Yann Martel), seorang ayah menasehati anaknya yang bahkan memeluk tiga agama sekaligus pada satu waktu, bahwa “selama ratusan tahun ilmu pengetahuan telah membawa kita untuk lebih mengenal alam semesta dibandingkan dengan agama yang telah berusia ratusan ribu tahun”. Lihat, agama seakan-akan perkara bodoh yang seharusnya tidak untuk dipercaya. Saya takut itu keyakinan yang tidak hanya muncul dari mulut belaka. Bahwa agama seakan-akan kambing hitam dari semua ketidakmajuan yang diperoleh manusia. Agama dipandang sebagai sesuatu yang destruktif, mengenaskan bukan?

Maka kita harus menjawab semua itu. Ada beberapa lubang dalam agama yang tidak bisa kita jelaskan dengan gamblang kepada orang-orang yang mengaku atheis. Mengapa harus kita? Ya, karena kita yang mestinya faham tentang kebermanfaatan agama itu sendiri. Kita yang bergerak “seolah” menjadi tangan kanan tuhan di muka bumi ini, sekumpulan orang yang masih percaya bahwa ada tujuan kebahagiaan mutlak dari keberadaan agama; terutama Islam, yang tidak ada yang lebih tinggi darinya, adalah satu-satunya hal paling benar yang tidak bisa kita tolak.

Sebagai sebuah organisasi keislaman, lembaga dakwah kampus kita ini harus membuktikan bahwa kita manusia beragama bukanlah manusia kuno dan ketinggalan zaman. Dan benar, dalam tiga tahun terakhir, lembaga dakwah kampus universitas trunojoyo ini telah melakukan gerakan -yang menurut saya- lebih besar dari organisasi mahasiswa manapun. Saya melihatnya dari jauh, dari luar lembaga yang memang waktu itu merupakan keterbatasan saya untuk aktif di LDK. Ketika membandingkannya dengan semester pertama saya masuk lembaga ini, LDK benar-benar telah berkembang pesat.

Ditengah-tengah semangat dakwah itulah, pada semester lima saya menggabungkan diri di lembaga ini -lagi. Saya merasa menjadi anggota baru yang langsung di serahi (bahasa LDK-nya adalah di amanahi) menjadi Ketua Departemen Pers dan IT. Saya yakin pada saat saya diserahi jabatan panas tersebut, lebih dikarenakan tidak ada yang lain selain saya. Hanya saya satu-satunya orang tua dan masih ingin aktif di LDK. Saya tidak ingat tahunnya, tapi saya mengingat persis bagaimana Agil Asyrofi dengan agak gemetar membuat saya yakin bahwa Pers dan IT akan menjadi rumah saya.

Sebagai seorang aktivis kesenian universitas trunojoyo, yang secara jamak telah kita ketahui, tidak begitu kerasan hidup dengan tata cara keislaman, maka tidak heran kalau saya masih berusaha beradabtasi dengan sebenar-benarnya mencoba hidup ala lembaga dakwah kampus. Waktu itu, menjadilah saya satu-satunya orang yang bengal, tidak shaleh, dan suka mempercandakan agama islam itu sendiri. Sungguh, itu perbuatan yang tidak patut ditiru sama sekali. Namun demikian, di balik itu semua, saya sangat-sangat mencela diri saya sendiri –yang meskipun saya yakin bahwa islam adalah jalan cahaya satu-satunya, tidak bisa saya ikuti secara menyeluruh.

Tapi segala sesuatu pasti ada bagian terbaiknya, bukan? Karena dengan cara ini pulalah, saya kemudian menunjukkan kepada orang lain bahwa lembaga dakwah kampus bukan hanya tempat bagi ikhwan[1] dan akhwat saja –tentu saya menolaknya. Karena lembaga dakwah kampus bisa saja menjadi rumah sakit jiwa yang menangani pasien ‘gila’ dan menyembuhkannya. Jika kemudian orang itu sembuh, dan lalu memakai baju koko dan memelihara jenggot, itu adalah pilihan logis lainnya.

Menjadi bagian dari keluarga besar ini, akhirnya saya sadar bahwa ikut dan aktif di Lembaga Dakwah Kampus adalah sebuah kewajiban moral saya sebagai orang islam. Ini adalah organisasi yang harus dihidupkan, dan lalu menjadi harga mati untuk diluaskan. Dibandingkan organisasi kemahasiswaan lainnya, saya menganggap LDK harus menjadi ujung tombak kebanggaan siapapun yang berada di Trunojoyo. Kita hidup di tanah seribu pesantren, yang mana, pesantren adalah basis awal mula berkembangnya islam di bumi nusantara. Maka dalam diri saya waktu itu menganggap, sementara organisasi mahasiswa yang lain berbasiskan skill dan minat, di LDK mestilah berbasiskan hidup dan mati.

Lalu saya melihatnya pada banyak orang, yang santun seperti Yanuari (di masa sekarang), yang tangguh sebagaimana Agil, yang khusyuk seperti Jakfar, dan yang aneh seperti manusia Fendi. Saya meyakini, meskipun saya sendiri tidak bisa menyumbangkan sebagian besar waktu saya sebagaimana mereka, kehadiran mereka pada lembaga dakwah kampus ini telah menciptakan lombatan yang besar. Saat mengatakan ‘lompatan’ ini, saya mengingat bagaimana Newton pada masa lalu, dan Einsten pada masa yang lebih modern, telah melompatkan ilmu pengetahuan kepada sinar keemasannya. Maka, Agama Islam, ditangan mereka –semoga Allah menolong kita, akan benar-benar melesat seperti busur panah.

*

Saat tahun berganti, saya telah mencapai usia udzur untuk lebih aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Lagi-lagi saya harus menyaksikan lembaga ini sebagai outsider –yang dalam waktu yang sama saya adalah penghuni sekretariat ldk selama masa akhir studi. Saya masih bisa melihat bagaimana semangat yang begitu membara menghiasi setiap takbir. Adik-adik yang mengisi pos penting organisasi juga telah menciptakan inovasi-inovasi yang pada waktu itu sulit sekali saya membayangkannya, tapi mereka berhasil. Maka saya percaya, sungguh, bahwa islam telah kembali lahir dengan gemilang di trunojoyo.

Jadi benar bahwa lembaga ini telah menciptakan suatu kerinduan tersendiri bagi kita yang ikhlas menerima semua perbedaan dan persamaan. Lembaga dakwah kampus, andaikan saya tidak pernah mengenalnya, saya akan menjadi orang yang paling menyesal. Dan menyesal adalah suatu sikap diri yang sangat-sangat saya benci –karena saya hidup tidak untuk menyesalinya.

Makassar, 25 Januari 2013


[1] Menurut terminologi Fendi, Ikhwan itu bukan sekadar lelaki, ia adalah lelaki yang sudah ditata moralnya dan pandangan hidupnya berdasarkan syariat Islam; begitu pula untuk sebutan akhwat bagi perempuan.

2013-01-23

Agama dalam Life of Pi: Ulasan Film



Saya pernah membayangkan bahwa kita sesungguhnya hanyalah tokoh-tokoh rekaan sebuah novel yang kebetulan settingnya adalah di muka bumi. Mungkin ada tokoh novel yang lain yang juga hidup di belahan galaksi yang lain. Maka sama sekali tidak ada tuhan, kecuali memang tuhan hanyalah objek rekaan seorang pengarang yang menginginkan agama dan tuhan sebagai jalan keluar dari segala persoalan.

Lalu ada seorang tokoh yang dikehendaki untuk menjalani peran ganda, atau bahkan muti peran. Dengan sangat kompleksnya, bahkan pengarang mampu membuat berbagai agama dengan segala kitab sucinya. Sepertinya aku tidak terlalu tertekan dengan hal itu, toh JK Rowling juga telah membuktikan dirinya mampu membuat dunia penyihir, juga CS Lewis yang membuat dunia Narnia. Bahkan mereka mampu membuat dunia itu, dan tokoh-tokoh mereka hidup, tak ubahnya seperti kita yang memang diciptakan dari sebuah novel.

Dan yang paling saya fikirkan adalah, bagaimana kalau kemudian, pengarang kita, membuat tokoh yang menganut beberapa agama sekaligus? Menurutku, tampaknya tidak terlalu konyol untuk menjadi tokoh utama, bahkan itu lebih baik. Saya membayangkan, meskipun sepenggal, bahwa jika seseorang menganut beberapa agama sekaligus, maka ia akan bisa memahami setiap orang karena ia mempelajari kitab suci mereka. Juga lebih memahami tentang hidup itu sendiri. Saya belum mampu membuktikannya, ini hanya bayangan saya.

Lalu pada suatu malam, film Life of Pi menjawab hal tersebut dengan bahasanya yang indah. Dia berkata, “tak satupun dari kita mengenal tuhan hingga seseorang memperkenalkannya kepada kita”. Itulah dasar dari setiap manusia, kita tidak akan mengenal apapun sebelum sesorang atau sesuatu mengenalkan kita kepada apapun tersebut. Maka jika pertama kali kita mengenal agama Hindu sebagaimana Yann Martel, maka kitapun akhirnya memeluk Hindu. Hanya karena larangan keras kepada kita, umat beragama, untuk meyakini bahwa yang benar adalah agama kita saja, maka kita tidak pernah berani menyentuh agama lain; bahkan cenderung menganggap pemeluk agama lain telah salah-sesalah-salahnya. Padahal apakah yang kita punyai? Kita hanya memiliki keberuntungan dengan mengenal Islam lebih dulu, jadi, tidak alasan untuk membenci agama lain.

Yann Martel penulis novel Life of Pi ini, membuat tokoh, yaitu Pi, yang memeluk tiga agama sekaligus; Hindu, Kristen, dan Islam. Tentu saja, Pi tidak ahli dalam beragama ketiga-tiganya, karena ia mungkin hanya kagum dengan beberapa hal dalam ketiga agama tersebut. Bahkan dengan selorohnya, kemungkinan ia juga memeluk Yahudi.

Kehidupan macam Pi pasti dilatarbelakangi dari lingkungan keluarganya yang memang melonggarkan pikiran-pikiran semacam itu. Bahkan ayahnya sama sekali tidak percaya kepada agama, ia berkata tentang dewa-dewa Hindu “Jangan percaya pada kisah dan kecantikannya yang menipu”. Memang, kisah para dewa dalam agama Hindu, atau kalau kita membaca kisah Kresha, Syiwa, dan Wishnu, benar-benar memukau, juga kecantikan mereka, para dewa, benar-benar indah. Dan dengan lebih jelas menuding, ayah Pi berkata “agama adalah kegelapan”.

Bagaimana ayahnya memiliki pemikiran seperti itu? Tentu dilatar belakangi kehidupan masa lalunya juga. Bahwa ia dilahirkan dalam keadaan polio, terpuruk di dalam kamarnya saja, dan bertanya-tanya di manakah tuhan yang katanya dekat? “Ia tidak di selamatkan tuhan” Kata Pi, “Pengobatan dari Barat yang melakukannya”. Maka jadilah keyakinan ayah Pi sebagaimana tersebut. Hal tersebut, pertanyaan mengenai kehadiran tuhan di kala kita sedang sakit, menangis, adalah hal yang lumrah. Setiap orang beragama pasti pernah berfikir, atau paling tidak menemukan orang lain yang berfikir demikian. Orang-orang yang memanggil tuhan di kala mereka membutuhkannya, namun mereka merasa bahwa tuhan tidak peduli maka tuhan tidak ada. Apakah karena tuhan tidak nampak maka mereka tidak percaya?

Telah banyak diskursus mengenai keberadaan tuhan, maka saya tidak perlu menjelaskannya di sini. Yang merisaukan saya, tetap saja, bahwa Pi memeluk tiga agama sekaligus, dan ia baik-baik saja. Bahkan cenderung, ia lebih berkeyakinan dari pada seorang “writer” yang mewawancarainya, yang ingin menulis sesuatu tapi tidak memiliki ide. Dan ia di sana dalam rangka menemui “tuha” dengan dialognya kepada Pi. Pi seperti orang ahli agama yang lain; pendeta, pastur, ataupun kiyai, yang memiliki pengetahuan lebih tentang kehidupan. Pengetahuan yang biasanya haya dipercayakan kepada para ahli agama untuk menjawab persoalan-persoalan umat manusia.

Bisakan kita memeluk beberapa agama sekaligus? Apakah itu kontardiktif; melemahkan iman, atau malah sebaliknya?

“Kau tidak bisa meyakini tiga agama berbeda dalam waktu yang sama, Pi”
“kenapa tidak?”
“karena percaya pada segala sesuatu pada saat yang sama itu sama saja dengan tidak percaya apapun sama sekali”.

Melihat percakapan tersebut, saya tertawa lebar. Benar sekali, jawaban itu benar. Meskipun agak terkesan filosofis dan tidak ternalar. “percaya pada tiga agama dalam waktu bersamaan, sama dengan tidak percaya pada ketiga-tiganya”.

Masih banyak sekali hal yang ingin saya tulis dari film ini. Namun untuk sekarang, cukup tentang ini saja.

"Overview II" Masalah dalam Life of Pi

2013-01-20

Ulasan Buku: Kejahatan dan Hukuman II


Setelah menyelesaikan Kejahatan dan Hukuman beberapa hari yang lalu, saya masih terngiang betapa kita memang memiliki sebuah naluri untuk tidak mau berbuat jahat. Dalam terminologi Freud mungkin inilah kekuatan superego itu. Entah terlepas dari segala hukum yang telah dibuat manusia, kita seakan-akan sudah di plot memiliki hati yang bersih sehingga ketika berbuat keji maka dengan otomatis hati kita akan gelisah. Itulah hukum pertama-tama, kemudian muncul ketakutan-ketakutan akan hukum manusia, lalu terakhir kegelisahan puncak; hukum tuhan.

Buku tersebut, entah benar atau tidak, saya tidak yakin sebenarnya, pantas saya masukkan menjadi buku yang wajib baca. Karena memang, buku ini bagus, tapi tidak bisa memberikan sesuatu yang sensasional kepada pembaca. Saya ulangi agar tidak salah terka, bahwa buku ini memang benar bagus, namun tidak seluarbiasa buku-buku yang membuat kita tercengang aka imajinasi penulisnya. Namun demikian jangan dibandingkan dengan buku-buku lain semacam buku detektif, misteri pembunuhan, apalagi kisah fantasi petualangan. Karena buku-buku tersebut pasti bisa membuat kita berdebar, penelikungan yang sadis, juga membumbungkan angan-angan. Intinya buku Kejahatan dan Hukuman ini berbeda, hanya bisa dibandingkan dengan buku yang sejenis, sebuah buku yang mempermainkan perasaan dan pikiran secara bersama untuk menghindari kegilaan yang tak terhindarkan.

Memang dalam buku Kejahatan dan Hukuman, kita juga merasa berdebar-debar, namun lebih kepada kebosanan kita menunggu bagaimana akhirnya. Padahal dalam pengantarnya, sudah diuraikan bahwa buku yang sedang saya baca ini telah dirangkum oleh Alice Ten Eyk dengan menghilangkan beberapa hal yang berulang, melantur dan yang tidak terlalu penting. Anehnya saya tetap merasa bahwa ada kemoloran, ada memperpanjang pembicaraan, yang akhirnya membuat otak kita lelah –benar-benar lelah. Jadi kemudian saya membayangkan buku yang asli akan berakhir seperti apa di kepalaku?

Pada bab pertama yang saya baca, saya langsung berusaha membuat overview-nya demi agar tidak kehilangan feel ketika proses membaca saya berakhir. Ini karena saya benar-benar menghargai karya ini sebagai karya yang tidak lapuk di maka usia. Saya belum pernah melakukannya, bahkan ketika membaca Musashi –novel kesukaan saya. Dan saya salah sangka jika menganggap bahwa ini adalah novel tentang perencanaan pembunuhan, ini lebih dari itu, ini adalah buku yang mengisahkan sebuah “hati” yang melakukan rencana kejahatan. Benar-benar memompa darah kita untuk alur yang tegang dan kaku. Buku ini, sedianya hanya ditulis dengan panjang-panjang demi mengejar setoran kepada editor, demi uang pastinya, namun demikian tidak mengurangi makna ketercekatan isi kepada pembaca.

Bab pertama memang tentang perencanaan pembunuhan hingga si Roskalnikov membunuh. Namun bab selanjutnya, hingga halaman terakhir adalah tentang tokoh utama yang ingin menghindari hukuman manusia. Dan dari awal kalimat di tulis dalam lembar pertama, hingga kalimat di tutup di lembar terakhir, semua menjelaskan kepada kita tentang sebuah ketakutan hidup yang luar biasa. Ketakutan yang dihadapi oleh Roskalnikov memang keji dan menyakitkan.

Seorang mahasiswa miskin, telah dikeluarkan dari kampusnya, tanpa pekerjaan, tanpa keahlian, dan menjadi tumpuan keluarganya di desa; sedang dalam waktu bersamaan, adiknya bekerja di desa hingga mendapat malu demi menghidupinya yang sehari-hari hanya meringkuk di sofa bau. Ia tertekan, ia ingin mengamuk tapi orang miskin memang tidak bisa melakukan apa-apa. Kesakitan ini terus berlanjut hingga adiknya hendak menikah dengan seorang kaya yang “sedianya berniat baik” tapi si pengarang membuatnya menjadi jahat. Roskalnikov seperti merasakan bahwa calon suami adiknya itu orang yang tidak seperti yang diharapkan oleh ibunya. Hingga pertengkaran-pertengkaran bisu terjadi, menyayat-nyayat sepi dalam tubuh kita.

Ada beberapa hal yang membuat kita orang indonesia tidak memahami bagian tertentu dari setting cerita. Saya merasakan ada sesuatu yang janggal, dan anehnya tidak hanya pada novel ini, juga pada novel-novel terjemahan yang lain. Ini saya yakin karena perbedaan culture dan kebiasaan. Misalnya saja hubungan Roskalnikov dan ibunya yang buruk tapi tidak ada pertengkaran mulut sama sekali, hanya dari hati-ke hati yang membuat saya bertanya-tanya tentang hubungan mereka. Juga beberapa hal tentang pembicaraan antara Roskalnikov dan seorang detektif kepolisian yang hendak menebak-nebak bahwa pembunuhnya adalah Roskalnikov –tapi pembicaraan mereka terkesan baik-baik saja pada suatu waktu, dan pada waktu yang lain seperti menekan-nekan. Lebih-lebih, keanehannya pada sifat temperamental Roskalnikov yang menurut saya keterlaluan (atau karena saya belum mengenal banyak orang sehingga menganggap bahwa sifat tokoh ini menjadi aneh).

Benar apa yang dikatakan oleh Nietzsche tentang Dostoyovsky ini “Dostoyevsky was the only pcychologist from whom I had anything to learn”. Tampaknya mereka berdua sama-sama orang yang memiliki kesakitan dalam pemikirannya, yang membuat kita juga merasakan sakit yang teramat sangat ketika membaca tulisan mereka. Kita manusia normal tidak akan bisa membayangkan bahwa Roskalnikov setelah kejadian pembunuha itu, saat semua orang sedang curiga kepada semua setiap orang, malah datang ke apartemen perempuan tua yang dibunuhnya, dan merasakan suasana ketakutan seperti yang pernah dialaminya. Ia bahkan membunyikan bel kamar itu, mendengarkan dengan seksama berharap rasanya sama dengan waktu ia akan membunuh. Sungguh, itu perbuatan bodoh seorang yang amat jujur.

Buku ini, kalau dipikir lebih jauh, memang seperti cermin yang menghadap ke jiwa kita sendiri. Setiap lembarannya memaksa kita bercermin, tidak kepada wajah, tapi kepada bayangan samar-samar yang ada di dasar hati. Kejujuran Roskalnikov itu, yang terasa bagai sebuah ironi, menunjukkan bahwa manusia, sejauh mana pun ia mencoba melawan kodratnya, tetap terjebak dalam perangkap hatinya sendiri. Hati yang, seperti saya sebutkan tadi, sudah diprogram untuk bersih meski manusia seringkali sengaja mengotorinya. Dostoyevsky dengan kejeniusan yang hanya bisa dimiliki oleh seorang psikolog sejati, membuat kita tidak sekadar membaca cerita, melainkan mengalami langsung setiap kegetiran dan kegelisahan yang dirasakan tokohnya. Seolah-olah, kita adalah Roskalnikov, melangkah di jalan-jalan kelabu, menatap bayangan diri yang pecah-pecah di air yang kotor, sambil terus menerus bertanya, “Mengapa hati ini tak bisa diam?”

Dalam setiap pembunuhan yang ada di buku ini, tak ada yang lebih menakutkan daripada pembunuhan terhadap nurani. Roskalnikov, pada akhirnya, bukan hanya membunuh perempuan tua dan adiknya yang malang itu, tapi juga membunuh rasa damainya sendiri. Barangkali itu sebabnya, setelah perbuatannya, ia terus-menerus menghantui dirinya sendiri, mendatangi tempat kejadian perkara, memeriksa bel pintu yang dingin itu. Hati yang penuh dosa, Dostoyevsky tampaknya ingin berkata, akan terus mencari cara untuk menyiksa dirinya sendiri. Bukankah itu juga pelajaran bagi kita? Bahwa dosa, seperti air yang membeku, selalu menyelinap ke celah-celah paling sempit di dalam hati kita dan meluas dengan pelan tapi pasti. Dan Dostoyevsky, seperti seorang peneliti jiwa, menggambarkan hal ini dengan sangat nyata, bahkan sampai ke detail yang membuat kita merasa sesak.

Tentu saja, membaca karya Dostoyevsky tidak pernah sederhana. Ia seperti menuntun kita ke jalan yang sunyi, penuh kabut, di mana setiap langkah adalah percakapan dengan hati nurani kita sendiri. Barangkali itu mengapa ia sering disebut psikolog, karena lebih dari sekadar bercerita, ia mengupas lapisan demi lapisan jiwa manusia. Dan ketika sampai di halaman terakhir, kita tidak hanya merasa telah menyelesaikan sebuah novel, melainkan seperti baru saja keluar dari sebuah perjalanan spiritual. Roskalnikov adalah kita, Dostoyevsky adalah pemandunya, dan novel ini adalah cermin retak yang memperlihatkan kita apa adanya: manusia yang rapuh, penuh luka, tapi masih tetap mencari jalan untuk menjadi baik.

2013-01-16

Ulasan Film: Tanah Surga, Katanya



Sinopsis
“Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 hidup dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga menduda Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk mempertahankan hidup mereka, termasuk keluarga Hasyim, namun kesetiaan dan loyalitasnya pada bangsa dan Negara membuat Hasyim bertahan tinggal. Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. Astuti, seorang guru sekolah dasar di kota datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di sekolah yang hampir rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang dr. Anwar, seorang dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu bersaing sebagai dokter professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya karna kedatangan guru Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan dokter intel”

Membaca judulnya, kita akan tahu sebuah sinisme telah lahir kembali dari tangan-tangan sineas tanah air; yang menunjukkan pula betapa masih malasnya pemerintah untuk memperbaiki keadaan negara besar ini. Film garapan sutradara Herwin Novianto dan diproduseri oleh aktor kawakan Dedy Mizwar ini konon telah meraih gelar “terbaik” dalam jagat perfilman indonesia pada tahun 2012 mengalahkan empat film lainnya : Demi Ucok, Lovely Man, Rumah di Seribu Ombak, dan Soegija; juga dengan beberapa penghargaan, yaitu : Sutradara Terbaik, Pemeran Pendukung Pria terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Penulis Cerita Asli Terbaik. Memperhatikan penghargaan tersebut, maka baiklah kita sebut film ini sebagai tolak ukur keberhasilan dunia perfilman Indonesia.

Film ini telah mengisahkan ceritanya, tentang seorang mantan pejuang 1965 konfrontasi Indonesia-Malaysia yang tinggal di perbatasan Indonesia – Malaysia, di mana sangat tampak sekali bagaimana Malaysia mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Di sana menggunakan mata uang ringgit, dan segala aktifitas dilakukan dengan orang malaysia. Maka pejuang tersebut, tidak mau sekali-kali menginjakkan kakinya mencicipi kemakmuran tanah Malaysia hingga maut menjemput dirinya di tengah rawa-rawa hutan kalimantan. Sebuah pilihan idealis yang selalu tampak sia-sia dan tidak masuk akal.

Itulah inti ceritanya, di selingi berbagai adegan apik yang menampakkan ketimpangan ekonomi perbatasan Indonesia-Malaysia, kisah percintaan tak tuntas Ibu Guru dan Pak Dokter, serta kunjungan dari kota yang ingin menyalurkan bantuan ke sekolah tersebut tapi tidak jadi. Paling tidak kita bisa mencacah seperti daging, apa saja yang bisa kita tulis dari film Tanah Surga, Katanya.

Pertama, film Indonesia masih terkesan miskin dan drama(tis). Inilah film terbaik tahun 2012 yang juga masih belum bisa membebaskan dirinya dari kesan tersebut. Film-film Indonesia masih sama dengan film-film negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan India dan Korea. Entah ini penyikapan demi menyongsong dunia perfilman yang lebih baik, atau memang “dari pada” tidak sama sekali. Pilihan film genre drama memang tidak menghabiskan dana yang besar, hanya mengeksplor kemampuan aktor, ide cerita, serta dikuatkan dengan latar yang ndeso. Sangat bertolak belakang dengan sinetron versi Indosiar yang mengumbar komersialisasi perempuan, individualisme orang kota, materialisme, dan segala tipuan-tipuan yang terjadi di antara orang-orang yang hidup di rumah megah bercahaya. Yah, intinya adalah menyorot orang miskin dengan scene drama yang dramatis.

Kalau mau lebih optimis, kita tidak sampai berfikiran seperti itu. Karena ini adalah fakta sosial yang tidak banyak diketahui oleh orang di luar pulau. Pulau Jawa mungkin sudah terbebas dari kemiskinan –sementara itulah dugaan orang yang juga tidak tahu-, berbeda dengan orang luar pulau jawa, apalagi orang yang tinggal di perbatasan. Film ini hanya ingin menunjukkan kepada khalayak publik, bahwa orang yangsebangsa dengan kita-saudara kita, yang tinggal di sudut paling ujung kemakmuran, harus hidup merintih antara menggenggam idealismenya, atau mati. Ini adalah film yang jujur, yang mana, kata Ernest Hemingway, bahwa karya yang jujur adalah karya yang baik. Maka film ini saya akui benar-benar bagus sebagai tontonan yang memberikan pengetahuan baru kepada kita tentang Indonesia.

Kedua, pilihan realistis. Kita semua, adalah bangsa indonesia, yang selalu menghadapi pilihan-pilihan realistis untuk meninggalkan tanah air dari pada terpuruk pada keadaan. Jika hidup dengan berdagang di Malaysia, kemudian beralih kewarganegaraan kita ke Malaysia, demi hidup yang layak, demi agar anak-anak kita bisa bersekolah, dan keturunan kita yang bisa terperhatikan, apakah kita tidak boleh melakukan hal seperti itu? Inilah realitas kehidupan yang sedang di hadapi oleh orang-orang perbatasan. Sementara orang tua (usia 50-ke atas) terus menerus memegang teguh janji untuk menjaga nasionalismenya, anak-anaknya berbondong-bondong menuju ke Malaysia. Kita tidak bisa melakukan apa-apa, karena kita bukanlah siapa-siapa. Siapa elo yang mau nyumpahin orang yang berpindah ke Malaysia? Memang elo nggak ngerasainhidup di sana, jadi bisa saja elo ngatain bahwa mereka pengkhianat.

Pilihan hidup realistis ini bisa menjadi sesuatu yang memukul telak kepada rasa kemanusiaan kita. Hal ini bisa kita lihat pada para TKI yang rela tidak berjumpa dengan keluarga selama 3-6 tahun demi mendapatkan rezeki yang cukup untuk membangun rumah, membiayai pendidikan anak-anaknya, bahkan untuk biaya kematiannya sendiri jika pulang tinggal nama. Begitupula orang desa yang pergi ke kota untuk mengadu nasib –jelas sekali kata mengadu nasib seperti berjudi, jika beruntung akan kaya dari jalan yang tidak memalukan, jika sial, akan menjadi gelandangan atau pengemis yang pulang membawa uang banyak dan menjadi borjuis-borjuis kecil di desa. Kita bisa membahas pilihan hidup realistis ini berlembar-lembar, bahwa sebagian besar hidup kita bahkan telah tergadaikan dengan kata realistis ini.

Ketiga, kegigihan. Ini lagi-lagi film tentang orang desa yang sudah jamak diketahui bahwa hidup mereka susah, miskin, tidak berpendidikan, dan seabrek konotatisme yang menghantui orang desa. Maka olok-olok Tukul yang berwajah desa tersebut benar-benar menyakitkan; katrok, ndeso. Setidaknya itulah yang ingin diungkapkan oleh film ini lewat adegan seorang bocak desa yang ingin membawakan barang-barang bawaan Dokter Intel yang baru saja pindah ke sana menggantikan dokter lama yang telah meninggal. Si bocah membawakan barang-barang tersebut dengan kesulitan sekali. Bahkan saya bisa menyangkanya sebagai adegan yang dibuat-buat, canggung, serta tidak penting. Saya juga tidak tahu bahwa anak-anak usia kelas 4-6 SD harus ke kota (Malaysia) untuk berjualan barang keterampila desa, itu harus digolongkan kepada kata kegigihan orang desa. Mereka yang seharusnya sekolah tapi malah membantu perekonomian keluarga, bukanlah sikap gigih sama sekali, itu malah mengenaskan dan pantas untuk segera dientaskan dari kemiskinan. Tapi lagi-lagi kita hanyalah orang awam yang hanya bisa sebatas menulis tentang mereka –begitupula sineas perfilman.

Keempat, kritikan terhadap pemerintah. Hidup pada negara yang menganut asas demokrasi seakan-akan hidup dalam kebebasan mengungkapkan segala sesuatu. Benar, seakan-akan. Padahal kita tidak tahu mana yang bebas dan mana yang terkekang, karena kita hanya bisa bersuara tanpa menjanjikan apa-apa. Kita yang bebas di tanah sendiri, bahkan seperti hidup dalam penjara karena kita tidak bisa seenaknya melakukan segala sesuatu. Dan yang hidup di penjara koruptor, bisa seenaknya melakukan segala sesuatu. Kita tidak usah banyak membicarakan hal tersebut karena itu juga tidak bisa merubah apapun. Jadi, tidak ada yang berubah dari adanya kebebasan bersuara, bahkan media massa (dalam arti yang optimis) telah mengkritisi pemerintah lebih dari yang bisa dilakukan oleh rakyat jelata, pun tidak mempengaruhi perubahan yang signifikan.

Dan film ini, sebagaimana film yang pernah terjadi sebelum-belumnya juga mengkritisi pemerintah sebisa film itu dibuat. Memang sampai sekarang belum ada hal yang menjanjikan dari suara-suara yang kita gaungkan, namun kita tidak bisa selamanya menerima segala sesuatu dengan berpangku tangan bukan? Maka film ini adalah salah satu dari representasi kehidupan Indonesia yang timpang, salah satu representasi penggugatan kita terhadap sila ke lima.

Empat hal di atas hanyalah merupakan garis besar yang ingin saya gariskan sebagai memudahkan dalam memahami film ini. 

bersambung...

2013-01-13

Ulasan Film: Brave


Film Brave yang saya prediksi akan memuaskan imajinasi saya akan sebuah keberanian, malah mengacaukan harapan tersebut. Bagaimana tidak, kisahnya yang mentah tidak layak jual, dan saya kira tidak memenuhi kualifikasi untuk cerita yang memukau. Bahkan lebih buruk dari cinderela ataupun si rambut emas panjang –rapunzel. Fantasi oke, I like it more that the realityI like everything which makes me shockwheter it’s fantasy or reality show, but not in this one.

Mari kita buat beberapa catatan mengenai film ini :

Pertama, cerita yang penuh dengan keberuntungan. Maka tidak ada yang bisa dipelajari menonton film yang mendasarkan diri dari keberuntungan sebuah cahaya biru yang muncul dalam hutan, lalu cahaya itu menuntunmu menuju takdir. Seharusnya cahaya biru ini menjadi kunci utama dari sebuah ‘misteriusisasi’ takdir, tapi yang terjadi malah sebaliknya; keanehan. Cahaya itu menunjukkan ke rumah seorang nenek penyihir, yang nenek penyihir itu menghilang setelah mengubah sang ratu menjadi beruang. Mengecewakan, padahal cahaya biru ditengah hutan + bertemu penyihir ajaib bisa menjadi cerita yang memukau.

Kedua, tidak ada adegan yang membuat dada kita berdenyut. Ini semacam shock therapy yang biasanya dimiliki oleh sebuah cerita, sebutlah itu seperti konflik. Konflik yang terjadi hanyalah seputar putri Merrida yang tidak mau menikah sebagaimana tradisi, lalu meminta bantuan seorang tukang sihir yang aneh, dan ibunya berubah menjadi beruang. Ia melakukan berbagai cara agar ibunya kembali seperti semula, tapi tidak ada cara yang lebih berani untuk membuat kita menjadi penasaran.

Ketiga, beberapa hal janggal dan tidak terungkap dengan tidak sengaja seperti tidak pernah difikirkan akan bisa mengacaukan film tersebut. Hal ini memang penting dalam sebuah cerita, di mana kemunculan dari tokoh, legenda, ataupun detil yang lain merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan kisah yang diangkat. Bahkan hal yang tidak berhubungan sama sekali, bisa mendukung cerita agar lebih berkesan. Misalnya saja, beberapa pemusik yang ada dalam film Titanic. Tidak ada kisah semacam itu dalam kapal besar tersebut, tapi demi menunjukkan efek dramatis, maka kisah pemusik yang terus memainkan musiknya dalam situasi yang berbahaya itu menjadi penting.

Itu adalah tiga gambaran umum yang bisa saya uraikan bahwa hal tersebut menjadi kekurangan terbesarnya. Ada teman saya yang sudah menonton film ini lalu merekomendasikan bahwa ini film yang mengharukan tentang mengeratkan hubungan anak dan ibu. Saya kira tidak seberapa, itulah jawabannya. Kita harus menonton film yang lain, membandingkannya dengan “sinetron indonesia” misalnya. Maaf, saya mual menyebut tentang sinetron. Namun sinetron indonesia lebih baik versi cerita hubungan ibu dan anak ketimbang film ini.

Namun saya harus menambahkan cepat-cepat bahwa film ini masihlah layak untuk ditonton karena, animasinya yang hampir tanpa cacat. Animasi milik ‘pixar’ yang telah menelurkan beberapa film lain; up, toy storywall-eMonster.inc, dan Finding Nemo, semua memiliki kualitas animasi yang amazing. Namun seharusnya animasi yang menunjang sebuah cerita, bukan cerita yang menunjang animasi. Sebagus apapun animasinya, kalau ceritanya memuakkan, ya tetap saja film jelek.

Namun begini, ada satu hal yang saya catat, yang membuat saya harus menulis resensi ini, adalah dialognya. Yah, kemenangan mutlak yang diraih film ini atas hatiku adalah, dialognya yang lumayan luar biasa untuk mengisi otak saya yang sudah penuh catatan.

Ini semua masalah takdir, dan film Brave ini sejatinya bukan berani (brave) untuk menghadapi beruang, singa, hutan rimba, atau apapun, tapi agar berani untuk merubah takdir. Bahwa kita kadang terjebak pada pengertian-pengertian tentang takdir, itu memag benar. Karena hidup kita telah dibatasi oleh takdir maka kita tidak bisa melakukan dan memilih apapun. Ada satu kalimat “ada beberapa orang yang tidak bisa menemukannya takdirnya, namun ada beberapa orang yang sudah ditentukan takdirnya”. Maka Putri Merrida inilah yang sudah ditentukan takdirnya –takdir menjadi putri yang sudah bisa kita duga, penuh dengan peraturan.

Lalu Putri Merrida ini berkehendak untuk merubah takdirnya, ini garis besar yang hendak dicapai oleh Brave –namun sayangnya tidak berhasil. Dialognya memang keren, kata-kata narator luar biasa, tapi tidak bisa diaplikasikan ke dalam film ini.

Jadi, bagaimanapun film ini masih memiliki kemungkinan untuk menyembuhkan kesalahan umum tentang takdir. Pesan nenek sihir itu kepada si putri agar si ibu sembuh adalah “fate be changed, look inside, mend the bond torn by pride”. Dengan ini, resensi ini bisa ditutup dengan harapan kita lebih berani untuk merubah takdir, karena kata Kiyai Mario Teguh, “takdir itu belum final”, maka siapa yang bisa menyangka takdir kita sendiri kalau kita tidak berusaha merubahnya?

2013-01-12

Ulasan Buku: Kejahatan Dan Hukuman I



Setelah menonton film Chronicle dan membuat beberapa catatan mengenai hal itu, saya disuguhi kisah psikologis seorang mahasiswa miskin yang sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Sama-sama menyajikan secara frontal seseorang yang dihantui oleh kehidupannya sendiri. Maka benar, kehidupan mengerikan seperti itu tidak sulit kita temui dalam kehidupan yang nyata. Ini adalah novel Kejahatan dan Hukuman karya Fyodor Dostoyevsky, seorang Rusia yang kehidupannya hampir mirip dengan pergulatan yang ada dalam novelnya.

Dostoyevsky adalah seorang penulis, juga seorang manusia. Salah satu manusia yang kisah hidupnya berliku dan hanya terjadi di dunia novel. Usia 16 tahun ibunya meninggal dunia. Lalu ayahnya yang seorang dokter itu pindah dilingkungan pertanian warisan keluarga. Pada suatu malam ayahnya dibunuh oleh orang sedesa karena sikapnya yang buruk terhadap para pekerja, juga nafsunya yang tidak terbendung sehingga banyak wanita simapanannya di desa tersebut. Tidak ada yang melaporkan kejadian itu ke polisi karena orang-orang desa yang membunuhnya juga bekerja sebagai buruh tani ditanah keluarga, dan jika para petani itu ditangkap oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi yang mengerjakan tanah pertanian itu.

Begitulah sekelumit kisah hidupnya, dan sebenarnya kisahnya masih panjang hingga dia menelurkan karya-karyanya yang membuat psikis kita ikut kehabisan darah, ikut linglung, ikut kebingungan akan memilih sesuatu yang tidak bisa dipilih namun harus percaya bahwa selalu ada pilihan pada ruang gelap dan sempit. Ini buku tentang rencana, rencana melakukan kejahatan keji yang hanya difahami oleh orang gila, atau seorang psikopat. Tapi ini bukan buku pembunuhan oleh psikopat yang mengumbar kengerian sebuah tragedi, ini pembunuhan masuk akal yang didasarkan pada kebaikan bersama. Semacam membunuh orang jahat untuk menyelamatkan orang baik, tapi dengan diliputi oleh perasaan cemas yang membuat pembaca ikut cemas sejadi-jadinya.

Saya baru membaca bab pertama dari buku Kejahatan dan Hukuman. Tapi saya sudah terkena gangguan psikologis yang membuat pembacaan saya harus berhenti sesaat untuk menarik nafas, meskipun saya yakin diri ini terus ingin menyelesaikan kisahnya; sekedar ingin tahu bagaimana akhirnya. Baru bab pertama, dan saya harus menuliskannya karena sebuah buku berbeda dengan film yang bisa kita nikmati selama 2 jam. Sebuah buku bisa menjadi bahan bacaan kita berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan tergantung ketebalan dan daya juang kita. Satu hal yang pasti; film bisa kita resensi secepat kita melihatnya, dan buku, seringkali kita kita hanya bisa meresensinya setengah-setengah, tidak ada yang sempurna ketika meresensi sebuah buku.

Maka saya berharap menyempurnakannya, karena saya sudah kecewa dengan diri saya sendiri ketika mengingat beberapa buku yang pernah saya baca namun sekarang saya melupakannya.

Buku ini memiliki kualitas yang menyeramkan jika dibandingkan dengan buku-buku yang pernah  saya baca. Banyak buku yang menceritakan tentang kisah thriller pembunuhan dengan segala macam penyelidikannya, namun buku Kejahatan dan Hukuman ini mendedahkan dari sisi yang sungguh berbeda; seorang mahasiswa miskin yang sedang di rundung masalah bertubi-tubi, dan dirinya sama sekali tidak berdaya untuk melakukan sesuatu yang berguna. Di waktu bersamaan ia harus menanggung adik perempuan dan ibunya di rumah, yang kelihatannya baik-baik saja (menurut surat pengantar dari ibunya) namun ia berfikiran lain, bahwa keluarganya harus diselamatkannya. Tapi ia tidak punya kekuatan apa-apa. Ia benar-benar sosok manusia yang nyaris menjadi manusia yang paling serius kemanusiaannya.

Lalu ia malah merencanakan pembunuhan kepada seorang perempuan tua yang disebut orang-orang sebagai lintah darat. Kepadanya, orang-orang –termasuk tokoh utama, menggadaikan barang-barang berharganya dengan harga murah. Maka orang terus mengutuknya. Suatu ketika, Raskolnikov (sang tokoh utama) mendengar orang sedang bercakap di dalam warung, bahwa “pada satu sisi ada seorang wanita tua, sakit-sakitan dan pendendam, yang bukan cuma tak berguna bagi masyarakat, tetapi juga banyak mendatangkan kesusahan bagi orang lain. Pada sisi lain, sejumlah anak muda, yang masih penu semangat, terperangkap dalam suatu kondisi yang membutuhkan pertolongan. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan harta wanita itu. Apakah pembunuhan terhadapnya masih dapat dianggap sebagai kejahatan, padahal itu bisa mendatangkan banyak manfaat? Satu mati, sedang ratusan lainnya bisa terus hidup karenanya; sebuah matematika hidup yang sederhana”

Dan Raskolnikov terpengaruh dengan sangat akan percakapan orang tersebut. Ia meyakini bahwa apa yang dibicarakan oleh orang di warung tersebut benarlah adanya. Diam-diam ia kemudian membuat rencana pembunuhan kepada perempuan tua itu, yang kemudian mendatangkan banyak sekali kekacauan dalam dirinya. Ia tidak pernah berhenti memikirkannya, was-was, dan tiba-tiba suatu hari ia memperoleh kesempatan langka untuk melakukan pembunuhan tersebut.

Buku ini benar-benar buku psikologis yang mengaduk-aduk pikiran kita tentang Raskolnikov. Hingga dia berhasil membunuh perempuan lintah darat itu, Raskolnikov terus dihantui kecurigaan; jangan-jangan kasus pembunuhan itu terbongkar dan ia akan dipenjara; dan pada saat bersamaan, ia sudah siap kalau-kalau ia akan dipenjara. Membaca buku ini, kita akan dihinggapi suatu hantu ketakutan dalam diri setiap manusia yang manusiawi, ketakutan pantas dimiliki oleh manusia, sebagaimana rasa sakit itu juga baik untuk manusia. Tanpa rasa takut, kita akan mengerjakan sesuatu tanpa pertimbangan. Tanpa rasa sakit, kita akan kehilangan anggota tubuh kita tanpa terasa.

Ini adalah salah satu buku yang wajib saya habiskan.

Bersambung ke Crime and Punishment : Setelah menyelesaikan seluruh buku.

2013-01-06

Ulasan Film: Chronicle






Dengan memahami bahwa manusia adalah puncak rantai makanan, Andrew kemudian kalap dan menjadikan kekuatan yang ada dalam dirinya untuk memangsa manusia lain yang lemah. Ia mendasarkan penilaiannya kepada singa yang memakan rusa, dan kita yang menepuk lalat hingga mati. Singa yang memburu dan memakan rusa tidak pernah merasa bersalah, begitupula kita yang menepuk lalat hingga hancur, juga tidak pernah merasa bersalah. Dan itu adalah permasalahan besar yang dimiliki Adrew yang memunculkan simpulan, “pasti ada maksud tersembunyi dari semua itu”. Dan di mulailah, kisah Andrew yang awalnya sebagai tokoh protagonis, menjadi manusia antagonis yang ingin menjadi pemakan segala.

Rasa-rasanya sosok seperti Andrews tidaklah sulit kita temui dalam beberapa kehidupan nyata. Orang yang dari awal merasa tidak memiliki keistimewaan apapun, kehidupan masa remajanya kacau, ayah yang pemarah dan suka memukuli dirinya, juga ibunya yang sakit-sakitan. Kita patut kasihan kepada orang yang seperti itu, namun kasihan kepada jiwa yang sekarat, tidak punya pengharapan terhadap dirinya sendiri dan orang lain karena semua cobaan berat yang menghalangi jalannya, adalah kasihan yang bodoh.


Andrew menjadikan dirinya kesepian seumur hidupnya. Ia memiliki kehidupan yang buruk, bobrok, tanpa pernah ia inginkan, dan ia dilahirkan dalam keadaan seperti itu. Total, bagi manusia biasa, tidak ada lagi bayangan harapan yang bisa dimunculkan dalam kisah hidup yang seperti itu. Bahkanpun kita yang memiliki kehidupan yang lebih baik dari tokoh utama film ini, jika dihadapkan pada permasalahan seperti di atas, aku tidak yakin bahwa kita akan masih bisa memandang kehidupan dengan lebih optimis. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bukan?

Kita harus menonton film ini, karena kita memang perlu menjadi orang lain suatu kali, untuk merasakan bagaimana susahnya menjadi orang yang tidak diinginkan oleh orang-orang disekitarnya. Orang yang hanya dibuat ejekan, tidak dihargai, kotoran, ‘bukan siapa-siapa’, dan bermacam sebutan untuk orang yang patut kita kasihani. Kita perlu merasakan bagaimana mereka hidup di bawah tekanan seumur hidupnya, menjadi orang nomor ke 100 dalam setiap penyebutan ‘manusia’. Dan aku yakin, ada orang seperti itu disekitar kita.

Tidaklah mudah menjadi orang seperti Andrew, maka aku tidak menyalahkan kemudian ketika ia memiliki kemampuan, kekuatan, dan kekuasaan, kemudian ia menjadi pemeran antagonis yang bahkan lebih kejam dari pemeran antagonis andalan para sutradara. Ia lahir dari ketidakmampuan, dan kemudian keluar dari ketidakbisaannya tersebut menjadi sesuatu yang mengerikan. Seperti nurani yang selalu di penjara, ketika dikeluarkan, ia akan tumpah ruah dan  memenuhi jalanan. Soda yang dikocok dalam botol, mendapatkan tekanan, ketika tutupnya dibuka, terjadilah pesta yang kita inginkan.

Begitulah kisah ini kira-kira. Maka mari perhatikan sosok-sosok disekeliling kita, mari kita lihat kehidupan mereka yang sebenarnya. Adakah dari mereka yang kehidupannya begitu berantakan? Atau apakan itu dirimu sendiri? Orang yang selalu hidup dalam bayang-bayang gelap orang lain. Berikan ia perhatian, bukan karena ia akan balas dendam ketika mendapatkan apa yang diinginkannya, tapi lebih karena kita memiliki rasa sayang yang tidak akan menjadi pemangsa sesama. Kita harus percaya bahwa agama yang turun di muka bumi ini menunjukkan kepada kedamaian dan kasih sayang. Begitupula hati nurani manusia yang menginginkan kepada kebaikan, ketenangan batin, dan kebahagiaan. Itulah ujung indah yang ingin semua kita capai. Temukan orang itu, dan berikanlah yang terbaik untuk mereka.

Review Film “Cronicle”

Cronicle adalah sebuah film yang unik. Sebenarnya agak tidak masuk akal dengan kemampuan telekinesis yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya akibat batu ajaib yang mereka temukan. Jadi seperti ini, adalah Andrew, seorang siswa SMA yang kuper dan memiliki kehidupan serta sifat sebagaimana yang kusebutkan pada awal tulisan. Ia langsung dimunculkan membawa sebuah kamera,  dan ia ingin, mulai hari itu merekam semua kejadian dalam kehidupannya.

Di dalam mobil yang dikendarai oleh sepupunya, Matt, ia menumpang ke sekolah. Mereka berbicara banyak, lalu tiba-tiba Matt bertanya kepada Andrew “kamu tahu Arthur Schoperwhauer?” dan otomatis di jawab oleh si kuper ini, “tidak tahu”. Maka si pandai filsafat Matt memberikan jawaban “Pada dasarnya umat manusia harus menyadari dirinya sendiri sebagai makhluk yang berkehandak murni, jadi semua emosi dan keinginan fisik tak akan pernah terpenuhi”. Inilah kiranya, dasar film ini dibuat, untuk menunjukkan emosi manusia; amarah, benci, iri hati, terhadap orang lain selamanya tidak akan pernah hilang.
Scene awal film ini seperti ingin mengenalkan kita lebih jauh sosok Andrew yang akan menjadi pusat cerita, bagaimana dirinya mempersepsi diri, teman-temannya yang acuh dan berandalan, ayahnya yang suka memukuli dirinya, ibunya yang sakit, juga Matt yang selalu dijadikannya tumpangan kemana-mana. Ini penting untuk menjelaskan nantinya, bahwa keadaannya yang sekarang akan membentuk pemikiran-pemikiran masa depannya.

Lalu suatu malam, ia berkenalan dengan Steve, sahabat Matt, dan mengajaknya ke sebuah lokasi ditengah hutan yang katanya mereka sangat penasaran untuk melihatnya. Andrew ketakutan, tapi ia ikut karena di sana ada Matt, dan Matt sudah masuk ke dalam sebuah terowongan yang mengeluarkan bunyi memekakkan telinga. Mereka hanya penasaran, dan menemukan di dalamnya sebuah batu yang mirip dengan batu-batu mulia, atau dalam film Transformer tampak seperti batu dari luar angkasa yang diperebutkan itu. Dan dalam film ini, sebongkah batu itu mengeluarkan suara dan warna-warna yang membuat kamera Andrew rusak parah, dan hidung mereka bertiga mengeluarkan darah.

Hanya itu saja peristiwanya, dan  seperti kita telah diberi tahu bahwa kameranya rusak, maka terjadi jeda cut yang panjang, lalu tiba-tiba mereka bertiga telah belajar cara menggunakan kekuatan yang dimilikinya dari benda tersebut. Mereka mampu menggerakkan benda –dan ini didasarkan pada latihan mereka, jika mereka mencoba mengangkat benda berat, maka darah akan keluar dari hidung mereka. Latihan mereka dimulai dari yang terkecil, menggerakkan bola kasti, lalu menata puzzle, mengerjai orang di supermarket, dan akhirnya Andrew melontarkan sebuah mobil dengan emosi. Dari sana kemudian timbul perpecahan pertemanan karena sifat Andrew yang keterlaluan menggunakan kemampuan tersebut.


Matt percaya bahwa diantara mereka harus dibuat peraturan, bahwa kekuatan itu tidak boleh digunakan pada makhluk hidup dan tidak digunakan ketika emosi. Andrew tidak mau menyerah, ia merasa tidak bersalah, dan Matt yang didukung Steve juga tidak mau mengalah bahwa peraturan harus dibuat demi menjaga keselamatan orang lain.

Pada bagian selanjutnya, mereka akhirnya berbaikan dan belajar terbang diudara –menggerakkan tubuh mereka sendiri untuk melayang. Mereka telah memiliki kemampuan yang lebih besar, dan Matt berfikir suatu hari “Altruisme, membuat keadaan menjadi lebih baik untuk semua orang”. Yah, Matt serius dengan ucapannya, kekuatan itu bisa digunakan untuk menolong orang –meskipun ia diolok-olok oleh Steve untuk membuat konser amal.

Dan di malam yang lain, Andrew benar-benar menjadi bintang sekolah setelah dibujuk Steve untuk mengadakan pentas sulap pada acara Show Talent yang daiadakan oleh sekolahan. Ia benar-benar menjadi orang baru di luar rumahnya. Sedangkan ketika ia pulang, ia tetap harus bersiteru dengan ayahnya, hingga suatu ketika ia harus membanting ayahnya karena hendak memukulnya lagi.

Singkat cerita, Andrew panik dan lari dari rumah. Merampok, membunuh beberapa orang, dan akhirnya harus terbakar mengenaskan di sebuah pompa bensin yang meledak. Ketika ia di rumah sakit, ayahnya datang dan memaki-makinya dan menuduh Andrew untuk bertanggung jawab atas kematian ibunya. Ibunya telah meninggal. Andrew kemudian kalap dan meledakkan kamar rumah sakit tersebut, dan menjatuhkan ayahnya dari ketinggian. Ia menunjukkan kepada umum bahwa ia terbang. Dan dengan cepat pula, Matt segera datang menangkap ayah Andrew yang dijatuhkan tersebut.


Terjadi perkelahian yang tidak seimbang antara Andrew dan Matt, karena kekuatan Andrew jauh diatas Matt. Namun atas suatu kesempatan, dengan sangat-sangat terpaksa, sebuah tombak disarangkan ke punggung Andrew oleh Matt, dan Andrew mati. Cerita berakhir. Memang, tidak semua pahlawan adalah manusia super.