2012-11-30
wake me up when desember ends
2012-11-28
Manusia
Mengenal Hujan
2012-11-19
Di Makassar 2
![]() |
Pintu Masuk Ke Taman Wisata Bantimurung |
![]() |
Papan Nama Dilihat dari Jalanan |
2012-11-18
24 Jam Yang Membosankan
![]() |
Kapal Lambelu |
![]() |
Lambelu ketika muat orang (siang hari) |
![]() |
dipan-dipan yang diperebutkan (diperjualbelikan) |
- Ketidaktepatan jadwal yang keterlaluan
- Dipan-dipan untuk tidur yang seharusnya gratis, ternyata diperjualbelikan oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Madura. Jadi kita mesti membeli dari mereka minimal Rp 10.000 hingga Rp. 50.000. Ketika aku ngotot untuk menempati HAK-ku tersebut tanpa membayar, orang tersebut mendorong-dorongku sambil matanya mendelik mengajak bertengkar. Orang-orang sesama mereka berdatangan yang lalu mengintimidasiku. Sungguh, kau tidak ingin mengalami hal yang serupa.
- Kapal PELNI yang ‘milik negara’ ini menyediakan makan juga kepada kita. Yaitu seceplok nasi jijik dan seonggok ikan jorok. Ini serius. Percayalah, kau harus membawa mie bungkus sesuai lama perjalananmu –untungnya di sini ada air panas gratis, makan mie itu bersama nasi sambil memejamkan mata –membayangkan Agnes Monica yang sedang nge-dance.
- Banyak orang yang sok tahu ditiap lorong dipan. Ada yang informatif, ada yang pembual.
- Bawalah T untuk ces hape. Ada banyak tempat untuk bisa ngeces di atas kapal -tentunya masih lebih banyak orang yang membutuhkan, tapi dari pada keroyokan lebih baik anda membawa T. Oya, nomor telkomsel bisa di pakai selama perjalanan karena di atas kapal ada tower miliknya telkomsel tersebut.
- Jika anda bosan di tempat tidur, lebih baik anda ke luar meskipun tidak bisa menikmati apapun.No island, No waves, hanya ada laut yang luas tanpa ujung. 24 jam begitu terus, membosankan bukan?
- Jangan berharap banyak pada sunrise ataupun sunset., karena mataharinya tidak terbit atau tenggelam di laut, tapi terbit dan tenggelam ke balik awan sehingga tidak seperti yang kuharapkan.
- Ada banyak kurir yang berpakaian kuning di pelabuhan Surabaya, di dada dan punggung kaos mereka ada nomor yang harus diingat jika kita ingin menggunakan jasanya. Jadi, tidak usah tanya nama dan ingat-ingat wajah, cukup ingat nomornya.
- Hal yang lebih membosankan tentunya menggunakan tiket kelas Bisnis atau Eksekutif karena hanya akan terpendam di dalam kamar tertutup.
2012-11-17
Di Makassar
2012-11-01
Ada dan tidak ada
Universitas Indonesia
Lima hari saya berada di Universitas Indonesia, sebuah kampus besar yang dengan berani menggunakan nama bangsa kita sebagai namanya. Dengan penyandangan nama itu, sesungguhnyalah terdapat tanggung jawab yang besar pula. Meskipun saya menulis mengenai kampus ini, saya tidak menjamin bahwa saya tahu semua hal tentang kampus tersebut. Tulisan ini hanyalah pandangan parsial, sebuah tulisan logis tetapi tidak sepenuhnya akurat yang berusaha menggambarkan Universitas Indonesia dari sudut pandang saya sebagai pengunjung.
Hal-hal yang patut dibanggakan dari sebuah kampus adalah cara ia berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya. Hal ini sangat penting karena esensi dari Tri Dharma perguruan tinggi adalah pengabdian, penelitian, dan pengajaran. Semua kegiatan tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal pendidikan berbasis masyarakat, Universitas Indonesia tidak diragukan lagi. Saya sangat mengapresiasi kampus ini, bahkan layak mendapat empat jempol sekaligus.
Kampus UI, menurut seorang sopir angkutan kota (bahkan sopir angkot pun tahu), adalah kampus paling sejuk di antara seluruh tempat yang ada. Pernyataan ini juga diamini oleh seorang mantan sopir Wakil Gubernur Jakarta yang kebetulan saya temui di Kereta Listrik Jakarta-Depok. Lingkungan kampus yang hijau dan asri mencerminkan harmoni dengan alam, sesuatu yang patut diapresiasi sebagai oase di tengah hiruk-pikuk metropolitan. Namun, ada beberapa hal yang menurut saya masih bisa ditingkatkan.
Sekarang, saya ingin menunjukkan beberapa hal yang tidak saya sukai dari Universitas Indonesia. Perlu diketahui bahwa pandangan saya ini tidak bisa dijadikan dasar studi apalagi dipercaya secara membabi buta. Ini murni opini pribadi saya sebagai pengunjung sesaat.
Pertama adalah sikap individualistik yang dicerminkan oleh sebagian mahasiswanya. Sebagai orang desa yang masih memegang nilai-nilai budaya kolektif bangsa Indonesia, saya merasa prihatin melihat mahasiswa yang berjalan menunduk dengan langkah cepat tanpa menyapa orang lain. Sepanjang saya berjalan keliling kampus, saya hampir tidak menemukan mahasiswa yang memberikan penghormatan kepada orang-orang di sekitarnya. Cara mereka berjalan yang tergesa-gesa menimbulkan pertanyaan besar di benak saya: Apakah mereka diciptakan untuk menjadi robot? Saya akan menyebut kehidupan mereka ini sebagai ciri khas kehidupan kota yang serba sibuk dan individualis.
Kedua adalah nama besar Universitas Indonesia yang menurut saya terlalu kontras dengan beberapa aspek internalnya. Tidak menafikan segala prestasi dan kebesaran yang telah diraih, saya merasa sayang jika perpustakaan megah seperti itu tidak sepenuhnya didukung dengan koleksi buku yang terkini dan menarik. Gedungnya memang ditaksir sebagai salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi apakah itu cukup untuk menggambarkan kualitas isinya? Saya hanya sempat melihat koleksi bagian sastra, dan jujur saja, saya kecewa. Buku-buku yang ada tampak kusam, berbahasa Inggris atau Arab, dan kebanyakan adalah terbitan tahun 80-an. Ekspektasi besar saya terhadap perpustakaan ini membuat saya merasa kesalahan kecil sekalipun menjadi sangat mencolok. Sebelum berkunjung ke sini, saya sempat mengunjungi Rumah Dunia, sebuah komunitas membaca yang memiliki koleksi buku sastra yang cukup mengagumkan. Saya tidak bisa tidak membandingkan antara Rumah Dunia dengan perpustakaan Universitas Indonesia, terutama dalam hal koleksi buku sastranya.
Ketiga, masalah sambungan internet yang menurut saya juga mencerminkan sifat individualistik. Ketika saya mencoba menggunakan Wi-Fi kampus, saya diberi tahu oleh seorang mahasiswa bahwa laptop harus didaftarkan terlebih dahulu ke pihak berwenang. Saya merasa hal ini terlalu birokratis. Mengapa tidak ada sistem yang lebih terbuka dan ramah? Wi-Fi seharusnya menjadi fasilitas yang bisa dinikmati siapa saja, bukan hanya mahasiswa atau staf. Pengalaman ini mengingatkan saya pada kampus Unair di Surabaya yang juga memiliki kebijakan serupa. Teman saya, seorang Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, menyebut hal ini sebagai bagian dari "peradaban tua yang sombong."
Terlepas dari kritik ini, banyak hal yang menyenangkan di Universitas Indonesia. Sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, tanggung jawab moral untuk menjaga nama besar UI harus diemban dengan serius. Nama besar bukan sekadar kebanggaan, tetapi amanah untuk terus memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Mahasiswa UI, dengan segala kelebihan mereka, juga diharapkan mampu mencerminkan sikap rendah hati dan peduli terhadap lingkungan sosial.
Nama besar Universitas Indonesia harus dijaga dengan penuh komitmen agar tidak menimbulkan kekecewaan bagi siapa saja yang mengaguminya. Lingkungan hijau yang asri, prestasi akademik yang membanggakan, serta peran besar dalam pengabdian masyarakat adalah aset yang harus terus dipertahankan dan ditingkatkan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, kampus sebesar UI memiliki tanggung jawab untuk menjadi inspirasi dan teladan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.