2012-11-17

Di Makassar


Aku masih di Makassar dalam kondisi kehabisan uang. Aku tidak janji bahwa aku akan melanjutkan perjalanan ke kota yang lain. Agaknya aku sudah senang karena menginjakkan kaki di Sulawesi, meskipun itu hanyalah Makassar dan sekitarnya. Paling tidak ini adalah langkah pertamaku dari jejak panjang yang ingin kubuat. Kemarin langkah pertama juga telah menapaki Sumatera, dan waktu itu, saya juga merasa cukup untuk singgah sebentar. Meskipun di sana juga hampir kehabisan uang, aku bisa mengatasinya dengan baik.

Tapi disini, aku telah satu minggu. Dengan keadaan ekonomi yang mendesak, akhirnya aku melakukan hal yang biasa kulakukan di kota-kota yang lain. Aku bekerja. Mengajukan diri ke beberapa tempat, dan akhirnya aku memilih satu, dengan jam kerja paling mengerikan ;12 jam. Ini hampir seperti kerja Rodi.

Sebelumnya aku pernah merasa aneh dengan orang-orang (teman-temanku sendiri bahkan) yang mengeluh setelah ia bekerja. Banyak sekali orang yang mengeluh atas pekerjaan mereka, apalagi jika mereka adalah pegawai. Aku menyangsikan diriku akankah aku juga terjebak dalam rutinitas yang membosankan jika aku menjadi pegawai. Sekarang aku bisa merasakannya, dan memang, rutinitas pegawai tidaklah begitu menyenangkan. Dengan kesadaran yang telah lama aku persiapkan itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak merenung dalam-dalam sehingga tidak terjebak pada mengasihani diri sendiri.

Aku masih ingat ketika semasa kuliah, bahkan ketika aku sedang aktif-aktifnya di organisasi, aku bekerja menjadi pegawai sebuah air isi ulang siap antar lalu kemudian berlanjut ke sebuah kedai kopi. Rasanya? Waktu itu aku merasa bangga saja.Dan aku lebih siap membaca buku ketika sedang menjaga air isi ulang atau kedai kopi itu dari pada ketika sedang luang di kos-kosan. Menjadi sibuk itu kurasa sangat menyenangkan. Intinya aku menikmati waktu ketika bekerja tersebut.

Ini bukanlah semacam pembelaan diri bahwa “menjadi pegawai” itu juga sebuah kebenaran ideologis. Ah, masih ingat buku-buku atau acara di televisi bertajuk “bosan menjadi pegawai?”. Yah maksudku tulisanku ini bukan untuk mengkontrakan diriku sendiri dengan tema tersebut. “Bosan menjadi pegawai” menjadi sebuah wacana yang serius sehingga hampir seperti kampanye ideologis. Aku akui bahwa hal itu memanglah benar. Dan dari pengakuanku itu, aku mulai menimbang diri, apakah ada yang bisa ku lakukan? Penciptaan lapangan pekerjaan macam apa yang bisa aku buat? Tidak ada. Ternyata aku selama ini tidak pernah siap untuk menjadi entrepreneur. Aku tidak punya keahlian spesifik dalam pekerjaan tertentu. Ketika ditanya oleh manager perusahaan, “apa keahlianmu khususmu?” saya pasti akan kalang kabut mencari jawabannya.

Karena dalam kehidupan nyata, kebutuhan akan tenaga kerja sangat jauh lebih sedikit dari pada orang yang mencari pekerjaan. Apalagi dibandingkan dengan kemampuan masing-masing orang untuk menyediakan lapangan kerja bagi orang lain, tentu jauh lebih sedikit lagi. Maka dari itu banyak pelatihan-pelatihan bagaimana untuk bisa menjadi entrepreneur. Bahkan kabarnya pemerintah sendiri menyediakan kredit untuk usaha kecil. Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk tidak menjadi pegawai. Tapi tetap jangan salah, apakah ada yang salah denga menjadi pagawai? Tidak ada yang salah, jadi kenapa harus risau?

Yang paling penting dari semua itu adalah kemampuan kita bersikap dalam situasi yang tidak berpihak kepada kita. Menjadi pegawai ataupun jadi owner perusahaan juga memiliki tanggung jawab berbeda. Sama memberikan pengalaman yang menguntungkan diri sendiri.

0 comments:

Posting Komentar

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.