2012-11-30

wake me up when desember ends


Pagi itu jam tujuh, aku masih belum juga tidur. Angin masih berhembus, begitu dingin. Aku kedinginan tapi tidak ada yang kulakukan, aku hanya mematung. Angin itu, datang melewati pikiranku, menembus badanku, dan aku tetap tidak bergerak. Aku seperti menunggu sebuah janji, namun yang kulihat hanyalah kenangan yang semakin menjauh. Seseorang yang aku cintai, menikah pagi itu, dengan orang lain.

Aku ingin berbohong bahwa aku akan bahagia kalau ia bahagia, kemudian tersenyum. Tapi itu hanyalah perkataan indah dari kumpulan kata mutiara cinta. Pada keadaan yang sesungguhnya kata mutiara tidak mampu menyelamatkan apapun. Kita tidak bisa mengukur bagaimana cinta ataupun rasa sakit. Dan apa yang kurasakan sekarang adalah suatu keadaan yang tak terdefinisikan, tak terbahasakan, dan tak tertahankan. Ada yang menggelegak dalam dada, entah itu apa. Satu yang kusadari, kesempatan telah hilang bersama angin yang menembus tubuhku.

Itulah keadaan yang mengawali desember terburuk ini. Bagaimanapun, sebagai manusia normal, rasa sakit juga normal. Ia tidak akan memilih kepada siapa berhinggap. Aku masih ingat pesan Jalaluddin Rahmat, bahwa rasa sakit itu obyektif, dan kita yang menerimanya itu subyektif. Rasa sakit bisa datang kepada setiap orang, begitu pula ketidakbahagiaan bisa menjangkiti setiap orang. Tapi sikap kita, akhirnya, yang menentukan apakah kita terjerumus atau tidak. Kita bahagia atau tidak, adalah karena sikap dan cara kita menerima setiap penderitaan.

Sebentar lagi tahun berganti dengan segala selebrasinya. Waktu yang tepat untuk berubah adalah pada bulan-bulan ini. Meskipun tidak tepat juga bahwa kita berbenah hanya karena tahun berganti, tapi, dari pada tidak sama sekali, semua waktu yang digunakan untuk berubah adalah baik. Begitupun cinta, cinta harus bisa berubah untuk belajar lebih baik lagi. Kita sama-sama bisa berubah dengan cara yang benar-benar baru.

Bagaimana diriku memaknai semua ini? Aku hanya akan menuliskannya. Karena menulis adalah salah satu jalan untuk melupakan semuanya. Ini adalah katarsis. Kalau dibilang oleh Aristoteles, maka ini adalah upaya pembersihan diri, penyucian jiwa, dari semua yang menyakitkan kepada kerelaan menerima. Ini adalah seperti yang di ungkapkan kata mutiara lebay berikut : cinta yang agung adalah ketika kamu menitikkan air mata, dan masih peduli terhadapnya. Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia. Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’.

Kemudian, katarsis menurut ilmu psikologi adalah untuk menghilangkan beban mental seseorang. Seseorang yang menuliskan apa yang dirasakannya bisa saja kehilangan traumatisnya, sekaligus memberikan ketenangan karena telah menceritakan semuanya. Untuk itulah saya menuliskannya, bukan demi melankolik diri sendiri serta untuk mendapatkan sekedar simpati. Karena apapun yang aku dapat dari sebuah cinta, itu sudah lebih dari cukup, meski tidaklah mudah untuk dituliskan. Dari sini kemudian saya berfikir bahwa, selepas ini aku akan baik-baik saja.

Cinta tidak pernah mengajarkan penderitaan, hanyalah karena kurang berani memanfaatkan kesempatan saja kita menjadi menderita. Jika pembaca melihat seseorang yang pantas untuk dicintai, maka itulah kesempatan yang diberikan Tuhan kepadamu, itu bukan pilihan. Kesempatan bisa datang satu kali, bisa juga berkali-kali, namun kalau kita mengabaikannya, kita akan melewatkan masa terbaik dari kesempatan tersebut. Dan bagi kau yang sudah mendapatkan kesempatan tersebut, mencintainya dengan sungguh-sungguh adalah sebuah pilihan. Bagi engkau yang sudah menikah, tetap mencintainya meskipun “mungkin” engkau melihat ada orang lain yang lebih baik, itu adalah sebuah pilihan.

Namun diatas semuanya, mencintai, tidak pernah menjadi membenci kecuali untuk sesuatu yang tidak tulus. Untuk menyempurnakan tulisan ini, ada sebuah puisi dari penyair yang mungkin akan menggenapkan kita semua akan pengertian cinta.

Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Yang terakhir, bangunkan aku jika Desember telah berakhir.

2012-11-28

Manusia

Kehidupan selalu berubah setiap detiknya. Bahkan diri kita sekarang adalah berbeda dari diri kita sedetik yang lalu juga sedetik yang akan datang. Namun apakah ini penting untuk kita ketahui? Bahkan kita tidak tahu bahwa kita sedang berubah. Dan pengetahuan-pengetahuan tentang jati diri kita sebagai manusia kadang juga tidak berarti apa-apa. Tidak lebih sebagai omong kosong science yang hanya berfungsi untuk penyandangan gelar akademis. Dan terhadap apapun yang kita perlakukan sebagai ilmu pengetahuan, kita tidak pernah tahu kesejatian fungsinya hingga kita benar-benar merasa bahwa kita ‘berubah’ ke arah yang lebih baik.

Kita adalah manusia, yang bahkan disebut sebagai makhluk yang paling sempurna. Kemudian, apakah kita bisa menyebutkan sesuatu tentang ‘manusia’ itu sendiri? Saya hari ini berfikir tentang manusia yang terdiri dari fisik dan non fisik. Namun yang saya temukan malah ketidaktahuan mengenai  keduanya. Kita sebagai manusia modern, dalam banyak hal lebih tidak berpengetahuan (untuk tidak menyebut bodoh) daripada nenek moyang kita dahulu. Bagi yang suka berfikir taktis dan pragmatis, maka jawaban satu-satunya adalah; “untuk apa kita berfikir seperti itu?”. Jelas sekali bahwa mereka tidak suka sesuatu yang berbelit, dan terutama pemikiran yang tidak memberikan kebermanfaatan praktis.

Saya tidak menyalahkan orang-orang pragmatis, karena bagaimanapun mereka dibentuk oleh realitas kebudayaan sosialnya. Ia adalah hasil konstruksi dari keluarga, pendidikan, dan kenyataan yang ada. Hal ini bukanlah masalah besar karena kata-kata penyebutan; idealis, realistis, pragmatis, sosialis, oportunis juga merupakan konstruk sosial yang dihasilkan dari aktifitas berfikir, pengelompokan, dan berakhir pada seleksi dan ciri-ciri. Kita sebagai generasi modern yang tidak berpengetahuan, hanya mampu mengolok-olok dengan kata-kata tersebut terhadap orang yang tidak sesuai dengan pemikiran kita.

Seluruh ilmu pengetahuan telah berkembang. Beragam cara telah digunakan untuk menyebarkan pengetahuan ini; buku, internet, seminar, workshop, makalah, dll. Tapi dasar manusia yang bermacam-macam, hanya sedikit sekali dari kita yang kemudian membaca dan berfikir. Kita tidak bisa mengharapkan terlalu banyak dari sekumpulan manusia yang pekerjaannya adalah sia-sia.

Kita seperti dipisah-pisah menjadi beberapa golongan dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Ilmu pengetahuan yang sengaja diciptakan untuk meluruskan berbagai purbasangka ini juga masih saja gagal menyelamatkan kedamaian antar manusia. Lalu bagaimana ini bisa diatasi? Padahal dalam waktu yang sama, kajian-kajian mengenai kemanusiaan terus dilakukan.

Sebagai manusia, kita kadang terjebak dengan kata-kata mutiara yang membesarkan jiwa kita sesaat. Begitu banyak orang yang ingin disebutkan namanya sebagai “sang pembawa” perubahan. Dan satu-satunya hal yang paling diinginkan manusia adalah kebahagiaan. Padahal kebahagiaan hanyalah satu, sedangkan manusia jumlahnya sekitar 6 miliar. Dapatkan kebahagiaan itu ditemukan? Padahal kebahagiaan adalah hal paling abstrak yang bisa manusia sebutkan. Dan juga bagaimana kebahagiaan itu? Tidak, saya tidak ingin menjawabnya.

Saya hanya mempertanyakan keberadaan manusia dan kemanusiaannya. Jika benar bahwa kita adalah makhluk yang paling sempurna, kenapa kita musti terus menerus belajar kepada pohon? Kepada unta? Kepada semut? Bahkan kepada matahari dan hujan? Ini menjadi paradoksial, tidak berkesesuaian antara ide dan realitas. Kita menemukan banyak sekali perbedaan. Bahkan untuk sekedar penyebutan, misalnya ; pragmatis yang selalu berakhir kepada orang-orang buruk secara pemikiran, dan idealis ditambatkan kepada orang yang tegak berdiri mengusung pemikirannya. Padahal dunia sudah buta. Apa yang ingin diciptakan lagi dari sebuah dunia ini?

Mimpi adalah jawabnya. Saya sependapat dengan Madara, tokoh paling antagonis dari seluruh musuh Naruto. 

Mengenal Hujan


"orang-orang yang mencintai hujan adalah orang-orang melankolis adalah orang-orang lembut adalah orang-orang yang hidup dengan puisi dalam tubuhnya"

Hujan, agaknya telah menjadi penyihir paling magis dari seluruh makhluk ciptaanNya. Jika pembaca pernah, suatu kali, sedang sibuk mengerjakan sesuatu, lalu hujan turun, dan seketika anda tersenyum sambil meninggalkan pekerjaan tersebut hanya untuk memandangi hujan yang jatuh; berarti pembaca adalah salah satu makhluk yang mencintai hujan. Dan pecinta hujan tidaklah sendiri, ia ada dimana-mana, dalam tubuh-tubuh yang menggeliat dengan puisi memenuhi kalbunya. Pecinta hujan sama banyaknya dengan pecinta buku-buku Harry Potter, sama juga dengan fans club selebritis, atau juga sama seperti tetes yang jatuh dari hujan tersebut.

Hujan, membangkitkan semua kenangan yang pernah hinggap dalam cerita kehidupan kita. Ia serupa ibu kedua yang membangkitkan nuansa rindu nan syahdu, juga kelembutan hati dari pendar cahaya yang dijadikannya pelangi. Ia adalah rumah ramah tempat segala keindahan tersedia, tapi di dalamnya juga terletak kesedihan maha dalam yang hanya mampu dilukiskan oleh “gadis kecil yang diseberangkan gerimis”. Sebagai pecinta hujan, apakah yang kau rasakan ketika hujan datang? Tangis bahagia?

Saat bersama orang yang saya sayangi, ingin sekali saya memesan coklat hangat, segelas kopi dan selembar hujan untuk menemani. Di beranda sebuah kafe, kita bisa menikmati hujan bersama kawan-kawan –atau kita bahkan bisa berdiam diri dalam naungan hujan, juga berjalan-jalan sebentar merasakan bagaimana hujan membelai rambut kita yang basah. Mari membaca percakapan malam hujan :

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.

"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang. 1

Hujan di sana di gambarkan sangat misterius, dan dengan tersurat diucapkan oleh penyair (di wakili oleh tiang listrik) “serba kelam, serba gaib, serba suara desah”. Hujan bisa menjadi siapapun dengan kondisi luka yang beragam. Ia memang serupa kesedihan yang tak berujung, serupa tetes air mata gadis perawan yang disekap dalam kamar para penyamun.  Hujan menggambarkan jiwa yang kelam yang sedang menempuh kehidupan, ia adalah penyesalan. Ia datang tiba-tiba, dan berhenti sekenanya, setelah semua hati basah di muka bumi –ia adalah gaib. Misterius, menjadi suara-suara desah yang mendirikan buku kuduk kita.

Jika ada seseorang dengan mantel hitam panjang selutut, bersepatu panjang, ditengah malam buta, mengetuk pintumu pelan, bagaimana kau akan menekan perasaanmu dari rasa takut? Dialah hujan, yang mengetuk pintumu perlahan, dari keterasingan menuju perkenalan yang menggetarkan.

Lihat juga bagaimana pada suatu pagi hujan, dan ada seseorang yang melankolis menyenandungi hidupnya dalam puisi hujan ini :

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit, berteriak-teriak, mengamuk memecahkan cermin, membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. 2

Kita bisa menemukan orang-orang yang bersedih dalam hidup yang sebagian besar terlihat sia-sia ini. Ada banyak air mata yang tumpah, ada banyak kejadian yang membuat kita bersedih, dan lebih banyak lagi yang membuat kita putus asa. Menangis adalah jalan keluar, sedang berjalan sendiri dalam rintik hujan sambil menangis adalah penyelesaian. Hujan menjadi sahabat yang dekat bagi beberapa orang yang sedang merasakan pahitnya kehidupan. Bahkan, ketika kita merindukan suatu suasana yang telah lampau, hujanlah yang mampu memberikan gambaran yang mempesona.

Kedua puisi di atas menggambarkan situasi yang berbeda, namun sebenarnya sama. Puisi pertama adalah gambaran hujan yang misterius, magis, dan gaib. Ia datang dalam kegelapan dan menginginkan kegelapan; dengan merayu tiang listrik agar istirahat, dan biar hujan yang menjaga malam. Kita bisa merasakan percakapan itu begitu dekatnya dengan nuansa nenek sihir dan kastilnya yang penuh hantu. Hujan yang kelam, hujan yang gelap, hujan yang penuh desah risau dari alam. Kegelapan adalah sesuatu yang menakutkan bagi manusia. Namun jika kita mengingat bagaimana gelap bisa membuat bintang lebih bersinar, mengapa kita mesti takut? Gelap tidak bisa mengusir terang, begitulah tiang listrik menolak permintaan si hujan.

Sedang puisi kedua menggambarkan bagaimana hujan menjadi saudara dekat sebuah kesedihan. Hujan digunakan untuk menyembunyikan tangis dan air mata sekaligus. Suara hujan yang serupa desauan akan menipu suara tangisan itu sehingga tidak terdengar, juga air hujan akan menipukan air mata seseorang yang berjalan di bawahnya. Dan sesungguhnya seseorang itu bisa saja menghilang dalam hujan, ia bisa menjadi orang lain, ia bisa menjadi diri sendiri, ia bisa meratap, ia bisa mengaduh –tanpa harus diketahui orang lain yang akan bertanya kepadanya “kau kenapa?” karena kadang pertanyaan semacam itu tidak penting untuk dilontarkan. Di bawah hujanlah kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya –karena kita tahu bahwa manusia ketika berhadapan dengan orang lain hanya memasang wajah bagaimana ia ingin dipandang (impression management).

Terakhir, sebagai sebuah penutup, akan saya tuliskan juga puisi hujan yang turun di bulan Juni.

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu 3

Ket :
1,2,3 adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono
1 Berjudul Percakapan Malam Hujan
2 Berjudul Pada Suatu Pagi Hari
3 Berjudul Hujan Bulan Juni

2012-11-19

Di Makassar 2


Gunung tegak berdiri. Ia tidak landai, ia seperti karang yang berdiri sombong diterba dedaunan yang jatuh menuju lembah. Hijau, bersanding burung-burung yang beterbangan membawa sisa-sisa pagi yang masih terasa di puncak gunung. Embunnya menetes seperti keran air yang lupa ditutup, betapa dinginnya, betapa sejuknya, siang yang masih juga dingin, apakah disini pernah mengenal matahari?

Aku menyusuri jalannya yang berkelok, persis menapaki jalan naga yang curam –antara jatuh ke jurang atau tertabrak tebing, tidak ada pilihan yang lebih baik kecuali hati-hati. Mobil yang kunaiki merayap dengan lihai, kawanku ini memang sudah ahli menapaki jalanan seram di sini.

Ini adalah perjalananku yang beruntung. Makassar, akhirnya aku sampai di Makassar dengan kondisi yang luar biasa. Aku tidak mengenal seorangpun kecuali perempuan yang pernah ketemu di pare, Kediri. Ia tinggal di Makassar dan berjanji untuk menjemputku. Selebihnya aku mengandalkan insting backpackerku untuk survive di negeri orang.

Selanjutnya, secara tidak sengaja aku memiliki kenalan yang lain, seorang lelaki yang pernah bertemu denganku di Surabaya ketika mengikuti seleksi Indonesia Mengajar di Unair. Kami berdua gagal untuk seleksi berikutnya, dia bekerja (hampir) menjadi pegawai negeri, sedangkan aku melalang buana. Hingga aku bertemu disini suatu malam, dan demi melihat kondisiku (yang sepertinya kelaparan), ia mengajakku mendatangi salah satu undangan pernikahan adik tingkatnya di Program Studi Kehutanan Unhas. Undangan itu ada di gedung Fajar –koran lokal (sepertinya perusahaan group dari JawaPos Surabaya), dan aku terpukau melihat kemewahan acrara pernikahan yang sedemikian.

Pintu Masuk Ke Taman Wisata Bantimurung
Akhirnya aku berkenalan dengan beberapa anak Kehutanan di sana, dan beruntung, Ketua Panitia Outbound kehutanan Unhas yang hari Minggu ini mengadakan acara di Hutan Pendidikan Unhas bengo-Bengo Kabupaten Maros berada disana. Ia menawariku untuk join kegiatannya. Demikianlah akhirnya aku sampai di punggung bukit yang berkelok-kelok. Sempat melewati salah satu tempat wisata paling recommended yang ada di Bumi Sulawesi Selatan –Taman Wisata Bantimurung, yang terkenal dengan air terjun dan kupu-kupu.
Papan Nama Dilihat dari Jalanan
Banyak yang tidak tahu siapa penemu kawasan yang kemudian di juluki “surga kupu-kupu” ini. Pengen tahu? Atau pengen tahu banget? *kena sindrom iklan deh. Kayaknya baru kali ini aku menulis lebai.

Pada sekitar tahun 1856-1857 Alfred Russel Wallace menghabiskan sebagian hidupnya di sini untuk meneliti berbagai jenis kupu-kupu. Dialah yang mengenalkan kepada publik internasional mengenai keberadaan Bantimurung yang sebenarnya ia sebut sebagai “the kingdom of butterfly”. Baca bukunya ya, judulnya adalah “The Malay Archipelago”. Berdasarkan pengamatannya ada sekitar 300 spesies kupu-kupu di bantimurung dan 3 diantaranya hanya terdapat di Sulawesi Selatan ini. Dan yang paling terkenal tentu saja, kupu-kupu berjambul, atau bahasa kerennya papilio andrecles.


Itulah sekilas bantimurung, karena saya hanya melewatinya saja tidak masuk ke tempat wisatanya. Tujuan saya kali ini hanya ke hutan pendidikan unhas “bengo-bengo” seluas 1.300Ha. Di sanalah aku menghabiskan hari Sabtu-Minggu bersama anak-anak Bidik Misi Unhas angkatan 2010 sampai 2012 untuk di Outbound.

Di tempat ini juga, aku mendaki sebuah bukit yang lumayan rendah. Hanya dibutuhkan waktu setengah jam dari villa tempatku menginap untuk mencapai puncaknya. Di puncaknya ada kantor tower telkom Indonesia, dan beberpa anak yang sedang mengadakan kemah. Aku bergabung bersama mereka menikmati pagi. Sayang sekali karena sunrise tidak bisa dinikmati disini. Kebetulan juga, bukit itu tidak memiliki nama, akhirnya aku beri nama puncak bukit itu dengan “puncak bukit fathul qorib”. Selesai sudah petualangan yang tidak terlalu menyedihkan ini.







Ini gambar persis seperti yang saya dapati disana, entah saya mencuri dari mana gambar-gambar ini karena kebetulan yang menjengkelkan, saya tidak membawa kamera yang baik di sana.

2012-11-18

24 Jam Yang Membosankan


Kapal Lambelu
Hatiku bersorak ketika hujan datang, namun suasana bertambah miris karena hanya hujan yang mengantar kepergianku. Aku meninggalkan pulau Jawa seperti meninggalkan seorang kekasih yang telah lama menghuni dadaku.

Kapal Lambelu yang kutunggu sejak pukul 18.00 baru saja datang. Ini jam 24.30. Bunyi sirinenya membahana seperti mengajak perang seluruh penghuni pelabuhan. Kurir-kurir berlarian, berteriak, mengoyak pendatang. Baju mereka berwarna kuning dengan angka-angka besar berada di dada dan punggung mereka. Itu nomor keberuntungan nasib yang akan membawa mereka kepada harapan. Nomor yang akan selalu diingat oleh orang-orang dengan cemas, orang-orang yang bertanya; akankah barangnya lenyap atau selamat? –sementara televisi masih suka mewartakan untuk berhati-hati dengan kurir-kurir pembawa barang yang tidak kenal.

Aku telah berada di sini selama lima jam setengah, tapi aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada diriku sendiri yang malas menceritakan situasi. Ini seperti sebuah judul buku, sebuah novel yang malas menceritakan manusia. Kadang, aku juga malas mengisahkan sesuatu yang sepertinya tidak akan bisa berubah hanya dengan cerita. Termasuk situasi di pelabuhan ini, di terminal, di stasiun, kenapa tempat seperti itu selalu menimbulkan kekacauan di dalam hatiku?

Akhirnya aku berdiri, berjalan gontai bersisian dengan seluruh jenis manusia yang berlari kesetanan. Seorang lelaki yang sendirian, sedang melakukan perjalanan yang ‘tanpa tujuan’ ke sebuah kota –sebuah pulau yang asing pada hari asing. Hari yang bahkan ia sudah lupa hitungannya. Akankah ia tergesa-gesa? Tidak. Tidak ada yang menunggunya, tidak ada yang mengantarnya, hanya gerimis yang turun tiba-tiba saja melalui rambutnya yang kelam, lalu jatuh di kelopak matanya –serupa tangis yang datang dari lubuk terdalam, simbol sunyi yang tidak pernah ia sadari.

Lambelu ketika muat orang (siang hari)
Mataku mengerjap, hatiku berbunyi-bunyi, meletup. Biasanya aku bangga dengan setiap perjalanan yang sedang aku rencanakan. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aku ikut berdesakan dengan orang-orang yang memanggul kopor sebesar sofa. Biasanya aku akan menunggu hingga suasana sepi dan lebih suka mengalah demi melihat seorang bayi dan ibunya terjepit di antara orang-orang yang tidak punya aturan. Sekarang aku mengikuti arus, aku hanya diam di dalam kerumunan, lalu dorong-mendorong terjadi, aku terbawa arusnya hingga di bibir tangga dan memanjatnya tanpa kesulitan. Akulah gerombolan pertama yang masuk ke dalam kapal yang bertingkat tujuh ini. Dan di atas semua itu, inilah awal dari kebosanan yang paling jelas.

Kawan di baris ranjang kapalku, berturut-turut adalah ; seorang lelaki dengan perut buncit, mengaku masih bujang, usia 28, pekerjaannya adalah sales pakaian anak-anak. Dia adalah tipe orang yang tahu segalanya, ia menceritakan bisnis, politik, media massa, budaya Indonesia, demokrasi, GAM, selera kopi kesukaannya, pala dan lada, Namlea, percetakan, penjajahan, hutan, dan komposisi senapan. Ia memberikan banyak sekali argumennya mengenai setiap hal, dan itu tidak membuatku nyaman berbicara dengannya.

dipan-dipan yang diperebutkan (diperjualbelikan)
Lalu seorang ibu dengan dua orang anak, pekerjaannya adalah dosen sastra inggris di Perguruan Tinggi Negeri di Ternate –aku tidak ingat apa nama perguruan tingginya, ia suka menceritakan tentang ayah dari anak-anaknya yang katanya sudah mati, tapi sebenarnya dia masih hidup, hanya saja, ayahnya yang seorang Perwira itu memimpin sebuah kapal dan tidak pernah pulang lagi. Namun perempuan itu bukanlah tipe ibu-ibu yang bersedih hati karena ditinggal suaminya, ia semacam perempuan modern yang ikut dalam emansipasi wanita.; mandiri, cerdas, dan juga banyak bicara. Dia memiliki penghasilan yang bisa diandalkan. Sekarang ia bersuami lagi, dan mengurusi anak-anaknya yang bandel luar biasa. Tubuhnya gemuk, bicaranya jujur, ada tahi lalat yang tidak membuatnya manis di sela bibirnya. Ketika ia merebahkan badan untuk tidur, baju di bagian perutnya akan tersingkap dan menunjukkan kepada kami bahwa ia memiliki pusar yang dalam.

Dan yang terakhir adalah sepasang suami istri –dari wajahnya sangat terlihat bahwa mereka orang Indonesia Timur. Mereka berdua tampak mesra, aku yakin bahwa perempuan timur yang satu ini adalah perempuan paling cantik di daerahnya, meskipun kita tahu bahwa selera ini bisa sangat berbeda. Secara serius, aku tidak pernah lagi menyukai perempuan timur. Dimungkinan karena peristiwa patah hati dan masih saja membekas bahkan hingga kapal ini membawaku pergi ke pulau yang lain. Mereka pasangan yang tidak banyak bicara, mereka hanya tersenyum atau ikut tertawa jika kami tertawa. Ini adalah hari pertama bagi mereka akan pulang ke Bau-Bau setelah beberapa tahun kerja di Malaysia. Muncul gosip dari Ibu dosen itu ketika berbisik padaku, bahwa mereka membawa uang yang banyak karena berhasil di perantauan. Aku bingung, memangnya apa hubungannya denganku? Ternyata perempuan tidak perlu alasan untuk saling berbisik mengenai orang lain.

Saya akhirnya pamit untuk keluar melihat kapal yang mau berangkat. Alasan yang sangat bagus untuk menghindari percakapan yang tidak akan pernah aku sukai. Ini hanyalah bagian awal dari sebuah perjalanan sehari semalam yang membosankan. Dan masih banyak hal membosankan lain yang harus aku ceritakan agar kalian bersiap-siap jika ingin mengadakan perjalanan laut dari Surabaya ke Makassar.

Hal-hal yang harus diketahui di dalam kapal ekonomi Surabaya – Makassar :
  1. Ketidaktepatan jadwal yang keterlaluan
  2. Dipan-dipan untuk tidur yang seharusnya gratis, ternyata diperjualbelikan oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Madura. Jadi kita mesti membeli dari mereka minimal Rp 10.000 hingga Rp. 50.000. Ketika aku ngotot untuk menempati HAK-ku tersebut tanpa membayar, orang tersebut mendorong-dorongku sambil matanya mendelik mengajak bertengkar. Orang-orang sesama mereka berdatangan yang lalu mengintimidasiku. Sungguh, kau tidak ingin mengalami hal yang serupa.
  3. Kapal PELNI yang ‘milik negara’ ini menyediakan makan juga kepada kita. Yaitu seceplok nasi jijik dan seonggok ikan jorok. Ini serius. Percayalah, kau harus membawa mie bungkus sesuai lama perjalananmu –untungnya di sini ada air panas gratis, makan mie itu bersama nasi sambil memejamkan mata –membayangkan Agnes Monica yang sedang nge-dance.
  4. Banyak orang yang sok tahu ditiap lorong dipan. Ada yang informatif, ada yang pembual.
  5. Bawalah T untuk ces hape. Ada banyak tempat untuk bisa ngeces di atas kapal -tentunya masih lebih banyak orang yang membutuhkan, tapi dari pada keroyokan lebih baik anda membawa T. Oya, nomor telkomsel bisa di pakai selama perjalanan karena di atas kapal ada tower miliknya telkomsel tersebut.
  6. Jika anda bosan di tempat tidur, lebih baik anda ke luar meskipun tidak bisa menikmati apapun.No island, No waves, hanya ada laut yang luas tanpa ujung. 24 jam begitu terus, membosankan bukan?
  7. Jangan berharap banyak pada sunrise ataupun sunset., karena mataharinya tidak terbit atau tenggelam di laut, tapi terbit dan tenggelam ke balik awan sehingga tidak seperti yang kuharapkan.
  8. Ada banyak kurir yang berpakaian kuning di pelabuhan Surabaya, di dada dan punggung kaos mereka ada nomor yang harus diingat jika kita ingin menggunakan jasanya. Jadi, tidak usah tanya nama dan ingat-ingat wajah, cukup ingat nomornya.
  9. Hal yang lebih membosankan tentunya menggunakan tiket kelas Bisnis atau Eksekutif karena hanya akan terpendam di dalam kamar tertutup.
 Inti dari perjalanan yang membosankan ini adalah : jangan mencoba jalan sendirian jika anda termasuk orang yang tidak bisa menghibur diri sendiri.

2012-11-17

Di Makassar


Aku masih di Makassar dalam kondisi kehabisan uang. Aku tidak janji bahwa aku akan melanjutkan perjalanan ke kota yang lain. Agaknya aku sudah senang karena menginjakkan kaki di Sulawesi, meskipun itu hanyalah Makassar dan sekitarnya. Paling tidak ini adalah langkah pertamaku dari jejak panjang yang ingin kubuat. Kemarin langkah pertama juga telah menapaki Sumatera, dan waktu itu, saya juga merasa cukup untuk singgah sebentar. Meskipun di sana juga hampir kehabisan uang, aku bisa mengatasinya dengan baik.

Tapi disini, aku telah satu minggu. Dengan keadaan ekonomi yang mendesak, akhirnya aku melakukan hal yang biasa kulakukan di kota-kota yang lain. Aku bekerja. Mengajukan diri ke beberapa tempat, dan akhirnya aku memilih satu, dengan jam kerja paling mengerikan ;12 jam. Ini hampir seperti kerja Rodi.

Sebelumnya aku pernah merasa aneh dengan orang-orang (teman-temanku sendiri bahkan) yang mengeluh setelah ia bekerja. Banyak sekali orang yang mengeluh atas pekerjaan mereka, apalagi jika mereka adalah pegawai. Aku menyangsikan diriku akankah aku juga terjebak dalam rutinitas yang membosankan jika aku menjadi pegawai. Sekarang aku bisa merasakannya, dan memang, rutinitas pegawai tidaklah begitu menyenangkan. Dengan kesadaran yang telah lama aku persiapkan itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak merenung dalam-dalam sehingga tidak terjebak pada mengasihani diri sendiri.

Aku masih ingat ketika semasa kuliah, bahkan ketika aku sedang aktif-aktifnya di organisasi, aku bekerja menjadi pegawai sebuah air isi ulang siap antar lalu kemudian berlanjut ke sebuah kedai kopi. Rasanya? Waktu itu aku merasa bangga saja.Dan aku lebih siap membaca buku ketika sedang menjaga air isi ulang atau kedai kopi itu dari pada ketika sedang luang di kos-kosan. Menjadi sibuk itu kurasa sangat menyenangkan. Intinya aku menikmati waktu ketika bekerja tersebut.

Ini bukanlah semacam pembelaan diri bahwa “menjadi pegawai” itu juga sebuah kebenaran ideologis. Ah, masih ingat buku-buku atau acara di televisi bertajuk “bosan menjadi pegawai?”. Yah maksudku tulisanku ini bukan untuk mengkontrakan diriku sendiri dengan tema tersebut. “Bosan menjadi pegawai” menjadi sebuah wacana yang serius sehingga hampir seperti kampanye ideologis. Aku akui bahwa hal itu memanglah benar. Dan dari pengakuanku itu, aku mulai menimbang diri, apakah ada yang bisa ku lakukan? Penciptaan lapangan pekerjaan macam apa yang bisa aku buat? Tidak ada. Ternyata aku selama ini tidak pernah siap untuk menjadi entrepreneur. Aku tidak punya keahlian spesifik dalam pekerjaan tertentu. Ketika ditanya oleh manager perusahaan, “apa keahlianmu khususmu?” saya pasti akan kalang kabut mencari jawabannya.

Karena dalam kehidupan nyata, kebutuhan akan tenaga kerja sangat jauh lebih sedikit dari pada orang yang mencari pekerjaan. Apalagi dibandingkan dengan kemampuan masing-masing orang untuk menyediakan lapangan kerja bagi orang lain, tentu jauh lebih sedikit lagi. Maka dari itu banyak pelatihan-pelatihan bagaimana untuk bisa menjadi entrepreneur. Bahkan kabarnya pemerintah sendiri menyediakan kredit untuk usaha kecil. Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk tidak menjadi pegawai. Tapi tetap jangan salah, apakah ada yang salah denga menjadi pagawai? Tidak ada yang salah, jadi kenapa harus risau?

Yang paling penting dari semua itu adalah kemampuan kita bersikap dalam situasi yang tidak berpihak kepada kita. Menjadi pegawai ataupun jadi owner perusahaan juga memiliki tanggung jawab berbeda. Sama memberikan pengalaman yang menguntungkan diri sendiri.

2012-11-01

Ada dan tidak ada

Sungguh mati, saya sangsi apakah bisa menulis sebuah ada dan ketiadaan. Satu-satunya ke-ada-an yang saya suka adalah sebuah kutipan dari 100 tokoh yang paling berpengaruh versi Michael H. Hart terhadap Newton (manusia paling berpengaruh No. 2 setelah Nabi Muhammad) “Alam dan hukum alam tersembunyi di balik malam. Tuhan berkata, biarlah Newton ada! Dan semuanya akan terang benderang” selain kalimat itu, bahkan tentang ‘ada’nya alam semesta melewati proses ledakan besarpun saya tidak berminat.

Oleh karena itu, mungkin ada dan ketiadaan yang saya tulis, berkaitan erat dengan kondisi fisik saya yang lelah akibat perjalanan jauh dan mabuk laut. Ketika saya tahu bahwa kapal saya bergerak sedangkan dalam mata saya kapal yang saya naiki hanyalah diam saja, maka saya merasakan ketiadaan diri saya sendiri. Jika itu terlalu sulit ditangkap, demi pemahaman, oke saya beri perumpamaan kereta api. Ketika kita naik kereta api, yang bergerak adalah? Tentu saja anda tahu, yang bergerak adalah kereta anda. Tapi coba tanya mata anda, mana yang bergerak? Tentu saja pohon dan rumah diluar kereta yang bergerak.

Saya jelas kurang membaca. Karena saya yakin hal seperti ini sudah dibicarakan oleh orang-orang dahulu. Tapi sebagai pengalaman pribadi, ini menjadi menarik. Saya merasa menjadi orang yang pertama kali menemukannya. Bagaimana mungkin pengetahuan saya berjalan sangat berbeda dengan apa yang saya lihat? Saya tahu yang benar, bahwa kereta lah yang bergerak, bukan pepohonan atau rumah. Tetapi dengan mengucapkan kebenaran itu, saya banyak mendistorsi peran mata saya sendiri. Saya seperti memiliki stempel ketidakpercayaan kepada mata saya saat itu. Dan segera, sistem pengetahuan saya ingin memaksakan kehendak pemahaman ini kepada mata saya yang naif, bahwa mata “engkau telah tertipu”.

Kedua hal tersebut adalah realitas yang berdiri masing-masing. Mata memiliki realitas yang hanya bisa difahami oleh mata, bukan hati ataupun otak. Begitu juga pengetahuan saya (yang mungkin banyak di dominasi oleh kerja otak) memiliki dunia pemahamannya sendiri. Jika saya biarkan kondisi ini berada dalam keterceraiberaian maka saya akan mendapati seluruh pengalaman organ tubuh sebagai pengalaman yang mandiri. Hati saya bisa merasa senang karena saya mengadakan perjalanan, padahal mata saya tidak menatap sesuatu yang dianggap indah. Telinga saya mendengar penjaja makanan. Kulit saya tersenggol seorang perempuan di samping saya. Kaki saya menjejak besi yang solid. Tangan saya menggenggam erat hape. Dan hidung saya mencium bau busuk kamar mandi. Mereka memiliki dirinya sendiri-sendiri. Bagaimana jika mereka kubiarkan mengeksplorasi pengalamannya tersebut tanpa melibatkan kesadaran pengetahuan saya?

Jadi, apakah “saya” itu ada? jika jawabannya adalah “Saya adalah mental yang mempekerjakan mereka secara bersama-sama agar tercipta harmonisasi antar bagian-bagian tubuh, maka saya berarti tidak bisa di indera. Jadi, saya ada hanyalah sebuah pengalaman mental yang bisa terbukti eksistensinya tapi tidak bisa dibuktikan secara indrawi. Maka saya berada diambang ada dan tidak ada. Jika demikian, sungguh mudah memahami bagaimana Tuhan itu ada dan terbukti dengan segala yang maujud di dunia ini, namun memang, Dia tidak bisa di seleksi.

Ah, terlalu riskan membicarakan ini. Sayapun, sungguh mati, entahkah mengerti eksistensi diri saya sendiri.

Universitas Indonesia

Lima hari saya berada di Universitas Indonesia, sebuah kampus besar yang dengan berani menggunakan nama bangsa kita sebagai namanya. Dengan penyandangan nama itu, sesungguhnyalah terdapat tanggung jawab yang besar pula. Meskipun saya menulis mengenai kampus ini, saya tidak menjamin bahwa saya tahu semua hal tentang kampus tersebut. Tulisan ini hanyalah pandangan parsial, sebuah tulisan logis tetapi tidak sepenuhnya akurat yang berusaha menggambarkan Universitas Indonesia dari sudut pandang saya sebagai pengunjung.

Hal-hal yang patut dibanggakan dari sebuah kampus adalah cara ia berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya. Hal ini sangat penting karena esensi dari Tri Dharma perguruan tinggi adalah pengabdian, penelitian, dan pengajaran. Semua kegiatan tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal pendidikan berbasis masyarakat, Universitas Indonesia tidak diragukan lagi. Saya sangat mengapresiasi kampus ini, bahkan layak mendapat empat jempol sekaligus.

Kampus UI, menurut seorang sopir angkutan kota (bahkan sopir angkot pun tahu), adalah kampus paling sejuk di antara seluruh tempat yang ada. Pernyataan ini juga diamini oleh seorang mantan sopir Wakil Gubernur Jakarta yang kebetulan saya temui di Kereta Listrik Jakarta-Depok. Lingkungan kampus yang hijau dan asri mencerminkan harmoni dengan alam, sesuatu yang patut diapresiasi sebagai oase di tengah hiruk-pikuk metropolitan. Namun, ada beberapa hal yang menurut saya masih bisa ditingkatkan.

Sekarang, saya ingin menunjukkan beberapa hal yang tidak saya sukai dari Universitas Indonesia. Perlu diketahui bahwa pandangan saya ini tidak bisa dijadikan dasar studi apalagi dipercaya secara membabi buta. Ini murni opini pribadi saya sebagai pengunjung sesaat.

Pertama adalah sikap individualistik yang dicerminkan oleh sebagian mahasiswanya. Sebagai orang desa yang masih memegang nilai-nilai budaya kolektif bangsa Indonesia, saya merasa prihatin melihat mahasiswa yang berjalan menunduk dengan langkah cepat tanpa menyapa orang lain. Sepanjang saya berjalan keliling kampus, saya hampir tidak menemukan mahasiswa yang memberikan penghormatan kepada orang-orang di sekitarnya. Cara mereka berjalan yang tergesa-gesa menimbulkan pertanyaan besar di benak saya: Apakah mereka diciptakan untuk menjadi robot? Saya akan menyebut kehidupan mereka ini sebagai ciri khas kehidupan kota yang serba sibuk dan individualis.

Kedua adalah nama besar Universitas Indonesia yang menurut saya terlalu kontras dengan beberapa aspek internalnya. Tidak menafikan segala prestasi dan kebesaran yang telah diraih, saya merasa sayang jika perpustakaan megah seperti itu tidak sepenuhnya didukung dengan koleksi buku yang terkini dan menarik. Gedungnya memang ditaksir sebagai salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi apakah itu cukup untuk menggambarkan kualitas isinya? Saya hanya sempat melihat koleksi bagian sastra, dan jujur saja, saya kecewa. Buku-buku yang ada tampak kusam, berbahasa Inggris atau Arab, dan kebanyakan adalah terbitan tahun 80-an. Ekspektasi besar saya terhadap perpustakaan ini membuat saya merasa kesalahan kecil sekalipun menjadi sangat mencolok. Sebelum berkunjung ke sini, saya sempat mengunjungi Rumah Dunia, sebuah komunitas membaca yang memiliki koleksi buku sastra yang cukup mengagumkan. Saya tidak bisa tidak membandingkan antara Rumah Dunia dengan perpustakaan Universitas Indonesia, terutama dalam hal koleksi buku sastranya.

Ketiga, masalah sambungan internet yang menurut saya juga mencerminkan sifat individualistik. Ketika saya mencoba menggunakan Wi-Fi kampus, saya diberi tahu oleh seorang mahasiswa bahwa laptop harus didaftarkan terlebih dahulu ke pihak berwenang. Saya merasa hal ini terlalu birokratis. Mengapa tidak ada sistem yang lebih terbuka dan ramah? Wi-Fi seharusnya menjadi fasilitas yang bisa dinikmati siapa saja, bukan hanya mahasiswa atau staf. Pengalaman ini mengingatkan saya pada kampus Unair di Surabaya yang juga memiliki kebijakan serupa. Teman saya, seorang Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, menyebut hal ini sebagai bagian dari "peradaban tua yang sombong."

Terlepas dari kritik ini, banyak hal yang menyenangkan di Universitas Indonesia. Sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, tanggung jawab moral untuk menjaga nama besar UI harus diemban dengan serius. Nama besar bukan sekadar kebanggaan, tetapi amanah untuk terus memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Mahasiswa UI, dengan segala kelebihan mereka, juga diharapkan mampu mencerminkan sikap rendah hati dan peduli terhadap lingkungan sosial.

Nama besar Universitas Indonesia harus dijaga dengan penuh komitmen agar tidak menimbulkan kekecewaan bagi siapa saja yang mengaguminya. Lingkungan hijau yang asri, prestasi akademik yang membanggakan, serta peran besar dalam pengabdian masyarakat adalah aset yang harus terus dipertahankan dan ditingkatkan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, kampus sebesar UI memiliki tanggung jawab untuk menjadi inspirasi dan teladan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.