2020-12-31
Puisi : ketika malam tiba, dan seterusnya
2020-12-29
Satu Tahun Pandemi Covid-19
Penyakit menular selalu mengerikan. Manusia normal akan selalu was-was ketika berhadapan dengan orang lain yang berkemungkinan menularkan penyakit. Maka dari itu, Covid-19 bukan sekadar virus mematikan. Covid-19 jauh lebih berbahaya karena menggerogoti nalar dan jiwa manusia. Kita diambang ketakutan setiap keluar rumah, bertemu orang, bertegur sapa. Bahkan kita ketakutan membuka pintu toko dan ATM menggunakan tangan.
Kini, satu tahun setelah Covid-19 muncul di Cina pada 31 Desember 2019, kita masih belum pulih. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menangani pandemi ini terus terjadi. Bahkan, sekarang orang-orang dengan keteledoran penuh menentang semua protokol kesehatan. Mall tetap buka, beberapa jaringan bioskop buka, taman rekreasi dan hiburan akhirnya buka setelah berbulan-bulan tanpa pemasukan, ojek online mulai jalan, bus sudah lama mengangkut penumpang.
Guna memahami kondisi ini kita bisa melihat dari sisi yang berbeda namun saling melengkapi; perkembangan pengetahuan tentang virus dan vaksin, dan perkembangan teknologi informasi yang super pesat. Keduanya membawa pengaruh besar bagi perubahan-perubahan radikal yang terjadi di dunia ini. Namun, gelombang yang membesar di abad ke 21 ini lebih banyak fokus pada teknologi. Covid-19 yang mendominasi ketakutan manusia jelas akibat ulah media yang menjadi anak emas teknologi.
Kekuatan Informasi
Jika diukur dari jumlah kematian dan infeksi yang disebabkan Covid-19, maka virus ini tentulah bukan yang terbesar. Black Death tahun 1334-1350 membunuh hampir 50 juta warga dunia. Modern plague tahun 1860 mengakibatkan 10 juta orang meninggal. Russian Flu, membunuh 1 juta orang, Spanish Flu menyebabkan 100 juta orang meninggal (tehconversation). Daftar ini masih panjang jika melibatkan beberapa pandemi yang menyebabkan kematian pada ribuan hingga ratusan ribu orang seperti Ebola, SARS, dan MERS.
Bisa kita lihat bahwa dunia tampaknya telah melupakan virus-virus tersebut dengan cepat. Pikiran dunia sudah beranak-pinak pada industri pariwisata, kekuatan militer, infrastruktur, dan real estate di seluruh negara maju. Negara miskin masih kesulitan mengapa mereka tetap miskin hingga tidak bisa mengembangkan potensi ekonomi. Di tengah optimisme dunia yang kedodoran, meledaklah sebuah virus yang dapat menyebar dengan sentuhan dan menyebar lewat udara (airbone). Dunia kaget, gagap, lalu mengeluarkan joke yang tidak lucu serta kebijakan negara yang ngawur –sebagaimana di Indonesia mulanya.
Dunia seketika mengingat masa lalu yang jauh, ketika jutaan orang mati karena Wabah Pes dan Flu Spanyol. Informasi menyebar dengan cepat. Penduduk Indonesia yang awalnya santai dan cenderung menganggap segala kondisi buruk terjadi pada negara lain; akhirnya terkejut saat tahu warga Depok tertular Covid-19 pada Maret 2020. Mulai dari sini, ketakutan menggelombang. Covid-19 menjadi tema liputan seluruh media massa lalu menjadi trending topic media sosial. Gara-gara media massa dan media sosial, panic buying terjadi. Seluruh bahan makanan habis di berbagai toko retail. Masker ditimbun, harga melangit.
Orang-orang ketakutan untuk keluar rumah. Industri bangkrut, ekonomi terhenti. Masyarakat kelas bawah menjerit kelaparan karena mereka tidak memiliki timbunan harta untuk bermanja di dalam rumah. Dan media massa masih belum menghentikan kegiatannya meskipun banyak jurnalis yang dikorbankan dengan dalih ‘masyarakat berhak mendapatkan informasi’. Media sosial menjadi corong utama untuk menyuarakan rasa putus asa, teriakan gamang, hingga permohonan bantuan dengan Twitter do Your Magic.
Media yang menjadi sumber utama informasi masyarakat menjadi tempat paling mujarab untuk menghantar ketakutan. Di sinilah media merasakan dilema; satu sisi tugas media adalah mengabarkan informasi yang penting dan layak diketahui publik, dan di sisi lain informasi tersebut menimbulkan infodemic yang berkepanjangan. Infodemic terjadi ketika sebuah informasi sudah jenuh, disebarkan secara massif dan meluas, hingga mengaburkan fakta dan opini. Orang-orang sesungguhnya kebingungan, membaca media menimbulkan chaos dalam kepalanya, namun dengan meninggalkannya mereka buta informasi.
Inilah yang sesungguhnya terjadi. Kita dapat menyebutkan bahwa penyediaan vaksin akan menimbulkan ketenagan dalam masyarakat. Namun semua itu tergantung bagaimana media massa melakukan framing terhadap berita itu sendiri. Media menjadi satu-satunya alat yang legitimatif untuk menyuarakan kebenaran. Karena media sosial tidak dapat menggantikan media massa. Media sosial, yang sisi baiknya membuat informasi jadi demokratis karena bisa disuarakan siapa aja dan diakses semura orang, tapi juga membawa sisi gelap karena ketiadaan gatekeeper yang menyortir mana informasi hoax dan mana yang kredibel.
Kekacauan informasi yang terjadi di masyarakat merupakan konsekuensi logis dari keberadaan media. Informasi menjadi satu kekuatan penentu dalam setiap gelaran politik, bisnis, hingga gerakan sosial. Khususnya media sosial, telah menjelma menjadi tuhan baru bagi kehidupan 160 juta penduduk Indonesia. Penetrasi pengguna media sosial yang mencapai 59% penduduk Indonesia ini membawa suatu budaya baru yang belum pernah kita lihat dalam sejarah. Bayangkan, generasi milenial yang sedang rebahan di kamar bisa terpengaruh dan atau memengaruhi jutaan orang melalui media sosial.
Maka jangan heran jika dunia tampak sedang tidak baik-baik saja. Media sosial mengantarkan kita pada suatu peradaban baru dimana simulasi, citra, representasi, dan branding mengalahkan realitas sesungguhnya. Terlebih mengenai Covid-19, jumlah orang yang meninggal tiba-tiba mencapai 20 ribu orang per 22 Desember 2020. Angka yang sangat buruk karena satu saja kematian sudah cukup membawa kita pada peperangan besar. Dunia belum sembuh, media sosial masih menyisakan banyak tweets dan story berbahaya yang harus diproteksi.
Happy New 2021-Covid
Pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran agar seluruh tempat wisata, hotel, dan restoran, tidak mengadakan perayaan tahun baru dengan cara mengundang banyak orang. Tahun baru langsung terasa berbeda –yang jelas tanpa gegap gempita, tanpa mobilisasi besar-besaran untuk menikmati hiburan setahun sekali. Semuanya akan sepi dan menyeramkan. Kita hanya akan melihat dari kejauhan, kembang api yang menguar di angkasa dari halaman rumah sendiri. Tanpa sorak, tanpa tawa yang menguar.
Tetapi inilah dunia yang baru. New normal dengan membawa hand sanitizer, masker, dan rajin cuci tangan, harus diberlakukan guna memutus rantai Covid-19. Manusia tidak pernah kalah dari dunia ini, sederas apapun banjir, dan seganas apapun virus. Sakit tidak bisa dihindari, mati tidak dapat ditolak. Namun sebuah usaha yang kita lakukan dapat membawa pembeda yang besar bagi masa depan generasi Indonesia. Sudah saatnya, untuk kali ini, kita benar-benar stay at home tanpa mencuri-curi keluar kota dengan dalih ‘satu tahun sekali’.
Tahun baru 2021 jauh lebih besar dari sekadar perayaan tahunan. Ini tahun, dimana seluruh umat manusia harus berpuasa dari hura-hura. Bahagia tidak ditentukan oleh kembang api, tapi ditentukan oleh ketentraman hati karena dapat memastikan bahwa keluarga dalam kondisi sehat dan baik-baik saja. Semoga Tuhan menolong kita semua dengan mengangkat virus Covid-19 dari dunia. Amin!.
Fathul Qorib, Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi
2020-11-08
Media Massa; Simulasi dan Parodi
Hidup adalah peperangan abadi. Apapun yang kita lakukan selalu melahirkan peperangan baru. Kita lahir dengan cara bertengkar dengan jutaan sel sperma. Menjadi anak-anak lalu remaja, kita mulai bertengkar dengan orang tua soal remot televisi, bertengkar dengan guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah, atau berkelahi dengan teman setelah saling ledek. Menjadi dewasa, kita dihujani berbagai tanggung jawab, bergelut dengan nasib. Menang atau kalah, pertengkaran baru selalu muncul.
Saat ini kita sedang menghadapi peperangan baru; manusia versus Covid-19, dan negara versus organisasi keagamaan. Dimana masyarakat umum berada? Mereka stay at home, kita berada di rumah menyaksikan silang sengkarut peperangan yang tak ada habisnya. Covid telah membawa sejenis peradaban baru yang mengandalkan kebersihan di atas segalanya. Bersih pangkal sehat, dan orang yang sehat di masa ini adalah orang yang bakal bertahan hidup. Perbandingan hidup dan mati saat ini amat tipis gara-gara Covid-19.
Peperangan (battle) seakan-akan terjadi di sekeliling kita tanpa kehadiran kita sama sekali. Masyarakat takut keluar rumah, tetapi mereka memenuhi pusat perbelanjaan dan tempat wisata. Masyarakat melakukan tes-tes kesehatan agar terhindari dari virus, namun mereka berlalu lalang di jalanan atas nama hidup dan kebebasan. Peperangan telah, sedang, dan akan terus terjadi. Kita menjadi simulasi sempurna dari kehidupan yang bergerak dengan sendirinya. Seketika kita menjadi sadar, bahwa dunia hanya panggung sandiwara. Pagi kita menangis, malam kita tertawa karena siklus harian hanyalah parodi.
Simulasi
Guy Debord, menyebutkan dunia saat ini merupakan aksi tonton-menonton semata. Masyarakat memasuki abad society of the spectacle, semuanya adalah tontonan. Orang yang berada di panggung politik dan bisnis disebut sebagai performer, dan kita semua adalah spectator. Performer bebas melakukan apapun, memproduksi citra dengan segala cara, sementara spectator selalu pasif dan tidak memiliki kuasa –bahkan untuk berfikir mandiri. Mesin-mesin produksi yang menghasilkan barang juga menghadirkan citra kebutuhan barang tersebut dalam iklan-iklan yang menarik. Seketika, kita membutuhkan semua barang di dunia ini, tanpa mempedulikan etika dan estetika.
Tontonan menjadi kebutuhan yang pasti dalam masyarakat yang telah dipenuhi budaya konsumsi; sebuah budaya yang menghamba pada produk kapital. Baudrillard, seorang pemikir Perancis pos-modernis, menyebut semua reproduksi realitas media sebagai simulasi. Dalam panggung simulasi, spectators (kita) adalah silent majority yang enggan menanggapi, apalagi bermusuhan dengan para performers. Kita pasif, hanya memandangi televisi dan koran sebagai bentuk informasi yang pasti dan terpercaya. Sedangkan di media sosial, kita menjadi pribadi yang baru dan rela bersitegang dengan pengguna media sosial lainnya.
Media massa dan juga media sosial, telah menjadi wadah bagi sebagian besar kesalahan manusia. Pertama-tama, media menjadi ruang demokratis untuk menyuarakan setiap kemungkinan yang ada pada kehidupan; pendidikan, informasi yang bebas dan merdeka, pekerjaan, dan kesetaraan dalam sosial dan politik. Selanjutnya, media mulai merekonstruksi setiap realitas yang muncul pada tubuhnya menjadi sebuah tanda-tanda baru yang unik, kreatif, namun palsu. Ruang media massa pada tahap kedua telah menjadi sebuah asosiasi tanda yang dangkal, tidak utuh, dan anti-realitas itu sendiri.
Kepalsuan realitas ini bisa kita saksikan saat media massa menyajikan tentang bentrokan antara negara yang diwakili Tentara Nasional Indonesia bersama Polisi, versus organisasi keagamaan yang direpresentasikan sebagai Front Pembela Islam. Kita menontonnya dengan telanjang di media, bagaimana mereka bertengkar, bertarung, berperang; secara bebas dan tak terkontrol. Masyarakat yang menjadi ‘massa diam’ hanya dapat mengamati sembari ketakutan jika terjadi bentrok yang berkepanjangan. Namun apa yang sesungguhnya terjadi? Pada dunia yang simulatif, tidak ada yang pasti; gamang, ragu, dan mengkhawatirkan.
Tahap ketiga dari simulasi yang dilakukan (industri) media masa adalah mengaburkan seluruh tanda-tanda sosial-budaya itu menjadi realitas yang benar-benar baru. Awalnya media masih memberitakan negara dan FPI secara proporsional, saling beradu konsep nasionalisme, kebebasan, dan hak-hak konstitusional. Namun semakin lama, negara dan FPI mulai berhadap-hadapan; tidak peduli lagi bahwa mereka sama-sama orang Indonesia. Media, melalui kemampuannya mem-framing dan mengacaukan tanda bahasa (discourse) membentuk realitas baru; negara mewakili kaum nasionalis dan FPI mewakili kaum Islam.
Tanda-tanda semacam ini sangat berbahaya jika terus-menerus dipublikasikan media massa. Media massa harus membebaskan dirinya dari sergapan pasar yang mengerikan ini. Sejak awal mulanya, media dianggap sebagai pilar demokrasi, ia menjaga kewarasan berfikir masyarakatnya, bahkan bersama-sama sastra untuk menginspirasi pembacanya. Media dipuja sebagai pembawa perubahan. Di kampus-kampus, media massa dikaji, dianalisis, digunakan sebagai salah satu mercusuar kebenaran yang akan menjadi guide bagi orang yang tersesat.
Parodi
Seluruh proses penciptaan tanda dan wacana di media massa merupakan sebuah peperangan tiada akhir. Media massa tengah memparodikan sebuah realitas menjadi sesuatu yang lucu, menggembirakan, dan bahkan menjadi bahan canda tawa warung kopi. Kita, sebagai manusia juga sedang memparodikan kehidupan dengan cara yang aneh; lebih mempercayai media massa, mempercayai apapun yang disampaikan media, bertengkar dengan akun anonim di media sosial untuk membela sesuatu yang kita tidak tahu pasti kebenarannya. Kita sedang melucu, sedang menghilang dalam sebuah peradaban teatrikal di negara teater.
Parodi dalam budaya posmodern tidak pernah disadari oleh individu sehingga manusia cenderung terjerumus pada ambiguitas pengetahuan. Kita enggan memahami bahwa media massa sedang mengolok-olok kehidupan penontonnya sendiri dengan cara memalsukan setiap realitas. Persis seperti kita yang marah, menangis, menjerit ketakutan, saat menonton film di bioskop. Padahal kita sama-sama tahu bahwa film merupakan karya fiktif-artistik. Manusia akhirnya kehilangan hal-hal yang transendental, nilai moral dan spiritual, yang lebih dari sekadar penamaan agama tertentu.
Apalagi –tentu ini lebih mengenaskan- agama telah menjadi komoditas baru di media sosial sehingga nilai-nilai sakralitasnya merosot. Banyak orang mempelajari agamanya melalui YouTube. Dari jutaan vieo yang ada di sana, bagaimana kita memutuskan video yang mengajarkan agama secara benar? Manusia kehilangan tempat berpijak. Dimana-mana yang ada hanyalah realitas semu religiusitas. Agama, moral, kebenaran, semua telah menjadi bahan tontonan di media sosial yang menghasilkan Adsense dan perang komentar. Jika sudah seperti ini, apa yang tersisa dari kemanusiaan kita? Hilang dalam kebercandaan.
Kita harus merevolusi pikiran kita sendiri. Diet media perlu dilakukan. Literasi terhadap politik, sosial, ekonomi, dan bahkan keuangan, perlu digencarkan. Media sosial mulai harus dibatasi dan digunakan hanya untuk kepentingan sosial serta penyebaran gagasan yang konstruktif. Tentu saja ini bisa diperdebatkan, namun pilihan pertama dan radikal selalau menjadi pilihan tersulit. Saatnya kita mulai bertanya tentang pemberitaan media massa yang selalu menghadirkan konflik –lalu menghasilkan konflik lanjutan. Media massa juga harus instropeksi tentang bagaimana melaporkan fakta, menjadi melaporkan kebenaran. Media harus menghentikan leluconnya, dan khalayak akan berhenti memparodikan kehidupannya yang mengenaskan.
Penulis, Fathul Qorib, Kepala Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi
2020-08-19
Diskursus Lockdown di Indonesia
Dunia sedang panik menghadapi pandemic Coronavirus Diseas 2019 (Covid-19). Virus ini pertama kali ditemukan pada sekelompok orang yang terkena pneumonia di Wuhan, Cina, tanggal 29 Desember 2019 (Chen et al., 2020; Zhu et al., 2020). Pakar menyebutkan bahwa virus ini ditularkan dari kalelawar ke hewan yang dikonsumsi manusia (El Zowalaty and Järhult, 2020). Kalelawar ini yang paling banyak membawa zoonotic viruses dibandingkan hewan mamalia lain yang berinteraksi dengan manusia (Olival et al., 2017).
Karena itu dunia kesehatan harus dapat memprediksi dan melakukan pencegahan agar virus yang sama tidak hinggap ke tubuh manusia (Morse et al., 2012). Paling ada lima hewan yang bisa menjadi penghantar coronavirus pada manusia meskipun untuk Covid-19 memiliki pola virus berbeda, paguma larvata, paradoxurus hermaphroditus, civet, aselliscus stoliczkanus dan rhinolophus sinicus (Li, Yang and Ren, 2020). Prediksi relasi manusia-hewan untuk beberapa dekade ke depan akan terus meningkat karena kebutuhan manusia terhadap sumber protein hewani melalui peternakan juga semakin besar (Wilson and Chen, 2013).
Tapi yang paling berbahaya adalah ketika bahwa penularan virus terjadi dari manusia ke manusia dengan tingkat efektifitas yang tinggi (Zhou et al., 2020). Manusia menjadi penghantar Covid-19 paling pesat karena kemampuan manusia untuk berpindah tempat dengan efektif dan efisien (Wilson and Chen, 2013). Hanya dalam waktu tiga bulan virus ini telah menyebar ke lebih dari 200 negara di seluruh dunia dengan total kematian mencapai 46.764 jiwa (WHO, 2020). Kematian akibat Covid-19 jauh melebihi coronavirus terdahulu, yaitu SARS pada tahun 2002-2003 dan MERS pada tahun 2012.
Penyebaran Covid-19 memang luar biasa dengan tingkat kematian korban sangat tinggi. Karena itu, World Health Organization (WHO) mengumumkan status public health emergency of international concern (PHEIC) pada tanggal 31 Januari 2020 karena Covid-19 telah menyerang 10.000 orang, menyebar pada 18 negara, dan angka kematian hingga 213 di Cina (BBCNews, 2020; Wee, Jr and Hernandez, 2020). Dengan pengumuman darurat tersebut, seluruh negara di dunia harus menyiapkan skema penanganan kesehatan yang dapat mengurangi risiko penyebaran coronavirus.
Sayangnya, tidak semua negara mematuhi ‘saran’ dari WHO, termasuk di Indonesia. Negara dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta ini bahkan membuat kebijakan yang banyak dikiritik oleh masyarakatnya sendiri. Seperti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberi diskon penerbangan ke Indonesia mulai Maret sampai Mei 2020 di tengah ketidakpastian pandemic Covid-19 (Ananda, 2020; Briantika, 2020). Indonesia dituding lebih memperhatikan bisnis dan ekonomi dibandingkan keselamatan warganya (Syakriah, Cahya and Pinandita, 2020)
Bahkan sejak beredar kasus corona di berbagai negara, Pemerintah Indonesia sangat yakin bahwa corona tidak akan masuk ke Indonesia. Optimisme Pemerintah Indonesia tersebut malah dianggap sebagai ignorance oleh masyarakat internasional. Padahal banyak laporan terkait negara di kawasan Asia yang menemukan kasus positif Covid-19 seperti Cambodia, Jepang, Nepal, Singapura, Korea Utara, Thailand, Taiwan, dan Vietnam. Bahkan Vietnam menjadi negara pertama setelah Cina yang warga negaranya positif Covid-19 (Phelan, Katz and Gostin, 2020).
Beberapa pakar telah melakukan analisis mendalam terkait dengan kemungkinan negara-negara yang menjadi sasaran coronavirus selanjutnya, dan Indonesia termasuk di dalamnya (McVeigh and Graham-Harrison, 2020; Salazar et al., 2020). Peneliti mendasarkan analisisnya pada penerbangan dunia yang berhubungan dengan Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Analisis ini memiliki argumentasi yang kuat karena seluruh penerbangan dari dan ke Wuhan diindikasikan membawa virus. Dari data penerbangan internasional, Indonesia masuk dalam lima besar negara yang memiliki akses langsung ke Cina setelah Thailand, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Hongkong (The Moodie Davitt Report, 2020)
Banyak analis yakin bahwa ketiadaan kasus Covid-19 dikarenakan alat pendeteksi coronavirus belum tersedia di Indonesia, bukan karena zero case. Apalagi fasilitas kesehatan di Indonesia juga tidak memenuhi standar keamanan dan kesehatan untuk penanganan Covid-19 sehingga Indonesia dianggap belum siap menghadapi coronavirus. Indonesia juga dikritik karena anggaran penelitian ilmiah sangat kecil bahkan salah satu negara paling rendah di kawasan Asia. Sehingga disangsikan munculnya penelitian berkaitan dengan pencegahan dan pengobatan virus jenis baru ini (Firdaus, 2020; Massola, 2020; Mulyanto and Firdaus, 2020)
Kebijakan pemerintah Indonesia sejak awal munculnya kasus Covid-19 terus menuai kontroversi. Mulai dari menertawakan corona (Renaldi, 2020), ketidakpercayaan terhadap riset analisis penerbangan internasional dari Cina ke Indonesia (Syakriah, Cahya and Pinandita, 2020), penyediaan diskon untuk penerbangan ke Indonesia dan lokasi wisata hingga Mei 2020 (Briantika, 2020), kebijakan lockdown hingga pengadaan rappid test massal. Sehingga tidak mengherankan seluruh sebagian besar masyarakat Indonesia mempertanyakan keseriusan pemerintah dan menganggap ketidaksiapan tersebut sebagai –penyebab Covid-19 menyebar.
Menurut Data Center penanganan Covid-19 Republik Indonesia, sejak tanggal 2 Maret 2020 hingga artikel ini ditulis, ada 1.986 warga Indonesia yang positif Covid-19, 134 diantaranya sembuh dan 181 jiwa meninggal. Ketakutan meluas di seluruh Indonesia sehingga masing-masing kepala daerah menerapkan lockdown terbatas pada wilayahnya masing-masing. Seruan untuk social distancing –lalu diibah menjadi physical distancing- ramai disuarakan di media sosial. Seluruh warga Indonesia merasa perlu menjaga diri dan keluarganya dari penularan virus yang tidak kasat mata ini.
Penelitian tentang Covid-19 di Indonesia belum dilakukan dalam skala besar. Misalnya terkait kebijakan lockdown atau karantina wilayah yang telah menjadi agenda besar seluruh negara-negara di dunia, tetapi Indonesia tidak mau segera menerapkan kebijakan tersebut. Belajar dari Pemerintah Cina dalam menghadapi Covid-19, mereka langsung menyiapkan rumah sakit yang mampu menampung pasien dalam jumlah besar dengan spesifikasi ruangan yang baik. Mereka juga menerapkan travel restriction bagi semua perjalanan sehingga mitigasi pasien Covid-19 dapat dilacak dengan cepat.
Penyebaran Covid-19 outbreak lebih mirip pada pandemic influenza yang terjadi di London, United Kingdom, pada tahun 1918, dibandingkan dengan pandemic yang disebabkan coronavirus lainnya seperti SARS dan MERS (Lin et al., 2020). Di negara tersebut lockdown diberlakukan agar pandemic tidak menyebar. Mengatasi coronavirus ini, pakar juga menyarankan agar menerapkan kebijakan yang sanggup menghalangi penyebaran korona lebih luas dengan cara karantina wilayah.
Kebijakan lockdown di Cina dapat mengatasi penambahan kasus positif dan kematian akibat Covid-19 hingga 60% (Shen et al., 2020). Bahkan efeknya jangka panjang karena dapat menghentikan laju perkembangan Covid-19, lalu pemerintah bisa fokus pada rapid test sehingga seluruh warga yang dalam pengawasan dapat teridendifikasi. Apalagi puluhan negara di dunia juga sudah menerapkan lockdown, termasuk negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, sementara Indonesia menerapkan physical distancing dan partial isolated (Intan, 2020; Kompas, 2020).
Pemerintah yang tidak mau menerapkan kebijakan lockdown mendapat tantangan publik Indonesia di media sosial. Keputusan pemerintah untuk menerapkan lockdown sepenuhnya atau hanya partial isolated mengundang banyak kontoversi. Tagar #lockdownindonesia di Twitter menunjukkan adanya gerakan dari masyarakat yang ingin pemerintah bersikap tegas terhadap Covid-19. Mereka menyuarakan pemberlakuan lockdown karena dampaknya dapat mengurangi kasus Covid-19 yang sudah menyebar ke banyak provinsi di Indonesia.
Media sosial di Indonesia dibiarkan merdeka tanpa intervensi dari pemerintah. Padahal media sosial memudahkan interaksi antara pemerintah dan masyarakat juga kelompok lain dalam bernegara (Khan, Swar and Lee, 2014). Sebuah studi di Aceh bahkan menyebutkan bahwa banyak legislator (terutama perempuan) yang tidak menggunakan media sosial padahal penting untuk menyampaikan tugasnya kepada konstituennya (Mardhiah et al., 2019). Media sosial juga banyak berjasa untuk mengatasi manajemen krisis di berbagai bidang, termasuk bencana banjir Kerala, Hindia Selatan (Varghese and A, 2019).
Karena itu Pemerintah Indonesia perlu menggunakan Twitter untuk menyebarkan gagasan yang mendukung kehidupan lebih baik. Apalagi di masa pandemic Covid-19 yang menimbulkan panic attact sebagian besar masyarakat Indonesia, pemerintah perlu menyapa dan mengklarifikasi banyak hal.
Masyarakat yang menggunakan media sosial sebenarnya sudah membentuk cluster yang berisi orang-orang sepemahaman sehingga mudah dipengaruhi. Dalam pemahaman komunikasi krisis, pemerintah Indonesia dapat memengaruhi masyarakat melalui clustering yang sudah otomatis terjadi di media sosial. Seseorang yang percaya dengan pemerintah akan saling follow dan retweet aktivitas yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap pemerintah. Hal itu juga akan terjadi sebaliknya. Karena individu butuh penguatan sosial dari lingkungannya untuk mengetahui, mempercayai, atau melakukan suatu tindakan. Penyebaran perilaku akan lebih cepat dan lebih luas ketika mereka mendapatkan penguatan dari sesama kelompok di media sosial (Centola, 2010)
Dalam konteks lockdown yang diterapkan di Indonesia, pemerintah tidak cukup siap untuk melakukan penyebaran pemahaman sebagaimana yang dipahami pemerintah. Jika membaca ‘cuitan’ di Twitter, maka kita akan mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Media massa memang sudah menerbitkannya tetapi jangkauan media massa hanya pada kelas khusus masayarakat dan tidak dapat melakukan interaksi secara langsung dengan pembuat kebijakan. Media sosial yang telah menjangkau ke sisi-sisi terdalam manusia dan lingkungan sosialnya harus dimasuki oleh pemerintah dalam rangka menjaga akal sehat publik (van Dijck, 2019).
Perjalanan singkat tapi menghebohkan Covid-19 di Indonesia memiliki banyak aspek yang perlu dikaji guna menghadapi tantangan kesehatan di masa mendatang. Pemerintah perlu menyiapkan basis data dan basis komuninasi interaksional yang jelas menyangkut kehidupan masayarakat. Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan wabah yang mengancam kesehatan seluruh masayarakat harus tampak dalam setiap langkah yang mereka ambil. Media sosial telah berkembang menjadi platform digital life yang mengungkap seluruh kehidupan pribadi dan sosial penggunanya.
Tulisan ini ingin mengungkap bagaimana usaha Pemerintah Indonesia dalam menangani pandemic Covid-19 yang dapat ditangkap dalam wacana-wacana media sosial, khususnya Twitter. Kebijakan yang akan dianalisis menggunakan Social Network Analysis adalah’ lockdown’ karena kami menganggap kebijakan ini paling urgent dibanding kebijakan lainnya dalam menghadapi Covid-19. Data-data didapatkan dari Twitter yang merupakan media sosial yang memiliki ciri interaktif, sharing content, terbuka, penggunannya tidak dibatasi oleh tempat dan waktu, sehingga Twitter dapat digunakan oleh siapapun (Mishra and Maharana, 2019; Siyam, Alqaryouti and Abdallah, 2020).
Mengapa Twitter menjadi penting dalam kontelasi kebijakan publik Indonesia? Karena pengguna Twitter saat ini menempati posisi terbesar ke tiga media sosial di Indonesia setelah Facebook dan Youtube, yaitu sebesar 22.8 juta sehingga menempati hampir 11 persen marketshare (Statista, 2015; StatCounter Global Stats, 2020). Dengan jumlah pengguna sebanyak itu, Twitter menjadi salah satu public sphere yang dapat digunakan pemerintah untuk diseminasi Covid-19 meskipun hal itu tidak dilakukan pemerintah secara terencana. Wacana publik yang dishare melalui media sosial akan mengubah pendapat umum di berbagai bidang, baik soal lingkungan, kesehatan, politik, hingga huburan (Nwachi and Igbokwe, 2019).
Apalagi pengguna Twitter merupakan generasi milenial yang memiliki idealisme dan kepercayaan diri tinggi sehingga tidak mudah terpengaruh oleh buzzer politik ataupun berita hoax (Lukman, 2014). Analiisis isi Twitter akhirnya dapat menggambarkan kebijakan Pemerintah Indonesia sekaligus memperoleh deskripsi gagasan masyarakat Indonesia dalam rangka merespon otoritas negara. Covid-19 masih terus menghantui masyarakat dunia sehingga Pemerintah Indonesia harus merumuskan penanganan secara komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
oleh Fathul Qorib, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, UNITRI Malang. IG - @fathul_indonesia
Daftar Pustaka
Ananda, A. (2020) Jurus Jokowi Lawan Virus Corona dengan Diskon Tiket Pesawat, CNN Indonesia2. Available at: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200226091352-532-478192/jurus-jokowi-lawan-virus-corona-dengan-diskon-tiket-pesawat (Accessed: 3 April 2020).
BBCNews (2020) Coronavirus declared global health emergency by WHO - BBC News, BBC News. Available at: https://www.bbc.com/news/world-51318246 (Accessed: 3 April 2020).
Briantika, A. (2020) Tiket Pesawat Murah Jadi Biang COVID-19 Masif di Indonesia? - Tirto.ID, Tirto Id. Available at: https://tirto.id/tiket-pesawat-murah-jadi-biang-covid-19-masif-di-indonesia-eELB (Accessed: 3 April 2020).
Centola, D. (2010) ‘The spread of behavior in an online social network experiment’, Science. American Association for the Advancement of Science, 329(5996), pp. 1194–1197. doi: 10.1126/science.1185231.
Chen, N. et al. (2020) ‘Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study’, The Lancet. Lancet Publishing Group, 395(10223), pp. 507–513. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30211-7.
van Dijck, J. (2019) ‘Governing digital societies: Private platforms, public values’, Computer Law and Security Review. Elsevier Ltd. doi: 10.1016/j.clsr.2019.105377.
Firdaus, F. (2020) Indonesia’s Zero Coronavirus Cases May Be Bad Screening, Foreign Policy. Available at: https://foreignpolicy.com/2020/02/19/indonesia-coronavirus-screening-may-miss-virus-carriers/ (Accessed: 3 April 2020).
Intan, G. (2020) Kenapa Indonesia Tidak ‘Lockdown’? Ini Jawaban Jokowi, VOA Indonesia. Available at: https://www.voaindonesia.com/a/kenapa-indonesia-tidak-lockdown-ini-jawaban-jokowi/5343239.html (Accessed: 4 April 2020).
Khan, G. F., Swar, B. and Lee, S. K. (2014) ‘Social Media Risks and Benefits’, Social Science Computer Review. SAGE Publications Inc., 32(5), pp. 606–627. doi: 10.1177/0894439314524701.
Kompas (2020) Update 23 Negara Berlakukan Lockdown Guna Hentikan Penyebaran Virus Corona, Kompas.com. Available at: https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/30/161900865/update-23-negara-berlakukan-lockdown-guna-hentikan-penyebaran-virus-corona (Accessed: 4 April 2020).
Li, C., Yang, Y. and Ren, L. (2020) ‘Genetic evolution analysis of 2019 novel coronavirus and coronavirus from other species’, Infection, Genetics and Evolution. Elsevier B.V, 82, p. 104285. doi: 10.1016/j.meegid.2020.104285.
Lin, Q. et al. (2020) ‘A conceptual model for the coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak in Wuhan, China with individual reaction and governmental action’, International Journal of Infectious Diseases. Elsevier B.V., 93, pp. 211–216. doi: 10.1016/j.ijid.2020.02.058.
Lukman, E. (2014) Twitter Has Close to 20 Million Active Users in Indonesia, TechinAsia. Available at: https://www.techinasia.com/twitter-close-20-million-active-users-indonesia (Accessed: 3 April 2020).
Mardhiah, A. et al. (2019) ‘Utilization Of Social Media In Giving Information Related To Activities And Performance Of Legislative Members (-A Case Study of Women Legislative Members in the Aceh People’s Representative Council (DPRA)’, Library Philosophy and Practice (e-journal). Available at: https://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/2849 (Accessed: 4 April 2020).
Massola, J. (2020) ‘That’s a problem’: Indonesia’s Coronavirus Vulnerability Revealed, The Sydney Morning Herald. Available at: https://www.smh.com.au/world/asia/that-s-a-problem-indonesia-s-coronavirus-vulnerability-revealed-20200130-p53wc9.html (Accessed: 25 March 2020).
McVeigh, K. and Graham-Harrison, E. (2020) Academic stands by research querying Indonesia’s claim to be coronavirus-free, The Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/world/2020/feb/14/indonesia-coronavirus-academic-harvard-marc-lipsitch (Accessed: 3 April 2020).
Mishra, C. and Maharana, B. (2019) ‘Impact of Social Media on Academic Business School Libraries in India: An Empirical Study’, Library Philosophy and Practice (e-journal). Available at: https://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/2871 (Accessed: 4 April 2020).
Morse, S. S. et al. (2012) ‘Prediction and prevention of the next pandemic zoonosis’, The Lancet. Elsevier, pp. 1956–1965. doi: 10.1016/S0140-6736(12)61684-5.
Mulyanto, R. and Firdaus, F. (2020) Why are there no reported cases of coronavirus in Indonesia?, Al Jazeera. Available at: https://www.aljazeera.com/news/2020/02/reported-cases-coronavirus-indonesia-200218112232304.html (Accessed: 3 April 2020).
Nwachi, C. and Igbokwe, J. (2019) ‘The Impact of Social Media in Research Publicity and Visibility’, Library Philosophy and Practice (e-journal). Available at: https://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/2298 (Accessed: 4 April 2020).
Olival, K. J. et al. (2017) ‘Host and viral traits predict zoonotic spillover from mammals’, Nature. Nature Publishing Group, 546(7660), pp. 646–650. doi: 10.1038/nature22975.
Phelan, A. L., Katz, R. and Gostin, L. O. (2020) ‘The Novel Coronavirus Originating in Wuhan, China: Challenges for Global Health Governance’, JAMA - Journal of the American Medical Association. doi: 10.1001/jama.2020.1097.
Renaldi, A. (2020) Simak Kompilasi Guyonan Pejabat Indonesia Soal Virus Corona, Agar Harimu Lebih ‘Cringy’, Vice. Available at: https://www.vice.com/id_id/article/pkeqag/guyonan-pejabat-indonesia-soal-virus-corona (Accessed: 4 April 2020).
Salazar, P. M. De et al. (2020) ‘Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases’, Journal MedRxiv. Cold Spring Harbor Laboratory Press, p. 2020.02.04.20020495. doi: 10.1101/2020.02.04.20020495.
Shen, M. et al. (2020) ‘Lockdown may partially halt the spread of 2019 novel coronavirus in Hubei province, China’, medRxiv. Cold Spring Harbor Laboratory Press, p. 2020.02.11.20022236. doi: 10.1101/2020.02.11.20022236.
Siyam, N., Alqaryouti, O. and Abdallah, S. (2020) ‘Mining government tweets to identify and predict citizens engagement’, Technology in Society. Elsevier Ltd, 60. doi: 10.1016/j.techsoc.2019.101211.
StatCounter Global Stats (2020) Social Media Stats Indonesia, Statscounter.com. Available at: https://gs.statcounter.com/social-media-stats/all/indonesia (Accessed: 10 February 2020).
Statista (2015) Twitter: Number of Users in Indonesia 2019, Statista.com. Available at: https://www.statista.com/statistics/490548/twitter-users-indonesia/ (Accessed: 19 February 2020).
Syakriah, A., Cahya, G. H. and Pinandita, A. (2020) Experts warn against complacency as Indonesia reports zero cases of coronavirus - National - The Jakarta Post, The Jakarta Post. Available at: https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/27/experts-warn-against-complacency-as-indonesia-reports-zero-cases-of-coronavirus.html (Accessed: 3 April 2020).
The Moodie Davitt Report (2020) Coronavirus Update: China Duty Free Group closes Haitang Bay store as crisis escalates., The Moodie Davitt Report. Available at: https://www.moodiedavittreport.com/coronavirus-update-china-duty-free-group-closes-haitang-bay-store-as-crisis-escalates/ (Accessed: 3 April 2020).
Varghese, R. and A, Y. T. (2019) ‘Role of social media during Kerala floods 2018’, Library Philosophy and Practice (e-journal). Available at: https://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/2754 (Accessed: 4 April 2020).
Wee, S.-L., Jr, D. G. M. and Hernandez, J. C. (2020) W.H.O. Declares Global Emergency as Wuhan Coronavirus Spreads - The New York Times, New York Times. Available at: https://www.nytimes.com/2020/01/30/health/coronavirus-world-health-organization.html (Accessed: 3 April 2020).
WHO (2020) Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report – 70. Available at: https://www.who.int/health-topics/coronavirus#.
Wilson, M. E. and Chen, L. H. (2013) ‘Travelers Give Wings to Novel Coronavirus (2019-nCoV)’, Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
Zhou, F. et al. (2020) ‘Clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort study’, The Lancet. Lancet Publishing Group, 395(10229), pp. 1054–1062. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30566-3.
Zhu, N. et al. (2020) ‘A Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China, 2019’, New England Journal of Medicine. Massachussetts Medical Society, 382(8), pp. 727–733. doi: 10.1056/NEJMoa2001017.
El Zowalaty, M. E. and Järhult, J. D. (2020) ‘From SARS to COVID-19: A previously unknown SARS- related coronavirus (SARS-CoV-2) of pandemic potential infecting humans – Call for a One Health approach’, One Health. Elsevier B.V, 9, p. 100124. doi: 10.1016/j.onehlt.2020.100124
2020-05-03
Media Siber, Pidana, dan Kualitas Jurnalistik
Kita sedang berada pada satu-satunya kapal
yang dapat mengantarkan seluruh penumpangnya pada daratan, tetapi kapal itu
sedikit bocor, gelombang tinggi, arah angin tidak menentu, dan layar setengah
berkembang. Itulah gambaran aktivitas jurnalistik yang terjadi pada media siber
masa kini. Alih-alih menjadi mercusuar yang mengarahkan masyarakat pada
kebenaran, media siber malah membuat bingung masyarakat itu sendiri.
Media siber punya tanggung jawab yang
lebih besar dibanding media massa konvensional. Televisi memang masih
mendominasi konsumsi media massa di berbagai wilayah (Nielsen, 2017; CSIS,
2017; IDNTImes, 2019) tetapi sudah tidak ada lagi yang membicarakan televisi
sebagai media yang secara fisik harus ada di setiap ruangan rumah tangga.
Televisi sudah beralih ke ponsel pintar yang di dalamnya terdapat lebih banyak
ragam pilihan. Demikian pula radio, dan media cetak yang harus bekerja keras
untuk mendapatkan pelanggan.
Semuanya beralih ke media siber yang
hampir menjadi sumber informasi masyarakat lintas generasi. Media siber
memperoleh pembaca yang spektakuler dibanding pembaca yang bisa dicapai media
cetak. Detik.com misalnya memperoleh pembaca harian mencapai 34 juta pageviews (statistic dari
worthofweb.com). Bandingkan dengan Kompas yang pada tahun 2014 menjual 507.000
eksemplar (Suryana, 2018). Kondisi ini mengubah sumber informasi yang
sebelumnya didominasi media konvensional, sekarang berubah ke siber.
Dengan potensi pembaca yang mencapai
jutaan perhari pada media siber, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga
memiliki kegalauan. Dalam buku yang
mereka terbitkan dengan judul ‘Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika’, AJI
membuat ungkapan bahwa zaman ini kita; mengoyak-oyak
aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun.
Jika pakem jurnalistik sudah terkoyak, etika berganti laba, maka sudah jelas
pidana akan menemukan jalannya kepada wartawan dan media massa.
Realitas ini harus disikapi oleh media
siber agar terus memperhatikan kualitasnya. Pola-pola penyelesaian sengketa
melalui Dewan Pers yang sering dianggap menguntungkan media massa, jangan
menjadi garansi bahwa pers akan selalu lolos pidana dan perdata dari
orang-orang yang terluka gara-gara pemberitaan. Pers jelas harus berbenah.
Pemberitaan media siber harus tetap mengedepankan kaidah jurnalistik yang baik
dan selalu mengutamakan kebenaran dalam pemberitaannya. Disiplin verifikasi
juga perlu diperkokoh. Karena sejatinya, jurnalisme berkualitaslah yang akan
menjauhkan pidana dari jurnalistik itu sendiri.
Pembersihan
Yellow Journalism
Pekerja media dan akademisi tentunya
memahami bagaimana yellow journalism
pertama kali populer di Amerika sekitar akhir tahun 1800-an. Istilah tersebut
merujuk pada media massa yang lebih banyak memberitakan berita sensasi, gosip,
membesar-besarkan peristiwa, atau pemberitaan terkait skandal orang terkenal.
Pada media jenis ini, layout bermain
pada komposisi warna yang mencolok, judul berita menggunakan font yang besar, dan permainan kata-nya
mengusik orang-orang sehingga tertarik membeli.
Media siber masa kini, tanpa berniat
melakukan generalisasi, memiliki ciri khas yang sama dengan ‘jurnalisme kuning’
tersebut. Banyak media online yang mengadopsi judul-judul bombastis,
pemeriksaan fakta yang tidak jeli, serta memberitakan segala sesuatu yang
sedang viral di media sosial. Proses
jurnalistik yang tidak serius ini berimplikasi pada kualitas berita yang tidak
bisa membangun khalayaknya. Padahal peran jurnalisme dalam kehidupan berbangsa-bernegara
amat penting, bahkan menjadi satu-satunya sumber informasi tentang kondisi
sosial, ekonomi, dan politik Indonesia.
Berita sensasi yang ada pada media siber
sebenarnya bertujuan untuk menarik pembaca sebanyak-banyaknya. Hasilnya adalah traffic meningkat, lalu dibaca oleh
pemasang iklan sebagai media potensial untuk menggelontorkan dana promosi. Dari
sana media siber bisa hidup dan menghidupi seluruh karyawannya. Tetapi
cara-cara semacam ini melukai idealisme jurnalisme yang sejak awal bertujuan
untuk mengawal dan mengoreksi kekuasaan, bukan hanya tujuan ekonomi.
Jika tidak segera dibersihkan, kondisi
ini bisa membahayakan aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh seluruh
wartawan di Indonesia. Jika terjadi ketidakpercayaan massal terhadap media
massa maka Indonesia terancam bahaya. Siapa lagi yang dapat dipercaya oleh
masyarakat? Sebutan media massa sebagai pilar demokrasi keempat bukanlah jargon
kosong. Demokrasi, yang seluruhnya bersumber dari rakyat, menginginkan agar
media massa juga membela rakyat, bukan hanya memikirkan kelangsungan bisnis.
Jika kepercayaan masyarakat kemudian
beralih ke media sosial, maka kebenaran bisa menjadi sumir, bahkan kabur dan
dapat dipalsukan. Media sosial tidak memiliki mekanisme gatekeeper sebagaimana media massa yang bisa menyaring informasi
bodong. Karena itu, media massa harus segera memperbaiki diri untuk
mendapatkana kepercayaan seratus persen dari masyarakatnya. Seluruh elemen
harus menjaga kualitas pers sehingga bisa menjadi pilar yang kokoh.
Dewan Pers memang tidak memiliki
kekuatan untuk menghalau setiap media siber yang melanggar kode etik dan
menggunakan cara-cara yellow journalism
dalam aktivitas jurnalistiknya. Ancaman pidana juga tidak akan bisa dikenakan
kepada media yang ‘sekadar’ tidak disiplin dalam melakukan verifikasi. Karena
itu, persoalan utama sebenarnya terletak pada bagaimana perusahaan pers, tim
redaksi, wartawan itu sendiri, di tambah peran serta masyarakat, melakukan
penjagaan terhadap media.
Secara teori, media akan berkualitas
jika perusahaan memberikan keleluasaan kepada redaksi untuk berkembang tanpa
dituntut untuk melayani kepentingan golongan/orang tertentu. Tim redaksi
membangun sistem yang ketat untuk menjaga wartawan tidak main mata atau
dikendalikan kemalasannya memverifikasi setiap informasi sampai ke narasumber
utama. Wartawan juga harus membawa pondasi jurnalistik yang jujur dan berpihak
kepada kebenaran dalam setiap pemberitaannya.
Masyarakat di sisi lain saat ini
menjadi komponen penting untuk mengoreksi media siber jika terjadi kesalahan.
Pada media massa konvensional, masyarakat sulit menyampaikan pendapatnya karena
harus melalui mekanisme berbelit serta tidak bisa dilakukan secara langsung.
Saat ini media siber menyediakan ruang yang luas untuk mengomentari setiap
berita yang ditayangkan. Bahkan media siber menyediakan kanal-kanal diskusi,
selain untuk menjaga kualitas, juga mendapatkan traffic dari diskusi yang dilakukan masyarakat.
Literasi
Media
Masalahnya sekarang masyarakat sendiri
tidak bisa membedakan mana media siber yang berbasis jurnalistik, dan mana website
yang berbasis opini perseorangan. Banyak yang tidak mempercayai media siber karena
dianggap sebagai sumber berita hoax
dan informasi yang menyesatkan. Padahal media siber yang serius akan malu jika
menyebar berita hoax. Koreksi pasti segera
dilakukan karena media siber yang tidak kredibel akan ditinggalkan pembaca dan
pengiklan. Masyarakat harus memahami mana media berbasis jurnalistik yang
serius dan mana website yang muncul secara tiba-tiba.
Ada benarnya jika Kementrian
Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI memblokir 800 ribu situs yang informasi
hoax dan negatif sejak tahun 2015. Di tengah masyarakat yang literasi medianya jeblok, media online yang terpercaya pun
rawan dicemooh. Kondisi ini sudah terjadi sejak Jokowi dan Prabowo
dihadap-hadapkan pada Pemilihan Presiden 2019. Buzzer politik yang bertugas sebagai penyebar gosip murahan menebar
hoax di website lalu diklaim oleh
masing-masing pendukungnya sebagai kebenaran.
Media siber yang berbasis jurnalistik masih punya tugas untuk membebaskan diri dari beban tersebut, selain menjauhkan diri dari pidana pers. Tanggung jawab ini jangan diperburuk dengan menugaskan tim redaksi yang malas verifikasi, lebih mengejar click dibanding judul yang sesuai isi, atau redaksi yang menyukai informasi di media sosial dari pada menangkap fakta di lapangan. Insan pers harus terus memperbaiki diri baik secara kuantitas maupun kualitas. Karena masa depan Indonesia terletak pada kualitas jurnalistiknya.
2020-03-08
Cerpen: Pondok Modern
Subuh kali ini lebih gelap
dibanding hari-hari kemarin. Kulihat di luar musala, langit masih bertabur
bintang dengan bulan kecil menyela bercahaya. Jemaah yang wiridan sudah
berkurang karena ini Hari Jumat pertama di Bulan Agustus. Harusnya Jumat adalah
sayyidul ayyam, hari yang paling baik untuk beribadah. Namun kebiasaan
di pondok pesantren ini, Jumat pertama di Bulan Agustus adalah momen kunjungan
keluarga. Sehingga kami sudah mengantri di depan kamar kepala asrama, menunggu
kita menyentuh perangkat paling ajaib di pondok: handphone.
Jumat pertama di bulan-bulan
lain, kami dijenguk keluarga secara bergiliran. Jadi tidak semua santri akan
mendapatkan jatah jenguk. Berbeda dengan Jumat pertama di Bulan Agustus ini,
seluruh santri boleh dijenguk keluarga tanpa terkecuali. Karena itu, kami
mengantri untuk menerima handphone yang dititipkan orang tua kami kepada
kepala asrama. Aku berada di urutan puluhan, mungkin dua puluh atau tiga puluh.
Benaya, yang duduk di depanku, sedang menghatamkan nadham imrithi.
Santri lainnya, berteriak, bersorak, saling olok, dan diantara mereka pasti ada
yang rindu dengan gadis di bayangan mereka masing-masing.
Momen memegang handphone
bagi santri memang sesuatu yang luar biasa. Kita seolah-olah mengetahui dunia
luar yang selama ini tersembunyi dari dawuh kiyai maupun pengajian para
ustadz. Kata beberapa ustadz senior, handphone membawa pengaruh buruk
pada santri jaman sekarang. Mereka sering menceritakan kisah ulama’ salaf yang
berjalan kaki ribuan kilometer untuk belajar. Banyak juga, santri biasa yang menjadi
ulama besar karena berlaku hormat dan ikhlas mengabdi pada gurunya. Kami para
santri yang sekarang mengaji selalu diingatkan untuk mendahulukan akhlak
daripada ilmu.
Karena itu handphone
dilarang bahkan karena menjadikan santri lupa agama dan tidak berakhlak mulia. Kalau
ada santri yang ketahuan membawa handphone akan dihukum menghafal
surat-surat pilihan dalam Al-Quran, atau menghafalkan Alfiyah Ibnu Malik. Ini
kejadian horor karena kami selalu memilih mengaji kitab umum dibanding mengaji
khusus dengan hafalan-hafalan. Nah pagi tadi, ketika selesai jamaah shalat
subuh, Gus Fenan mengajak seluruh santri yang memiliki handphone untuk
berkumpul. Katanya handphone akan bebas digunakan di pondok. Aku hampir
tidak percaya.
Gus Fenan ini usianya muda,
sekitaran dua puluh tiga tahun dan selesai kuliah di Yordania. Nama aslinya Al
fanani, tapi biar keren dia ingin dipanggil Fenan karena dia punya teman baik
beragama Katolik bernama Fenansio ketika di Yordania. Nama mereka ingin
disama-samakan. Nah hanya Gus Fenan ini yang selalu membuat mata kami
terbelalak dengan cerita-cerita mancanegara. Kadang bercerita tentang
mesin-mesin di internet yang menyadap percakapan di handphone,
menceritakan tentang isi ka’bah, rahasia energi doa di dekat ka’bah, atau
cerita legendaris seperti Laila dan Majnun. Cerita handphone yang mau
dibebaskan di pondok juga tidak kalah luar biasa.
Sekitar pukul 06.17, seluruh santri
yang memiliki handphone berkumpul di aula samping musala. Kami tidak tahu kalau
pondok ini sudah memasang wifi sejak tiga bulan yang lalu. Gus Fenan
memulai kisahnya pagi ini dengan sebuah cita-cita. Secara heroik, dia
bercita-cita menyiarkan kajian islam yang damai ke seluruh dunia menggunakan
bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ia memutar YouTube menggunakan LCD dan
menunjukkan pengajian Gus Baha, Habib Ja’far, juga beberapa podcast yang
menjadi tren masa kini. Ia begitu bersemangat hingga matahari sepenggalah.
Tidak lupa, pagi itu ditutup
dengan rebutan password wifi. Kami harusnya shalat dhuha sebagai
rutinitas hari-hari biasa. Tapi pagi ini berbeda, bukan hanya kami akan bertemu
keluarga, tapi kami akhirnya bisa subscribe ke YouTube pondok, follow
Instagram pondok, dan join di Facebook Group pondok.
***
Ratusan santri duduk menekuk
mukanya di layar handphone. Di bawah pohon klampok, Benaya menelpon
orang tuanya hampir satu jam. Di sampingnya ada Adris yang tertawa-tawa sembari
video call dengan kakaknya yang baru memiliki anak perempuan
berusia 3 minggu. Aku sendiri hanya kirim WhatsApp ke kakak iparku kalau sudah
boleh dijenguk, tapi mereka absen untuk saat ini. Lalu aku update status
di Facebook dan scroll seluruh status teman-temanku semasa Sekolah
Dasar. Satu persatu aku kirim komentar dan membalas beberapa pesan yang sudah
sebulan tidak kubaca.
“Bapakmu datang nggak?” tanyaku
ke Adris. Aku tahu bapaknya Adris biasanya tidak datang. Ia berasal dari Dompu,
Nusa Tenggara Barat.
“Kan sudah kubilang, dua tahun
lagi,” balas Adris bersungut-sungut. “Tuh bapaknya Benaya yang datang seminggu
tiga kali,” oloknya ke Ben.
Ben nyengir karena dia
sering dikunjungi keluarga besarnya, kadang bapak, kadang kakak, kadang paman,
kadang juga orang lain yang masih keluarganya. Ben berasal dari Sumba Timur,
lalu orang tuanya hijrah karena menjadi PNS dan ditempatkan di Surabaya. Kata
Ben, di Sumba Timur, Islam menjadi minoritas tapi tidak pernah ada perkelahian.
Kata Ben, di sana agama dijadikan alat pemersatu bukan pemecah belah.
“Eh kamu percaya kalau nanti kita
dibebaskan untuk pakai HP?,” tanya Ben tiba-tiba.
Aku menggeleng. “Kayaknya sih
enggak, Ustad Salim pasti tidak akan memberi izin. Handphone, kawan,
sahabat karib setan yang dapat melenakan kita dari berbicara dengan kawan
dekat, melalaikan kita dari salat dan mengaji,” ucapku meniru Ustad Salim
ketika memberikan ceramah.
“Tapi kan Gus Fenan putera Pak
Kiyai, pasti dia bisa yakinkan Ustad Salim. Aku sepakat dengan Gus Fenan, kalau
sebenarnya agama yang damai itu harus disebarkan lewat medsos, aku sepakat,”
sanggah Adris.
Aku sebenarnya setuju dengan
pendapat Gus Fenan, tapi Adris dan Ben tampaknya sudah optimis lebih dulu. Aku nggak
mau kalah. “HP itu tidak baik sih menurutku, sekarang saja santri yang tidak
punya HP bingung mau hubungi orang tua bagaimana. Kita enak punya HP, mereka
kan kasihan. Jadi lebih baik sama-sama HP dilarang di pondok ini,” aku mencoba
menguatkan pendapat.
“Iya juga ya, tapi bagaimanapun
HP ini penting di zaman sekarang. Santri nggak boleh ketinggalan informasi,
santri nggak boleh kuper apalagi tidak paham tren,” Ben menimpali.
“Agama kita sekarang ini sering
dilihat kerasnya, katanya teroris, kita harus menyelamatkan agama kita ini. Nah
caranya ya memang dengan menyebar pesan damai di media sosial. Bayangkan kalau
ada seratus santri yang selalu posting di Medsos soal kedamaian, pasti
Indonesia juga ikut damai,” sambung Ben. Ia tampak bersemangat sekali.
“Jadi yang tidak punya HP
dibiarkan kudet? Kita maju sendiri, gitu?”
“Ya itu sih terserah ya, pondok
harus ada kebijakan lain. Kan ada komputer yang bisa dipakai santri buat browshing
dan medsos,” jawab Adris.
Aku menggerutu, tapi berusaha
tenang. “Yap boleh juga usulmu haha, nanti akan kubilang ke Gus Fenan,”
gurauku. Tidak mungkin santri berani langsung bicara dengan anak kiyai yang
kami anggap wah dan kharismatik. Perdebatan kami yang tidak penting
memang tidak pernah berakhir. Apalagi hari ini memang hari libur sehingga kami
juga akan sering ejek hingga saling pukul.
Sembari bercengkerama, beberapa
mobil sudah mulai masuk ke pekarangan pondok yang luas. Di tengah pekarangan
ini terdapat pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Parkir
mobil orang tua santri itu mengitari pohon, dan semakin lama semakin panjang, riuh
dengan klakson. Teriakan orang tua mencari anaknya dan tangis haru juga berada
di mana-mana.
Bagi kami bertiga, yang paling
membahagiakan ketika melihat keluarga teman datang adalah; makanan berlimpah,
dan seringkali mereka membawa anak perempuan yang cantik. Kadang aku sendiri
sampai salah tingkah jika ada keluarga teman yang cantik. Kami memang jarang
melihat perempuan. Jadinya kadang bingung bahkan untuk sekadar menyapa.
Saudaraku, Adris, dan Benaya tidak ada yang secantik keluarga orang-orang. Tapi
soal makanan, keluarga Ben selalu dapat diandalkan. Pasti satu mobil L300 itu
penuh dengan pisang dari Sumbermanjing Wetan, salak dari Bangkalan, dan Apel
dari Batu. Istimewa.
“Santri pondok sudah mandarah
daging di keluargaku, karena Islamnya kan baru keturunan ke tiga. Jadi anak
lelakinya wajib ke pondok, dan saudara perempuanku hafalan Al Quran,” jawab Ben
saat kutanya soal makanan yang melimpah.
“Ini nanti om ada bawakan mangga,
katanya di Probolinggo sedang panen. Terus ada titipan dari om yang di
Banyuwangi, satu pick-up buah naga. Di sana murah soalnya, makanya
mending dibagi ke santri biar berkah,” balas Ben. Mataku berbinar, dan Adris
tampak sudah tidak sabar menunggu Om-nya Ben datang.
Di pondok memang sudah terbiasa
membawakan makanan dalam jumlah banyak untuk dibagi ke santri yang lain. Jadi
sudah menjadi adat di pondok, kalau dikunjungi orang tua, harus ajak teman
untuk makan. Aku sendiri jarang dikunjungi orang tua, kalau pun dikunjungi
hanya membawa sedikit makanan. Suatu kali, Bapak dan Emak pernah datang membawa
ubi jalar dan waluh hasil kebun di Sumenep. Para santri menyerbu
oleh-oleh itu seperti kesetanan. Makanya, kalau datang lagi Bapak pasti ngotot
untuk membawa ubi dan waluh bahkan jika belum masa panen. “Biar dapat
berkah dari santri,” ujar Bapak berkali-kali.
Untuk saat ini, kami tidak ikut
menyerbu makanan punya teman karena keluarga Benaya akan datang. Bahkan
beberapa teman kami yang lain sudah mulai berkumpul. Ada Isnaen dari Makassar,
Rajab dari Sukabumi, Toing asli Surabaya, dan Sujai dari Kalimantan. Orang tua
Sujai katanya transmigran sejak tahun 1950-an di Kalimantan. Sekarang mengelola
dua kebun sawit. Kami sengaja mengundang mereka untuk makan bersama.
Seringkali, kalau makanan dirasa banyak, kami akan taruh di tengah asrama lalu
mempersilakan siapapun untuk mengambil makanan itu.
Sejak lima tahun di Pesantren
ini, budaya ini terus berjalan. Menurutku, budaya ini sesuatu yang baik dan
patut dilestarikan. Karena banyak santri di sini yang kekurangan makanan karena
orang tuanya jauh dan tidak bisa sering kirim uang ke pengurus asrama. Banyak
yang beli beras sendiri dan masak di belakang pondok. Di sana juga ada sepetak
lahan yang digarap santri. Tanaman apapun tumbuh di sana, mulai dari bayam,
lombok, bawang merah dan putih, bahkan papaya dan markisa juga tumbuh subur.
Sebagai santri memang kami tidak boleh mengeluh. Apapun harus dilakukan agar
bisa bertahan mengaji dan belajar agama di sini.
**
“Eh ada video baru di YouTube
Pesantren Tinggi,” teriak Ben.
Ben membuka video tersebut lalu
kami ikut menontonnya bersama-sama. Ternyata YouTube milik pesantren sudah
berumur tiga bulan. Aku yakin kalau Gus Fenan yang membuatnya. Video itu
menampilkan Gus Fenan dan salah satu santri senior kami di ruangan putih dengan
ornament kayu. Ada microphone dan headphone, lalu air putih,
beberapa kitab tebal di letakkan secara artistik di meja kaca. Di belakang Gus
Fenan ada lambing pesantren kami, dan kaligrafi bertuliskan “Hakikat -Podcast”.
Entah apa maksudnya, sepertinya Gus Fenan punya rencana.
Diiringi deru mobil keluarga
teman yang keluar masuk, kami mendengarkan Gus Fenan yang memberikan penjelasan
tentang santri yang harus berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Kami yang
sekarang berada di Madrasah Diniyah Wustho kelas 3 memang bisa mengikutinya,
tapi entah bagi yang masih kelas Ula. Kelas 3 Wustho ini seperti kelas 3 SMA di
sekolah formal, Diniyah Ula berarti masih SMP. Selesai Wustho aku masih harus
bertahan 2 tahun lagi di Madrasah Diniyah Aliyah.
“Santri selalu diidentikkan
dengan kolot, kuno, dan jorok. Kita harus mengubahnya. Kita berdayakan pondok
pesantren untuk membangun ekonomi umat. Jadi tidak ada lagi orang tua santri
yang khawatir anaknya ikut mondok malah tidak paham urusan duniawi, kita
nanti kembangkan santri yang ahli agama sekaligus ilmu umum,” kata Gus Fenan
saat diskusi soal agenda santri di masa sekarang.
Gus Fenan tampak menguasai apa
yang sedang dibicarakannya. Entah karena memang hebat atau kami terpukau oleh
garis keturunannya, tapi Gus Fenan memang dapat menjelaskan kondisi santri
persis seperti yang ada dalam pikiran kami. Beberapa menit kemudian, aku paham
maksud dari Gus Fenan membuka keran informasi melalui handphone itu.
“Informasi adalah kekuatan baru dunia ini,” begitulah kesimpulanku. Gus Fenan
masih terus menjelaskan tentang konsep-konsep koperasi pesantren, financial
technology, hingga budaya santri yang selalu menurut dengan ucapan ulama.
Semakin lama, kami semakin sulit memahami apa yang dibicarakan oleh Gus Fenan.
Tetapi mungkin waktunya memang tepat. Setelah hampir setengah jam menonton video Gus Fenan, dua mobil elf datang dan membunyikan bel 2 kali. Benaya sudah berada jauh di tengah lapangan untuk mengarahkan parkir mobil. Aku bahagia, bahagia karena makanan datang, dan bahagia karena Pesantren Tinggi sekarang ingin menjadikan santrinya hebat. Aku tersenyum, dan bersyukur karena menjadi bagian dari takdir ini.
2020-02-15
Memahami #IndonesiaTanpaPacaran di Twitter
Perlu dicatat, konflik ini rata-rata terjadi di dunia nyata tetapi kehebohannya bisa disaksikan di media sosial. Bahkan media sosial, terutama Twitter, menjadi kenyataan yang lebih real dibanding kehidupan itu sendiri. Kondisi ini persis seperti yang dijelaskan Baudrillard terkait dengan simulacrum yang disebabkan oleh media massa. Menurutnya, alih-alih media menjadi cermin dari realitas, media malah menjadi agen pengonstruksi realitas. Tidak berhenti di sana, media menciptakan realitas baru yang konsumennya bisa lebih hidup di dalamnya.
Hal inilah yang dialami gamers yang merasa kehidupan nyata tidak lebih baik dari kehidupan di dalam games. Di dunia nyata, pencapaian yang diukur oleh manusia adalah gelar pendidikan, kekayaan, pangkat dan jabatan, kecantikan dan kegagahan. Seorang gamers tidak mempedulikan hal itu semua asalkan ia bisa mencapai level tertinggi yang ditawarkan dalam games. Kehidupan nyata menjadi hampa karena minim apresiasi, sedangkan di dalam game ia bisa menjadi raja kecil yang dibanggakan kelompoknya.
![]() |
Jumlah tweet dan mention di Twitter berkaitan dengan Indonesia Tanpa Pacaran sumber : Drone Emprit Academy |
![]() |
Akun twitter yang memiliki retweet terbesar di Twitter berkaitan dengan ITP sumber : DEA |
![]() |
Sebaran tweet ITP yang memiliki replied terbanyak di Twitter sumber : DEA |
![]() |
Sebaran emosi yang melingkupi kebahagiaan, kemarahan, ketakutan dll sumber : DEA |