2012-03-28

Anda Sukses?


“Apakah semua orang harus sukses?” itulah pertanyaan yang tiba-tiba membebani pikiranku. Malam gelap. Suasana begitu syahdu. Berbicara dengan pikiran sendiri ternyata membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan, kalaupun semua orang harus sukses, mengapa tidak semua orang bisa sukses? Ini kenyataan, dan kenyataanlah pelajaan terbaik yang mampu kita pelajari. Karena kenyataan adalah takdir Tuhan, dan inilah ayat-ayat Tuhan paling universal yang mampu di fahami oleh seluruh makhluk lintas agama.

Ya, nyatanya, tidak banyak orang yang sukses. Begitulah kesimpulan yang kubuat. Namun kenyataan ini menyakitkan karena semua orang berkeinginan untuk sukses. Aku terus berfikir. Kalau memang inilah kenyataannya, maka tentu itulah yang terbaik. Alam adalah kehendak Tuhan. Dan hanya keseimbanganlah yang mampu menjaga eksistensi alam itu sendiri. Jika alam sudah tidak seimbang maka alam akan murka, yang selanjutnya disebut murka Tuhan, lalu kiamatlah kita menyimpulkannya. Maka, apakah kesimpulan harus menjadi begini, “Tidak semua orang harus sukses!”. Rasanya itupun tidak betul. Ternyata ada kesalahan berfikir yang tengah terjadi dalam masyarakat umum. Tentang sukses itu sendiri. Aku tahu jawabannya.

Mari kita membaca sukses tersebut. Sukses adalah sebuah keberhasilan. Keberhasilan merupakan hal yang sangat umum. Jadi, jika semua orang harus sukses, maka itu juga berarti semua orang harus berhasil. Berhasil ada bermacam-macam.

Pertama, sukses jangka pendek. Keberhasilan ini biasanya tidak meuntut banyak pengorbanan. Minimal, sukses yang ini mengedepankan pragmatisme. Ini bukan berarti berhasil sementara, kesuksesan semu, bukan. Ini berhasil dalam arti yang sesungguhnya namun dalam skala yang kecil. Misalnya sukses dalam meraih nilai sekolah, sukses mengucapkan kata cinta kepada seseorang, sukses membuat sebuah artikel, sukses membuat acara seminar, sukses memimpin sebuah organisasi, sukses berinfaq dan bershodaqoh dll. Jadi, sukses versi pertama ini berarti sukses yang membutuhkan modal yang lebih kecil. Meskipun kecil itu relatif, tapi anda akan bisa memahaminya dengan baik jika membandingkannya dengan sukses yang kedua.

Kedua, sukses jangka panjang. Keberhasilan versi ini menuntut kecermatan dan keuletan. Sukses disini berakibat jangka panjang, baik dari segi kebahagiaan yang ditimbulkan maupun dari materi yang didapatkan. Ini keberhasilan yang biasanya lebih banyak dihargai dan lebih banyak disebut sebagai keberhasilan. Meskipun tetap saja, tidak bisa dikatakan keberhasilan semu ataupun mutlak. Contoh keberhasilan jangka panjang ini adalah berhasil menyelesaikan S-1, berhasil mendapatkan istri yang cantik dan shalihah, sukses dalam meraih karir, sukses dalam menciptakan sebuah produk baru, berhasil menerbitkan buku dengan penerbit mayor, dan lain-lain.

Jika kita sepaham dengan dua hal diatas, maka kita akan setuju bahwa semua orang telah mencapai kesuksesannya. Baik itu kesuksesan yang kecil maupun kesuksesan yang besar. Namun demikian, tetap saya akui bahwa kesuksesan yang banyak dipikirkan oleh orang-orang adalah kesuksesan yag bersifat jangka panjang. Sukses dalam mendapatkan uang –jika tidak mencapai nominal tertentu juga tidak dikatakan sukses. Padahal apapun yang didapat itulah kesuksesan itu.

Menurut saya, kesuksesan berbanding lurus dengan pengorbanan. Jika ada yang menyalahi hal ini maka itu termasuk dalam pengecualian. Hidup memang ada satu dua hal yang patut dikecualikan. Ketika kita banyak berkorban untuk ‘bekerja keras, belajar rajin, berani mengeluarkan banyak modal, menempuh resiko yang besar’ maka kita akan mendapatkan kesuksesan yang besar pula. Sederhananya, jika kita ingin mendapatkan ikan kecil, cukup dengan modal pancing yang dijual dipasar atau toko-toko umum. Umpannyapun cukup dengan nasi, cacing, atau ulat. Namun jika kita menginginkan ikan yang besar, apalagi seperti ikan yang ada di acara-acara televisi (Mancing Mania dll) maka kitapun harus merogoh kocek lebih dalam. Uang berjuta-juta habis untuk membeli alat pancingnya, umpannyapun tergolong mewah karena hanya toko khusus yang menjualnya.

Begitulah keberhasilan. Kita harus membaca banyak cerita mengenai keberhasilan orang-orang yang dikatakan sukses agar kita faham arti bekerja keras dan berkorban banyak. Galileo harus rela dihujat dan akhirnya dibunuh karena pemikirannya tidak sama dengan Gereja. Nabi Muhammad dan ummatnya harus rela tiga tahun di boikot oleh kaum Quraisy demi melindungi keimanan. Abu Bakar harus rela menemani Nabi Muhammad dalam Hijrah untuk menjadi umat terbaik diseluruh dunia. Nabi Isa (versi Kristen) harus rela dicambuk dan disalibkan demi menebus dosa seluruh umat manusia. Semua orang besar, yang kita katakan sukses adalah orang-orang yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk meraih kesuksesan tersebut. bagaimana dengan anda?

28 Maret 2012

2012-03-24

"Tanda Tanya" Pluralisme


Anda sudah menonton film Tanda Tanya yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo? Sejak awal saya sudah di pesan agar hati-hati dalam menonton film ini karena katanya sangat kontroversial. Lalu saya membuktikannya meskipun sangat terlambat.

Indonesia adalah negara besar yang didalamnya dimuati dengan beraneka ragam perbedaan. Tidak salah kalau kemudian semboyan Indonesia adalah “bhinneka tunggal ika”. Meskipun ada beberapa pertentangan mengenai makna pluralisme sendiri, saya ingin menunjukkan bahwa pluralisme bisa di artikan menjadi lebih baik dari sekedar “menganggap semua agama sama”. Sebab terjadinya perbedaan tersebut bukanlah hal yang sakral seperti penetapan hukum syariah. Sehingga, jika kita ingin aman dalam pemahaman ini, berarti kita juga harus memilih arti yang aman. Namun aman tidak berarti “pilih aman” yang biasanya konotasinya negatif dengan memihak yang menguntungkan. Tetapi aman disini memiliki pendirian yang kuat pada titik paling aman sehingga memutuskan perkara dengan tetap berpijak pada kebebasan berfikir serta keadilan bertindak.

Pluralisme memiliki kehidupannya sendiri. Ia bisa menjadi sampah juga bisa menjadi pahlawan. Pluralisme juga memiliki pengertiannya di masing-masing kelompok/ golongan. Ada kelompok yang mendukung pluralisme dengan menggunakan pengertian pluralisme berdasarkan pengalaman keilmuan mereka. Ada juga yang menolak pluralisme karena tidak sesuai dengan proses pencarian mereka. Akhirnya, jika tidak ada jalan tengah, pluralisme bukan menjadi jalan keluar tapi malah menjadi bahan gunjingan baru, cemooh, dan saling lempar kesalahan.

Saya ingin memahami arti pluralisme melalui dua arti yang saya kira akan bisa dipahami oleh semua pembaca, meskipun mungkin ada yang tidak setuju. Setuju ataupun tidak setuju, semuanya memiliki landasan berfikir yang membawanya menuju ke arah sana. Sehingga, jangan pernah takut jika ada yang mengatakan ketidaksetujuannya, begitu pula jangan berbangga diri jika semua orang setuju.

Pertama, pluralisme bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana orang hidup dalam kemajemukan. Sedangkan majemuk berarti bahwa orang-orang yang berbeda keyakinan bisa hidup berdampingan untuk saling menghargai, menghormati, serta bertoleransi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme diartikan sebagai “keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya)”. Tidak ada pluralisme agama yang disinggung di kamus dikarenakan hal tersebut sangat sensitif. Tapi, karena kita hidup di indonesia, maka sudah seharusnya pengertian yang dijelaskan dalam kamus bahasa indonesia serta undang-undang saja yang di gunakan untuk berpijak. Pemahaman ini bisa digunakan untuk hidup rukun dan berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 disebutkan :
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Kemudian pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 juga menyebutkan :
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masng-masing.

Dari dua ayat pasal 28 E dan ayat 2 pasal 29 tersebut bisa kita pahami bahwa dalam negara indonesia, paham pluralisme yang diusung adalah sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti “berbeda-beda tapi tetap satu jua” dalam menegakkan Negara Kesatuan Indonesia. Berbeda-beda yang di maksud adalah berdasarkan pada toleransi dan penghormatan kepada masing-masing individu dalam beragama. Tidak ada unsur menyamakan semua agama, menganggap semua agama benar, ataupun menyalahkan salah satu agama dan membenarkan agama yang lain. Ingat, ini dalam konteks bernegara, dalam rangka menjaga keutuhan berbangsa dan berbangsa. Konstitusi ini mengikat dan harus di jadikan rujukan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Disana jelas tertulis bahwa negara menjamin kebebasan beragama, memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Dalam konteks beragama, tentu kita bisa meyakini dengan sedalam-dalamnya bahwa agama kitalah yang benar. Bukan yang paling benar. Kalau kita percaya bahwa agama kitalah “yang paling benar”, maka logikanya adalah, agama yang lain juga benar. Dari sini kita harus bisa memilih kata yang benar untuk menunjukkan bahwa agama kitalah yang benar, dan agama yang lain salah menurut kita. Whatever menurut orang lain.

Kedua, pluralisme diartikan dengan sangat berbeda dari pengertian yang pertama. Disini pluralisme agama diasumsikan sebagai suatu faham yang menganggap bahwa semua agama benar. Dalam arti agama-agama hanyalah jalan yang menuju Tuhan yang satu. Berbeda jalan namun satu tujuan. Agama juga dianggap sebagai persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Dari pengertian inilah, pluralisme kemudian digugat dan dibantai habis-habisan oleh berbagai kalangan, termasuk kelompok Islam, Kristen, maupun Hindu.

“Paham sekularisme, pluralisme (agama) dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat islam untuk memeluknya” (Fatwa MUI, 2005)
“Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan” (Pdt. Dr. Stevri Lumintang)

“Setiap kali orang Hindu mendukung universalisme radikal, dan secara bombastik memperoklamaskan bahwa ‘semua agama adalah sama’ dia melakukan itu atas kerugian besar yang dia katakan dia cintai” (Dr. Frank Gaetano Morales, Cendekiawan Hindu)

Tiga cuplikan itulah yang sekiranya mampu mewakili kelompok yang kedua dalam memandang pluralisme. Jika ada aktivis pluralisme yang memandang bahwa semua agama benar dan sama, maka saya sendiripun tidak akan pernah setuju. Karena Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Dunia juga tidak menganggap yang sedemikian, karena beliau memandang bahwa semua agama dipandang sama sebagai pemersatu NKRI. Bukan sama dari segi kebenarannya. Semoga uraian ini sudah jelas.


Tanda Tanya

Sebagai sebuah film, Tanya Tanya juga memiliki ideologi yang ingin di bangun. Ia bisa berbicara mengenai pluralisme yang ingin di angkatnya ke permukaan melalui adegan, karakter, maupun dialog para tokohnya. Fiske dalam Television Culture menjelaskan mengenai level ideologi ini, bahwa segala sesuatu yang dihadirkan oleh media dan membawa suatu kepentingan adalah ideologi. Kita sudah melihat bagaimana film Tanda Tanya membawa ideologi mengenai konsep berfikir pluralisme. Dari sanalah kita akan berpijak sebentar untuk melihat keseriusan berfikir dari si Sutradara.

Sebenarnya film ini patut untuk dibedah lebih lanjut dan lebih serius karena disini mengungkap sebuah cara keberagama-an yang sangat membumi. Memang banyak yang menghujat bahwa film ini hanya berkedok toleransi beragama namun sebenarnya bertujuan untuk mendangkalkan keberagama-an orang di Indonesia. Sejauh yang saya lihat, tidak ada upaya-upaya menuju ke arah sana. Semua yang disajikan adalah “seperti” fakta lapangan. Fiksi namun saya tidak jarang menemukan yang demikian di kehidupan nyata –paling tidak melalui berita-berita media massa. Ada perpindahan agama, ada percintaan beda agama, ada kritik keberagama-an, ada pembunuhan seorang pastor, ada upaya teroris untuk mem-bom gereja, ada permusuhan ras, dan semua itu disajikan dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling.

Film ini seperti membuka luka lama. Mempertontonkan aib negeri sendiri, yang bisa saja bertujuan untuk satu hal : agar bangsa indonesia berkaca. Namun jika mau su’udzan (berburuk sangka) bisa saja kita menyangka bahwa ini adalah upaya menyama ratakan agama yang ada di indonesia. Menunjukkan cara-cara pandang yang picik dalam masyarakat serta permusuhan etnis yang parah. Ini sangat indonesia, sekali lagi, sangat indonesia. Namun demikian, sebagai bangsa yang bangga, kita harus bercermin kepada film tersebut. Betapa bodohnya jika kita hanya menganggapnya angin lalu.

Gesekan sosial dan keagamaan memang menjadi menu utama dalam film ini. Ada banyak hal yang patut dipertentangkan namun akhirnya terjawab dengan sendirinya. Toleransi-toleransi yang dibangun seperti mengada-ada namun memang benar-benar ada. Hanung mampu membangun adegan yang benar-benar menantang untuk dipebincangkan dan dijadikan ajang perdebatan. Misalkan yang dilakukan oleh Surya (Agus Kuncoro) yang resah karena pekerjaannya hanyalah sebagai pemain figuran dalam film-film atau menjadi penjahat yang kemudian diminta casting menjadi tokoh Yesus dalam upacara Paskah di Gereja padahal dia beragama Islam. Disana penonton akan langsung terkesiap, tantangan iman seperti apa lagi yang akan disajikan oleh Hanung? Begitu kira-kira penonton akan bertanya. Alhasil, jadilah Surya sebagai Yesus, yang kemudian mengantarkannya menjadi Santa Claus untuk membantu menyembuhkan seorang anak yang sedang sakit.

Tidak heran karena pada awal film, tokoh yang saya kagumi, Rika (Endhita) seorang perempuan yang telah pindah agama dari Islam ke Katolik. Ia janda satu anak dan bekerja menjaga toko buku warisan keluarga. Meskipun beragama Katolik ia tetap membimbing anak satu-satunya tersebut untuk memperdalam agama Islam, bahkan tidak segan-segan ia mengajarkan baca-bacaan doa dalam Islam dan menjemput anaknya yang selesai mengaji di masjid sehabis dari gereja. Ia benar-benar tidak peduli terhadap masyarakat sekitar yang memandang bahwa dia pindah agama hanyalah untuk melupakan mantan suaminya atau apa. Ia dinyatakan mengkhianati dua hal yang diaggap baik, pernikahan (ia cerai) dan Allah (ia pindah dari Islam ke Kristen). Nyatanya, dalam film ini ia digambarkan sebagai sosok yang berani mengambil langkah besar. Ia yang mengajari Surya untuk berani megambil keputusan yang dia inginkan, tidak berdasarkan orang lain, tidak juga peduli apa kata masyarakat.

Disana juga ada tokoh Tan Kat Sun (Henky Sulaiman) seorang Cina, pemilik rumah makan Cina yang beragama Konghucu. Dia sudah tua dan sudah sangat mengenal kondisi lingkungannya. Tokoh ini juga memiliki peran penting untuk menggambarkan toleransi beragama dalam film ini. Dia mempekerjakan Menuk (Revaline S Temat) yang beragama Islam. Memberi waktu istirahat kepada Menuk dan kawan-kawannya untuk melaksanakan Sholat jika sudah memasuki waktunya. Tan Kat Sun juga tidak mempekerjakan pembantu dan membuka rumah makannya ketika Hari Raya Lebaran hingga lima hari kedepannya. Sebagai rumah makan Chiness, tentu disana juga menjual masakan babi, namun Ia membedakan dengan tegas peralatan untuk memasak babi dan memasak yang lain karena disana juga banyak orang Islam. Meskipun kemudian, ada-ada aja orang yang datang kesana kemudian tidak jadi membeli karena menjual daging babi. Pembeli khawatir penggorengannya tidak dibedakan, atau pisau untuk mengiris juga dibedakan. Namun dalam adegan ini kurang enak karena terkesan dipaksakan. Memang nyata, tapi tampilannya kurang memikat dan malah mencederai keangguna film.

Saya memang menemukan penokohan yang kuat dalam film ini. Bayangkan, tokoh-tokoh tersebut memiliki posisi sendiri-sendiri untuk mempertahankan keyakinan pribadinya serta mempertahankan keyakinan orang lain. Baca lagi kalimat barusan, fahami. Itulah yang membuat saya tidak berhenti menontonnya. Adegan yang benar-benar riil dan aktor yang ekspresif membuat saya semakin jatuh cinta. Bahkan ketika mengucapkan kalimat “Oo Cino…” dengan logat jawa, saya begitu terpukau karena tidak biasanya artis Indonesia bisa dengan sangat kental mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa daerah. Kita lihat saja film-film FTV yang memerankan orang Bandung atau orang Solo tapi ngomongnya belepotan. Membuat penonton merasa asing dengan bahasa daerahnya sendiri.

Bagaimanapun saya memuji film ini, ada beberapa hal yang memang kurang terpuji yang dihadirkan Hanung demi memasukkan ideologi pluralismenya. Misalnya saja Menuk yang mengucapkan “assalamualaikum” kepada keluarga Tionghoa dimana tempatnya bekerja. Dalam ajaran agama Islam jelas melarang hal ini. Namun saya tidak memungkiri jika banyak sekali orang Islam yang memang mengucapkan salah seperti itu. Saya banyak menjumpainya, sebagai sebuah film, Tanda Tanya telah mampu menghadirkan konteks itu.

Pada awal film ini ada adegan seorang Pastur yang ditusuk oleh berandalan. Seperti ingin memulai sebuah film, seperti mewanti-wanti kepada penonton sebelum masuk ke permasalahan yang berat, namun tidak terlihat bagus disana-sini. Jelas ada kesan hanya tempelan belaka. Begitu pula adegan setelahnya, ketika Ping Hen atau Hendra (Rio Dewanto) berpas-pasan dengan empat orang yang hendak ke Masjid. Empat orang tersebut memulai dengan bahasa jawab yang kental “Ngapain lihat-lihat?” “Bukan urusanmu” “Hooo Cino!” “Heh, opo, teroris, Asu!”. Itu cuplikannya, begitu rasis, begitu jahat, namun saya terpingkal-pingkal dan terpukau dengan dialog itu. Suka tidak suka, rasa-rasanya adegan ini mengurangi kenikmatan menonton karena setelahnya, empat orang tersebut malah nongkrong di depan masjid karena marah kepada ustadznya yang tidak membela mereka ketika berkelahi tadi. Ada yang aneh, lucu memang, tapi memaksakan adegan.

Kemudian yang dikecam oleh Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU adalah mengenai sikap banser yang diperankan oleh Soleh (Reza Rahadian) yang kemudian terlibat perkelahian dengan Hendra. Terlihat sekali itu bukan tipikal Banser yang ada dalam masyarakat. Bahkan Soleh yang tidak punya pekerjaan memilih menjadi Banser dan mengatakan bahwa Banser adalah sebuah “pekerjaan”. Padahal Banser adalah pengabdian warga Ansor terhadap masyarakat, tidak digaji. Mungkin Hanung perlu riset lagi yang lebih dalam jika ingin mengutip referensi.


Simpulan

Kompleks. Itulah yang diajarkan lewat film ini. Namun film ini berani mengambil adegan yang benar-benar mepet-mepet ke arah yang sangat sensitif. Pluralisme disini kadang mengarah kepada penyamarataan agama yang ada di Indonesia. Pembunuhan pastur, orang-orang yang pindah agama seenaknya, orang Islam memerankan Yesus di hari Paskah, orang Islam yang bekerja di rumah makan yang menjual Babi, orang Islam yang sholat bareng dengan seorang Konghucu sedang sembahyang, orang Islam/Kristen VS Cina yang ekstrem, orang Kristen yang ingin membubarkan acara paskah karena tokoh Yesus diperankan oleh seorang muslim, orang Islam yang menghancurkan rumah makan, banser yang berkelahi dengan seorang Kristen padahal sedang menjaga Gereja, serta bom yang ditemukan di gereja. Pembaca bisa membayangkannya jika belum menonton.

Meskipun demikian, pluralisme disini tetap tidak saya anggap sebagai sebuah penyamaan agama. Karena disana rambu-rambunya sudah jelas “masing-masing saling menghormati agama” meskipun ada beberapa pertentangan atar agama/golongan tapi itu hanyalah oknum, personal, tidak perlu dibesar-besarkan. Secara umum, toleransi yang di usung Hanung adalah toleransi apa adanya. Masyarakat memiliki pemikirannya sendiri, dan pluralisme memiliki kehidupannya sendiri. Cukuplah dua kelompok yang saling silang sengketa mempermasalahkan pluralisme, saya akan berdiri di titik aman. Bahwa film adalah medium dari media massa yang bisa menghadirkan apapun yang diinginkan atau yang tidak diinginka oleh masyarakat. Interpretasi akan bergantung kepada pembaca, anggap saja apa yang dikatakan oleh Barthes benar “The Death of Author”, kematian pengarang. Anggap Hanung mati, dan anda sebagai pembaca, penonton, menginterpretasikan apa yang telah dihasilka oleh Hanung.

Akhirnya, selamat menonton dan mengapresiasi.
21 Maret 2012

2012-03-22

"Aku Ingin" Cinta yang Sederhana


Sering kita mendengar orang bersyair mengenai kekasihnya dengan rendah hati. Tidak ada pecinta di dunia ini yang membiarkan dirinya merasa sombong di tangan kekasihnya. Maka itulah puji-pujian kepada kekasih menjadi begitu melankolis. Dan cinta ini tidak bisa dipisahkan antara mencintai perempuan, mencintai Tuhan, ataupun cinta persahabatan. Meskipun pola perilakunya berbeda, ada satu prinsip yang mesti sama dalam hal ini yaitu :cinta itu sederhana.

Kesederhanaan ini tidak sama sekali berarti miskin. Karena kita tahu sendiri bahwa sederhana dalam pengertian yang umum juga tidak berarti miskin. Sederhana tidak berbading terbalik ataupun berbanding lurus dengan miskin ataupun kaya. Belum tentu orang miskin bisa bersikap sederhana, begitu jupa orang kaya jarang bisa bersikap sederhana.

Namun demikian, yang mampu mengungkapkan rasa cintanya dengan begitu menakjubkan hanyalah seorang penyair. Karena dalam syair (puisi) kalimat akan teruntai begitu indah dan dalam. Perasaan akan diterjemahkan menjadi sesuatu indah, multi makna, dan sangat halus. Kalimat-kalimat puisi sebenarnya bisa diterjemahkan secara aqliyah, namun disana kita tidak akan menemukan kenimakatannya. Hanya puisi yang mampu dicerna “hati pembaca”lah yang akan kekal.

Sekarang, saya ingin mengajak pembaca untuk meresapi sebuah puisi cinta yang sengaja saya pilih. Pilihan ini bisa bersifat subyektif, bisa juga bersifat obyektif, tergatung dari mana kita akan memandang. Namun dalam hal ini, saya tidak ingin mengintervensi dalam mendedah puisi tersebut, karena kita tahu sendiri, saya bukanlah kritikus puisi. Jadi penekanan saya, bahwa puisi ini adalah karya agung yang mampu diciptakan oleh penyair sekaligus guru besar sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono, yang menciptakan “Aku Ingin”.

Aku Ingin
Pertama, kita akan memperhatikan lirik “Aku Ingin” dahulu :

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Diakui ataupun tidak, kalimat-kalimat puisi diatas juga ternyata sangat sederhana. Bahkan diksi yang digunakanpun bukan diksi yang berbelit ataupun multiinterpretatif. Kata-kata yang dipilih adalah kata-kata standar dalam kehidupan sehari-hari. Ada aku, ada mencintaimu, ada sederhana, ada kayu, ada api, ada sederhana, ada awan, dan semuanya. Disana juga tidak terdapat diksi yang cenderung “puitis” seperti kata ambrosia, soliloqiui, kidung, dan lain-lain sebagaimana puisi-puisi yang lain. Kalaupun ada kata yang teramat sering mampir ke puisi seperti hujan dan isyarat maka itupun diucapkan dengan kesederhanaan. Hujan disana berarti hujan, isyarat juga berarti isyarat, tidak berkonotasi kepada sesuatu yang tersembunyi.

Begitupula peristiwa yang dijadikan rujukan atas nama cinta yang sederhana. Peristiwa tersebut hampir pernah –bahkan sering– terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Tentang awan dan hujan yang saling meniadakan, ataupun tentang tentang kayu yang dilahap api sehingga menjadi abu. Begitulah kesederhanaan puisi Sapardi. Namun dibalik kesederhanaan itulah letak kekuatan yang dahsyat mengenai konsep percintaan, antara pecinta dengan objek cinta, antara sebab dan akibat, antara pengorbanan dan kesetiaan.

Puisi ini ingin menyampaikan sesuatu yang suci kepada para pecinta, bahwa mencintai bukanlah perkara diterima atau tidak. Bukan pula masalah berani mengungkapkan ataupun tidak. Kata-kata dalam masalah cinta, jika tidak tepat dalam menggunakannya maka akan memperburuk citra cinta itu sendiri. Lihatlah dalam puisi bagaimana tokoh aku yang ingin mencintai kekasihnya, layaknya kata yang tidak pernah sempat diucapkan oleh kayu kepada api sehingga kayu tersebut menjadi abu. Kayu yang dilumat, dilahap, dibakar, di sakiti, dihancurkan, diinjak, hingga menjadi abu, itu ternyata masih menyimpan cinta yang tak pernah sempat ia ucapkan kepada kekasihnya yang menghancurkan fisiknya. Fisik boleh menjadi abu, perasaan boleh gentar dan lumat, tapi cinta sejati tidaklah tamat. Boleh jadi, ia semakin tumbuh dan berkembang, menjadi harapan yang kelak meyelamatkan kehidupan si–kayu.

Apa yang terjadi pada kayu juga terjadi pada awan yang diusir hujan. Namun si-awan tidaklah pernah memiliki kesempatan untuk mengisyaratkan bahwa ia mencintai sang hujan. Meskipun awan ditiadakan (dibunuh dan diusir) oleh hujan, awan tetaplah menyimpan segala duka, segala cinta, sehingga tidak pernah sekalipun awan akan menghentikan cintanya kepada hujan.

Begitulah cinta sejati yang seharusnya dijadikan modal pengetahuan oleh para pecinta yang telah bersedia mati untuk kekasihnya. Cinta bukan hal main-main. Laki-laki sebagai makhluk yang lebih banyak mengumpar kata-kata cinta seharusnya memahami bagaimana logika cinta. Bacalah beberapa buku mengenai cinta agar kita tidak tersesat. Bahwa cinta itu harus meliputi care, responsibility, respect, dan knowledge –itulah unsur cinta menurut Fromm, tokoh cinta barat. Perempuan yang digoda lelaki dengan seribu puisi juga harus mengetahui mengenai cinta sejati. Bahwa tidak hanya gairah (passion –mengarah kepada hasrat, nafsu) yang diumbar oleh para pecinta, tapi juga harus ada intimacy (keakraban –seperti seorang sahabat) dan commitment (janji, ikatan, pernikahan, dsb). Jika lelaki masih belum bisa menjalin komitmen kepada perempuannya, maka saya sarankan kepada perempuan untuk berhati-hati. Karena apa?

Dalam film Before Sunset (sekuel kedua setelah Before Sunrise) dikatakan oleh tokoh perempuan bahwa “lelaki itu sangat mudah disenangkan”, yang berarti, semarah apapun laki-laki, ketika dicumbu untuk melakukan hubungan intim, maka kemarahannya akan selesai. Dan sepanjang pembicaraan kedua tokoh ini (film ini mengumbar pembicaraan dengan sedikit aksi), yang difikirkan oleh laki-laki hanyalah hubunga seks. Sangat laki-laki, dan si perempuan hanya ingin bahwa pertemuan mereka tersebut hanyalah untuk bersenang-senang, tanpa memikirkan cinta apalagi seks. Wanita selalu mau bermain aman, dan lelaki selalu ingin menjerumuskan diri.

Demikianlah dalam puisi “Aku Ingin” menggambarkan dengan eksplisit namun lugas bagaimana seharusnya seorang kekasih bersikap kepada kekasihnya. Sejalan dengan kalimat Sapardi (kata yang tak sempat di ucapkan, isyarat yang tak sempat disampaikan), Plato memiliki ungkapannya sendiri, bahwa : “Cinta yang paling agung adalah cinta yang tidak pernah diungkapkan”. Lalu saya tiba-tiba sadar bahwa hal tersebut memanglah benar. Semoga pembaca mampu menangkapnya.
22 Maret 2012

2012-03-21

Masa Depan


Satu bulan lagi aku akan menghadapi masa depan yang mencekam. Tidak ada rencana pasti untuk menghadapi itu semua. Seakan-akan aku mendapati diri aku selama kuliah tidak menghasilkan apapun, bahkan sebuah rencanapun aku tidak ada. Sementara hari semakin dekat, aku membuat beberapa pilihan yang mungkin bisa aku tempuh. Sungguh, dulu aku begitu yakin bahwa kehidupan akan berbaik hati kepadaku, aku juga sangat yakin dengan kemampuanku untuk mampu hidup bahagia dengan segala keinginan dan cita-cita. Tapi nyatanya, saat aku ingin mengenang cita-citaku, tidak satupun cita-cita yang mampu kuingat. Aku tidak memiliki cita-cita?

Inilah kebenarannya. Meskipun telah meraih beberapa penghargaan di ruang-ruang sarjana, tetap saja masa depan tidak bisa diprediksi dengan baik. Bahkan ini menjadi menyakitkan karena bagi orang yang setengah gila akan prestasi sepertiku, ketidakberhasilan merupakan hal paling berat untuk di alami. Aku memandang jauh kedepan, tatapan kosong, hati meletup-letup ingin merencanaka sesuatu tapi tidak ada yang akan menjamin bahwa rencana itu akan berhasil dengan baik. Aku mulai bertanya-tanya mengenai keinginanku dimasa yang lampau, apakah aku masih menginginkan untuk jalan-jalan keliling Indonesia seperti backpacker? Aku mulai mencari teman-teman dimasa lampau, aku bertanya kepada mereka, melacak jejak mereka, dan ku dapati bahwa mereka telah merambah perjalanan bukan hanya keliling Indonesia, tapi ke Luar Negeri. What?

Kemarin, seseorang bernama ‘Ismail’ ketua ICMI Jawa Timur hadir di Universtas Trunojoyo untuk mengiringi Prof. Nizarul Alim memuhasabah bukunya yang menarik ‘Muhasabah Keuangan Syariah’. Ia dengan berapi-api menjelaskan mengenai kondisi umat Islam saat ini. Ia mengatakan bahwa para pemuda tidak pernah menyadari bahwa modal terbesar yang diberikan Allah adalah dirinya sendiri. Berulang kali dalam seminar dan workshop entrepreneur, peserta seminar hanya menakutkan satu hal; modal –dalam arti keuangan. Rata-rata kita menganggap bahwa diri kita hebat karena ada modal di luar diri kita untuk mencapai mimpi-mimpi besar kita. Padahal, kata beliau, modal dasar diri kita itulah yang seharusnya mengantarkan kita mencapai kebahagiaan duniawi seperti yang selalu kita inginkan.

Aku tercenung. Pela-pelan aku merasakan diriku sendiri hanyut dalam sungai ketidaksadaran. Unconciousness. Bahwa selama hidup, hanya sekali-kali aku tersadar akan potensi yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadaku, selanjutnya, aku hanya percaya bahwa kehidupanku kedepan akan ditentukan oleh program beasiswa yang diberikan oleh orang-orang yang tidak ku kenal. Aku sangat berharap mendapatkan beasiswa fullbright, fellowship, atau dari Belanda, Neso Indonesia. Ah, manusia sepertiku mengeksternalisasi diriku sendiri.
17 Maret 2012

Membincang Komunikasi

Dunia semakin lama semakin semakin sunyi. Rasa-rasanya manusia semakin gagap berinteraksi dalam dunia riil. Ilmu komunikasi yang dipelajari di perkuliahan hanyalah teori dengan kajian-kajian yang menitikberatkan pada koneksi antarpesan. Ia seperti memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Siapa mengucapkan apa kepada siapa dengan media apa dan bagaimana responnya. Kalimat milik Lasswel itu begitu terkenalnya di dunia komunikasi hingga seluruh mahasiswa mampu hafalnya dengan baik. Apa itu yang dinamakan komunikasi efektif? Tentu tidak selalu, bahkan komunikasi efektif itu hanyalah isu ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai jasa entrepreneur. Dimana-mana sekarang ada pakar ilmu komunikasi yang memberikan seminar cara berkomunikasi yang efektif. Jelas-jelas itu proyek bisnis dari para entrepreneur ilmu komunikasi muda.

Kegagapan cara berkomunikasi ini memang fatal. Tidak ada satu teoripun yang dengan jelas menggambarkan bagaimana cara berfikir komunikasi yang berlandaskan pada psikologis manusia itu sendiri. Jika ada psikologi komunikasi, maka saya sangsi apakah itu benar-benar ilmu yang mempelajari cara berkomunikasi yang berdasarkan psikologis komunikan. Karena selama satu semester, saya hanya menjadi bulan-bulanan teori psikologi dan teori belajar yang murni diajarkan untuk mahasiswa prodi psikologi. Ia seperti pengantar, tidak kepada ilmu komunikasi, tapi lebih kepada psikologi. Sehingga, saya agaknya bisa berdebat dengan mahasiswa semester lima di prodi psikologi UIN Maliki ketika saya masih semester dua, dan saya memang telah melakukannya dengan hasil “tidak memalukan”.

Saya mengangankan ada teori komunikasi aktual yang menggabungkan sistem berfikir manusia sebagaimana yang dipelajari di dunia Neuro Learning Program. Disana dibahas cara berfikir manusia yang general hingga spesifik, dari otak kanan, otak kiri, hingga aktivasi otak tengah. Inilah yang dicontohkan oleh para pesulap dan hipnotist yang kerap hadir di televisi sekitar tahun 2010-2011. Mereka mampu menyihir penonton dengan perkataan-perkataan yang berbasis pada neuropsikologi manusia. Cara komunikasi mereka benar-benar tertata, mereka tahu mana yang harus diucapkan, mana yang harus diberi penekanan, dan anggota tubuh mana yang harus digerak-gerakkan agar penonton tidak menyadari bahwa keajaiban yang terjadi hanyalah teknik belaka.

Kemudian, jangan sampai kita membandingkan seorang doktor ilmu komunikasi dengan pesulap. Bahkan, jangan sampai kita membandingkannya dengan sales panci yang keliling di desa-desa. Saya yakin bahwa doktor itu akan melepaskan pangkatnya diam-diam. Kemarin di acara StandUp Commedy, hadir seorang pakar komunikasi UI sekaligus politikus Effendy Ghazali yang membawakan humor 10 menitan tanpa skenario. Saya tertawa geli sepanjang acara, bukan karena yang dibawakannya lucu, bukan, tapi dia memaksakan melucu agar dianggap lucu, jadilah saya menertawakannya. Saya telisik diri sendiri, sebagai orang yang sama bidang kajiannya, saya juga malu. Dia sangat tidak sebanding dengan Raditya Dika si penulis jorok tersebut. Apalagi pada saat yang sama, hadir Sudjiwo Tedjo dengan lawakan ndesonya. Mati rasalah apa yang dibawakan pakar komunikas tersebut.

Saya tidak bisa menjawab dimana letak kesalahan mempelajari ilmu komunikasi. Bahkan sampai saat ini saya yakin bahwa mahasiswa ilmu komunikasi adalah mahasiswa yang paling elit, mulai dari teorinya hingga prakteknya. Ambil contoh teori –teori komunikasi massa, kita mempelajari sebuah kesejatian. Kita diberi tahu apa itu realitas, representasi, dan hyperrealitas. Teori-teori yang diajarkan begitu memukau dunia yang telah dihuni manusia sejak 5 miliar tahun ini. Selain orang komunikasi, tidak ada yang tahu mengenai bujuk rayu periklanan, mengenai konsep kecantikan yang senantiasa berubah, juga mengenai logika berfikir sebuah iklan ketika memasuki otak kita. Saya yakinkah kepada anda, bahwa mempelajari ilmu komunikasi adalah mempelajari kemurnian dunia. Dibalik kebusukan bisnis, politik, sastra, sosial, budaya, bahkan pendidikan, disanalah komunikasi mengembangkan sebuah penyadaran kelas menengah –mahasiswa.

Lalu dibidang praktek komunikasi juga tidak diragukan lagi. Orang-orang yang melihat seorang wartawan dengan bermodalkan kertas lipat dan pulpen akan sedemikian tertarik. Apalagi melihat cewek-cewek cantik serta pemuda-pemuda casual yang berseliweran dilokasi perfilman. Kemudian, orang-orang yang kemana-mana membawa kamera DSLR atau handycam, orang-orang pasti ingin tahu siapa dan apa. Ilmu komunikasi adalah sebuah program studi prestise yang hanya ‘orang beruntung’ saja yang bisa masuk ke dunia itu.

Menarik sekali apa yang di tuturkan oleh Fiske mengenai dua madzhab dalam teori komunikasi. Sejak semester pertama, mahasiswa seperti saya sama sekali tidak mengetahui esensi dari komunikasi. Mempelajari komunikasi sama halnya dengan sebuah lelucon yang ironis, “bicara saja dipelajari”, dan nyatanya, memang cara bicara tidak perlu dipelajari. Ilmu komunikasi harus menjadi filsafat, -bersambung
22 Maret 2012

Harapan


Sebagai manusia, hidup adalah pilihan yang luar biasa. Sementara banyak orang yang bunuh diri karena lelah menjalani kehidupannya, kita dengan semangat yang gigih tetap berusaha, pantang menyerah, serta terus maju untuk membenahi kehidupan yang sempoyongan. Lihatlah bagaimana televisi mengabarkan orang-orang yang membakar dirinya sendiri, minum obat serangga, gantung diri, dan lain-lain. Mereka menganggap dirinya ditelantarkan kehidupan, lalu seperti lupa bahwa hidup adalah pemberian, ia menghentikan kehidupannya sendiri. Mengakhiri kehidupan yang telah ditetapkan oleh kuasa yang Maha Tinggi.

Saya menjadi teringat lagu gloomy Sunday yang versi Hungaria (bahasa asal lagu tersebut) telah membuat 50 orang bunuh diri karena mendengarnya. Lagu itu, menurut cerita, adalah kisah sedih di hari minggu. Lagu yang teramat sedih, jika mendengarnya sekali, faham artinya, meresapi, pernah mengalami luka yang sama, maka akan terngiang-ngiang hingga mengikuti bunuh diri. Hal itu pernah terjadi pada diri saya sendiri ketika tahun baru 2012, tepat hari Minggu. Bertempat di rumah salah satu Penyair Madura, Timur Budi Raja, saya mendengarkannya malam-malam sambil tidur. Tiba-tiba ada perasaan gelisah yang menjamur, keesokan harinya, saya diingatkan oleh penyair yang lain, Yayan Triansyah, agar tidak bunuh diri di hari minggu.

Tuhan tidak pernah memberikan kehidupan yang buruk kepada kita. Ia selalu membuat jalan yang paling baik dengan memberikan kita pilihan-pilihan. Maka kita sendirilah yang menjerumuskan diri, tidak memilih apa telah Tuhan pilihkan. Taruhlah kita sendiri, ketika ditanya mengenai “bagusan mana orang yang jujur dan tidak?” tentu kita spontan menjawab “bagusan jujurlah”, tapi kita memilih untuk berbohong. Begitulah Tuhan kemudian menghukum kita di nerakanya, bukan karena takdir Tuhan begitu, tapi lebih karena kita memilih untuk dihukum oleh Tuhan.

Tuhan itu hidup dalam pikiran manusia tapi tidak benar-benar mengintervensi pikiran itu sendiri. Ia mengawasai, ia memberikan jalan keluar, ia menunjukkan kebaikan dan keburukan, tapi ia tidak menunjukkan jawaban pasti. Ia memberikan masalah kepada kita tapi bukan untuk menghukum. Permasalahan itu murni untuk mendewasakan manusia itu sendiri, jika ia sanggup bersikap tabah, bekerja keras, pantang menyerah, maka ia akan berhasil. Arthur Young berkata “Tuhan tidur dalam mineral, bangun dalam planet, berjalan dalam binatang, dan berfikir dalam manusia”, entah dengan maksud apa namun yang jelas, bahwa Tuhan meliputi segalanya. Dan tetap yang paling keren adalah karena Tuhan berfikir dalam otak manusia. Hanya manusia.

Tuhan benaar-benar bersembunyi dalam pikiran kita jika kita mau menganggapnya demikian, jika kita mau memilih apa yang dipilih-Nya. Sebenarnya, secara fitrah, manusia itu diciptakan dalam keadaan bersih, suci, dan taat kepada-Nya. Maka jika ada orang yang berbuat munkar, maka itu yang terlihat aneh. Baik secara rasio maupun secara iman, manusia sudah seharusnya beribadah kepada-Nya. Menggunakan segala piliha-pilihan-Nya untu menentukan pilihan pribadinya. Kita telah diciptakan dengan biaya gratis-tis, hidung untuk bernafas, mulut untuk makan, mata untuk melihat, kulit untuk membelai, tangan untuk bergadeng, hati untuk merasakan, sahabat untuk berbagi, keluarga untuk mendukung, guru-guru untuk menunjukkan, air yang segar untuk melepas dahaga, oksigen gratis bertebaran, serta usus, hati, lambung, dan darah untuk kehidupan, maka apakah kita masih ingin berbuat dosa dengan mendustakan keberadaan Tuhan?

Manusia yang taat menjalankan perintah Tuhan seharusnya tidak dipandang aneh, malah itulah yang “biasa” dan “wajar”. Mengingat segala yang diberikan oleh Tuhan, maka patutkan kita kemudian berbuat kejahatan dengan melawan Tuhan?

Menjalani kehidupan yang luar biasa ini, kita harus selalu memiliki harapan untuk hidup. Bukan hanya karena kita menginginkan kebahagiaan, tapi lebih karena, harapan itulah penyelamat kehidupan. Ketika hidup terasa sunyi, saat teman datang dan pergi, waktu keluarga meninggalkan kita, maka hanya ada satu hal yang tidak boleh pupus, yaitu harapan itu sendiri. Harapan membuat seseorang hidup. Harapan besar menciptakan seseorang yang besar.

Kita harus memaksakan diri kita, hati kita, untuk selalu memiliki harapan. Tutuplah pintu-pintu yang menyebabkan kita meragukan keberadaan Tuhan yang membimbing jalan manusia. Jika kita mampu melaksanakannya, maka banyaknya berita bunuh di televisi akan berkurang drastis. Dengan begitu, Tuhan akan bersama kita.
22 Maret 2012