Sering kita mendengar orang
bersyair mengenai kekasihnya dengan rendah hati. Tidak ada pecinta di dunia ini
yang membiarkan dirinya merasa sombong di tangan kekasihnya. Maka itulah
puji-pujian kepada kekasih menjadi begitu melankolis. Dan cinta ini tidak bisa
dipisahkan antara mencintai perempuan, mencintai Tuhan, ataupun cinta
persahabatan. Meskipun pola perilakunya berbeda, ada satu prinsip yang mesti
sama dalam hal ini yaitu :cinta itu sederhana.
Kesederhanaan ini tidak sama
sekali berarti miskin. Karena kita tahu sendiri bahwa sederhana dalam
pengertian yang umum juga tidak berarti miskin. Sederhana tidak berbading
terbalik ataupun berbanding lurus dengan miskin ataupun kaya. Belum tentu orang
miskin bisa bersikap sederhana, begitu jupa orang kaya jarang bisa bersikap
sederhana.
Namun demikian, yang mampu
mengungkapkan rasa cintanya dengan begitu menakjubkan hanyalah seorang penyair.
Karena dalam syair (puisi) kalimat akan teruntai begitu indah dan dalam.
Perasaan akan diterjemahkan menjadi sesuatu indah, multi makna, dan sangat
halus. Kalimat-kalimat puisi sebenarnya bisa diterjemahkan secara aqliyah,
namun disana kita tidak akan menemukan kenimakatannya. Hanya puisi yang mampu
dicerna “hati pembaca”lah yang akan kekal.
Sekarang, saya ingin mengajak
pembaca untuk meresapi sebuah puisi cinta yang sengaja saya pilih. Pilihan ini
bisa bersifat subyektif, bisa juga bersifat obyektif, tergatung dari mana kita
akan memandang. Namun dalam hal ini, saya tidak ingin mengintervensi dalam
mendedah puisi tersebut, karena kita tahu sendiri, saya bukanlah kritikus
puisi. Jadi penekanan saya, bahwa puisi ini adalah karya agung yang mampu
diciptakan oleh penyair sekaligus guru besar sastra Indonesia, Sapardi Djoko
Damono, yang menciptakan “Aku Ingin”.
Aku Ingin
Pertama, kita akan memperhatikan
lirik “Aku Ingin” dahulu :
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada
Diakui ataupun tidak,
kalimat-kalimat puisi diatas juga ternyata sangat sederhana. Bahkan diksi yang
digunakanpun bukan diksi yang berbelit ataupun multiinterpretatif. Kata-kata
yang dipilih adalah kata-kata standar dalam kehidupan sehari-hari. Ada aku, ada mencintaimu, ada sederhana,
ada kayu, ada api, ada sederhana, ada awan, dan semuanya. Disana juga tidak
terdapat diksi yang cenderung “puitis” seperti kata ambrosia, soliloqiui, kidung, dan lain-lain sebagaimana
puisi-puisi yang lain. Kalaupun ada kata yang teramat sering mampir ke puisi
seperti hujan dan isyarat maka itupun diucapkan dengan
kesederhanaan. Hujan disana berarti hujan, isyarat juga berarti isyarat, tidak
berkonotasi kepada sesuatu yang tersembunyi.
Begitupula peristiwa yang
dijadikan rujukan atas nama cinta yang sederhana. Peristiwa tersebut hampir
pernah –bahkan sering– terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Tentang awan
dan hujan yang saling meniadakan, ataupun tentang tentang kayu yang dilahap api
sehingga menjadi abu. Begitulah kesederhanaan puisi Sapardi. Namun dibalik
kesederhanaan itulah letak kekuatan yang dahsyat mengenai konsep percintaan,
antara pecinta dengan objek cinta, antara sebab dan akibat, antara pengorbanan
dan kesetiaan.
Puisi ini ingin menyampaikan
sesuatu yang suci kepada para pecinta, bahwa mencintai bukanlah perkara
diterima atau tidak. Bukan pula masalah berani mengungkapkan ataupun tidak.
Kata-kata dalam masalah cinta, jika tidak tepat dalam menggunakannya maka akan
memperburuk citra cinta itu sendiri. Lihatlah dalam puisi bagaimana tokoh aku
yang ingin mencintai kekasihnya, layaknya kata yang tidak pernah sempat
diucapkan oleh kayu kepada api sehingga kayu tersebut menjadi abu. Kayu yang
dilumat, dilahap, dibakar, di sakiti, dihancurkan, diinjak, hingga menjadi abu,
itu ternyata masih menyimpan cinta yang tak pernah sempat ia ucapkan kepada
kekasihnya yang menghancurkan fisiknya. Fisik boleh menjadi abu, perasaan boleh
gentar dan lumat, tapi cinta sejati tidaklah tamat. Boleh jadi, ia semakin
tumbuh dan berkembang, menjadi harapan yang kelak meyelamatkan kehidupan
si–kayu.
Apa yang terjadi pada kayu juga
terjadi pada awan yang diusir hujan. Namun si-awan tidaklah pernah memiliki
kesempatan untuk mengisyaratkan bahwa ia mencintai sang hujan. Meskipun awan
ditiadakan (dibunuh dan diusir) oleh hujan, awan tetaplah menyimpan segala
duka, segala cinta, sehingga tidak pernah sekalipun awan akan menghentikan
cintanya kepada hujan.
Begitulah cinta sejati yang
seharusnya dijadikan modal pengetahuan oleh para pecinta yang telah bersedia
mati untuk kekasihnya. Cinta bukan hal main-main. Laki-laki sebagai makhluk
yang lebih banyak mengumpar kata-kata cinta seharusnya memahami bagaimana
logika cinta. Bacalah beberapa buku mengenai cinta agar kita tidak tersesat.
Bahwa cinta itu harus meliputi care, responsibility, respect, dan knowledge
–itulah unsur cinta menurut Fromm, tokoh cinta barat. Perempuan yang digoda
lelaki dengan seribu puisi juga harus mengetahui mengenai cinta sejati. Bahwa
tidak hanya gairah (passion –mengarah
kepada hasrat, nafsu) yang diumbar oleh para pecinta, tapi juga harus ada intimacy (keakraban –seperti seorang
sahabat) dan commitment (janji,
ikatan, pernikahan, dsb). Jika lelaki masih belum bisa menjalin komitmen kepada
perempuannya, maka saya sarankan kepada perempuan untuk berhati-hati. Karena
apa?
Dalam film Before Sunset (sekuel kedua setelah Before Sunrise) dikatakan oleh tokoh perempuan bahwa “lelaki itu
sangat mudah disenangkan”, yang berarti, semarah apapun laki-laki, ketika
dicumbu untuk melakukan hubungan intim, maka kemarahannya akan selesai. Dan
sepanjang pembicaraan kedua tokoh ini (film ini mengumbar pembicaraan dengan
sedikit aksi), yang difikirkan oleh laki-laki hanyalah hubunga seks. Sangat
laki-laki, dan si perempuan hanya ingin bahwa pertemuan mereka tersebut
hanyalah untuk bersenang-senang, tanpa memikirkan cinta apalagi seks. Wanita
selalu mau bermain aman, dan lelaki selalu ingin menjerumuskan diri.
Demikianlah dalam puisi “Aku
Ingin” menggambarkan dengan eksplisit namun lugas bagaimana seharusnya seorang
kekasih bersikap kepada kekasihnya. Sejalan dengan kalimat Sapardi (kata yang
tak sempat di ucapkan, isyarat yang tak sempat disampaikan), Plato memiliki
ungkapannya sendiri, bahwa : “Cinta yang paling agung adalah cinta yang tidak
pernah diungkapkan”. Lalu saya tiba-tiba sadar bahwa hal tersebut memanglah
benar. Semoga pembaca mampu menangkapnya.
22 Maret 2012
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.