Sungguh mati, saya sangsi apakah bisa
menulis sebuah ada dan ketiadaan. Satu-satunya ke-ada-an yang saya suka adalah sebuah kutipan dari 100 tokoh yang
paling berpengaruh versi Michael H. Hart terhadap Newton (manusia paling
berpengaruh No. 2 setelah Nabi Muhammad) “Alam
dan hukum alam tersembunyi di balik malam. Tuhan berkata, biarlah Newton ada!
Dan semuanya akan terang benderang” selain kalimat itu, bahkan tentang
‘ada’nya alam semesta melewati proses ledakan besarpun saya tidak berminat.
Oleh karena itu, mungkin ada dan ketiadaan
yang saya tulis, berkaitan erat dengan kondisi fisik saya yang lelah akibat
perjalanan jauh dan mabuk laut. Ketika saya tahu bahwa kapal saya bergerak
sedangkan dalam mata saya kapal yang saya naiki hanyalah diam saja, maka saya
merasakan ketiadaan diri saya sendiri. Jika itu terlalu sulit ditangkap, demi
pemahaman, oke saya beri perumpamaan kereta api. Ketika kita naik kereta api,
yang bergerak adalah? Tentu saja anda tahu, yang bergerak adalah kereta anda. Tapi
coba tanya mata anda, mana yang bergerak? Tentu saja pohon dan rumah diluar
kereta yang bergerak.
Saya jelas kurang membaca. Karena saya
yakin hal seperti ini sudah dibicarakan oleh orang-orang dahulu. Tapi sebagai
pengalaman pribadi, ini menjadi menarik. Saya merasa menjadi orang yang pertama
kali menemukannya. Bagaimana mungkin pengetahuan saya berjalan sangat berbeda
dengan apa yang saya lihat? Saya tahu yang benar, bahwa kereta lah yang
bergerak, bukan pepohonan atau rumah. Tetapi dengan mengucapkan kebenaran itu,
saya banyak mendistorsi peran mata saya sendiri. Saya seperti memiliki stempel
ketidakpercayaan kepada mata saya saat itu. Dan segera, sistem pengetahuan saya
ingin memaksakan kehendak pemahaman ini kepada mata saya yang naif, bahwa mata
“engkau telah tertipu”.
Kedua hal tersebut adalah realitas yang
berdiri masing-masing. Mata memiliki realitas yang hanya bisa difahami oleh
mata, bukan hati ataupun otak. Begitu juga pengetahuan saya (yang mungkin
banyak di dominasi oleh kerja otak) memiliki dunia pemahamannya sendiri. Jika
saya biarkan kondisi ini berada dalam keterceraiberaian maka saya akan
mendapati seluruh pengalaman organ tubuh sebagai pengalaman yang mandiri. Hati
saya bisa merasa senang karena saya mengadakan perjalanan, padahal mata saya
tidak menatap sesuatu yang dianggap indah. Telinga saya mendengar penjaja
makanan. Kulit saya tersenggol seorang perempuan di samping saya. Kaki saya
menjejak besi yang solid. Tangan saya menggenggam erat hape. Dan hidung saya
mencium bau busuk kamar mandi. Mereka memiliki dirinya sendiri-sendiri.
Bagaimana jika mereka kubiarkan mengeksplorasi pengalamannya tersebut tanpa
melibatkan kesadaran pengetahuan saya?
Jadi, apakah “saya” itu ada? jika
jawabannya adalah “Saya adalah mental yang mempekerjakan mereka secara
bersama-sama agar tercipta harmonisasi antar bagian-bagian tubuh, maka saya
berarti tidak bisa di indera. Jadi, saya ada hanyalah sebuah pengalaman mental
yang bisa terbukti eksistensinya tapi tidak bisa dibuktikan secara indrawi.
Maka saya berada diambang ada dan tidak ada. Jika demikian, sungguh mudah
memahami bagaimana Tuhan itu ada dan terbukti dengan segala yang maujud di
dunia ini, namun memang, Dia tidak bisa di seleksi.
Ah, terlalu riskan membicarakan ini.
Sayapun, sungguh mati, entahkah mengerti eksistensi diri saya sendiri.
Ketika kita melamunkan sesuatu hal, terkadang kita tidak sadar bahwa kita ada. Misalnya saja ketika naik kereta api, sepanjang perjalanan kita melamun, tahu-tahu udah sampai tujuan. Lha dari dari kemana aja kok tiba-tiba sampai? Hehe.. tadi sempat tidak ada sebentar.... :-D
BalasHapus