2020-03-08

Cerpen: Pondok Modern

Subuh kali ini lebih gelap dibanding hari-hari kemarin. Kulihat di luar musala, langit masih bertabur bintang dengan bulan kecil menyela bercahaya. Jemaah yang wiridan sudah berkurang karena ini Hari Jumat pertama di Bulan Agustus. Harusnya Jumat adalah sayyidul ayyam, hari yang paling baik untuk beribadah. Namun kebiasaan di pondok pesantren ini, Jumat pertama di Bulan Agustus adalah momen kunjungan keluarga. Sehingga kami sudah mengantri di depan kamar kepala asrama, menunggu kita menyentuh perangkat paling ajaib di pondok: handphone.

Jumat pertama di bulan-bulan lain, kami dijenguk keluarga secara bergiliran. Jadi tidak semua santri akan mendapatkan jatah jenguk. Berbeda dengan Jumat pertama di Bulan Agustus ini, seluruh santri boleh dijenguk keluarga tanpa terkecuali. Karena itu, kami mengantri untuk menerima handphone yang dititipkan orang tua kami kepada kepala asrama. Aku berada di urutan puluhan, mungkin dua puluh atau tiga puluh. Benaya, yang duduk di depanku, sedang menghatamkan nadham imrithi. Santri lainnya, berteriak, bersorak, saling olok, dan diantara mereka pasti ada yang rindu dengan gadis di bayangan mereka masing-masing.

Momen memegang handphone bagi santri memang sesuatu yang luar biasa. Kita seolah-olah mengetahui dunia luar yang selama ini tersembunyi dari dawuh kiyai maupun pengajian para ustadz. Kata beberapa ustadz senior, handphone membawa pengaruh buruk pada santri jaman sekarang. Mereka sering menceritakan kisah ulama’ salaf yang berjalan kaki ribuan kilometer untuk belajar. Banyak juga, santri biasa yang menjadi ulama besar karena berlaku hormat dan ikhlas mengabdi pada gurunya. Kami para santri yang sekarang mengaji selalu diingatkan untuk mendahulukan akhlak daripada ilmu.

Karena itu handphone dilarang bahkan karena menjadikan santri lupa agama dan tidak berakhlak mulia. Kalau ada santri yang ketahuan membawa handphone akan dihukum menghafal surat-surat pilihan dalam Al-Quran, atau menghafalkan Alfiyah Ibnu Malik. Ini kejadian horor karena kami selalu memilih mengaji kitab umum dibanding mengaji khusus dengan hafalan-hafalan. Nah pagi tadi, ketika selesai jamaah shalat subuh, Gus Fenan mengajak seluruh santri yang memiliki handphone untuk berkumpul. Katanya handphone akan bebas digunakan di pondok. Aku hampir tidak percaya.

Gus Fenan ini usianya muda, sekitaran dua puluh tiga tahun dan selesai kuliah di Yordania. Nama aslinya Al fanani, tapi biar keren dia ingin dipanggil Fenan karena dia punya teman baik beragama Katolik bernama Fenansio ketika di Yordania. Nama mereka ingin disama-samakan. Nah hanya Gus Fenan ini yang selalu membuat mata kami terbelalak dengan cerita-cerita mancanegara. Kadang bercerita tentang mesin-mesin di internet yang menyadap percakapan di handphone, menceritakan tentang isi ka’bah, rahasia energi doa di dekat ka’bah, atau cerita legendaris seperti Laila dan Majnun. Cerita handphone yang mau dibebaskan di pondok juga tidak kalah luar biasa.

Sekitar pukul 06.17, seluruh santri yang memiliki handphone berkumpul di aula samping musala. Kami tidak tahu kalau pondok ini sudah memasang wifi sejak tiga bulan yang lalu. Gus Fenan memulai kisahnya pagi ini dengan sebuah cita-cita. Secara heroik, dia bercita-cita menyiarkan kajian islam yang damai ke seluruh dunia menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ia memutar YouTube menggunakan LCD dan menunjukkan pengajian Gus Baha, Habib Ja’far, juga beberapa podcast yang menjadi tren masa kini. Ia begitu bersemangat hingga matahari sepenggalah.

Tidak lupa, pagi itu ditutup dengan rebutan password wifi. Kami harusnya shalat dhuha sebagai rutinitas hari-hari biasa. Tapi pagi ini berbeda, bukan hanya kami akan bertemu keluarga, tapi kami akhirnya bisa subscribe ke YouTube pondok, follow Instagram pondok, dan join di Facebook Group pondok.

***

Ratusan santri duduk menekuk mukanya di layar handphone. Di bawah pohon klampok, Benaya menelpon orang tuanya hampir satu jam. Di sampingnya ada Adris yang tertawa-tawa sembari video call dengan kakaknya yang baru memiliki anak perempuan berusia 3 minggu. Aku sendiri hanya kirim WhatsApp ke kakak iparku kalau sudah boleh dijenguk, tapi mereka absen untuk saat ini. Lalu aku update status di Facebook dan scroll seluruh status teman-temanku semasa Sekolah Dasar. Satu persatu aku kirim komentar dan membalas beberapa pesan yang sudah sebulan tidak kubaca.

“Bapakmu datang nggak?” tanyaku ke Adris. Aku tahu bapaknya Adris biasanya tidak datang. Ia berasal dari Dompu, Nusa Tenggara Barat.

“Kan sudah kubilang, dua tahun lagi,” balas Adris bersungut-sungut. “Tuh bapaknya Benaya yang datang seminggu tiga kali,” oloknya ke Ben.

Ben nyengir karena dia sering dikunjungi keluarga besarnya, kadang bapak, kadang kakak, kadang paman, kadang juga orang lain yang masih keluarganya. Ben berasal dari Sumba Timur, lalu orang tuanya hijrah karena menjadi PNS dan ditempatkan di Surabaya. Kata Ben, di Sumba Timur, Islam menjadi minoritas tapi tidak pernah ada perkelahian. Kata Ben, di sana agama dijadikan alat pemersatu bukan pemecah belah.

“Eh kamu percaya kalau nanti kita dibebaskan untuk pakai HP?,” tanya Ben tiba-tiba.

Aku menggeleng. “Kayaknya sih enggak, Ustad Salim pasti tidak akan memberi izin. Handphone, kawan, sahabat karib setan yang dapat melenakan kita dari berbicara dengan kawan dekat, melalaikan kita dari salat dan mengaji,” ucapku meniru Ustad Salim ketika memberikan ceramah.

“Tapi kan Gus Fenan putera Pak Kiyai, pasti dia bisa yakinkan Ustad Salim. Aku sepakat dengan Gus Fenan, kalau sebenarnya agama yang damai itu harus disebarkan lewat medsos, aku sepakat,” sanggah Adris.

Aku sebenarnya setuju dengan pendapat Gus Fenan, tapi Adris dan Ben tampaknya sudah optimis lebih dulu. Aku nggak mau kalah. “HP itu tidak baik sih menurutku, sekarang saja santri yang tidak punya HP bingung mau hubungi orang tua bagaimana. Kita enak punya HP, mereka kan kasihan. Jadi lebih baik sama-sama HP dilarang di pondok ini,” aku mencoba menguatkan pendapat.

“Iya juga ya, tapi bagaimanapun HP ini penting di zaman sekarang. Santri nggak boleh ketinggalan informasi, santri nggak boleh kuper apalagi tidak paham tren,” Ben menimpali.

“Agama kita sekarang ini sering dilihat kerasnya, katanya teroris, kita harus menyelamatkan agama kita ini. Nah caranya ya memang dengan menyebar pesan damai di media sosial. Bayangkan kalau ada seratus santri yang selalu posting di Medsos soal kedamaian, pasti Indonesia juga ikut damai,” sambung Ben. Ia tampak bersemangat sekali.

“Jadi yang tidak punya HP dibiarkan kudet? Kita maju sendiri, gitu?”

“Ya itu sih terserah ya, pondok harus ada kebijakan lain. Kan ada komputer yang bisa dipakai santri buat browshing dan medsos,” jawab Adris.

Aku menggerutu, tapi berusaha tenang. “Yap boleh juga usulmu haha, nanti akan kubilang ke Gus Fenan,” gurauku. Tidak mungkin santri berani langsung bicara dengan anak kiyai yang kami anggap wah dan kharismatik. Perdebatan kami yang tidak penting memang tidak pernah berakhir. Apalagi hari ini memang hari libur sehingga kami juga akan sering ejek hingga saling pukul.

Sembari bercengkerama, beberapa mobil sudah mulai masuk ke pekarangan pondok yang luas. Di tengah pekarangan ini terdapat pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Parkir mobil orang tua santri itu mengitari pohon, dan semakin lama semakin panjang, riuh dengan klakson. Teriakan orang tua mencari anaknya dan tangis haru juga berada di mana-mana.

Bagi kami bertiga, yang paling membahagiakan ketika melihat keluarga teman datang adalah; makanan berlimpah, dan seringkali mereka membawa anak perempuan yang cantik. Kadang aku sendiri sampai salah tingkah jika ada keluarga teman yang cantik. Kami memang jarang melihat perempuan. Jadinya kadang bingung bahkan untuk sekadar menyapa. Saudaraku, Adris, dan Benaya tidak ada yang secantik keluarga orang-orang. Tapi soal makanan, keluarga Ben selalu dapat diandalkan. Pasti satu mobil L300 itu penuh dengan pisang dari Sumbermanjing Wetan, salak dari Bangkalan, dan Apel dari Batu. Istimewa.

“Santri pondok sudah mandarah daging di keluargaku, karena Islamnya kan baru keturunan ke tiga. Jadi anak lelakinya wajib ke pondok, dan saudara perempuanku hafalan Al Quran,” jawab Ben saat kutanya soal makanan yang melimpah.

“Ini nanti om ada bawakan mangga, katanya di Probolinggo sedang panen. Terus ada titipan dari om yang di Banyuwangi, satu pick-up buah naga. Di sana murah soalnya, makanya mending dibagi ke santri biar berkah,” balas Ben. Mataku berbinar, dan Adris tampak sudah tidak sabar menunggu Om-nya Ben datang.

Di pondok memang sudah terbiasa membawakan makanan dalam jumlah banyak untuk dibagi ke santri yang lain. Jadi sudah menjadi adat di pondok, kalau dikunjungi orang tua, harus ajak teman untuk makan. Aku sendiri jarang dikunjungi orang tua, kalau pun dikunjungi hanya membawa sedikit makanan. Suatu kali, Bapak dan Emak pernah datang membawa ubi jalar dan waluh hasil kebun di Sumenep. Para santri menyerbu oleh-oleh itu seperti kesetanan. Makanya, kalau datang lagi Bapak pasti ngotot untuk membawa ubi dan waluh bahkan jika belum masa panen. “Biar dapat berkah dari santri,” ujar Bapak berkali-kali.

Untuk saat ini, kami tidak ikut menyerbu makanan punya teman karena keluarga Benaya akan datang. Bahkan beberapa teman kami yang lain sudah mulai berkumpul. Ada Isnaen dari Makassar, Rajab dari Sukabumi, Toing asli Surabaya, dan Sujai dari Kalimantan. Orang tua Sujai katanya transmigran sejak tahun 1950-an di Kalimantan. Sekarang mengelola dua kebun sawit. Kami sengaja mengundang mereka untuk makan bersama. Seringkali, kalau makanan dirasa banyak, kami akan taruh di tengah asrama lalu mempersilakan siapapun untuk mengambil makanan itu.

Sejak lima tahun di Pesantren ini, budaya ini terus berjalan. Menurutku, budaya ini sesuatu yang baik dan patut dilestarikan. Karena banyak santri di sini yang kekurangan makanan karena orang tuanya jauh dan tidak bisa sering kirim uang ke pengurus asrama. Banyak yang beli beras sendiri dan masak di belakang pondok. Di sana juga ada sepetak lahan yang digarap santri. Tanaman apapun tumbuh di sana, mulai dari bayam, lombok, bawang merah dan putih, bahkan papaya dan markisa juga tumbuh subur. Sebagai santri memang kami tidak boleh mengeluh. Apapun harus dilakukan agar bisa bertahan mengaji dan belajar agama di sini.

**

“Eh ada video baru di YouTube Pesantren Tinggi,” teriak Ben.

Ben membuka video tersebut lalu kami ikut menontonnya bersama-sama. Ternyata YouTube milik pesantren sudah berumur tiga bulan. Aku yakin kalau Gus Fenan yang membuatnya. Video itu menampilkan Gus Fenan dan salah satu santri senior kami di ruangan putih dengan ornament kayu. Ada microphone dan headphone, lalu air putih, beberapa kitab tebal di letakkan secara artistik di meja kaca. Di belakang Gus Fenan ada lambing pesantren kami, dan kaligrafi bertuliskan “Hakikat -Podcast”. Entah apa maksudnya, sepertinya Gus Fenan punya rencana.

Diiringi deru mobil keluarga teman yang keluar masuk, kami mendengarkan Gus Fenan yang memberikan penjelasan tentang santri yang harus berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Kami yang sekarang berada di Madrasah Diniyah Wustho kelas 3 memang bisa mengikutinya, tapi entah bagi yang masih kelas Ula. Kelas 3 Wustho ini seperti kelas 3 SMA di sekolah formal, Diniyah Ula berarti masih SMP. Selesai Wustho aku masih harus bertahan 2 tahun lagi di Madrasah Diniyah Aliyah.

“Santri selalu diidentikkan dengan kolot, kuno, dan jorok. Kita harus mengubahnya. Kita berdayakan pondok pesantren untuk membangun ekonomi umat. Jadi tidak ada lagi orang tua santri yang khawatir anaknya ikut mondok malah tidak paham urusan duniawi, kita nanti kembangkan santri yang ahli agama sekaligus ilmu umum,” kata Gus Fenan saat diskusi soal agenda santri di masa sekarang.

Gus Fenan tampak menguasai apa yang sedang dibicarakannya. Entah karena memang hebat atau kami terpukau oleh garis keturunannya, tapi Gus Fenan memang dapat menjelaskan kondisi santri persis seperti yang ada dalam pikiran kami. Beberapa menit kemudian, aku paham maksud dari Gus Fenan membuka keran informasi melalui handphone itu. “Informasi adalah kekuatan baru dunia ini,” begitulah kesimpulanku. Gus Fenan masih terus menjelaskan tentang konsep-konsep koperasi pesantren, financial technology, hingga budaya santri yang selalu menurut dengan ucapan ulama. Semakin lama, kami semakin sulit memahami apa yang dibicarakan oleh Gus Fenan.

Tetapi mungkin waktunya memang tepat. Setelah hampir setengah jam menonton video Gus Fenan, dua mobil elf datang dan membunyikan bel 2 kali. Benaya sudah berada jauh di tengah lapangan untuk mengarahkan parkir mobil. Aku bahagia, bahagia karena makanan datang, dan bahagia karena Pesantren Tinggi sekarang ingin menjadikan santrinya hebat. Aku tersenyum, dan bersyukur karena menjadi bagian dari takdir ini.

0 comments:

Posting Komentar

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.