Intan H Jihane |
Ketika pesawat mendarat di Bandara Juanda Surabaya, perasaanku bercampur aduk. Hal ini tidak seperti pulang dari traveling kepada keluarga dengan happy ending. Aku sadar bahwa tepat tidak tepat, aku telah memutuskan untuk pulang. Kali ini aku masih menyusun rencana guna memantapkan hatiku bahwa kepulanganku adalah suatu keharusan –paling tidak adalah suatu kepatutan.
Hujan deras. Surabaya
meraung dalam kegelapan. Dua tas ransel kupanggul dengan hati-hati karena di
sanalah seluruh kehidupanku selama dua tahun di Papua. Melewati beberapa
petugas yang jaga sembari tersenyum membuat susana menjadi sedikit tenang.
Paling tidak aku tidak mengalami pikiran negatif sehingga menimbulkan
kenegatifan dalam diriku pula.
Di Bandara Juanda rupanya
mirip seperti mall. Ini adalah kedua kalinya aku menginjakkan kaki sini. Saat
berjalan tanpa tujuan ini, ku tatap “warung kopi” Starbuck lalu masuk ke
dalamnya dan mendapati satu mug besar Vanilla Latte dari tangan seorang barista.
Rasanya menyenangkan membayangkan hujan deras di luar lalu di depan kita
tersedia kopi panas campur susu dan aneka rasanya.
Lalu seorang perempuan
yang tampaknya kukenal muncul. Ia bekerja di warung kopi made in amerika ini.
Saat ku tatap ia terus sembari tersenyum, saat itulah ia curiga dan
mencuri-curi pandang ke arahku. Dalam hitungan detik, dia langsung melonjak dan
berseru menyebut namaku sehingga membuat teman kerjanya terperanjat. Dia tidak
tahu bahwa aku terperanjat pula bahwa ia bekerja di sana.
“Eh Mas kok di sini?”
Itu adalah
permulaannya. Karena ia masih bekerja –dan dalam bahasa amerika, seseorang yang
masih jam bekerja harus benar-benar bekerja, maka aku minum latteku sendirian,
bukan di tempat pojokan seperti tahun-tahun lalu. Aku memandangi perempuan yang
telah kukenal beberapa tahun lalu itu, dan ia tidak berubah sama sekali. Namun
perempuan selalu berubah, ia mungkin menyimpan rasa sakit, atau kebahagiaan
yang tidak mudah terungkap begitu saja.
Setelah satu setengah
jam berakhir, ia bergabung dengan mug-nya yang penuh semangat. Tanpa
menawariku, ia telah membawa dua piring besar berisi roti dan “semacam pizza”.
Aku melahapnya meski perutku lebih meronta ingin nasi dan sepotong ayam krispi
made in MC Donald atau AW&W atau KFC atau semacam itu yang berbau kolonial.
Hal pertama yang kita
bahas adalah segala sesuatu tentang kabar. Kabarku baik, kabar dia baik. Lalu
menanyakan teman-teman, dan pengalaman masing-masing selama kira-kira tiga
tahun tidak bertemu. Aku tentu saja bercerita tentang Papua, bagaimana
perjalananku bermula dari Sumatera dan berakhir di Papua. Yang paling akhir
adalah menceritakan alasan-alasan mengapa aku pulang dengan mendadak.
Rupanya ia sudah lama
bekerja di Starbuck Juanda Surabaya ini. Pekerjaannya nyaman dan kelihatannya
teman-temannya pun menyenangkan. Kini ia menjabat sebagai barista, dan ia akan
terus melakukan tes untuk menaikkan jabatannya yang telah ditata dengan apik oleh
perushaaan. Namun beberapa kali ia mencoba, beberapa kali itu pula ia gugur.
Yang Datang dan Yang Pergi
Pekerjaan semacam ini
memang pernah kubayangkan beberapa tahun lalu. Menyuguhi kopi di bandara
tentunya akan bertemu dengan berbagai jenis orang setiap menitnya. Meskipun
bisa kugolongkan bahwa yang masuk ke warung kopi semacam ini dipastikan orang
dengan kondisi keuangan menengah ke atas –dan itu tidak mengapa, karena permasalahan menimpa setiap orang, tidak peduli
kelas bawah atau kelas atas.
Aku membayangkan akan
mampu menuliskan setiap orang yang datang dan pergi setiap harinya. Ikut
merasakan apa yang mereka rasakan berdasarkan cara memegang gelas, mengambil
tempat duduk, cara minum kopi, atau bahkan cara membayar kopi yang dipesannya.
Namun tentu, kalau aku bekerja di sana, yang akan menginspirasiku menulis
adalah pilihan kopi yang dibelinya. Kubuat tanda emosi dan atau hal lainnya
dari masing-masing menu yang ada di dalam warung kopi.
Bahkan cara memegang
gelas temanku ini juga berbeda dengan caraku memegang gelas. Ia menggenggam
mugnya dengan kedua tangan, seakan-akan ditubuhnya sedang mengalir udara dingin
yang hendak dinetralisir dengan kehangatan kopi bikinannya. Selepas menyeruput
kopinya, ia menjadi lebih hangat dan berbahagia. Sementara orang-orang datang
dan pergi, kami masih tetap ngobrol panjang lebar.
Sekali lagi, memandangi
tamu-tamu itu, aku seperti memandangi jiwa temanku ini. Warung kopi seperti
hidup itu sendiri. Ada orang yang selalu datang, dan ada beberapa yang tinggal,
lalu sebagian lagi pergi. Pada hidup temanku ini juga, banyak yang datang dan
pergi. Dan yang pergi, ada yang menyisakan rasa sakit yang mungkin sukar pudar.
Tampaknya kini ia sedang membangun nasib baiknya sendiri.
Sebagai warung kopi,
kita harus menerima siapapun juga yang datang dan merelakan siapapun juga yang
telah pergi. Bahkan suatu ketika, yang telah minum kopi lupa juga membayar tapi
sudah tergesa-gesa pergi. Kita hanya harus mengindeksnya. Memberikan centang
pada seseorang yang datang lalu membayar lebih, dan memberikan tanda X pada
orang yang pergi tanpa mengucap salam.
Dari warung kopimu, belajarlah ikhlas
lalu berbahagia.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.