Kebutuhan untuk hidup lebih baik, selalu mendesak manusia
untuk maju. Biasanya hal ini akan berhubungan dengan meninggalkan zona
sebelumnya ke dalam zona yang baru. Kalau bisa dikatakan bahwa zona sebelumnya
adalah zona nyaman, maka seorang manusia harus rela meninggalkan zona nyaman
menuju zona ketidaknyamanan guna menggapai kenyamanan yang baru.
Pada diriku sendiri, hal-hal semacam meninggalkan zona
nyaman agaknya terlalu muluk. Sebabnya, diri sendiri tidak tahu apakah suatu
hal menjadi nyaman atau tidak nyaman dibandingkan dengan hal yang lain yang
belum pernah kita lakukan. Apalagi kebanyakan kita selalu terjebak dalam
pekerjaan yang tidak enak.
Dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi, aku harus
membuat keputusan yang harus kupegang teguh. Itulah pikiran saat kutinggalkan
Cenderawasih Pos beberapa hari lalu. Di depan dua direktur koran terbesar di
Papua ini, aku mantap untuk memutuskan resign
dari pekerjaan sekaligus profesi yang penuh dengan pengalaman dan petualangan. Setelah
menghadapi dua direktur tersebut, aku berteriak dalam hati; akhirnya aku bisa
meninggalkan kenyamanan.
Jadilah aku keluar dari kantor yang telah memberikan banyak
perubahan kepada diriku tersebut. Perasaan-perasaan saat meninggalkan pekerjaan
memang moment yang sangat sulit untuk dilukiskan. Ada semacam kekhawatiran
apakah aku akan mendapatkan pekerjaan yang “enak” sebagaimana menjadi jurnalis
di Cenderawasih Pos. Atau apakah aku akan bekerja menjadi jurnalis lagi, atau
apakah aku akan menjadi orang gagal pasca keberanianku untuk pergi dari
pekerjaan yang nyaman.
Semua berkecamuk. Semua orang tentu berkecamuk pikirannya
setelah resign dari pekerjaan yang “enak”. Kehidupan akan menjadi tidak jelas.
Satu-satunya hal jelas ketika aku ditanya tentang apa yang akan aku lakukan
adalah melanjutkan kuliah. Dan jika dalam dua tahun ke depan ditanya, apa yang
kau lakukan? Maka akan kujawab dengan “setengah” bangga, aku sedang kuliah,
Bagi orang seusiaku, bekerja
adalah suatu keharusan. Bekerja menjadi hal yang wajib bagi orang yang
merencanakan kehidupannya ke depan dengan menikah – beranak pinak – lalu
memiliki cucu dan berakhir dengan kematian dikelilingi oleh keluarga besar.
Orang yang tidak bekerja baik, akan merasa malu untuk menikah dengan gadis yang
diimpikannya karena saat ini kehidupan bergerak lurus menuju realitas.
Bahkan jika gadis yang diimpikannya sudah dibutakan oleh
cinta sehingga tidak peduli dengan pekerjaan si lelaki, maka orang tua mana
yang akan merelakan anak yang dibesarkannya itu kepada lelaki yang kerjanya
abal-abal? Orang tua perempuan sekarang lebih realistis dari pada orang tua
jaman dulu. Mungkin karena telah terpengaruh sinetron, dan atau alam bawah
sadarnya sudah termasuki oleh modernisme.
Karena itulah, sangat wajar bila aku harus resah karena
telah meninggalkan pekerjaan menjadi jurnalis ini. Namun demikian, aku merasa
bebas setelah resign dari pekerjaan tersebut. Sempat aku tidur seharian, dari
pukul 12 malam hingga bangun pukul 12 siang. Lalu berleha-leha di kamar kos,
menonton film, makan, keliling Kota Jayapura, nonton film lagi, dan tidur
karena kelelahan secara fisik.
Menganggur, membawa dampak capek yang luar biasa
dibandingkan saat kita capek bekerja. Karena sebagai wartawan di Jayapura,
pekerjaan sudah bermula sejak pukul 08.00 WIT dan berakhir pukul 08.00 WIT.
Mungkin wartawan yang bertugas liputan di kedinasan akan bisa pulang pukul
16.00 WIT sesuai dengan deadline kantor, namun wartawan kriminal, minimal pukul
16.00 WIT baru bisa mengetik dan melampaui deadline kantor. Bekerja seperti
inilah yang sepertinya lelah sekali, namun rupanya tidak lebih capek dari pada
menjadi pengangguran.
Kini, aku sudah melakukan pendaftaran di universitas doktor
sutomo pada program studi ilmu komunikasi. Perkuliahan akan dimulai pada April
2015 ini, sedangkan akhir Maret aku ada perjalanan keliling Asean selama satu
bulan penuh. Kembali lagi ada kekhawatiran, namun hal ini harus kulakukan
karena demi menuju pencapaian “challenge your self” yang kupatrikan sejak
beberapa tahun lalu.
Kini, hidup memang tampaknya lebih mudah. Aku berkeliling
dari Surabaya ke Madura, bertemu dengan orang-orang lama. Agak menggelisahkan
karena aku tidak datang sebagai orang yang sukses besar. Namun dua pertiga
orang akan merasa kagum dengan perjalananku keliling Indonesia, meskipun mereka
juga belum tahu tentang perjalananku keliling Asean. Mungkin mata mereka akan
terbelalak.
Jadi, apakah aku akan bergerak ke kehidupan yang lebih maju
karena dorongan untuk maju yang lebih baik? Entahlah, aku tidak tahu masa
depan. Namun berusaha untuk menuju pada kehidupan yang lebih, akan selalu bisa
diusahakan. Semoga.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.