Anda sudah menonton film Tanda
Tanya yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo? Sejak awal saya sudah di pesan
agar hati-hati dalam menonton film ini karena katanya sangat kontroversial.
Lalu saya membuktikannya meskipun sangat terlambat.
Indonesia adalah negara besar
yang didalamnya dimuati dengan beraneka ragam perbedaan. Tidak salah kalau
kemudian semboyan Indonesia adalah “bhinneka
tunggal ika”. Meskipun ada beberapa pertentangan mengenai makna pluralisme
sendiri, saya ingin menunjukkan bahwa pluralisme bisa di artikan menjadi lebih
baik dari sekedar “menganggap semua agama sama”. Sebab terjadinya perbedaan
tersebut bukanlah hal yang sakral seperti penetapan hukum syariah. Sehingga,
jika kita ingin aman dalam pemahaman ini, berarti kita juga harus memilih arti
yang aman. Namun aman tidak berarti “pilih aman” yang biasanya konotasinya
negatif dengan memihak yang menguntungkan. Tetapi aman disini memiliki
pendirian yang kuat pada titik paling aman sehingga memutuskan perkara dengan tetap
berpijak pada kebebasan berfikir serta keadilan bertindak.
Pluralisme memiliki kehidupannya
sendiri. Ia bisa menjadi sampah juga bisa menjadi pahlawan. Pluralisme juga
memiliki pengertiannya di masing-masing kelompok/ golongan. Ada kelompok yang mendukung
pluralisme dengan menggunakan pengertian pluralisme berdasarkan pengalaman
keilmuan mereka. Ada juga yang menolak pluralisme karena tidak sesuai dengan
proses pencarian mereka. Akhirnya, jika tidak ada jalan tengah, pluralisme
bukan menjadi jalan keluar tapi malah menjadi bahan gunjingan baru, cemooh, dan
saling lempar kesalahan.
Saya ingin memahami arti
pluralisme melalui dua arti yang saya kira akan bisa dipahami oleh semua
pembaca, meskipun mungkin ada yang tidak setuju. Setuju ataupun tidak setuju,
semuanya memiliki landasan berfikir yang membawanya menuju ke arah sana.
Sehingga, jangan pernah takut jika ada yang mengatakan ketidaksetujuannya,
begitu pula jangan berbangga diri jika semua orang setuju.
Pertama, pluralisme bisa
diartikan sebagai suatu keadaan dimana orang hidup dalam kemajemukan. Sedangkan
majemuk berarti bahwa orang-orang yang berbeda keyakinan bisa hidup
berdampingan untuk saling menghargai, menghormati, serta bertoleransi. Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme diartikan sebagai “keadaan masyarakat
yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya)”. Tidak ada
pluralisme agama yang disinggung di kamus dikarenakan hal tersebut sangat sensitif.
Tapi, karena kita hidup di indonesia, maka sudah seharusnya pengertian yang
dijelaskan dalam kamus bahasa indonesia serta undang-undang saja yang di
gunakan untuk berpijak. Pemahaman ini bisa digunakan untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 disebutkan :
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
Kemudian pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 juga
menyebutkan :
2. Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya masng-masing.
Dari dua ayat pasal 28 E dan ayat
2 pasal 29 tersebut bisa kita pahami bahwa dalam negara indonesia, paham
pluralisme yang diusung adalah sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti “berbeda-beda tapi tetap
satu jua” dalam menegakkan Negara Kesatuan Indonesia. Berbeda-beda yang di
maksud adalah berdasarkan pada toleransi dan penghormatan kepada masing-masing
individu dalam beragama. Tidak ada unsur menyamakan semua agama, menganggap
semua agama benar, ataupun menyalahkan salah satu agama dan membenarkan agama
yang lain. Ingat, ini dalam konteks bernegara, dalam rangka menjaga keutuhan
berbangsa dan berbangsa. Konstitusi ini mengikat dan harus di jadikan rujukan
oleh seluruh rakyat Indonesia.
Disana jelas tertulis bahwa
negara menjamin kebebasan beragama, memeluk dan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan keyakinan masing-masing. Dalam konteks beragama, tentu kita
bisa meyakini dengan sedalam-dalamnya bahwa agama kitalah yang benar. Bukan
yang paling benar. Kalau kita percaya bahwa agama kitalah “yang paling benar”,
maka logikanya adalah, agama yang lain juga benar. Dari sini kita harus bisa
memilih kata yang benar untuk menunjukkan bahwa agama kitalah yang benar, dan
agama yang lain salah menurut kita. Whatever
menurut orang lain.
Kedua, pluralisme diartikan dengan sangat berbeda dari pengertian
yang pertama. Disini pluralisme agama diasumsikan sebagai suatu faham yang
menganggap bahwa semua agama benar. Dalam arti agama-agama hanyalah jalan yang
menuju Tuhan yang satu. Berbeda jalan namun satu tujuan. Agama juga dianggap
sebagai persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Dari
pengertian inilah, pluralisme kemudian digugat dan dibantai habis-habisan oleh
berbagai kalangan, termasuk kelompok Islam, Kristen, maupun Hindu.
“Paham sekularisme, pluralisme (agama) dan liberalisme agama
bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat islam untuk memeluknya” (Fatwa
MUI, 2005)
“Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius
bagi kekristenan” (Pdt. Dr. Stevri Lumintang)
“Setiap kali orang Hindu
mendukung universalisme radikal, dan
secara bombastik memperoklamaskan bahwa ‘semua agama adalah sama’ dia melakukan
itu atas kerugian besar yang dia katakan dia cintai” (Dr. Frank Gaetano
Morales, Cendekiawan Hindu)
Tiga cuplikan itulah yang
sekiranya mampu mewakili kelompok yang kedua dalam memandang pluralisme. Jika
ada aktivis pluralisme yang memandang bahwa semua agama benar dan sama, maka
saya sendiripun tidak akan pernah setuju. Karena Gus Dur sebagai Bapak
Pluralisme Dunia juga tidak menganggap yang sedemikian, karena beliau memandang
bahwa semua agama dipandang sama sebagai pemersatu NKRI. Bukan sama dari segi kebenarannya.
Semoga uraian ini sudah jelas.
Tanda Tanya
Sebagai sebuah film, Tanya Tanya
juga memiliki ideologi yang ingin di bangun. Ia bisa berbicara mengenai
pluralisme yang ingin di angkatnya ke permukaan melalui adegan, karakter, maupun
dialog para tokohnya. Fiske dalam Television Culture menjelaskan mengenai level
ideologi ini, bahwa segala sesuatu yang dihadirkan oleh media dan membawa suatu
kepentingan adalah ideologi. Kita sudah
melihat bagaimana film Tanda Tanya membawa ideologi mengenai konsep berfikir
pluralisme. Dari sanalah kita akan berpijak sebentar untuk melihat keseriusan
berfikir dari si Sutradara.
Sebenarnya film ini patut untuk
dibedah lebih lanjut dan lebih serius karena disini mengungkap sebuah cara
keberagama-an yang sangat membumi. Memang banyak yang menghujat bahwa film ini
hanya berkedok toleransi beragama namun sebenarnya bertujuan untuk
mendangkalkan keberagama-an orang di Indonesia. Sejauh yang saya lihat, tidak
ada upaya-upaya menuju ke arah sana. Semua yang disajikan adalah “seperti”
fakta lapangan. Fiksi namun saya tidak jarang menemukan yang demikian di
kehidupan nyata –paling tidak melalui berita-berita media massa. Ada
perpindahan agama, ada percintaan beda agama, ada kritik keberagama-an, ada
pembunuhan seorang pastor, ada upaya teroris untuk mem-bom gereja, ada
permusuhan ras, dan semua itu disajikan dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling.
Film ini seperti membuka luka
lama. Mempertontonkan aib negeri sendiri, yang bisa saja bertujuan untuk satu
hal : agar bangsa indonesia berkaca. Namun jika mau su’udzan (berburuk sangka)
bisa saja kita menyangka bahwa ini adalah upaya menyama ratakan agama yang ada
di indonesia. Menunjukkan cara-cara pandang yang picik dalam masyarakat serta
permusuhan etnis yang parah. Ini sangat indonesia, sekali lagi, sangat
indonesia. Namun demikian, sebagai bangsa yang bangga, kita harus bercermin
kepada film tersebut. Betapa bodohnya jika kita hanya menganggapnya angin lalu.
Gesekan sosial dan keagamaan
memang menjadi menu utama dalam film ini. Ada banyak hal yang patut
dipertentangkan namun akhirnya terjawab dengan sendirinya. Toleransi-toleransi
yang dibangun seperti mengada-ada namun memang benar-benar ada. Hanung mampu
membangun adegan yang benar-benar menantang untuk dipebincangkan dan dijadikan
ajang perdebatan. Misalkan yang dilakukan oleh Surya (Agus Kuncoro) yang resah
karena pekerjaannya hanyalah sebagai pemain figuran dalam film-film atau
menjadi penjahat yang kemudian diminta casting
menjadi tokoh Yesus dalam upacara Paskah di Gereja padahal dia beragama Islam.
Disana penonton akan langsung terkesiap, tantangan iman seperti apa lagi yang
akan disajikan oleh Hanung? Begitu kira-kira penonton akan bertanya. Alhasil, jadilah
Surya sebagai Yesus, yang kemudian mengantarkannya menjadi Santa Claus untuk
membantu menyembuhkan seorang anak yang sedang sakit.
Tidak heran karena pada awal
film, tokoh yang saya kagumi, Rika (Endhita) seorang perempuan yang telah
pindah agama dari Islam ke Katolik. Ia janda satu anak dan bekerja menjaga toko
buku warisan keluarga. Meskipun beragama Katolik ia tetap membimbing anak
satu-satunya tersebut untuk memperdalam agama Islam, bahkan tidak segan-segan
ia mengajarkan baca-bacaan doa dalam Islam dan menjemput anaknya yang selesai
mengaji di masjid sehabis dari gereja. Ia benar-benar tidak peduli terhadap
masyarakat sekitar yang memandang bahwa dia pindah agama hanyalah untuk
melupakan mantan suaminya atau apa. Ia dinyatakan mengkhianati dua hal yang
diaggap baik, pernikahan (ia cerai) dan Allah (ia pindah dari Islam ke
Kristen). Nyatanya, dalam film ini ia digambarkan sebagai sosok yang berani
mengambil langkah besar. Ia yang mengajari Surya untuk berani megambil
keputusan yang dia inginkan, tidak berdasarkan orang lain, tidak juga peduli
apa kata masyarakat.
Disana juga ada tokoh Tan Kat Sun
(Henky Sulaiman) seorang Cina, pemilik rumah makan Cina yang beragama Konghucu.
Dia sudah tua dan sudah sangat mengenal kondisi lingkungannya. Tokoh ini juga
memiliki peran penting untuk menggambarkan toleransi beragama dalam film ini.
Dia mempekerjakan Menuk (Revaline S Temat) yang beragama Islam. Memberi waktu
istirahat kepada Menuk dan kawan-kawannya untuk melaksanakan Sholat jika sudah
memasuki waktunya. Tan Kat Sun juga tidak mempekerjakan pembantu dan membuka
rumah makannya ketika Hari Raya Lebaran hingga lima hari kedepannya. Sebagai
rumah makan Chiness, tentu disana juga menjual masakan babi, namun Ia
membedakan dengan tegas peralatan untuk memasak babi dan memasak yang lain
karena disana juga banyak orang Islam. Meskipun kemudian, ada-ada aja orang
yang datang kesana kemudian tidak jadi membeli karena menjual daging babi.
Pembeli khawatir penggorengannya tidak dibedakan, atau pisau untuk mengiris
juga dibedakan. Namun dalam adegan ini kurang enak karena terkesan dipaksakan. Memang
nyata, tapi tampilannya kurang memikat dan malah mencederai keangguna film.
Saya memang menemukan penokohan
yang kuat dalam film ini. Bayangkan, tokoh-tokoh tersebut memiliki posisi
sendiri-sendiri untuk mempertahankan keyakinan pribadinya serta mempertahankan
keyakinan orang lain. Baca lagi kalimat barusan, fahami. Itulah yang membuat
saya tidak berhenti menontonnya. Adegan yang benar-benar riil dan aktor yang ekspresif
membuat saya semakin jatuh cinta. Bahkan ketika mengucapkan kalimat “Oo Cino…”
dengan logat jawa, saya begitu terpukau karena tidak biasanya artis Indonesia
bisa dengan sangat kental mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa daerah. Kita
lihat saja film-film FTV yang memerankan orang Bandung atau orang Solo tapi ngomongnya belepotan. Membuat penonton
merasa asing dengan bahasa daerahnya sendiri.
Bagaimanapun saya memuji film
ini, ada beberapa hal yang memang kurang terpuji yang dihadirkan Hanung demi
memasukkan ideologi pluralismenya. Misalnya saja Menuk yang mengucapkan “assalamualaikum” kepada keluarga
Tionghoa dimana tempatnya bekerja. Dalam ajaran agama Islam jelas melarang hal
ini. Namun saya tidak memungkiri jika banyak sekali orang Islam yang memang
mengucapkan salah seperti itu. Saya banyak menjumpainya, sebagai sebuah film,
Tanda Tanya telah mampu menghadirkan konteks itu.
Pada awal film ini ada adegan
seorang Pastur yang ditusuk oleh berandalan. Seperti ingin memulai sebuah film,
seperti mewanti-wanti kepada penonton sebelum masuk ke permasalahan yang berat,
namun tidak terlihat bagus disana-sini. Jelas ada kesan hanya tempelan belaka.
Begitu pula adegan setelahnya, ketika Ping Hen atau Hendra (Rio Dewanto)
berpas-pasan dengan empat orang yang hendak ke Masjid. Empat orang tersebut
memulai dengan bahasa jawab yang kental “Ngapain lihat-lihat?” “Bukan urusanmu”
“Hooo Cino!” “Heh, opo, teroris, Asu!”. Itu cuplikannya, begitu rasis, begitu jahat,
namun saya terpingkal-pingkal dan terpukau dengan dialog itu. Suka tidak suka,
rasa-rasanya adegan ini mengurangi kenikmatan menonton karena setelahnya, empat
orang tersebut malah nongkrong di depan masjid karena marah kepada ustadznya
yang tidak membela mereka ketika berkelahi tadi. Ada yang aneh, lucu memang,
tapi memaksakan adegan.
Kemudian yang dikecam oleh
Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU adalah mengenai sikap banser yang
diperankan oleh Soleh (Reza Rahadian) yang kemudian terlibat perkelahian dengan
Hendra. Terlihat sekali itu bukan tipikal Banser yang ada dalam masyarakat.
Bahkan Soleh yang tidak punya pekerjaan memilih menjadi Banser dan mengatakan
bahwa Banser adalah sebuah “pekerjaan”. Padahal Banser adalah pengabdian warga
Ansor terhadap masyarakat, tidak digaji. Mungkin Hanung perlu riset lagi yang
lebih dalam jika ingin mengutip referensi.
Simpulan
Kompleks. Itulah yang diajarkan
lewat film ini. Namun film ini berani mengambil adegan yang benar-benar mepet-mepet ke arah yang sangat
sensitif. Pluralisme disini kadang mengarah kepada penyamarataan agama yang ada
di Indonesia. Pembunuhan pastur, orang-orang yang pindah agama seenaknya, orang
Islam memerankan Yesus di hari Paskah, orang Islam yang bekerja di rumah makan
yang menjual Babi, orang Islam yang sholat bareng dengan seorang Konghucu
sedang sembahyang, orang Islam/Kristen VS Cina yang ekstrem, orang Kristen yang
ingin membubarkan acara paskah karena tokoh Yesus diperankan oleh seorang
muslim, orang Islam yang menghancurkan rumah makan, banser yang berkelahi
dengan seorang Kristen padahal sedang menjaga Gereja, serta bom yang ditemukan
di gereja. Pembaca bisa membayangkannya jika belum menonton.
Meskipun demikian, pluralisme
disini tetap tidak saya anggap sebagai sebuah penyamaan agama. Karena disana
rambu-rambunya sudah jelas “masing-masing saling menghormati agama” meskipun
ada beberapa pertentangan atar agama/golongan tapi itu hanyalah oknum,
personal, tidak perlu dibesar-besarkan. Secara umum, toleransi yang di usung
Hanung adalah toleransi apa adanya. Masyarakat memiliki pemikirannya sendiri,
dan pluralisme memiliki kehidupannya sendiri. Cukuplah dua kelompok yang saling
silang sengketa mempermasalahkan pluralisme, saya akan berdiri di titik aman.
Bahwa film adalah medium dari media massa yang bisa menghadirkan apapun yang
diinginkan atau yang tidak diinginka oleh masyarakat. Interpretasi akan
bergantung kepada pembaca, anggap saja apa yang dikatakan oleh Barthes benar “The Death of Author”, kematian
pengarang. Anggap Hanung mati, dan anda sebagai pembaca, penonton,
menginterpretasikan apa yang telah dihasilka oleh Hanung.
Akhirnya, selamat menonton dan
mengapresiasi.
21 Maret 2012
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.