![]() |
6 Desember 2016 |
Aku merasa telah menyelesaikan pencarianku
terhadap seorang wanita. Dia datang sendiri dengan pesona seorang perempuan
atraktif, humble, dan tentu saja menarik. Jauh berbeda dari perempuan yang ada
dalam keningku; pemikir, filosofis, dengan senyuman misterius. Mengenalnya, aku
sering kali harus menjadi seorang pemuda genit, sekaligus menjadi pria dewasa
untuk menghentikan tingkah kekanak-kanakannya.
Sementara perjalananku terasa masih panjang,
harus terenggut dengan rencana-rencana masa depan bersamanya. Menyenangkan
membayangkan hal-hal seperti itu. Namun seringkali sebelum tidur, aku
meraba-raba ketika suatu saat harus pulang ke kotanya. Akankah aku bisa menjadi
besar dengan cara seperti ini? karena kita sering lebih bebas dengan orang
asing yang tidak mengetahui sejarah kita, lalu membuat sejarah baru
bersama-sama –dari pada kembali pada kota yang mengingatkan akan segalanya,
bersama orang-orang dari masa lalu lagi.
Ya, di kota yang ditinggalinya itu, aku akan
membagi waktu lagi dengan masa laluku. Orang-orang yang kusayangi, orang-orang
yang kubenci, akan hidup lagi. Perjalanan itu, suatu hari nanti, kubayangkan
seperti menyeberangii lorong waktu. Kadang menakutkanku sebagai seorang lelaki
yang menyukai kebebasan, tetapi kadang menantangku, tapi kadang membuatku
menjadi lebih pesimis dari biasanya.
Jika ada orang yang galau seperti ini, aku
lebih sering menyarankannya untuk memutuskan hubungan. Aku bisa kejam karena
aku ingin menjamin setiap orang yang bertanya padaku, bisa mencapai tujuannya
dengan lebih baik dan akhirnya adalah kebahagiaan. Karena ketika orang tidak
berani memilih jalan bahagia mulai dari awal, sangat jarang ia akan bisa
bahagia di akhirnya. Ia akan lebih terbiasa untuk memutuskan sesuatu yang tidak
membahagiakan.
Tetapi memutuskan hal ini bisa sangat
menyakitkan. Aku pernah sekali memutuskan hubungan dengan seseorang yang tidak
punya salah padaku, yang tujuannya baik, dan tentu saja cinta mati denganku;
lalu aku seperti lelaki biadab dengan begitu saja mengucapkan ‘sebaiknya kita
selesaikan’. Hal itu lebih baik, karena aku belum pernah menemuinya sekalipun. Jadi
aku pasti dikutuknya, tapi aku lebih takut bila kebahagiaan tidak bisa diraih
oleh dua orang yang sedang dalam masa paling meragukan waktu itu.
Lalu gerimis seperti menderas dari mataku
sendiri. Mempertaruhkan keyakinan, masa depan, aku tidak muda lagi. Jika ini
terjadi beberapa tahun lalu, jelas kutulis penolakan dengan yakin. Tapi saat
ini, semuanya menjadi abu-abu. Aku seakan-akan menemukan jalanku, menemukan
tempat di mana anak-anakku akan tumbuh dewasa. Lalu seperti masa muda yang
terenggut, ada tempat baru yang wajib aku jelajahi.
Hal yang paling menakutkan adalah beradabtasi
dengan lingkungan baru, tapi orang-orangnya adalah manusia lama yang telah
mendapatkan posisinya di masyarakat. Kenyataannya, aku akan menjadi pemula di tengah
teman-temanku yang mulai mapan, mulai menggenggam tujuan, dan aku meringkih
dari awal lagi. Bukankah ini sesuatu yang menyakitkan? Terutama karena dulu aku
dikenal sebagai sosok tangguh yang tidak mudah menyerah, dengan optimisme
kesuksesan berlebihan.
Mungkin jika kuutarakan kepada perempuan itu,
dia akan dengan tegas menjawab; masa demi aku, kamu gak bisa sukses di sini?
Itu pertanyaan klise, pertanyaan yang menjebak kaum adam untuk menjadi tumbal
percintaan. Betapa berat beban yang harus ditanggung oleh seorang lelaki yang
tidak becus menafkahi keluarganya. Perempuan tidak pernah salah dalam hal ini.
Dan jika kemudian merelakan aku pergi demi cita-citaku sendiri, lalu apakah
jaminan kebahagiaan telah begitu erat terpaut padaku? Rasa-rasanya tidak, dan
dia dengan tempat dari masa lalu itu, pantas untuk ditakhlukkan.
Jadi, kebahagiaan haruslah diusahakan bukan?
Lagipula, sebagaimana yang telah aku ketahui dari perjalananku selama ini,
bahwa hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita bahagia seorang diri. Menikmati
segala keindahan alam, keluasan dadaku, menikmati kebebasan, menikmati
pemikiran-pemikiran; seorang diri, adalah adalah sesuatu yang sakit.
Maka dari itu, sedikit demi sedikit aku harus
yakin dan benar-benar meyakinkan diriku sendiri akan keputusan ini. Aku jauh,
dari siapapun, termasuk kedua orang tuaku yang kadang tidak masuk dalam
pertimbangan disetiap pengambilan keputusanku. Tetapi untuk saat ini,
barangkali yang terbaik adalah memasukkan kedua orang tuaku yang masih hidup
sebagai tujuan terdekat. Aku harus pulang, meskipun aku tahu kesuksesan di
perantauan jauh lebih menggoda.
Maka dari itu, aku telah memutuskan untuk
membenahi cara hidupku yang seorang diri, menuju kehidupan bersama orang lain.
Dari sanalah kami akan menempuh bahagia. Dus, terimakasih telah datang padaku
dengan cara yang paling aneh.
Calon istrinya ya mas??
BalasHapus