Setelah
menyelesaikan Kejahatan dan Hukuman beberapa hari yang lalu, saya masih
terngiang betapa kita memang memiliki sebuah naluri untuk tidak mau berbuat
jahat. Dalam terminologi Freud mungkin inilah kekuatan superego itu. Entah
terlepas dari segala hukum yang telah dibuat manusia, kita seakan-akan sudah di
plot memiliki hati yang bersih sehingga ketika berbuat keji maka dengan
otomatis hati kita akan gelisah. Itulah hukum pertama-tama, kemudian muncul
ketakutan-ketakutan akan hukum manusia, lalu terakhir kegelisahan puncak; hukum
tuhan.
Buku
tersebut, entah benar atau tidak, saya tidak yakin sebenarnya, pantas saya
masukkan menjadi buku yang wajib baca. Karena memang, buku ini bagus, tapi
tidak bisa memberikan sesuatu yang sensasional kepada pembaca. Saya ulangi agar
tidak salah terka, bahwa buku ini memang benar bagus, namun tidak seluarbiasa
buku-buku yang membuat kita tercengang aka imajinasi penulisnya. Namun demikian
jangan dibandingkan dengan buku-buku lain semacam buku detektif, misteri
pembunuhan, apalagi kisah fantasi petualangan. Karena buku-buku tersebut pasti
bisa membuat kita berdebar, penelikungan yang sadis, juga membumbungkan
angan-angan. Intinya buku Kejahatan dan Hukuman ini berbeda, hanya bisa
dibandingkan dengan buku yang sejenis, sebuah buku yang mempermainkan perasaan
dan pikiran secara bersama untuk menghindari kegilaan yang tak terhindarkan.
Memang
dalam buku Kejahatan dan Hukuman, kita juga merasa berdebar-debar, namun lebih
kepada kebosanan kita menunggu bagaimana akhirnya. Padahal dalam pengantarnya,
sudah diuraikan bahwa buku yang sedang saya baca ini telah dirangkum oleh Alice
Ten Eyk dengan menghilangkan beberapa hal yang berulang, melantur dan yang
tidak terlalu penting. Anehnya saya tetap merasa bahwa ada kemoloran, ada
memperpanjang pembicaraan, yang akhirnya membuat otak kita lelah –benar-benar
lelah. Jadi kemudian saya membayangkan buku yang asli akan berakhir seperti apa
di kepalaku?
Pada
bab pertama yang saya baca, saya langsung berusaha membuat overview-nya demi
agar tidak kehilangan feel ketika
proses membaca saya berakhir. Ini karena saya benar-benar menghargai karya ini
sebagai karya yang tidak lapuk di maka usia. Saya belum pernah melakukannya,
bahkan ketika membaca Musashi –novel kesukaan saya. Dan saya salah sangka jika
menganggap bahwa ini adalah novel tentang perencanaan pembunuhan, ini lebih
dari itu, ini adalah buku yang mengisahkan sebuah “hati” yang melakukan rencana
kejahatan. Benar-benar memompa darah kita untuk alur yang tegang dan kaku. Buku
ini, sedianya hanya ditulis dengan panjang-panjang demi mengejar setoran kepada
editor, demi uang pastinya, namun demikian tidak mengurangi makna ketercekatan
isi kepada pembaca.
Bab
pertama memang tentang perencanaan pembunuhan hingga si Roskalnikov membunuh.
Namun bab selanjutnya, hingga halaman terakhir adalah tentang tokoh utama yang
ingin menghindari hukuman manusia. Dan dari awal kalimat di tulis dalam lembar
pertama, hingga kalimat di tutup di lembar terakhir, semua menjelaskan kepada
kita tentang sebuah ketakutan hidup yang luar biasa. Ketakutan yang dihadapi
oleh Roskalnikov memang keji dan menyakitkan.
Seorang
mahasiswa miskin, telah dikeluarkan dari kampusnya, tanpa pekerjaan, tanpa
keahlian, dan menjadi tumpuan keluarganya di desa; sedang dalam waktu
bersamaan, adiknya bekerja di desa hingga mendapat malu demi menghidupinya yang
sehari-hari hanya meringkuk di sofa bau. Ia tertekan, ia ingin mengamuk tapi
orang miskin memang tidak bisa melakukan apa-apa. Kesakitan ini terus berlanjut
hingga adiknya hendak menikah dengan seorang kaya yang “sedianya berniat baik”
tapi si pengarang membuatnya menjadi jahat. Roskalnikov seperti merasakan bahwa
calon suami adiknya itu orang yang tidak seperti yang diharapkan oleh ibunya.
Hingga pertengkaran-pertengkaran bisu terjadi, menyayat-nyayat sepi dalam tubuh
kita.
Ada
beberapa hal yang membuat kita orang indonesia tidak memahami bagian tertentu
dari setting cerita. Saya merasakan ada sesuatu yang janggal, dan anehnya tidak
hanya pada novel ini, juga pada novel-novel terjemahan yang lain. Ini saya
yakin karena perbedaan culture dan
kebiasaan. Misalnya saja hubungan Roskalnikov dan ibunya yang buruk tapi tidak
ada pertengkaran mulut sama sekali, hanya dari hati-ke hati yang membuat saya
bertanya-tanya tentang hubungan mereka. Juga beberapa hal tentang pembicaraan
antara Roskalnikov dan seorang detektif kepolisian yang hendak menebak-nebak
bahwa pembunuhnya adalah Roskalnikov –tapi pembicaraan mereka terkesan baik-baik
saja pada suatu waktu, dan pada waktu yang lain seperti menekan-nekan.
Lebih-lebih, keanehannya pada sifat temperamental Roskalnikov yang menurut saya
keterlaluan (atau karena saya belum mengenal banyak orang sehingga menganggap
bahwa sifat tokoh ini menjadi aneh).
Benar
apa yang dikatakan oleh Nietzsche tentang Dostoyovsky ini “Dostoyevsky was the only pcychologist from whom I had anything to learn”.
Tampaknya mereka berdua sama-sama orang yang memiliki kesakitan dalam
pemikirannya, yang membuat kita juga merasakan sakit yang teramat sangat ketika
membaca tulisan mereka. Kita manusia normal tidak akan bisa membayangkan bahwa
Roskalnikov setelah kejadian pembunuha itu, saat semua orang sedang curiga
kepada semua setiap orang, malah datang ke apartemen perempuan tua yang
dibunuhnya, dan merasakan suasana ketakutan seperti yang pernah dialaminya. Ia bahkan
membunyikan bel kamar itu, mendengarkan dengan seksama berharap rasanya sama
dengan waktu ia akan membunuh. Sungguh, itu perbuatan bodoh seorang yang amat
jujur.
Buku ini, kalau dipikir lebih jauh, memang seperti cermin yang menghadap ke jiwa kita sendiri. Setiap lembarannya memaksa kita bercermin, tidak kepada wajah, tapi kepada bayangan samar-samar yang ada di dasar hati. Kejujuran Roskalnikov itu, yang terasa bagai sebuah ironi, menunjukkan bahwa manusia, sejauh mana pun ia mencoba melawan kodratnya, tetap terjebak dalam perangkap hatinya sendiri. Hati yang, seperti saya sebutkan tadi, sudah diprogram untuk bersih meski manusia seringkali sengaja mengotorinya. Dostoyevsky dengan kejeniusan yang hanya bisa dimiliki oleh seorang psikolog sejati, membuat kita tidak sekadar membaca cerita, melainkan mengalami langsung setiap kegetiran dan kegelisahan yang dirasakan tokohnya. Seolah-olah, kita adalah Roskalnikov, melangkah di jalan-jalan kelabu, menatap bayangan diri yang pecah-pecah di air yang kotor, sambil terus menerus bertanya, “Mengapa hati ini tak bisa diam?”
Dalam setiap pembunuhan yang ada di buku ini, tak ada yang lebih menakutkan daripada pembunuhan terhadap nurani. Roskalnikov, pada akhirnya, bukan hanya membunuh perempuan tua dan adiknya yang malang itu, tapi juga membunuh rasa damainya sendiri. Barangkali itu sebabnya, setelah perbuatannya, ia terus-menerus menghantui dirinya sendiri, mendatangi tempat kejadian perkara, memeriksa bel pintu yang dingin itu. Hati yang penuh dosa, Dostoyevsky tampaknya ingin berkata, akan terus mencari cara untuk menyiksa dirinya sendiri. Bukankah itu juga pelajaran bagi kita? Bahwa dosa, seperti air yang membeku, selalu menyelinap ke celah-celah paling sempit di dalam hati kita dan meluas dengan pelan tapi pasti. Dan Dostoyevsky, seperti seorang peneliti jiwa, menggambarkan hal ini dengan sangat nyata, bahkan sampai ke detail yang membuat kita merasa sesak.
Tentu saja, membaca karya Dostoyevsky tidak pernah sederhana. Ia seperti menuntun kita ke jalan yang sunyi, penuh kabut, di mana setiap langkah adalah percakapan dengan hati nurani kita sendiri. Barangkali itu mengapa ia sering disebut psikolog, karena lebih dari sekadar bercerita, ia mengupas lapisan demi lapisan jiwa manusia. Dan ketika sampai di halaman terakhir, kita tidak hanya merasa telah menyelesaikan sebuah novel, melainkan seperti baru saja keluar dari sebuah perjalanan spiritual. Roskalnikov adalah kita, Dostoyevsky adalah pemandunya, dan novel ini adalah cermin retak yang memperlihatkan kita apa adanya: manusia yang rapuh, penuh luka, tapi masih tetap mencari jalan untuk menjadi baik.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.