Aku masih di Makassar dalam kondisi kehabisan uang. Aku
tidak janji bahwa aku akan melanjutkan perjalanan ke kota yang lain. Agaknya aku sudah senang karena
menginjakkan kaki di Sulawesi, meskipun itu hanyalah Makassar dan sekitarnya.
Paling tidak ini adalah langkah pertamaku dari jejak panjang yang ingin kubuat.
Kemarin langkah pertama juga telah menapaki Sumatera, dan waktu itu, saya juga
merasa cukup untuk singgah sebentar. Meskipun di sana juga hampir kehabisan
uang, aku bisa mengatasinya dengan baik.
Tapi disini, aku telah satu minggu. Dengan keadaan ekonomi
yang mendesak, akhirnya aku melakukan hal yang biasa kulakukan di kota-kota
yang lain. Aku bekerja. Mengajukan diri ke beberapa tempat, dan akhirnya aku
memilih satu, dengan jam kerja paling mengerikan ;12 jam. Ini hampir seperti
kerja Rodi.
Sebelumnya aku pernah merasa aneh dengan orang-orang
(teman-temanku sendiri bahkan) yang mengeluh setelah ia bekerja. Banyak sekali
orang yang mengeluh atas pekerjaan mereka, apalagi jika mereka adalah pegawai.
Aku menyangsikan diriku akankah aku juga terjebak dalam rutinitas yang
membosankan jika aku menjadi pegawai. Sekarang aku bisa merasakannya, dan
memang, rutinitas pegawai tidaklah begitu menyenangkan. Dengan kesadaran yang
telah lama aku persiapkan itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak merenung
dalam-dalam sehingga tidak terjebak pada mengasihani diri sendiri.
Aku masih ingat ketika semasa kuliah, bahkan ketika aku
sedang aktif-aktifnya di organisasi, aku bekerja menjadi pegawai sebuah air isi
ulang siap antar lalu kemudian berlanjut ke sebuah kedai kopi. Rasanya? Waktu
itu aku merasa bangga saja.Dan aku lebih siap membaca buku ketika sedang
menjaga air isi ulang atau kedai kopi itu dari pada ketika sedang luang di
kos-kosan. Menjadi sibuk itu kurasa sangat menyenangkan. Intinya aku menikmati
waktu ketika bekerja tersebut.
Ini bukanlah semacam pembelaan diri bahwa “menjadi pegawai”
itu juga sebuah kebenaran ideologis. Ah, masih ingat buku-buku atau acara di
televisi bertajuk “bosan menjadi pegawai?”. Yah maksudku tulisanku ini bukan
untuk mengkontrakan diriku sendiri dengan tema tersebut. “Bosan menjadi
pegawai” menjadi sebuah wacana yang serius sehingga hampir seperti kampanye
ideologis. Aku akui bahwa hal itu memanglah benar. Dan dari pengakuanku itu,
aku mulai menimbang diri, apakah ada yang bisa ku lakukan? Penciptaan lapangan
pekerjaan macam apa yang bisa aku buat? Tidak ada. Ternyata aku selama ini
tidak pernah siap untuk menjadi entrepreneur. Aku tidak punya keahlian spesifik
dalam pekerjaan tertentu. Ketika ditanya oleh manager perusahaan, “apa
keahlianmu khususmu?” saya pasti akan kalang kabut mencari jawabannya.
Karena dalam kehidupan nyata, kebutuhan akan tenaga kerja
sangat jauh lebih sedikit dari pada orang yang mencari pekerjaan. Apalagi
dibandingkan dengan kemampuan masing-masing orang untuk menyediakan lapangan
kerja bagi orang lain, tentu jauh lebih sedikit lagi. Maka dari itu banyak
pelatihan-pelatihan bagaimana untuk bisa menjadi entrepreneur. Bahkan kabarnya
pemerintah sendiri menyediakan kredit untuk usaha kecil. Ini menunjukkan betapa
pentingnya untuk tidak menjadi pegawai. Tapi tetap jangan salah, apakah ada
yang salah denga menjadi pagawai? Tidak ada yang salah, jadi kenapa harus
risau?
Yang paling penting dari semua itu adalah kemampuan kita
bersikap dalam situasi yang tidak berpihak kepada kita. Menjadi pegawai ataupun
jadi owner perusahaan juga memiliki tanggung jawab berbeda. Sama memberikan pengalaman yang menguntungkan diri sendiri.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.