Sinopsis
“Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 hidup dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga menduda Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk mempertahankan hidup mereka, termasuk keluarga Hasyim, namun kesetiaan dan loyalitasnya pada bangsa dan Negara membuat Hasyim bertahan tinggal. Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. Astuti, seorang guru sekolah dasar di kota datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di sekolah yang hampir rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang dr. Anwar, seorang dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu bersaing sebagai dokter professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya karna kedatangan guru Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan dokter intel”
Membaca judulnya, kita akan tahu
sebuah sinisme telah lahir kembali dari tangan-tangan sineas tanah air; yang
menunjukkan pula betapa masih malasnya pemerintah untuk memperbaiki keadaan
negara besar ini. Film garapan sutradara Herwin Novianto dan diproduseri oleh
aktor kawakan Dedy Mizwar ini konon telah meraih gelar “terbaik” dalam jagat
perfilman indonesia pada tahun 2012 mengalahkan empat film lainnya : Demi Ucok,
Lovely Man, Rumah di Seribu Ombak, dan Soegija; juga dengan beberapa
penghargaan, yaitu : Sutradara Terbaik, Pemeran Pendukung Pria terbaik, Penata
Musik Terbaik, dan Penulis Cerita Asli Terbaik. Memperhatikan penghargaan
tersebut, maka baiklah kita sebut film ini sebagai tolak ukur keberhasilan
dunia perfilman Indonesia.
Film ini telah mengisahkan
ceritanya, tentang seorang mantan pejuang 1965 konfrontasi Indonesia-Malaysia
yang tinggal di perbatasan Indonesia – Malaysia, di mana sangat tampak sekali
bagaimana Malaysia mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Di sana menggunakan
mata uang ringgit, dan segala aktifitas dilakukan dengan orang malaysia. Maka
pejuang tersebut, tidak mau sekali-kali menginjakkan kakinya mencicipi
kemakmuran tanah Malaysia hingga maut menjemput dirinya di tengah rawa-rawa
hutan kalimantan. Sebuah pilihan idealis yang selalu tampak sia-sia dan tidak
masuk akal.
Itulah inti ceritanya, di selingi
berbagai adegan apik yang menampakkan ketimpangan ekonomi perbatasan
Indonesia-Malaysia, kisah percintaan tak tuntas Ibu Guru dan Pak Dokter, serta
kunjungan dari kota yang ingin menyalurkan bantuan ke sekolah tersebut tapi
tidak jadi. Paling tidak kita bisa mencacah seperti daging, apa saja yang bisa
kita tulis dari film Tanah
Surga, Katanya.
Pertama, film Indonesia masih terkesan miskin dan drama(tis). Inilah
film terbaik tahun 2012 yang juga masih belum bisa membebaskan dirinya dari
kesan tersebut. Film-film Indonesia masih sama dengan film-film negara
berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan India dan Korea. Entah
ini penyikapan demi menyongsong dunia perfilman yang lebih baik, atau memang
“dari pada” tidak sama sekali. Pilihan film genre drama memang tidak
menghabiskan dana yang besar, hanya mengeksplor kemampuan aktor, ide cerita,
serta dikuatkan dengan latar yang ndeso.
Sangat bertolak belakang dengan sinetron versi Indosiar yang mengumbar
komersialisasi perempuan, individualisme orang kota, materialisme, dan segala
tipuan-tipuan yang terjadi di antara orang-orang yang hidup di rumah megah
bercahaya. Yah, intinya adalah menyorot orang miskin dengan scene drama yang dramatis.
Kalau mau lebih optimis, kita tidak
sampai berfikiran seperti itu. Karena ini adalah fakta sosial yang tidak banyak
diketahui oleh orang di luar pulau. Pulau Jawa mungkin sudah terbebas dari
kemiskinan –sementara itulah dugaan orang yang juga tidak tahu-, berbeda dengan
orang luar pulau jawa, apalagi orang yang tinggal di perbatasan. Film ini hanya
ingin menunjukkan kepada khalayak publik, bahwa orang yangsebangsa dengan kita-saudara kita, yang tinggal di sudut paling
ujung kemakmuran, harus hidup merintih antara menggenggam idealismenya, atau
mati. Ini adalah film yang jujur, yang mana, kata Ernest Hemingway, bahwa karya
yang jujur adalah karya yang baik. Maka film ini saya akui benar-benar bagus
sebagai tontonan yang memberikan pengetahuan baru kepada kita tentang
Indonesia.
Kedua, pilihan realistis. Kita semua, adalah bangsa indonesia, yang
selalu menghadapi pilihan-pilihan realistis untuk meninggalkan tanah air dari
pada terpuruk pada keadaan. Jika hidup dengan berdagang di Malaysia, kemudian
beralih kewarganegaraan kita ke Malaysia, demi hidup yang layak, demi agar
anak-anak kita bisa bersekolah, dan keturunan kita yang bisa terperhatikan,
apakah kita tidak boleh melakukan hal seperti itu? Inilah realitas kehidupan
yang sedang di hadapi oleh orang-orang perbatasan. Sementara orang tua (usia
50-ke atas) terus menerus memegang teguh janji untuk menjaga nasionalismenya,
anak-anaknya berbondong-bondong menuju ke Malaysia. Kita tidak bisa melakukan
apa-apa, karena kita bukanlah siapa-siapa. Siapa elo yang
mau nyumpahin orang yang berpindah ke Malaysia?
Memang elo nggak ngerasainhidup di sana, jadi
bisa saja elo
ngatain bahwa mereka
pengkhianat.
Pilihan hidup realistis ini bisa
menjadi sesuatu yang memukul telak kepada rasa kemanusiaan kita. Hal ini bisa
kita lihat pada para TKI yang rela tidak berjumpa dengan keluarga selama 3-6
tahun demi mendapatkan rezeki yang cukup untuk membangun rumah, membiayai
pendidikan anak-anaknya, bahkan untuk biaya kematiannya sendiri jika pulang
tinggal nama. Begitupula orang desa yang pergi ke kota untuk mengadu nasib
–jelas sekali kata mengadu nasib seperti berjudi, jika beruntung akan kaya dari
jalan yang tidak memalukan, jika sial, akan menjadi gelandangan atau pengemis
yang pulang membawa uang banyak dan menjadi borjuis-borjuis kecil di desa. Kita
bisa membahas pilihan hidup realistis ini berlembar-lembar, bahwa sebagian
besar hidup kita bahkan telah tergadaikan dengan kata realistis ini.
Ketiga, kegigihan. Ini lagi-lagi film tentang orang desa yang sudah
jamak diketahui bahwa hidup mereka susah, miskin, tidak berpendidikan, dan seabrek konotatisme yang menghantui orang
desa. Maka olok-olok Tukul yang berwajah desa tersebut benar-benar menyakitkan; katrok, ndeso. Setidaknya itulah yang
ingin diungkapkan oleh film ini lewat adegan seorang bocak desa yang ingin
membawakan barang-barang bawaan Dokter Intel yang baru saja pindah ke sana
menggantikan dokter lama yang telah meninggal. Si bocah membawakan
barang-barang tersebut dengan kesulitan sekali. Bahkan saya bisa menyangkanya
sebagai adegan yang dibuat-buat, canggung, serta tidak penting. Saya juga tidak
tahu bahwa anak-anak usia kelas 4-6 SD harus ke kota (Malaysia) untuk berjualan
barang keterampila desa, itu harus digolongkan kepada kata kegigihan orang desa.
Mereka yang seharusnya sekolah tapi malah membantu perekonomian keluarga,
bukanlah sikap gigih sama sekali, itu malah mengenaskan dan pantas untuk segera
dientaskan dari kemiskinan. Tapi lagi-lagi kita hanyalah orang awam yang hanya
bisa sebatas menulis tentang mereka –begitupula sineas perfilman.
Keempat, kritikan terhadap pemerintah. Hidup pada negara yang menganut
asas demokrasi seakan-akan hidup dalam kebebasan mengungkapkan segala sesuatu.
Benar, seakan-akan. Padahal kita tidak tahu mana yang bebas dan mana yang
terkekang, karena kita hanya bisa bersuara tanpa menjanjikan apa-apa. Kita yang
bebas di tanah sendiri, bahkan seperti hidup dalam penjara karena kita tidak
bisa seenaknya melakukan segala sesuatu. Dan yang hidup di penjara koruptor,
bisa seenaknya melakukan segala sesuatu. Kita tidak usah banyak membicarakan
hal tersebut karena itu juga tidak bisa merubah apapun. Jadi, tidak ada yang
berubah dari adanya kebebasan bersuara, bahkan media massa (dalam arti yang
optimis) telah mengkritisi pemerintah lebih dari yang bisa dilakukan oleh
rakyat jelata, pun tidak mempengaruhi perubahan yang signifikan.
Dan film ini, sebagaimana film yang
pernah terjadi sebelum-belumnya juga mengkritisi pemerintah sebisa film itu
dibuat. Memang sampai sekarang belum ada hal yang menjanjikan dari suara-suara
yang kita gaungkan, namun kita tidak bisa selamanya menerima segala sesuatu
dengan berpangku tangan bukan? Maka film ini adalah salah satu dari
representasi kehidupan Indonesia yang timpang, salah satu representasi penggugatan
kita terhadap sila ke lima.
Empat hal di atas hanyalah merupakan
garis besar yang ingin saya gariskan sebagai memudahkan dalam memahami film
ini.
bersambung...
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.