2021-11-08

Dilema Informasi di Masa Pandemi


Dua tahun setelah Covid-19 berkunjung dan memastikan dirinya menjadi salah satu hantu yang mematikan, ternyata kita masih gagap menghadapinya. Kita sembrono dan menganggap semuanya akan membaik dengan cepat. New normal yang direncanakan sejak 2020 tampaknya juga gagal. Sekarang kita selalu mengimajinasikan kehidupan normal lama dengan riuhnya pasar, coffee shop, bioskop, dan berwisata tanpa takut berdesakan dengan orang lain. Di mana kesadaran akan normalitas baru? Tidak ada.

Memandang kerumitan Covid-19 ini memang membutuhkan banyak sudut pandang, dan masing-masing memiliki solusinya sendiri. Ketika kami coba mendiskusikan permasalahan ini dengan mahasiswa jurnalistik di perguruan tinggi, kesimpulan dari seluruh masalah ini adalah kegagalan informasi dari komunikator kepada khalayak, termasuk media sebagai media komunikasi dari komunikator kepada khalayak. Komunikator ini bisa jadi pemerintah, bisa juga ahli kesehatan, dan juga seluruh influencer yang memposting informasi Covid-19. Tentu saja hal semacam ini perlu dikaji, terutama dari sudut pandang informasi yang serba dilematis di media digital.

Industri informasi yang dikelola oleh media massa dan disemarakkan oleh media sosial membuat kita mengetahui setiap informasi di penjuru bumi. Sekarang kita bisa mengetahui tempat-tempat paling tersembunyi di dunia, sekaligus mengetahui peningkatan kasus Covid-19, kematian yang mengiringinya, hingga pembatasan kegiatan masyarakat yang menyebabkan chaos di mana-mana. Informasi, sebagaimana sebuah senjata bisa menjadi pelindung paling efektif dari kejahatan, sekaligus sumber kejahatan itu sendiri.

Pandemi memang membuat fisik kita ambruk. Tapi informasi yang mengerikan tentang Covid-19 membuat mental kita lumpuh. Kita menghadapi tantangan yang belum pernah dirasakan oleh manusia sebelum kita: infodemik. Infodemik merupakan wabah informasi yang membanjiri lingkungan kita, baik luring maupun daring. Media online, media sosial, aplikasi pesan instan, hingga percakapan di tempat kerja dan warung kopi, semuanya membahas isu yang sama. Semakin besar informasi menyebar, semakin kita tidak mampu menyaring informasi tersebut.

Ambiguitas Sumber Informasi

Banjir informasi Covid-19 membuat sekelompok orang menyerukan setop membaca berita. Alasannya, berita Covid-19 membuat hidup tidak tenang. Ide diet media (media detox) memang keren dan seolah-olah mampu menyelamatkan mental khalayak umum. Namun sesungguhnya, ada yang berbahaya dari kampanye meninggalkan berita Covid-19. Kita diajak untuk memanipulasi pikiran bahwa tidak ada apa-apa di luar sana. Kita menutup diri dari seluruh kabar buruk padahal kenyataan itu ada. Hal ini dapat membuat kita buta kenyataan, lalu abai terhadap protokol kesehatan.

Informasi yang ada di media massa memang tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak membaca berita bukanlah pilihan yang bijak. Situasi apapun yang kita hadapi, media-media mainstream merupakan rujukan informasi yang paling bisa dipercaya. Kita bisa menghitung beberapa sumber informasi selain media massa, namun tingkat kepercayaan informasinya tentu akan sulit mengimbangi media. Jika jurnal ilmiah kita masukkan sebagai sumber informasi, misalnya, tentu akurat. Tetapi kemampuan jurnal ilmiah untuk update informasi dengan cepat masih kalau jauh dibanding media.

Media sosial kini juga menjadi salah satu sumber informasi utama masyarakat. Padahal dalam berbagai laporan yang diterbitkan Mafindo maupun Kominfo RI, media sosial menjadi sumber hoaks yang paling dominan. Facebook, Twitter, Instagram, dan aplikasi chatting WhatsApps merupakan empat besar pemegang sumber informasi hoaks terbesar. Meskipun media sosial memberikan informasi secara cepat, namun akurasinya sangat buruk. Karena pemilik akun media sosial tidak memiliki pegangan moral maupun institusional untuk menyaring informasi yang hendak disebarkan.

Informasi di media sosial cenderung bebas, tanpa filter, dan tendensius. Kita harus berhati-hati terhadap informasi yang disebarkan oleh keempat media di atas. Namun sayangnya, berbagai sumber statistik menyebutkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia terus membesar. Bahkan awal tahun 2021 ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia menjadi pengguna media sosial. Ini sebuah tantangan yang luar biasa bagi seluruh komponen masyarakat.

Cerdas Konsumsi Informasi

Sebenarnya, Kementrian Komunikasi & Informasi RI, bekerjasama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital, dan Siber Kreasi, telah menerbitkan empat buku literasi digital. Buku ini sedikitnya berisi konsep, problematika, dan strategi yang bisa digunakan untuk memberantas buta literasi masyarakat umum. Selain pembuatan buku, saat ini Kominfo dan Siber Kreasi mengucurkan dana yang besar untuk perluasan literasi digital masyarakat. Hampir setiap hari ada kegiatan literasi digital mulai dari Jakarta hingga Papua secara daring. Kita memang masih belum dapat mengukur tingkat keberhasilannya, tapi setidaknya upaya ini sudah dilakukan.

Membangun masyarakat yang terliterasi tidak dapat dijalankan oleh satu komponen saja. Seluruh warga negara harus berpartisipasi aktif mencerdaskan dirinya sendiri. Dalam buku Digital Culture yang diterbitkan Kominfo RI, ada beberapa kecakapan yang sekarang harus dimiliki warga digital, pertama cakap paham yaitu kemampuan masyarakat untuk memahami setiap informasi yang ada di dunia digital, kedua cakap produksi yaitu masyarakat harus mampu membuat informasi di media digital yang benar dan aman, ketiga cakap distribusi, yaitu kemampuan masyarakat menyebarkan informasi yang sudah terverifikasi dan dapat dipercaya.

Keempat, cakap partisipasi, yaitu masyarakat harus mampu berpartisipasi menjaga konten positif di media digital, dan kelima cakap kolaborasi, masyarakat pada akhirnya dapat bekerja sama untuk menciptakan suatu ruang yang aman dan nyaman di media digital. Kelima kecakapan ini harus dimiliki oleh setiap orang yang mampu membuat konten dan menyebarkannya di media digital. Setiap pengguna media sosial misalnya, harus proaktif untuk menyuarakan kecakapan tersebut sehingga dia bisa mengajak, mengingatkan, hingga meluruskan jika ada konten negatif yang muncul di beranda media sosialnya.

Tentu saja, kecakapan ini tidak akan mudah disebarkan kepada seluruh pengguna platform digital. Perlu keseriusan dari masyarakat dan perlu dukungan dari pemerintah untuk menggerakkan seluruh elemen agar memiliki kecakapan yang serupa. Sekali lagi, informasi yang ada di media massa, media sosial, maupun aplikasi chatting tidak untuk ditakuti. Mari kita baca seluruh informasi dengan kecakapan baru; kecakapan komunikasi di ruang digital. Dengan demikian, terjagalah mental kita dari kepanikan akibat berita Covid-19.

Tulisan ini dimuat oleh Geotimes, link: https://geotimes.id/opini/dilema-informasi-di-masa-pandemi/ 

2021-10-14

Dialektika Kecantikan Perempuan


Dunia sekarang digerakkan oleh kapitalisme. Tesis ini bukanlah sesuatu yang baru, paling tidak sudah ada sejak tahun 1800-an ketika Karl Marx menciptakan teori yang menjadi basis paradigma kritis sampai sekarang. Marx yakin bahawa basic structure kehidupan adalah ekonomi, yang memengaruhi super structure seperti sosial, budaya, politik, bahkan agama. Berdasar pemikiran ini maka semua struktur yang ada di masyarakat hendak menguntungkan kapitalis, dan kemudian melemahkan masyarakat kelas bawah.

Marx memang tidak pernah memikirkan tentang kekuatan media yang akan menjadi pondasi dasar dunia modern seperti sekarang. Sehingga Marx pada dasarnya tidak pernah membincang secara khusus media sebagai alat utama kapitalis untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan kelompok tertentu. Armando (2016:25)[1] mengatakan, baru pada abad ke 20, para pemikir yang melanjutkan gagasan Marx memusatkan perhatian pada media massa, khususnya media massa komersial sebagai sarana pelanggengan kapitalisme yang eksploitatif.

Kita bisa melihat banyak sekali persoalan yang ditimbulkan oleh media massa yang berakibat pada berubahnya pola pikir masyarakat, yang dahsyatnya, berubah bersama-sama dalam satu waktu. Manusia yang beragam menjadi ‘manusia satu dimensi’ –meminjam istilah Herbert Marcuse-, karena disatukan oleh ideologi yang dibentuk oleh media massa. Persoalan umum yang dianggap penting seperti nasionalisme, perdamaian, intelektual, olahraga, dan politik, juga persoalan terpinggirkan seperti rasisme, kekerasan, perempuan, dan makna-makna kehidupan, semua dibentuk oleh media massa.

Proses penciptaan makna oleh media massa ini telah berjalan lama dengan satu konsistensi; menguntungkan kapitalisme, sehingga merugikan pihak yang biasanya tersubordinasi. Penciptaan makna perempuan, misalnya, memiliki sejarah panjang yang berubah-ubah, tidak masuk akal, hipermakna, dan jauh dari pengertian sehari-hari masyarakat penggunanya. Berdasarkan banyak penelitian akademik, media massa selalu memosisikan perempuan sebagai obyek, termarjinalisasi, penuh stereotip, dan selalu menjadi korban kekerasan baik fisik maupun mental.

Untuk memahami makna perempuan secara utuh, kita harus mau bersusah-payah melacak sejarah ‘perempuan cantik’ sebagaimana metode yang dilakukan Nietzche maupun Foucault untuk menilik satu pengertian dari kosa kata yang sudah dimapankan artinya. Nietzche terkenal dengan pelacakannya atas asal-usul moral dan tragedi dalam masyarakat, sedangkan Foucault merunut makna seks dan penjara dari masa pra modern hingga kontemporer. Mereka berdua menemukan makna yang berubah-ubah dari setiap zaman sehingga bisa disimpulkan bahwa kebenaran dibentuk oleh penguasa untuk mengontrol masyarakat dan melanggengkan sistem kekuasaan.

Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengupas penciptaan makna perempuan oleh media massa yang tanpa dasar. Pertama kita bisa melihat makna perempuan cantik dalam berbagai zaman. Asal-usul kecantikan ini akan menguak bagaimana kecantikan sebenarnya konstruksi zaman tertentu yang akan berubah jika ada kepentingan lain yang tidak sesuai dengan makna yang telah ada. Kedua, cantik bagi perempuan bisa dilacak dari penggunaan istilah tersebut antar budaya yang ada di dunia. Mengetahui makna yang berbeda ini akan membuat perpektif kecantikan yang sesuai dengan pemaknaan masyarakat penggunanya, bukan ditentukan oleh lembaga luar seperti media massa.

Evolusi Kecantikan

Kajian tentang evolusi kecantikan dari masa ke masa tidak berkembang di Indonesia karena bangsa ini lebih suka mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dalam banyak hal, sesuatu dianggap berharga dan bernilai tinggi karena kaitannya dengan produk oriental. Karena itu banyak meme tentang harga black coffee jauh lebih mahal dibanding kopi, fried rice lebih mahal dibanding nasi goreng, dan ayam bangkok lebih mahal dibanding ayam kampung. Maka jangan heran, perempuan Indonesia hasil keturunan silang dengan luar negeri selalu memiliki nilai tawar tinggi karena dianggap lebih ‘cantik’ dibandingkan dengan perempuan asli keturunan Indonesia.

Karena itu kita hanya dapat melacak sejarah kecantikan yang tidak masuk akal ini dari dunia barat. Kita bisa mulai dari seorang filosof tersohor dan ahli matematika, Pytaghoras (570 – 495 SM), yang mendefinisikan kecantikan dengan logika matematis. Karena zaman itu, matematika menjadi dasar dari segala sesuatu, bahkan entitas abstrak bisa dianggap ada dan pasti ketika dapat dibuktikan dengan dalil matematika. Nahai (2014) mengatakan bahwa Pythagoras believed that beauty was intertwined with static mathematical principles of symmetry and proportion.[2] Seseorang dikatakan cantik, dengan bahasa lain adalah ‘sempurna’ jika wajahnya simetris dan sesuai proporsional wajahnya.

Definisi kecantikan yang diutarakan Pythagoras memang masuk akal karena simetris tampak indah dan menawan. Memiliki wajah atau tubuh yang asimetris bisa menjadi sumber ketidakpercayaan diri yang bahkan bisa menimbulkan ketidakterimaan terhadap kediriannya. Definisi yang dipaksakan oleh orang lain, atau ororitas lain seperti tokoh penting atau media massa terhadap tubuh individu memang berbahaya. Selain definisi Pythagoras, kita bisa mendapatkan makna lain atas kecantikan yang sangat jauh berbeda dengan yang dibentuk media massa saat ini.

Seperti yang ditulis oleh Jacqueline Howard untuk CNN[3] tentang sejarah kecantikan pada masa prasejarah hingga kontemporer. Ia mengungkap adanya sculpture (patung) ‘Venus Figurines’ dan termasuk di dalamnya juga ‘Venus Willendorf’ yang ditemukan pada tahun 1908 di Willendorf, Austria, yang merepresentasikan kecantikan perempuan sebagai tubuh seperti buah pir, menggelambir, dan bisa diistilahkan dengan ‘gemuk’. Patung lain yang juga fenomenal adalah ‘Venus de Milo’ yang digambarkan sebagai ‘Dewi Aphrodite’, yaitu Dewi Cinta dan Kecantikan yang menggambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki banyak lekukan, tubuh besar dan pendek.

Penggambaran cantik yang berbeda-beda ini terus berlangsung, terutama dilakukan oleh beberapa seniman yang berhasil membawa konsep-konsep baru terhadap kecantikan. Karena itu ada istilah cantik versi ‘Rubenerque’, yakni cantik ala pelukis Peter Paul Rubens yang direpresentasikan dengan plump or rounded (montok dan bulat) yang tampak dalam lukisan-lukisannya. Ada pula kecantikan ‘Gadis Gibson’ yang jangkung, kelas atas, berpendidikan, bahkan bisa berkompetisi dengan lelaki yang merupakan hasil dari representasi lukisan Charles Dana Gibson (lihat Palso, 2001)[4]. Lalu pelukis terkenal seperti Matisse dan Picsasso juga menciptakan trend kecantikannya sendiri yang diamini banyak orang.

Di bawah ini adalah tabel penggambaran kecantikan yang harus dimiliki perempuan dari masa ke masa, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa kecantikan merupakan konstruksi yang lebih banyak merusak dari pada memberikan kebaikan. Karena tabel ini juga mengindikasikan adanya inkonsistensi makna kecantikan sehingga seseorang, baik perempuan maupun laki-laki, menggunakan standar semu dalam memandang kecantikan orang lain. Sumber tabel ini adalah sebuah video berdurasi 3.10 menit yang dibuat oleh Eugene Lee Yang, Mark Celestino, dan Kari Koeppel (2015)[5] untuk Buzzfeed yang diunggah di Youtube dan ditonton lebih dari 46 juta manusia.

Age of History

Beauty Standards

Model & Describing

Ancient Egypt (1292 – 1069 BC)

Slender, Narrow Shoulders, High Waist, Symmetrical Face

Queen Nevertiti

‘Women in ancient Egypt enjoyed many freedoms that would take thousands of years for women to enjoy again. Ancient Egyptian society was sex-positive, and premarital sex was entirely acceptable’

Ancient Greece (500 – 300 BC)

Plump, Full-Bodied, Light Skin

Aphrodite of Cnidus, Male-centric

‘Ancient Greece worshiped the male form, going so far as to proclaim that women’s bodies were ‘disfigured’ versions of men’

Han Dynasty (206 BC – 220 AD)

Slim Waist, Pale Skin, Large Eyes, Small Feet

Chinese Painting

‘During the Han Dynasty, Chinese culture favored slim women with long black hair, white teeth and red lips’

Italian Renaissance (1400 – 1700 AD)

Ample Bosom, Rounded Stomach, Full Hips, Fair Skin

Women Figures in the Raphael’s Painting

‘During the Italian Renaissance, it was the wife’s duty to reflect her husband’s status, both in behavior and outward appearance.

Victorian England (1837 – 1901 AD)

Desirably Plump, Full-figured, Cinched-waist

Hourglass Body

‘The era of the corset. In this time period, women cinched their waists with tight-fitting undergarments to give the perception of the desirable hourglass figure’

Roaring Twenties (1920s AD)

Flat Chest, Downplayed Waist, Short Bob Hairstyle, Boyish Figure

Androgynus Look

‘Beauty in the 1920s featured an androgynous look for women– they wore bras that flattened their chest and wore clothing that gave them a curve-less look’ (Vanessa, 2015)[6]

Golden Age of Hollywood (1930-1950s)

Curves, Hourglass Figure, Large Breasts, Slim Waist

Marlyn Monroe

‘During the golden age of hollywood, the hays code establishing moral parameters regarding what could or couldn’t be said, shown, or implied in film, and limited the types of roles available to women, creating an idealized version of women’

Swinging Sixties (1960s)

Willowy, Thin, Long, slim Legs, Adolescent Physique

 

The Beatles, Twiggy, etc.

‘Swinging London had a profound influence throughout the western world and helped usher miniskirts and A-line shapes into fashion. These fashions were best modeled by Twiggy, whose slender frame changed the ideal body type from curvy to tall and thin’

Supermodel Era (1980s)

Athletic, Svelte, but Curvy, Tall, Toned Arms

Cindy Crawford, Elle Macpherson, etc

‘This time period brought about an exercise-crazed phenomenon. Workout videos were all the rage, encouraging women to be thin, but also fit’ (

Heroin Chic (1990s)

Waifish, Extremely Thin, Translucent Skin, Androgynous

Kate Moss, - a nihilistic vision of beauty-

‘After the materialism and overexertion of the 1980s, fashion swung the other way. Thin, withdrawn, and pale, Kate Moss typified the heroin chic look in the 1990s’

Postmodern Beauty (2000s – Today)

Flat Stomach, ‘Healthy’ Skinny, Large Breasts + Butt, Thigh Gap

Kim Kardashian

‘Women in the 2000s have been bombarded with so many different requirements of attractiveness. Women should be skinny, but healthy; they should have large breasts and a large butt, but a flat stomach.’

Tabel 1. Evolusi kecantikan dari zaman ke zaman

Makna perempuan cantik yang terus berubah merupakan bukti bahwa dunia sedang berdialektika. Istilah dialektika pertama kali digunakan oleh Socrates sebagai metode pengungkapan filsafat melalui dialog. Tetapi istilah dialektika yang dimaksud dalam tulisan ini lebih condong ke penggunaan G.W.F Hegel yang menjelaskan dialektika sebagai ‘all ‘things’ are actually processes, that these processes are in constant motion, or development, and that this development is driven by the tension created by two interrelated opposites acting in contradiction with each other’ (Au, 2007, dalam Dybicz dan Pyles, 2011).[7]

Bahwa dunia ini bergerak oleh dua kutub saling berlawanan, yang pada akhirnya akan menghasilkan satu konsep yang mengharmoniskan dua kutub tersebut. Istilahnya : tesis, antithesis, dan sintesis. Tesis adalah satu konsep baru yang dimunculkan untuk menjawab pertanyaan terhadap dunia ini atau suatu simpulan terhadap permasalahan yang ada. Tesis ini bukanlah suatu kebenaran absolut sehingga akan melahirkan antithesis, yang merupakan reaksi bertolakbelakang terhadap tesis itu. Tesis dan antithesis akan terus bergumul untuk menemukan kebenaran atau jawaban baru : sintesis.

Uniknya dalam dialektika, sintesis akan digunakan manusia untuk memahami kondisi tertentu dari kehidupan sehingga sintesis menjadi sebuah tesis baru. Tesis baru menimbulkan reaksi dari antitesis lalu lahir kembali sintesis. Tesis-antitesis-sintesis ini bisa dipakai untuk menganalogikan makna kecantikan yang terus-menerus mengalami perubahan (berdialektika) dan suatu saat akan menemukan sintesisnya. Masalahnya sekarang, sejarah makna cantik ini berevoluasi dan diproduksi karena tujuan kapitalistik. Karena itu dapat diprediksi bahwa apapun yang terjadi, tesis-antitesis-sintesis kecantikan akan selalu kembali pada keuntungan industri, bukan keuntungan pemilik ‘body’.

Kita mulai dengan melihat perempuan cantik dalam sejarah pertama, yang direpresentasikan oleh Ratu Nevertiti, sehingga siapapun yang tidak memiliki ciri fisik seperti sang ratu maka dia tidak cantik. Pelan-pelan, kecantikan direpresentasikan dalam berbagai cara -memalukan dan menyakitkan- berdasarkan kesenangan para pelukis dan pematung, lalu ditentukan oleh model dan majalah, dan terakhir ditentukan oleh produk-produk kecantikan yang menciptakan kebutuhan terhadap kosmetik. Meskipun sejarah kecantikan berdialektika dengan lingkungan ekonomi-sosialnya, namun tetap saja bisa dikatakan sebagai tidak ada perubahan yang berarti.

Perempuan tetap menjadi obyek, dan perempuan cantik adalah obyek yang mahal. Ada satu garis yang tidak pernah putus terkait makna cantik yang disandangkan kepada perempuan, yaitu kecantikan itu tidak pernah tercipta dari kesadaran mendalam terhadap makna perempuan. Cantik adalah hal fisik yang bisa diperjual-belikan. Dialektika yang terjadi terhadap makna kecantikan berjalan statis, tidak mengalir, bukan berproses menuju sesuatu yang baru, bahkan tidak menuju kecantikan yang membebaskan. Perempuan akan terus terjebak dalam makna bias ini lalu melahirkan rasa rendah diri lalu menyakiti diri melalui metode-metode operasi plastik.

Operasi plastik merupakan salah satu kondisi riil dunia ini yang hendak melawan tuhan dan alam. Ilmu pengetahuan, yang menurut Foucault bersanding dengan kekuasaan, akhirnya betul-betul melahirkan kuasa mengubah struktur tubuh perempuan untuk menjadi ‘seakan-akan’ seperti yang diinginkan, padahal maksudnya adalah ‘menjadi seperti yang diiklankan’. Modernitas menghasilkan industri, industri menghasilkan teknologi, dan teknologi menjajah manusia. Penjajahan manusia kembali pada fisik, bedanya, jika masa lalu menghasilkan penolakan, maka penjajahan masa kini menghadirkan penghambaan suka rela.

Meningkatnya prosedur operasi kecantikan yang dijalani oleh perempuan dari tahun ke tahun merupakan bukti bahwa industri kecantikan sudah berhasil memperdaya perempuan secara langsung. Jangan lupa, laki-laki juga telah diperdaya secara tidak langsung tentang ‘perempuan cantik’ dengan menciptakan versi kecantikan yang menimbulkan fantasi kepada laki-laki. Saat ini laki-laki pun mengamini bahwa cantik adalah perempuan yang seperti lenggak-lenggok bintang iklan. Data-data di bawah ini menambah kelam pemaknaan kecantikan yang ambigu, palsu, dan menenggelamkan setiap manusia ke lubang rendah diri yang akut.

Pada tahun 2016[8], The International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) melakukan survei terhadap 35.000 ahli bedah plastik yang masuk dalam database-nya, dan menemukan bahwa 86% lebih konsumen bedah plastik adalah perempuan, yaitu sebanyak 20,362,655 orang, dan laki-laki sebanyak 13% dengan total 3,264,254 konsumen. Dari data ISAPS tersebut, 15,8% dari total perempuan yang melakukan operasi plastik adalah membesarkan payudara (breast augmentation), yang memang dari tahun ke tahun bertengger di nomor satu. Disusul 14% adalah sedot lemak (liposuction) yakni prosedur operasi yang bertujuan menghilangkan kelebihan lemak.

Ini menunjukkan bahwa mitos kecantikan yang dibangun media massa berhasil menggerakkan budaya operasi plastik demi mendapatkan tubuh ‘ideal’ versi iklan, yaitu tubuh langsing dan memiliki payudara besar. Kondisi ini jangan dilihat dari perspektif ilmu kedokteran yang telah berhasil menciptakan inovasi di bidang operasi plastik sehingga bisa mengubah bentuk fisik manusia dengan presisi. Lebih dari itu, motivasi pasien yang menjalani operasi plastik harus dibetulkan, karena mereka sebenarnya korban dari kekerasan mental yang selama ini didialektiskan (baca: didiktekan) oleh iklan dan media massa.

Pada masa ini, kesadaran akan kecantikan yang dibentuk sejak kecil sebagai ‘kecantikan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran’ tidak akan dipercaya lagi. Bisa jadi kita percaya saat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi ketika kita dalam kondisi biasa saja atau mampu melakukan apa saja, maka bentuk-bentuk kecantikan yang telah didiktekan oleh media massa menjadi pilihan. Orang yang tidak bisa melakukan operasi plastik akan menganggap bahwa tindakan itu hanyalah pemborosan dan perbuatan terlarang karena mengubah bentuk yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Bagi orang yang dikaruniai kemampuan melakukan operasi plasti, tentu saja memiliki alasan tersendiri : untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Kebutuhan Palsu dan Kebutuhan Meredefinisi Kecantikan

Harus diketahui bahwa di setiap sejarah kecantikan itu selalu muncul dari momen kapitalistik karena hubungannya yang jelas pada keuntungan ekonomi. Standar kecantikan buatan yang tidak dimiliki oleh setiap perempuan dimanfaatkan dan diolah sedemikian rupa oleh media massa sehingga menciptakan kebutuhan palsu. Bayangkan, siapa di sekitar kita ini memiliki kecantikan ala pos-modern yang direpresentasikan oleh Kim Kardashian yang flat stomach, large breast & butt? Meskipun produk yang diiklankan ini tidak bisa dipercaya untuk membentuk kecantikan seperti standar iklan, tetapi perempuan terlanjur percaya lalu membeli produk tersebut.

Kondisi di atas adalah masalah yang harus diselesaikan oleh seluruh ras manusia yang masih waras dan menginginkan perubahan yang baik bagi semua. Tetapi masalah sesungguhnya sering muncul dari diri kita dalam kehidupan sehari-hari, bahkan muncul juga dari seorang dosen komunikasi yang mengajar public relations. Banyak ditemukan model pengajaran public relations yang mengharuskan mahasiswanya menggunakan baju hem putih, jas dan berdasi bagi laki-laki, dan blazer serta rok selutut bagi perempuan. Realitas ini merupakan ritual kebodohan yang dilakukan sepanjang tahun, serta menandakan pemujaan terhadap hal-hal yang berbau permukaan: pakaian rapi lambang kesuksesan.

Semua orang tanpa terkecuali harus memahami bahwa kita telah ditekan sedemikian rupa oleh modernisme sehingga memiliki pandangan yang sama terhadap segala sesuatu. Senin-Jumat sebagian besar manusia digerakkan menuju kantornya masing-masing dan bekerja hingga suntuk. Sabtu-Minggu seluruh manusia digerakkan oleh motif liburan yang sama, dengan tujuan ke lokasi wisata yang sama : pantai, gunung, taman rekreasi, kebun buah, hotel, kafe, bioskop, dan liburan sampai mabuk. Saat lapar pun demikian, kita dirapatkan barisan antri di McDonald, KFC, Pizza Hut, jangan lupa Go Food, lalu bersama-sama mengagumi iklan sabun, iklan shampoo, iklan bedak, iklan kondom, yang semuanya menampilkan perempuan dengan standar yang sama.



[1] Armando, Ade. 2016. Televisi di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta: Kompas

[2] Nahai, Foad. 2014. Evolutionary Beauty. Aesthetic Surgery Journal. Vol 34 (3) 469-471

[3] Howard, Jacqueline. 2018. The History of the Ideal Woman and Where that has Left Us. viewed on 2 September 2018 at https://edition.cnn.com/2018/03/07/health/body-image-history-of-beauty-explainer-intl/index.html

[4] Palso, Jenifer Raina-Joy. 2001. Faces of Feminism: The Gibson Girl and the Held Flapper in Early Tweentieth-Century Mass Culture. Presented to the American Culture Faculty at the University of Michigan-Flint.

[5] https://youtu.be/Xrp0zJZu0a4

[6] Vanessa. 2015. Ideal Body Types Throughout History. Viewed 4 September 2018 at https://www.scienceofpeople.com/ideal-body-types-throughout-history/

[7] Dybicz, Philip & Pyles, Loretta. 2011. The Dialectic Method : Critical and Postmodern Alternative to be Scientic Mehtod. Journal Advances in Social Work Vol 12 (2) 301-317

[8] International Society of Aesthetic Plastic Surgery. 2016. Global Aesthetic Survey ‘Demand for Cosmetic Surgery Procedures Around the World Continues to Skyrocket – Usa, Brazil, Japan, Italy and Mexico Ranked in the Top Five Countries’. USA : ISAPS

2021-07-23

Sesat Paham “Stop Baca Berita Covid-19”


Virus corona yang melanda dunia membuat kita panik. Namun panik ini seharusnya tidak membuat manusia menjadi bebal. Berbagai kepanikan yang kita alami sudah cukup membahayakan. Kita masih mengingat panic buying awal tahun 2020 yang membuat kebutuhan pokok sulit dicari. Kita juga mengingat kelangkaan masker padahal masker merupakan salah satu kebutuhan primer di kala pandemi. Sekarang muncul lagi kepanikan membaca berita Covid-19, lalu menyerukan agar masyarakat berhenti membaca berita. Kepanikan terakhir ini menyesatkan dan sudah keterlaluan. Kita harus mengatasi kebebalan ini bersama-sama dengan sebuah pemahaman, bukan hujatan.

Panic attact yang dialami masyarakat Indonesia memang lebih banyak disebabkan oleh banjirnya informasi pandemi Covid-19. Kita tidak menutup kenyataan ini; media massa dan media sosial penuh dengan berita tentang kematian, oksigen habis, konflik antara masyarakat dan Satpol PP, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Namun tentu saja, media massa tidak serta merta bersalah lalu seruan berhenti membaca berita menjadi benar. Kita perlu melihat, masyarakat sebagai konsumen informasi juga bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, termasuk bertanggung jawab terhadap Kesehatan mental orang lain.

Tulisan ini, berkeinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum bahwa media massa bukanlah media sosial yang sering menjadi sumber pemicu hoaks. Media sosial dikelola individu dan tidak ada penyaring informasi yang kredibel. Bahkan, media sosial bisa jadi hanya mengutip sebagian, cropping atau sharescreen pada bagian-bagian tertentu pemberitaan media. Karena itu, pikiran masyarakat akhirnya buntu, informasi meluas namun menyesatkan, dan kita begitu saja percaya dengan sebaran informasi di media sosial. Jadi, kita perlu memahami fenomena banjir informasi ini lalu menimbang keputusan apa yang tepat bagi kita.

Media Massa VS Media Sosial

Pengetahuan kita terbatas. Media massa yang melaksanakan kerja-kerja jurnalistik membuat pengetahuan kita meluas dan mendalam. Terlepas dari debat baik-buruknya media di Indonesia, kita dapat menggarisbawahi, bahwa media massa masihlah merupakan satu-satunya sumber terpercaya untuk mengetahui informasi di sekitar kita. Ada beberapa alasan mengapa kita masih harus percaya dengan media massa dibanding sumber anonym di internet maupun sumber personal di media sosial. Pertama, media massa memiliki regulasi berdasarkan undang-undang dan kode etik yang harus dipatuhi. Regulasi ini tidak mungkin diabaikan begitu saja oleh media massa.

Kedua, media massa memiliki tanggung jawab moral dan finansial terhadap pembaca. Tanggung jawab moral berarti media massa harus menyajikan berita yang benar dan terpercaya, tanggung jawab finansial karena pembaca yang setia akan mampu menarik iklan ke media massa tersebut. Ketiga, jurnalis dalam bekerja selalu diikat dalam kode etik. Baik dalam tindakan sendiri-sendiri maupun kolektif, jurnalis tidak bisa lepas dari etika tersebut. Bahkan jurnalis juga diikat dalam organisasi profesi yang di dalamnya para jurnalis saling mendorong untuk mematuhi kode etik tersebut. 

Keempat, dalam proses peliputan hingga publikasi informasi, media massa diawasi oleh masyarakat luas. Khalayak yang setiap hari membaca, menonton, dan mendengarkan berita ini menjadi komunitas luas yang turut menjamin kualitas media massa. Keempat hal tersebut, ditambah dengan adanya proses ketat penyaringan informasi oleh gatekeeper -biasanya redaktur dan pimpinan redaksi yang bertanggung jawab- menjadi alasan media massa masihlah lembaga terpercaya. Ya, sekali lagi, meskipun etika jurnalistik tidak seratus persen dilakukan ketika peliputan hingga pertimbangan publikasi informasi. Namun setidaknya beberapa hal di atas patut dipertimbangkan untuk mempercayai media.

Berbeda dengan media massa, media sosial beserta seluruh aplikasi pesan instan yang sekarang kita gunakan tidak memiliki kompetensi tersebut. Media sosial dikelola oleh perorangan dan kelompok yang memiliki tendensi tertentu tanpa takut postingan itu akan dihujat. Apalagi tidak ada hukum yang mengikat secara ketat bagaimana mereka harus berbicara di ruang bebas tersebut. Jikapun ada UU ITE yang sering dianggap mengancam kebebasan berpendapat, kenyataannya tidak semua orang yang bicara kotor dan menyesatkan di media sosial akan terjangkau UU tersebut.

Kekacauan Literasi

Problem utama dari seruan ‘stop membaca berita covid-19” ini adalah karena masyarakat sulit membedakan postingan media sosial dan publikasi di media massa. Banyak sekali potongan berita di media massa, cuplikan video dari berita televisi, yang dicomot begitu saja lalu disebar melalui media sosial. Tentu, narasi yang dibangun oleh media sosial kebanyakan berbeda dengan isi berita sesungguhnya. Kondisi ini didukung oleh kemalasan masyarakat umum untuk langsung membaca atau menonton berita dari sumber utamanya. Mereka biasanya percaya begitu saja apa yang disebarkan oleh pengguna media sosial.

Media sosial di sisi lain juga menyesatkan karena munculnya echo chamber atau filter bubble. Echo chamber merupakan analogi bahwa yang bergema di ruang kosong adalah suara kita sendiri. Sedangkan filter bubble merupakan analogi bahwa kita disatukan oleh gelembung pemikiran yang sama, dan tidak menoleransi orang yang berbeda pemikiran. Artinya, ruang lingkup pertemanan kita biasanya orang-orang yang memiliki pikiran yang sama. Ini merupakan jebakan media sosial. Sudah sering kita melihat para pengguna media sosial saling memblock, unfollow, dan unfriend gara-gara berbeda pilihan politik, gara-gara tidak suka terhadap status tentang agama, bahkan karena beda klub sepak bola.

Berhenti membaca berita bukanlah sebuah solusi yang bijak. Apalagi berita ini tentang Covid-19 yang nyata-nyata sedang mengisolasi kita agar selalu berada di rumah. Informasi di media menyediakan seperangkat pengetahuan kepada kita untuk menghadapi Covid-19, sedangkan media sosial memutarbaliknya menjadi pengetahuan yang menyesatkan. Sebagaimana tanggapan banyak pegiat anti hoaks, musuh utama kita bukanlah informasi tentang Covid-19, tetapi hoaks tentang Covid-19. Karena itu, sudah waktunya masyarakat luas menyadari pentingnya memahami pesan-pesan di media, mampu memilihnya, dan menyaring setiap informasi sebelum dipercaya dan disebarluaskan.

Fathul Qorib, mantan wartawan yang sekarang menjadi staf pengajar dan peneliti media pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang.


2021-02-08

Infodemik; Kebangkitan Teknologi dan Kejatuhan Manusia


Coronavirus disease-2019 (COVID-19) telah menjadi topik paling dinantikan pada awal tahun 2020, lalu berubah menjadi informasi yang paling menjemukan di pertengahan tahun. Pada permulaan kita semua membutuhkan informasi untuk memenuhi sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu. Apalagi COVID-19 bukan persoalan sepele. Wabah ini bisa jadi merupakan peristiwa paling berdampak kepada manusia selama abad 21. Kecelakaan kendaraan di jalan raya, kasus bunuh diri, sulitnya akses pendidikan di Indonesia, atau korupsi yang hampir tidak mungkin diberantas, telah tenggelam dalam riuh informasi COVID-19.

Semua media massa, media sosial, pembicaraan antar teman di instan messenger, obrolan di bus kota, keluarga kecil di desa, hingga omongan bapak-bapak bersarung di warung kopi, berubah. Di kalangan perguruan tinggi, seminar ilmiah tentang tata negara dan keilmuan sosial berubah menjadi diskusi tentang COVID-19 yang dibedah dalam berbagai sudut pandang; paling banyak menyoroti komunikasi publik pemerintah Indonesia yang buruk. Informasi tentang virus yang muncul pertama kali di Wuhan, China, ini mengalahkan seluruh nasib buruk yang pernah kita alami. Dipandang dari sudut pandang religious hingga scientific, kita tetap harus mematuhi pemerintah guna menanggulangi wabah menular tersebut.

Seluruh kepanikan yang ditimbulkan oleh virus corona sebenarnya bisa dilacak dari kehadiran media informasi yang masuk dalam ruang-ruang pribadi individu. Wabah sebelumnya yang menyebar dan sama-sama mematikan tidak memiliki kehebohan yang sama sebagaimana COVID-19. Apalagi corona tidak hanya menyebar tahun 2020 ini tetapi juga pernah menyerang dunia satu dekade sebelumnya, misalkan SARS pada tahun 2002-2003 di China dan MERS pada tahun 2012 di Timur Tengah. Kasusnya jelas sama-sama mematikan dan menimbulkan ribuan korban tetapi tingkat ketakutan menghadapi virus ini tidak pernah seheboh COVID-19.

Keputusan/kebijakan pemerintah yang melibatkan publik saat ini harus dikaji dengan hati-hati. Transportasi dikoreksi habis-habisan agar tidak menjadi penghantar virus ke berbagai daerah di Indonesia. Penerbangan dihentikan, kereta tidak beroperasi, bus dan angkutan umum lainnya mandeg. Bahkan armada online yang sudah bertahun-tahun melayani kepentingan masyarakat umum juga tidak diperbolehkan mengangkut penumpang. Tempat-tempat umum ditutup, lokasi wisata dan perhotelan juga terkena imbas dari menyebarnya COVID-19 ke seluruh Indonesia. Bahkan saat ini, ketika new normal digulirkan, kehidupan tidak sama lagi seperti dulu.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Pertama-tama mungkin yang paling jelas adalah karena COVID-19 saat ini memang berbeda. Ada bahaya besar yang akan terjadi jika badan kesehatan dunia dan pemerintah tidak segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan umat manusia. Ketika pertama kali mencuat, COVID-19 memang menjadi bahan tertawaan oleh pemerintah Indonesia. Tidak ada upaya yang serius untuk mencegah masuknya COVID-19 ke Indonesia melalui jalur penerbangan. Padahal berbagai penelitian sudah mengungkapkan bahwa traveling antar negara menjadi salah satu penyebar virus ini paling cepat. Tetapi penerbangan di Indonesia terlambat tutup hingga kasus import case COVID-19 pertama muncul di Depok. Barulah kita kalang kabut.

Seluruh cerita ini sudah berulang kali dipaparkan di media maupun oleh akademisi di berbagai webinar. Tetapi cerita ini bukanlah intinya. Kita masih harus mencari mengapa cerita ini bisa kita dapat dalam waktu sekejap dan menjadi bahan gunjingan seluruh warga masyarakat dalam satu waktu. Jawabannya mungkin tidak dapat dapat dipastikan sebagaimana ilmu eksak, tetapi kita dapat memperkirakannya dengan bantuan data; bahwa media massa dan media sosial-lah yang menjadi penyebab utamanya. Media massa sejak awal bertugas memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat sehingga pekerjaannya tidak patut mendapatkan cemoohan –kecuali dikerjakan secara serampangan. Diskusi paling menarik tentu saja tentang media sosial, dan dari sanalah kita dapat mengetahui seluruh kekacauan ini.

Kebangkitan Teknologi

Saat ini manusia tidak bisa hidup puas tanpa bantuan teknologi. Kepuasan kita terhadap berbagai produk modernisme tidak datang begitu saja; ia diciptakan dari keberulangan –redudancy- yang hampir datang setiap menit dalam kehidupan manusia. Lalu kita merasa tiba-tiba mencintai lotion yang membuat kulit memutih, tidak dapat mengucapkan cinta kalau tidak punya uang untuk coklat dan bucket bunga, bahkan kebahagiaan dapat terenggut saat promo di Shopee dan Lazada terlewatkan. Kehidupan kita bermula dari bangun tidur, memandang jam dinding guna memeriksa waktu kerja, gawai di genggaman untuk mengetahui peergroup WhatsApp kita sedang membicarakan apa, lalu push email muncul mengingatkan webinar, dan kita harus berselancar bersama smartphone selama 10 jam ke depan.

Bayangkan, kehidupan yang kita ciptaan ini memiliki sebuah awal mula; orang tua kita yang bangun dini hari tanpa tahu jam berapa saat itu, lalu berangkat ke sawah dan kebun, istirahat ketika matahari di ubun-ubun, lalu pulang membawa jagung dan ketela. Malam hari anak-anak berangkat mengaji dan sepulangnya mereka bercengkerama –kadang juga ada drama diantara mereka. Saya tidak mengatakan, masa lalu yang tradisional lebih baik dari masa modern, begitu juga sebaliknya modernitas juga tidak terlalu baik untuk dijadikan pegangan. Saya ingin menunjukkan sebuah keterputusan antara tahun 2020 dengan tahun 1990, antara kehidupan di kota dengan di desa. Konsekuensinya memang luar biasa, bahwa kehidupan kita berubah cepat tanpa terasa.

Jika menengok di masa lampau, kita akan tersihir dengan cepatnya dunia berubah terutama sejak Johan Guternberg menemukan mesin cetak di Jerman tahun 1440. Seketika orang-orang melek huruf dan manusia akhirnya mampu menjadi masyarakat ilmiah yang dapat menciptakan berbagai mesin untuk memudahkan manusia dalam kehidupannya. Revolusi pengetahuan pun terjadi dengan perputaran informasi yang semakin cepat ditukar dari manusia satu ke manusia yang lain. Buku dan surat kabar merambah ke kaum terpelajar, radio menyusulnya dengan informasi sekilas yang memanjakan pendengar, lalu televisi mengubah lanskap media yang dapat memengaruhi persepsi penonton seperti sihir. Sekarang kita menyatu ke sebuah ruang maya dimana individualitas melebur, gengsi dan strata kelas terhapus; semuanya menjadi satu warga, warga global.

Akses internet kini menjadi salah satu kebutuhan yang tidak terelakkan bagi umat manusia. Seluruh orang terkoneksi dalam satu jaringan nirkabel terbesar yang tidak pernah dibayangkan Plato dan Aristoteles. Pengiriman gambar dan video dapat dilakukan secepat jari menjentik. Pertemuan-pertemuan ilmiah, perjumpaan dengan teman lama, hingga aktivitas yang sakral semacam upacara pernikahan dan idul fitri, dilakukan secara daring. Selain revolusi teknologi, COVID-19 juga menyebabkan revolusi kehidupan sosial. Budaya salam-salaman yang identik dengan orang Jawa dan sekitarnya berganti dengan tutup tangan dan hanya menyapa dari jarak jauh. Kondisi ini tentu sangat sulit dinalar jika tidak ada perubahan besar yang disebabkan oleh COVID-19.

Seluruh aktivitas kita saat ini terekam dalam status dan story media sosial yang seringkali tak dapat dikendalikan. Hampir setiap detik kita berhubung melihat handphone dengan harapan ada orang yang berkirim pesan atau bertanya kabar. Seseorang yang duduk di stasiun kereta sendirian seringkali menunjukkan bahwa ia sedang terkoneksi dengan orang lain di smartphone yang ia bawa. Ketika tidak ada seorangpun yang mengiriminya WhatsApp, maka ia mencoba membaca berita yang aplikasi media online yang telah ia download. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta pada 2020 ini (StatCounter Global Stats, 2020). Kondisi ini memungkinkan setiap informasi menyebar dengan leluasa ke seluruh masyarakat Indonesia. Teknologi, terutama di bidang komunikasi, telah mengubah cara kita beinteraksi dengan orang lain sehingga menyebabkan banyak konsekuensi, salah satunya adalah infodemik.

Infodemik dan Kejatuhan Manusia

Keberadaan teknologi komunikasi membuat manusia kalang kabut menghadapi banjir informasi di media sosial (Shensa, Sidani, Dew, Escobar-Viera, & Primack, 2018). Manusia, secara tidak sadar menganggap seluruh informasi di smartphone-nya adalah sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya. Ketidakmampuan manusia membedakan mana yang nyata dan tidak ini sudah lama dikaji dalam ilmu sosial. Kita bisa menyebut kondisi ini, salah satunya, dengan nama hiperrealitas. Istilah hipperalitas dipopulerkan oleh seorang filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard. Hiperrealitas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar realitas, atau bahkan realitas yang kita rasakan bukanlah realitas yang sebenarnya tetapi kita terlanjut percaya.

Prinsip ini dimulai ketika seluruh gambaran akan realitas ditampilkan di media massa. Kita membayangkan bahwa apapun yang ada di media adalah kondisi sebenarnya padahal tidak. Media sosial merepresentasikan –menghadirkan kembali- kenyataan dalam bentuknya yang dapat dipercaya oleh indera manusia. Keistimewaan teknik representasi yang dihadirkan oleh media sosial adalah kemampuannya untuk hadir berulang-ulang dalam waktu yang tidak terbatas. Setelah pikiran manusia mendapatkan terpaan terus-menerus, maka prinsip kedua dari hiperrealitas akan terjadi: semua tanda dan simbol yang direpresentasikan media lebur menjadi sesuatu yang abstrak.

Nilai guna sudah beralih pada nilai tanda yang dibangun oleh iklan di media. Sebuah rumah bukan lagi dinilai dari caranya melindungi penghuninya dari hujan dan panas, tetapi digunakan sebagai tanda kelas sosial. Hal yang sama terjadi pada jam tangan, bukan lagi sebagai penunjuk waktu tetapi sebagai tanda bahwa merk jam tangan tertentu mengindikasikan pemiliknya ‘berkelas’ atau ‘orang biasa’. Semakin lama kita percaya dengan tanda dan simbol yang diciptakan oleh media maka semakin lama kita akan kehilangan pijakan dari tanda itu sendiri. Sebagaimana kita tahu, mobil befungsi untuk memuat individu lebih banyak dibandingkan sepeda motor.

Maka sebuah keluarga yang terdiri dari : ayah, ibu, dan tiga anak, membutuhkan mobil untuk bepergian karena sepeda motor tidak cukup. Keluarga ini memiliki uang Rp 70 juta yang bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil bekas merk Daihatsu Ayla, Toyota Kijang atau Honda Jazz. Seorang ayah mungkin akan membeli Kijang, sedangkan anaknya yang berusia 18 tahun ngotot membeli Honda Jazz. Ada gengsi yang dibawa oleh merk sebuah mobil. Mungkin keduanya akhirnya tidak membeli mobil bekas, tetapi kredit di bank untuk membeli Chevrolet Trax seharga Rp 300 juta.

Ini bukan soal kapasitas mobil, tapi gengsi yang dihasilkan oleh merk, termasuk mobil bekas atau gress dari Dealer. Keluarga ini adalah potret bagaimana keluarga modern memperlakukan barang-barangnya dengan pijakan pada makna tanda dan simbol. Mereka sudah lupa bahwa niat awal membeli mobil adalah guna memudahkan mereka bepergian. Tetapi mobil Kijang saja tidak cukup, mereka memilih mobil baru dengan harga empat kali lipat dari uang ia memiliki. Hal yang sama juga akan terjadi pada virus corona. Kita semua pada akhirnya akan melupakan apa yang sesungguhnya kita perjuangkan untuk menghalau peyebaran coronavirus. Informasi yang berkembang dengan cepat di media massa dan media sosial menumpulkan arti COVID-19 sebagai virus mematikan, tetapi lambat laun ia akan berubah menjadi komoditas bagi kapitalis.

Setiap hari kita digempur informasi tentang COVID-19 dalam berbagai kesempatan. Penggunaan media sosial yang tinggi menyebabkan hiperrealitas yang kebablasan. Bayangkan, ketika tangal 12 Juli muncul sebuah gambar di Facebook yang menjelaskan dampak negatif dari penggunaan masker : mengurangi oksigen hingga 60%, meningkatkan risiko keracunan CO2, virus dan bakteri yang memenuhi masker dapat terhirup masuk ke hidung, dan udara segar penting untuk menjaga kesehatan. Informasi tersebut tentu sangat logis bagi kebanyakan orang sehingga dapat menimbulkan kegemparan bahwa penggunaan masker malah memicu penyakit lain. Padahal di seluruh negara di dunia saat ini sedang mengampanyekan hidup sehat dengan masker, terutama dapat melindungi dari penularan virus corona.

Informasi lain yang tidak kalah menyesatkan misalnya, sebuah judul : takut dibunuh, ahli virus china kabur ke AS: saya bersaksi COVID-19 hasil persekongkolan jahat. Judul artikel tersebut menyesatkan bagi orang yang membacanya dan cenderung mengarahkan untuk mempercayai COVID-19 sebagai konspirasi. Banyaknya informasi yang salah tentang COVID-19 sebenarnya membuat resah siapapun yang menginginkan hidup sehat. Ribuan informasi yang datang tanpa didasarkan pada data ini menimbulkan infodemik, yaitu suatu kondisi ketika informasi yang berkembang terus-menerus tanpa dibarengi data dan fakta yang valid. Infodemik ini sendiri tentu sama berbahayanya dengan COVID-19 (Abd-Alrazaq et al., 2020; Ahmad & Murad, 2020). Infodemik membunuh nalar, COVID-19 membunuh fisik.

Jika misinformasi tentang COVID-19 ini tidak terbendung maka manusia bisa jatuh pada prasangka yang keliru. WHO sendiri mengakui bahwa mereka kewalahan menghadapi infodemik yang meluncur deras di seluruh negara di dunia (Wee, Jr, & Hernandez, 2020). Banyaknya informasi yang berkembang tentang suatu penyakit membuat masyarakat kebingungan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Padahal kedudukan informasi yang ‘benar dan akurat’ tentang suatu krisis sama pentingnya dengan keberadaan vaksin untuk mengatasi virus menular. Dalam kasus COVID-19 yang semakin memburuk, keberadaan infodemik memperparah kondisi tersebut. Sudah seharusnya seluruh masyarakat mendapatkan informasi terpercaya, tetapi yang didapat malah konspirasi.

Manusia yang sesungguhnya harus menguasai teknologi lalu menggunakannya demi kemaslahatan bersama, malah terpuruk bersama dengan niat jahat dari beberapa orang yang memanfaatkan krisis untuk mengeruk keuntungan. Infodemik dapat menyebabkan beberapa kendala psikologis seperti kepanikan dan ketakutan berlebih pada COVID-19 sehingga mengancam keselamatan orang lain. Ketakutan yang berlebihan bisa menimbulkan panic buying yang terjadi pada Maret 2020 ketika seluruh bahan pokok dibeli habis oleh sekelompok orang. Kelangkaan masker dan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan juga sempat habis di pasaran. Hal ini nyata, bukan sebuah imajinasi. Panic buying pada bahan pokok dan alat kesehatan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan hidup dan mati masyarakat lainnya.

Penutup

Kita harus bergerak menyelamatkan manusia dari infodemik ini. Persoalan virus biarlah ditangani oleh tenaga kesehatan yang memang expert di bidangnya. Mereka mampu membuat aturan yang aman agar COVID-19 tidak menyebar luas. Para ahli juga telah direkrut pemerintah guna menemukan ‘vaksin merah-putih’ untuk memelopori keberadaan obat COVID-19 di dunia. Langkah kita sebagai masyarakat kebanyakan adalah dengan mengampanyekan hidup sehat dengan menerapkan standar new normal; menyediakan hand sanitizer, menyediakan tempat cuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga tubuh tetap sehat selama pandemi. Jika ada masyarakat yang teledor maka kita bersama wajib mengingatkan agar semua warga hidup tentram dan nyaman.

Cara lain menghentikan infodemik yang efektif bisa dilakukan pemerintah dan seluruh lembaga yang memiliki otoritas dalam pembatasan konten yang berkaitan dengan COVID-19 di semua platform media. Tentu saja ini hal yang dilematis karena kita juga membutuhkan informasi tentang virus ini guna melakukan pencegahan supaya tidak tertular COVID-19. Beruntungnya, perusahaan informasi skala internasional seperti Google, Facebook, Microsoft, hingga Twitter dan Youtube telah bersepakat untuk mendukung informasi akurat tentang COVID-19. Beberapa isi dari komitmen mereka misalnya melarang iklan yang menjual masker di platform media mereka. Komitmen ini sangat penting agar beranda media sosial kita tidak terus-menerus berisi iklan yang mengingatkan kita pada COVID-19.

Selain itu, komitmen multinational corporation ini terhadap penanganan COVID-19 ini juga muncul dalam berbagai program, seperti menyediakan informasi paling baru tentang COVID-19 bekerjasama dengan otoritas kesehatan di setiap negara di dunia. Perusahaan yang menguasai informasi di seluruh dunia ini juga berjanji untuk memberi iklan gratis kepada WHO guna menyebarkan informasi yang benar. Bahkan Google telah menghapus aplikasi yang menyebar informasi COVID-19 di Play Store yang tidak berasal dari lembaga kredibel guna mengurangi misinformasi tentang virus yang sampai sekarang masih menghantui dunia tersebut.

Pemerintah dan lembaga dunia sudah bergerak memerangi infodemik. Kini saatnya kita bergerak untuk menghapus hoax dan disinformasi COVID-19 di seluruh platform yang kita temukan. Seluruh lembaga, baik pemerintah maupun swasta, telah mempermudah cara-cara pelaporan hoax sehingga internet bersih dari berita palsu. Seluruh orang bisa melakukan screen capture atau mengcopy url informasi yang salah lalu mengirimkannya ke Kominfo RI. Google, Facebook, Twitter, dan Mafindo sendiri juga sudah menyediakan cara pelaporan yang mudah ketika muncul hoax di beranda media sosial atau di grup WhatsApp yang dimiliki. Tugas ini memang berat, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin jika dilakukan secara bersama-sama.

Referensi

Abd-Alrazaq, A., Alhuwail, D., Househ, M., Hamdi, M., Shah, Z., Ahmad, A. R., … Rizun, M. (2020). Free Communication Fake News in the Context of the COVID-19 Pandemic. International Journal of Environmental Research and Public Health, 22(4), 1–11. https://doi.org/10.2196/19556

Ahmad, A. R., & Murad, H. R. (2020). The Impact of Social Media on Panic During the COVID-19 Pandemic in Iraqi Kurdistan: Online Questionnaire Study. Journal of Medical Internet Research, 22(5), e19556. https://doi.org/10.2196/19556

Shensa, A., Sidani, J. E., Dew, M. A., Escobar-Viera, C. G., & Primack, B. A. (2018). Social media use and depression and anxiety symptoms: A cluster analysis. American Journal of Health Behavior, 42(2), 116–128. https://doi.org/10.5993/AJHB.42.2.11

StatCounter Global Stats. (2020). Social Media Stats Indonesia. Retrieved February 10, 2020, from Statscounter.com website: https://gs.statcounter.com/social-media-stats/all/indonesia

Wee, S.-L., Jr, D. G. M., & Hernandez, J. C. (2020). W.H.O. Declares Global Emergency as Wuhan Coronavirus Spreads - The New York Times. Retrieved April 3, 2020, from New York Times website: https://www.nytimes.com/2020/01/30/health/coronavirus-world-health-organization.html

* Tulisan ini dimuat dalam buku Kolaborasi, Riset, dan Volunterisme: Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi yang diterbitkan oleh MAFINDO. 

2021-02-07

COVID-19 dan Penghancuran Pekerja

Fathul Qorib*

Perekonomian dunia saat ini menghadapi ancaman besar akibat pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan ekonomi masing-masing negara harus memperhatikan banyak pihak karena setiap keputusan membawa dampak yang luar biasa terutama bagi pekerja, seperti pemutusan hubungan kerja (layoff), penutupan kantor sementara, dirumahkan (furlough), hingga bekerja jarak jauh (Tang, Koski and Bell, 2020). Karena krisis kali ini diperkirakan akan menghapus 6.7% jam kerja secara global pada kuartal ke dua tahun 2020, yang setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu (ILO, 20AD).

Ancaman global ini menyerang banyak sektor pekerjaan yang ada di seluruh dunia (Borden, 2020). Beberapa sektor usaha yang sangat terdampak Covid-19 ini terutama pada bidang makanan dan akomodasi yang diperkirakan memiliki 144 juta pekerja, retail and wholesale dengan 482 juta pekerja, business services and administration yang memiliki 157 pekerja, dan manufacturing 463 pekerja. Empat sektor pekerjaan yang terdampak tersebut mewakili 37,5% total pekerja di seluruh dunia (United Nations, 2020). Bahkan ILO menganggap bahwa Covid-19 ini merupakan bencana terbesar terhadap pekerja sejak perang dunia ke II.

Menurut laporan ILO, perkiraan dampak pengurangan pekerja di kawasan Asia Pasifik bisa mencapai 125 juta kasus. Hal itu bisa dilihat di Ibukota Indonesia, Jakarta, yang menjadi pusat penyebaran Covid-19 di Indonesia, 43 ribu karyawan lebih terkena imbasnya. Sebanyak 13 ribu orang dirumahkan, dan 30.137 orang di putus hubungan kerja (PHK) oleh 3.348 perusahaan. Di daerah lain juga terjadi hal yang sama. Di Kabupaten Bayumas, Provinsi Jawa Tengah, tercatat 1.222 karyawan dirumahkan oleh 54 perusahaan yang sebagian besar dari sektor perhotelan, rumah makan, dan tempat hiburan (Putra, 2020).

Secara nasional, tidak kurang dari 1,5 juta karyawan yang telah kehilangan pekerjaan akibat Covid-19. Sebanyak 89,4% dirumahkan, dan 10.6% atau sekitar 160 ribu karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (Rina, 2020; Thertina, 2020). Kondisi ini jauh lebih buruk dibandingkan krisis 2009 yang disebabkan tumbangnya sektor keuangan, sedangkan kali ini sektor kesehatan dan keamanan masyarakat terancam yang berdampak pada sektor ekonomi secara makro maupun mikro (Rafie et al., 2020).

Kemampuan pemerintah secara umum dan perusahaan secara khusus terhadap keputusan ‘merumahkan’ karyawan (furlough) perlu dikaji supaya tidak menimbulkan persoalan sosial yang lebih besar. Karena memang dapat dipahami bahwa environmental jolt dapat terjadi secara tiba-tiba, seperti perekonomian dunia yang ambruk, bencana alam, bencana yang disebabkan kesalahan manusia seperti kebakaran dan kerusakan skala besar. Terutama pada pandemic kesehatan seperti Covid-19, menambah beban berat perusahaan yang tidak siap dengan perubahan cepat dan mendadak. Biaya bertambah besar sementara produktivitas menurun (Gahan, Michelotti and Standing, 2012).

Menghadapi Covid-19 ini, perusahaan perlu mengubah strategi manajemen sumber daya manusia yang selama ini tidak diberlakukan. Tidak ada yang siap untuk menjalankan manajemen organisasi di tengah pandemic yang mengharapkan seluruh orang diam di rumah (stay at home). Ancaman krisis tahun 1998 dan 2008 yang menimpa Indonesia lebih mengarah pada krisis ekonomi dan keuangan yang besar (Hill, 2007; Wikanti, 2011). Indonesia terpuruk hingga dolar melambung tinggi karena inflasi terjadi hingga 78% (Mubyarto, 2015). Tetapi waktu itu Indonesia dianggap memiliki keberuntungan sehingga dapat bangkit dengan cepat, bukan murni sistem perekonomian yang bagus (Basri and Rahardja, 2010).

Berbeda dengan krisis keuangan tersebut, krisis yang disebabkan Covid-19 saat ini lebih menyerang kesehatan manusia tetapi berimbas pada berbagai bidang, mulai pendidikan, kelembagaan politik, pariwisata, hingga perekonomian. Seluruh warga harus menjaga jarak aman, memakai masker, dan yang paling parah adalah anjuran lockdown dan tidak keluar rumah agar virus berhenti menular. Dengan kondisi ini perekonomian tidak berjalan lancar dan perusahaan ramai-ramai menghentikan produksi yang berpengaruh pada ‘merumahkan karyawan’ untuk mengurangi beban perusahaan.

Covid-19 di Indonesia membawa dampak yang besar pada berbagai sektor hingga pemerintah akhirnya menyetujui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB; Large-scale Social Restriction) di Jakarta. Pembatasan sosial ini diambil oleh Presiden Jowo Widodo yang digabungkan dengan karantina kesehatan, dan pengetatan physical distancing, guna memutus mata rantai virus Covid-19 (Andriyanto and Tambun, 2020; Rayda, 2020; Sutrisno, 2020). Sebagai pusat pemerintah, ekonomi, dan industri, pemberlakuan PSBB di Jakarta menjadikan seluruh penopang hidup karyawan melemah (Ries, 2004).

Pelajaran dari Italia, Spanyol, dan Cina, yang sudah menerapkan lockdown memang terjadi tren penurunan jumlah positif Covid-19 (Mitjà et al., 2020; Tobías, 2020). Sehingga pemilihan PSBB di Jakarta diharapkan juga akan mengalami pemulihan yang sama. Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 menjelaskan bahwa Large-scale Social Restriction berarti sekolah-sekolah harus diliburkan, tempat kerja libur, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan hingga aspek pertahanan keamanan (Tri, 2020).

Banyaknya pembatasan tersebut, maka ruang gerak masyarakat tidak lagi luas dan leluasa. Pekerja informal dan karyawan perusahaan semakin terpojok ketika mendapatkan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan.

Seluruh orang akan memahami kondisi perekonomian yang memburuk. Tetapi karyawan yang sudah bekerja penuh waktu pada satu perusahaan akan kebingungan ketika dirumahkan. Masalah sosial baru akan muncul dengan melonjaknya pengangguran. Di tambah banyaknya karyawan yang tidak memahami bahwa cuti sementara yang diberlakukan bertujuan untuk mengurangi beban perusahaan agar tidak merugi. Perusahaan pun tidak memberikan penjelasan melalui saluran-saluran resmi internal perusahaan yang dapat dipercaya sehingga karyawan dapat memahami langkah yang diambil perusahaan.

Semua perusahaan sulit mengukur atau menyiapkan saat terjadinya goncangan akibat force major (Bradley, 2015; Smith, 2016). Tetapi bagaimanapun perusahaan harus memiliki perencanaan jangka panjang sehingga ketika terjadi goncangan ekonomi, alat, atau kesalahan teknis, perusahaan tetap bisa berjalan meski tersendat. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa environmental jolt dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan bagi pimpinan perusahaan dengan cara mencari alternatif pemecahan masalah sehingga perusahaan dapat bangkit lagi dan bahkan menjadi lebih baik (Sine and David, 2003; Goll and Rasheed, 2011)

Pekerja yang dirumahkan atau di putus hubungan kerja cenderung mengalami gangguan psikologis dan sosial yang buruk, seperti menurunnya kepuasan hidup, meningkatnya konflik antara pada keluarga, hingga meningkatnya kelahan fisik dan psikis (Baranik et al., 2019) yang nanti akan membawa pengaruh buruk pada kinerja setelah kembali bekerja (Halbesleben, Wheeler and Paustian-Underdahl, 2013). Kendala psikis yang dialami pekerja yang dirumahkan membutuhkan social support sehingga stress tidak terus berlanjut (Cotter and Fouad, 2013).

Banyaknya pekerja yang dirumahkan harus dilihat dari kacamata strategic human resources management, apakah perusahaan telah siap melakukan pemangkasan pekerja dalam rangka sementara atau tetap. Dalam pengelolaan sumber daya manusia, sebuah perusahaan harus mengacu pada sistem pengelolaan sumber daya manusia bukan pada individu (Boon, Den Hartog and Lepak, 2019). Karena karyawan dalam sebuah perusahaan bekerja dalam sistem yang saling terkait dengan sistem lain. Sehingga perhatian sistem lebih diutamakan dibanding menyelesaikan masalah SDM indiividu by individu.

Sistem ini sangat penting karena perusahaan yang sudah mengembangkan SHRM yang baik akan menyebabkan saling percaya dan saling dukung antara perusahaan dan karyawan sehingga persoalan bisa diselesaikan dengan baik sehingga meningkatkan nilai kompetitif perusahaan (Bellairs, Halbesleben and Leon, 2014; Han, Sun and Wang, 2020). Secara teoritis, human resource management perusahaan terhadap karyawannya dapat dilakukan melalui dua cara, memunculkan komitmen karyawan pada perusahaan dan memunculkan kepatuhan karyawan pada aturan. Keduanya dapat membawa efek positif pada perusahaan (Su, Wright and Ulrich, 2018).

Penelitian terbaru juga menyarankan agar perusahaan memiliki high performance work systems (HPWS) yang dapat membuat karyawan merasa bertanggung jawab terhadap perusahaan dengan pemberian insentif dan kompensasi yang dibutuhkan (Bellairs, Halbesleben and Leon, 2014). Dalam HPWS, sebuah perusahaan akan memiliki performa yang tinggi jika mengadopsi beberapa hal, a) sistem seleksi karyawan yang konsisten dengan mempertimbangkan kompetensi dan jiwa kompetitif karyawan; b) sistem reward yang jelas sesuai dengan keberhasilan karyawan, dan c) memiliki sistem pelatihan dan strategi pengembangan ke depan yang berbasis kinerja perusahaan (Becker and Huselid, 1998; Huselid and Becker, 2011).

Hal yang perlu dibawahi dalam adalah tentang adanya tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pekerjanya untuk pendidikan, pelatihan, menciptakan lingkungan kerja yang aman, mencegah terjadinya cedera, serta meningkatkan moral karyawan (Madura, 2007; Sarinah and Mardalena, 2017; Wuisang, Runtuwarouw and Korompis, 2019). Ketika ekonomi ambruk karena kondisi yang tidak terduga, peran manajemen dalam perusahaan sangat penting untuk memberikan informasi yang pasti terhadap karyawan (Kim, Maher and Lee, 2018). Apalagi jika karyawan mengalami cuti sementara, dirumahkan, hingga diputus hubungan kerjanya.

Tujuan tulisan ini yang utama adalah menjelaskan strategi yang diterapkan perusahaan di Indonesia dalam memberikan pemahaman tentang tindakan-tindakan mereka kepada karyawan, khususnya kebijakan terkait merumahkan mereka. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengambil langkah agar pekerja tidak dirugikan dalam pandemic. Dalam Surat Edarat Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Maret 2020, telah disebutkan bahwa pekerja yang masuk pada kategori Orang dalam Pemantauan (ODP), orang suspek Covid-19, maupun pekerja yang positif Covid-19, maka seluruh gajinya dibayarkan secara penuh (Kementrian Ketenagakerjaan, 2020).

Pemerintah mengatur juga bagi perusahaan yang akhirnya memberlakukan pembatasan kegiatan usaha, tetap harus melibatlan pekerja dan karyawannya dalam mekanisme kerja dan pembayaran upahnya. Sebab itu, langkah-langkah strategis yang perusahaan lakukan sangat penting agar tidak menambah beban karyawan yang juga dirugikan atas kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Pembatasan sosial akibat Covid-19 yang diberlakukan oleh pemerintah tidak bisa digunakan sebagai alasan perusahaan untuk mengurangi pekerja tanpa disertai kompensasi yang sama-sama menguntungkan.

Memperhatikan hal tersebut maka perusahaan tidak bisa secara sepihak melakukan pemangkasan pekerja tanpa melakukan transaksi dengan pekerja. Selain perusahaan harus memahami aturan dari pemerintah, mereka juga memiliki kewajiban untuk mengajak pekerjanya secara bersama-sama memikirkan kepentingan perusahaan dan pribadi pekerja. Harus ada pemahaman di kedua belah pihak yang dimulai dari perusahannya, misalkan dengan melibatkan peran public relations atau corporate communication untuk menjembatani keinginan perusahaan dengan karyawan.

Sebaliknya, di tingkat pekerja juga harus ada pemahaman yang lebih baik berkaitan dengan keniscayaan yang harus dilakukan perusahaan dalam rangka pandemic Covid-19. Pembatasan kerja sudah pasti berjalan karena warga yang positif Covid-19 masih terus bertambah. Dalam observasi pendahuluan banyak pekerja yang tidak memahami perbedaan antara pemutusan hubungan kerja dengan dirumahkan. Pekerja masih menganggap kebijakan perusahaan untuk merumahkan mereka dianggap keputusan sepihak yang tidak menguntungkan mereka, tetapi lebih banyak menguntungkan perusahaan.

Mengaca dari penelitian tahun 2007 tentang karantina akibat human influenza virus, para peneliti merekomendasikan pemerintah agar menyediakan aturan yang berlaku untuk seluruh pandemic kesehatan di masa datang, termasuk dengan menyediakan dana yang dibutuhkan meskipun besarannya tidak dapat diprediksi (Rothstein and Talbott, 2007). Menghadapi pandemic, perusahaan juga harus dapat mengembangkan teleworking di masa depan, melakukan pencegahan optimal terhadap kesehatan karyawan, menjaga psikologis karyawan, penggunaan big data dalam analisis manajemen, dan paling penting adalah dukungan agar karyawan kembali bekerja (Fadel, Salomon and Descatha, 2020; Gudi and Tiwari, 2020; Yasmin et al., 2020).

Tulisan ini semoga dapat memberikan sumbangan pemikiran pada bidang manajemen sumber daya manusia yang selama ini berjalan dalam kondisi normal sehingga memiliki kesiapan menghadapi pandemic kesehatan. Selain itu, kita juga berharap akan berguna untuk pemerintah dalam mengambil keputusan di masa mendatang (Nelson, 2012). Karena berdasarkan pengalaman pendemic kesehatan maupun krisis ekonomi bisa terjadi kapanpun di masa depan. Jika pemerintah dan perusahaan yang menjadi penyokong perekonomian suatu negara tidak siap maka krisis akan berkepanjangan dan merugikan masyarakat luas.

Fathul Qorib, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UNITRI Malang. IG - @fathul_indonesia

References

Andriyanto, H. and Tambun, L. T. (2020) Jokowi Orders ‘Large-Scale’ Social Distancing But Still No Lockdown, Jakarta Globe. Available at: https://jakartaglobe.id/news/jokowi-orders-largescale-social-distancingbut-still-no-lockdown/ (Accessed: 17 April 2020).

Baranik, L. E. et al. (2019) ‘What Happens When Employees Are Furloughed? A Resource Loss Perspective’, Journal of Career Development. SAGE Publications Inc., 46(4), pp. 381–394. doi: 10.1177/0894845318763880.

Basri, M. C. and Rahardja, S. (2010) ‘The Indonesian Economy amidst the Global Crisis: Good Policy and Good Luck’, ASEAN Economic Bulletin. ISEAS - Yusof Ishak Institute, pp. 77–97. doi: 10.2307/41317110.

Becker, B. E. and Huselid, M. A. (1998) ‘High Performance Work Systems and Firm Performance: A Synthesis of Research and Managerial Implications’, RESEARCH IN PERSONNEL AND HUMAN RESOURCE MANAGEMENT, pp. 53--102. Available at: https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.319.7549 (Accessed: 15 April 2020).

Bellairs, T., Halbesleben, J. R. B. and Leon, M. R. (2014) ‘A multilevel model of strategic human resource implications of employee furloughs’, Research in Personnel and Human Resources Management. Emerald Group Publishing Ltd., 32, pp. 99–146. doi: 10.1108/S0742-730120140000032002.

Boon, C., Den Hartog, D. N. and Lepak, D. P. (2019) ‘A Systematic Review of Human Resource Management Systems and Their Measurement’, Journal of Management, 45(6), pp. 2498–2537. doi: 10.1177/0149206318818718.

Borden, T. (2020) The coronavirus outbreak has triggered unprecedented mass layoffs and furloughs. Here are the major companies that have announced they are downsizing their workforces, Business Insider. Available at: https://www.businessinsider.sg/coronavirus-layoffs-furloughs-hospitality-service-travel-unemployment-2020?r=US&IR=T (Accessed: 17 April 2020).

Bradley, S. W. (2015) ‘Environmental Jolts’, in Wiley Encyclopedia of Management. John Wiley & Sons, Ltd, pp. 1–23. doi: 10.1002/9781118785317.weom030035.

Cotter, E. W. and Fouad, N. A. (2013) ‘Examining Burnout and Engagement in Layoff Survivors’, Journal of Career Development. SAGE PublicationsSage CA: Los Angeles, CA, 40(5), pp. 424–444. doi: 10.1177/0894845312466957.

Fadel, M., Salomon, J. and Descatha, A. (2020) ‘Coronavirus outbreak: the role of companies in preparedness and responses’, The Lancet Public Health. Elsevier Ltd, p. e193. doi: 10.1016/S2468-2667(20)30051-7.

Gahan, P., Michelotti, M. and Standing, G. (2012) ‘The Diffusion of HR Practices in Chinese Workplaces and Organizational Outcomes’, ILR Review. Cornell University, 65(3), pp. 651–685. doi: 10.1177/001979391206500308.

Goll, I. and Rasheed, A. A. (2011) ‘Environmental jolts, clocks, and strategic change in the U.S. Airline industry: The effects of deregulation and the 9/11/2001 terrorist attacks’, Business and Politics. Cambridge University Press, pp. 1–35. doi: 10.2202/1469-3569.1386.

Gudi, S. K. and Tiwari, K. K. (2020) ‘Preparedness and Lessons Learned from the Novel Coronavirus Disease’, The international journal of occupational and environmental medicine. NLM (Medline), 11(2), pp. 108–112. doi: 10.34172/ijoem.2020.1977.

Halbesleben, J. R. B., Wheeler, A. R. and Paustian-Underdahl, S. C. (2013) ‘The impact of furloughs on emotional exhaustion, self-rated performance, and recovery experiences’, Journal of Applied Psychology, 98(3), pp. 492–503. doi: 10.1037/a0032242.

Han, J., Sun, J. M. and Wang, H. L. (2020) ‘Do high performance work systems generate negative effects? How and when?’, Human Resource Management Review. Elsevier Ltd, 30(2), pp. 1–14. doi: 10.1016/j.hrmr.2019.100699.

Hill, H. (2007) ‘The Indonesian economy: Growth, crisis and recovery’, Singapore Economic Review. World Scientific Publishing Co. Pte Ltd, 52(2), pp. 137–166. doi: 10.1142/S0217590807002610.

Huselid, M. A. and Becker, B. E. (2011) ‘Bridging Micro and Macro Domains: Workforce Differentiation and Strategic Human Resource Management’, Journal of Management. Edited by H. Aguinis et al. SAGE PublicationsSage CA: Los Angeles, CA, 37(2), pp. 421–428. doi: 10.1177/0149206310373400.

ILO (20AD) ILO: COVID-19 Causes Devastating Losses in Working Hours and Employment, ilo.org2.

Kementrian Ketenagakerjaan (2020) ‘Circular of the Minister of Manpower of the Republic of Indonesia concerning Worker / Labor Protection and Business Continuity in the Context of Preventing and Countering Covid-19 (Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan ’. Republik Indonesia.

Kim, J., Maher, C. S. and Lee, J. (2018) ‘Performance information use and severe cutback decisions during a period of fiscal crisis’, Public Money and Management. Routledge, 38(4), pp. 289–296. doi: 10.1080/09540962.2018.1449475.

Madura, J. (2007) Pengantar Bisnis 1 (Introduction to Business). 4th edn. Jakarta: Salemba Empat.

Mitjà, O. et al. (2020) ‘Experts’ request to the Spanish Government: move Spain towards complete lockdown’, The Lancet. Elsevier BV. doi: 10.1016/s0140-6736(20)30753-4.

Mubyarto, M. (2015) ‘FINANCIAL CRISIS AND ITS IMPACTS ON POVERTY IN INDONESIA’, Financial Crisis and Its Impacts on Poverty in Indonesia, 18(1). doi: 10.22146/jieb.6613.

Nelson, K. L. (2012) ‘Municipal Choices during a Recession: Bounded Rationality and Innovation’, State and Local Government Review. SAGE Publications, 44(1_suppl), pp. 44S-63S. doi: 10.1177/0160323x12452888.

Putra, A. A. (2020) Buruh Dirumahkan karena COVID-19, Harus Tetap Diupah atau Tidak? (Workers Laid off Because COVID-19, Must Be Paid or Not?), Tirto Id. Available at: https://tirto.id/buruh-dirumahkan-karena-covid-19-harus-tetap-diupah-atau-tidak-eLTg (Accessed: 14 April 2020).

Rafie, B. T. et al. (2020) Ekonomi porak poranda akibat corona, bagaimana langkah penyelamatan oleh pemerintah? (The economy is ravaged by corona, how is the rescue step by the government?), Kontan. Available at: https://fokus.kontan.co.id/news/ekonomi-porak-poranda-akibat-corona-bagaimana-langkah-penyelamatan-oleh-pemerintah-1?page=all (Accessed: 15 April 2020).

Rayda, N. (2020) Explainer: What now for Indonesia after Jokowi signed regulation on social restrictions to tackle COVID-19?, Channel News Asia. Available at: https://www.channelnewsasia.com/news/asia/indonesia-covid-19-jokowi-decree-social-restrictions-what-next-12598760 (Accessed: 17 April 2020).

Ries, N. M. (2004) ‘Public health law and ethics: lessons from SARS and quarantine.’, Health law review, 13(1), pp. 3–6. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15838998 (Accessed: 17 April 2020).

Rina, R. (2020) 1,4 Juta Pekerja Dirumahkan & PHK, Bagaimana Hak-Haknya? (1.4 Million Workers Furlough & Layoffs, What Are Their Rights?), CNBC Indonesia. Available at: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200409211201-4-151021/14-juta-pekerja-dirumahkan-phk-bagaimana-hak-haknya (Accessed: 14 April 2020).

Rothstein, M. A. and Talbott, M. K. (2007) ‘Encouraging compliance with quarantine: a proposal to provide job security and income replacement.’, American journal of public health. American Public Health Association, 97 Suppl 1(Suppl 1), p. S49. doi: 10.2105/AJPH.2006.097303.

Sarinah and Mardalena (2017) Pengantar Manajemen. Yogyakarta: Deepublish.

Sine, W. D. and David, R. J. (2003) ‘Environmental jolts, institutional change, and the creation of entrepreneurial opportunity in the US electric power industry’, Research Policy. Elsevier B.V., 32(2 SPEC.), pp. 185–207. doi: 10.1016/S0048-7333(02)00096-3.

Smith, C. (2016) ‘Environmental Jolts: Understanding How Family Firms Respond and Why’, Family Business Review. SAGE Publications Inc., 29(4), pp. 401–423. doi: 10.1177/0894486516673906.

Su, Z. X., Wright, P. M. and Ulrich, M. D. (2018) ‘Going Beyond the SHRM Paradigm: Examining Four Approaches to Governing Employees’, Journal of Management. SAGE Publications Inc., 44(4), pp. 1598–1619. doi: 10.1177/0149206315618011.

Sutrisno, B. (2020) Jokowi orders large-scale social restrictions coupled with ‘civil emergency’ policies, The Jakarta Post. Available at: https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/30/jokowi-orders-large-scale-social-restrictions-coupled-with-civil-emergency-policies.html (Accessed: 17 April 2020).

Tang, C., Koski, C. J. and Bell, M. H. (2020) H-1B Considerations in Context: COVID-19, Remote Work, Office Closures, Furloughs, and Layoffs - Ogletree Deakins, Ogletree Deakin. Available at: https://ogletree.com/insights/h-1b-considerations-in-context-covid-19-remote-work-office-closures-furloughs-and-layoffs/ (Accessed: 15 April 2020).

Thertina, M. R. (2020) Gelombang Besar PHK Imbas Corona Menerpa Indonesia (Waves of Layoffs Hit Indonesia Corona Impact), Katadata.co.id. Available at: https://katadata.co.id/berita/2020/04/13/gelombang-besar-phk-imbas-corona-menerpa-indonesia (Accessed: 14 April 2020).

Tobías, A. (2020) ‘Evaluation of the lockdowns for the SARS-CoV-2 epidemic in Italy and Spain after one month follow up’, Science of The Total Environment, 725, p. 138539. doi: 10.1016/j.scitotenv.2020.138539.

Tri, R. (2020) Pembatasan Sosial Berskala Besar Berlaku di Jakarta, Ini Artinya, Tempo. Available at: https://bisnis.tempo.co/read/1329003/pembatasan-sosial-berskala-besar-berlaku-di-jakarta-ini-artinya?page_num=2 (Accessed: 17 April 2020).

United Nations (2020) COVID-19: impact could cause equivalent of 195 million job losses, says ILO chief | UN News, UN News2. Available at: https://news.un.org/en/story/2020/04/1061322 (Accessed: 14 April 2020).

Wikanti, A. S. (2011) ‘CONTAGION EFFECTS OF US FINANCIAL CRISIS ON INDONESIA’, Economic Journal of Emerging Markets, 3(2), pp. 125–137. doi: 10.20885/ejem.v3i2.2325.

Wuisang, J. R., Runtuwarouw, R. and Korompis, C. (2019) Konsep Kewirausahaan Dan UMKM (The Concept of Entrepeneurship and Business Micro Economic Unit). Minahasa Utara: Yayasan Makaria Waya.

Yasmin, M. et al. (2020) ‘Big data analytics capabilities and firm performance: An integrated MCDM approach’, Journal of Business Research, 114, pp. 1–15. doi: 10.1016/j.jbusres.2020.03.028.