Subuh kali ini lebih gelap
dibanding hari-hari kemarin. Kulihat di luar musala, langit masih bertabur
bintang dengan bulan kecil menyela bercahaya. Jemaah yang wiridan sudah
berkurang karena ini Hari Jumat pertama di Bulan Agustus. Harusnya Jumat adalah
sayyidul ayyam, hari yang paling baik untuk beribadah. Namun kebiasaan
di pondok pesantren ini, Jumat pertama di Bulan Agustus adalah momen kunjungan
keluarga. Sehingga kami sudah mengantri di depan kamar kepala asrama, menunggu
kita menyentuh perangkat paling ajaib di pondok: handphone.
Jumat pertama di bulan-bulan
lain, kami dijenguk keluarga secara bergiliran. Jadi tidak semua santri akan
mendapatkan jatah jenguk. Berbeda dengan Jumat pertama di Bulan Agustus ini,
seluruh santri boleh dijenguk keluarga tanpa terkecuali. Karena itu, kami
mengantri untuk menerima handphone yang dititipkan orang tua kami kepada
kepala asrama. Aku berada di urutan puluhan, mungkin dua puluh atau tiga puluh.
Benaya, yang duduk di depanku, sedang menghatamkan nadham imrithi.
Santri lainnya, berteriak, bersorak, saling olok, dan diantara mereka pasti ada
yang rindu dengan gadis di bayangan mereka masing-masing.
Momen memegang handphone
bagi santri memang sesuatu yang luar biasa. Kita seolah-olah mengetahui dunia
luar yang selama ini tersembunyi dari dawuh kiyai maupun pengajian para
ustadz. Kata beberapa ustadz senior, handphone membawa pengaruh buruk
pada santri jaman sekarang. Mereka sering menceritakan kisah ulama’ salaf yang
berjalan kaki ribuan kilometer untuk belajar. Banyak juga, santri biasa yang menjadi
ulama besar karena berlaku hormat dan ikhlas mengabdi pada gurunya. Kami para
santri yang sekarang mengaji selalu diingatkan untuk mendahulukan akhlak
daripada ilmu.
Karena itu handphone
dilarang bahkan karena menjadikan santri lupa agama dan tidak berakhlak mulia. Kalau
ada santri yang ketahuan membawa handphone akan dihukum menghafal
surat-surat pilihan dalam Al-Quran, atau menghafalkan Alfiyah Ibnu Malik. Ini
kejadian horor karena kami selalu memilih mengaji kitab umum dibanding mengaji
khusus dengan hafalan-hafalan. Nah pagi tadi, ketika selesai jamaah shalat
subuh, Gus Fenan mengajak seluruh santri yang memiliki handphone untuk
berkumpul. Katanya handphone akan bebas digunakan di pondok. Aku hampir
tidak percaya.
Gus Fenan ini usianya muda,
sekitaran dua puluh tiga tahun dan selesai kuliah di Yordania. Nama aslinya Al
fanani, tapi biar keren dia ingin dipanggil Fenan karena dia punya teman baik
beragama Katolik bernama Fenansio ketika di Yordania. Nama mereka ingin
disama-samakan. Nah hanya Gus Fenan ini yang selalu membuat mata kami
terbelalak dengan cerita-cerita mancanegara. Kadang bercerita tentang
mesin-mesin di internet yang menyadap percakapan di handphone,
menceritakan tentang isi ka’bah, rahasia energi doa di dekat ka’bah, atau
cerita legendaris seperti Laila dan Majnun. Cerita handphone yang mau
dibebaskan di pondok juga tidak kalah luar biasa.
Sekitar pukul 06.17, seluruh santri
yang memiliki handphone berkumpul di aula samping musala. Kami tidak tahu kalau
pondok ini sudah memasang wifi sejak tiga bulan yang lalu. Gus Fenan
memulai kisahnya pagi ini dengan sebuah cita-cita. Secara heroik, dia
bercita-cita menyiarkan kajian islam yang damai ke seluruh dunia menggunakan
bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ia memutar YouTube menggunakan LCD dan
menunjukkan pengajian Gus Baha, Habib Ja’far, juga beberapa podcast yang
menjadi tren masa kini. Ia begitu bersemangat hingga matahari sepenggalah.
Tidak lupa, pagi itu ditutup
dengan rebutan password wifi. Kami harusnya shalat dhuha sebagai
rutinitas hari-hari biasa. Tapi pagi ini berbeda, bukan hanya kami akan bertemu
keluarga, tapi kami akhirnya bisa subscribe ke YouTube pondok, follow
Instagram pondok, dan join di Facebook Group pondok.
***
Ratusan santri duduk menekuk
mukanya di layar handphone. Di bawah pohon klampok, Benaya menelpon
orang tuanya hampir satu jam. Di sampingnya ada Adris yang tertawa-tawa sembari
video call dengan kakaknya yang baru memiliki anak perempuan
berusia 3 minggu. Aku sendiri hanya kirim WhatsApp ke kakak iparku kalau sudah
boleh dijenguk, tapi mereka absen untuk saat ini. Lalu aku update status
di Facebook dan scroll seluruh status teman-temanku semasa Sekolah
Dasar. Satu persatu aku kirim komentar dan membalas beberapa pesan yang sudah
sebulan tidak kubaca.
“Bapakmu datang nggak?” tanyaku
ke Adris. Aku tahu bapaknya Adris biasanya tidak datang. Ia berasal dari Dompu,
Nusa Tenggara Barat.
“Kan sudah kubilang, dua tahun
lagi,” balas Adris bersungut-sungut. “Tuh bapaknya Benaya yang datang seminggu
tiga kali,” oloknya ke Ben.
Ben nyengir karena dia
sering dikunjungi keluarga besarnya, kadang bapak, kadang kakak, kadang paman,
kadang juga orang lain yang masih keluarganya. Ben berasal dari Sumba Timur,
lalu orang tuanya hijrah karena menjadi PNS dan ditempatkan di Surabaya. Kata
Ben, di Sumba Timur, Islam menjadi minoritas tapi tidak pernah ada perkelahian.
Kata Ben, di sana agama dijadikan alat pemersatu bukan pemecah belah.
“Eh kamu percaya kalau nanti kita
dibebaskan untuk pakai HP?,” tanya Ben tiba-tiba.
Aku menggeleng. “Kayaknya sih
enggak, Ustad Salim pasti tidak akan memberi izin. Handphone, kawan,
sahabat karib setan yang dapat melenakan kita dari berbicara dengan kawan
dekat, melalaikan kita dari salat dan mengaji,” ucapku meniru Ustad Salim
ketika memberikan ceramah.
“Tapi kan Gus Fenan putera Pak
Kiyai, pasti dia bisa yakinkan Ustad Salim. Aku sepakat dengan Gus Fenan, kalau
sebenarnya agama yang damai itu harus disebarkan lewat medsos, aku sepakat,”
sanggah Adris.
Aku sebenarnya setuju dengan
pendapat Gus Fenan, tapi Adris dan Ben tampaknya sudah optimis lebih dulu. Aku nggak
mau kalah. “HP itu tidak baik sih menurutku, sekarang saja santri yang tidak
punya HP bingung mau hubungi orang tua bagaimana. Kita enak punya HP, mereka
kan kasihan. Jadi lebih baik sama-sama HP dilarang di pondok ini,” aku mencoba
menguatkan pendapat.
“Iya juga ya, tapi bagaimanapun
HP ini penting di zaman sekarang. Santri nggak boleh ketinggalan informasi,
santri nggak boleh kuper apalagi tidak paham tren,” Ben menimpali.
“Agama kita sekarang ini sering
dilihat kerasnya, katanya teroris, kita harus menyelamatkan agama kita ini. Nah
caranya ya memang dengan menyebar pesan damai di media sosial. Bayangkan kalau
ada seratus santri yang selalu posting di Medsos soal kedamaian, pasti
Indonesia juga ikut damai,” sambung Ben. Ia tampak bersemangat sekali.
“Jadi yang tidak punya HP
dibiarkan kudet? Kita maju sendiri, gitu?”
“Ya itu sih terserah ya, pondok
harus ada kebijakan lain. Kan ada komputer yang bisa dipakai santri buat browshing
dan medsos,” jawab Adris.
Aku menggerutu, tapi berusaha
tenang. “Yap boleh juga usulmu haha, nanti akan kubilang ke Gus Fenan,”
gurauku. Tidak mungkin santri berani langsung bicara dengan anak kiyai yang
kami anggap wah dan kharismatik. Perdebatan kami yang tidak penting
memang tidak pernah berakhir. Apalagi hari ini memang hari libur sehingga kami
juga akan sering ejek hingga saling pukul.
Sembari bercengkerama, beberapa
mobil sudah mulai masuk ke pekarangan pondok yang luas. Di tengah pekarangan
ini terdapat pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Parkir
mobil orang tua santri itu mengitari pohon, dan semakin lama semakin panjang, riuh
dengan klakson. Teriakan orang tua mencari anaknya dan tangis haru juga berada
di mana-mana.
Bagi kami bertiga, yang paling
membahagiakan ketika melihat keluarga teman datang adalah; makanan berlimpah,
dan seringkali mereka membawa anak perempuan yang cantik. Kadang aku sendiri
sampai salah tingkah jika ada keluarga teman yang cantik. Kami memang jarang
melihat perempuan. Jadinya kadang bingung bahkan untuk sekadar menyapa.
Saudaraku, Adris, dan Benaya tidak ada yang secantik keluarga orang-orang. Tapi
soal makanan, keluarga Ben selalu dapat diandalkan. Pasti satu mobil L300 itu
penuh dengan pisang dari Sumbermanjing Wetan, salak dari Bangkalan, dan Apel
dari Batu. Istimewa.
“Santri pondok sudah mandarah
daging di keluargaku, karena Islamnya kan baru keturunan ke tiga. Jadi anak
lelakinya wajib ke pondok, dan saudara perempuanku hafalan Al Quran,” jawab Ben
saat kutanya soal makanan yang melimpah.
“Ini nanti om ada bawakan mangga,
katanya di Probolinggo sedang panen. Terus ada titipan dari om yang di
Banyuwangi, satu pick-up buah naga. Di sana murah soalnya, makanya
mending dibagi ke santri biar berkah,” balas Ben. Mataku berbinar, dan Adris
tampak sudah tidak sabar menunggu Om-nya Ben datang.
Di pondok memang sudah terbiasa
membawakan makanan dalam jumlah banyak untuk dibagi ke santri yang lain. Jadi
sudah menjadi adat di pondok, kalau dikunjungi orang tua, harus ajak teman
untuk makan. Aku sendiri jarang dikunjungi orang tua, kalau pun dikunjungi
hanya membawa sedikit makanan. Suatu kali, Bapak dan Emak pernah datang membawa
ubi jalar dan waluh hasil kebun di Sumenep. Para santri menyerbu
oleh-oleh itu seperti kesetanan. Makanya, kalau datang lagi Bapak pasti ngotot
untuk membawa ubi dan waluh bahkan jika belum masa panen. “Biar dapat
berkah dari santri,” ujar Bapak berkali-kali.
Untuk saat ini, kami tidak ikut
menyerbu makanan punya teman karena keluarga Benaya akan datang. Bahkan
beberapa teman kami yang lain sudah mulai berkumpul. Ada Isnaen dari Makassar,
Rajab dari Sukabumi, Toing asli Surabaya, dan Sujai dari Kalimantan. Orang tua
Sujai katanya transmigran sejak tahun 1950-an di Kalimantan. Sekarang mengelola
dua kebun sawit. Kami sengaja mengundang mereka untuk makan bersama.
Seringkali, kalau makanan dirasa banyak, kami akan taruh di tengah asrama lalu
mempersilakan siapapun untuk mengambil makanan itu.
Sejak lima tahun di Pesantren
ini, budaya ini terus berjalan. Menurutku, budaya ini sesuatu yang baik dan
patut dilestarikan. Karena banyak santri di sini yang kekurangan makanan karena
orang tuanya jauh dan tidak bisa sering kirim uang ke pengurus asrama. Banyak
yang beli beras sendiri dan masak di belakang pondok. Di sana juga ada sepetak
lahan yang digarap santri. Tanaman apapun tumbuh di sana, mulai dari bayam,
lombok, bawang merah dan putih, bahkan papaya dan markisa juga tumbuh subur.
Sebagai santri memang kami tidak boleh mengeluh. Apapun harus dilakukan agar
bisa bertahan mengaji dan belajar agama di sini.
**
“Eh ada video baru di YouTube
Pesantren Tinggi,” teriak Ben.
Ben membuka video tersebut lalu
kami ikut menontonnya bersama-sama. Ternyata YouTube milik pesantren sudah
berumur tiga bulan. Aku yakin kalau Gus Fenan yang membuatnya. Video itu
menampilkan Gus Fenan dan salah satu santri senior kami di ruangan putih dengan
ornament kayu. Ada microphone dan headphone, lalu air putih,
beberapa kitab tebal di letakkan secara artistik di meja kaca. Di belakang Gus
Fenan ada lambing pesantren kami, dan kaligrafi bertuliskan “Hakikat -Podcast”.
Entah apa maksudnya, sepertinya Gus Fenan punya rencana.
Diiringi deru mobil keluarga
teman yang keluar masuk, kami mendengarkan Gus Fenan yang memberikan penjelasan
tentang santri yang harus berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Kami yang
sekarang berada di Madrasah Diniyah Wustho kelas 3 memang bisa mengikutinya,
tapi entah bagi yang masih kelas Ula. Kelas 3 Wustho ini seperti kelas 3 SMA di
sekolah formal, Diniyah Ula berarti masih SMP. Selesai Wustho aku masih harus
bertahan 2 tahun lagi di Madrasah Diniyah Aliyah.
“Santri selalu diidentikkan
dengan kolot, kuno, dan jorok. Kita harus mengubahnya. Kita berdayakan pondok
pesantren untuk membangun ekonomi umat. Jadi tidak ada lagi orang tua santri
yang khawatir anaknya ikut mondok malah tidak paham urusan duniawi, kita
nanti kembangkan santri yang ahli agama sekaligus ilmu umum,” kata Gus Fenan
saat diskusi soal agenda santri di masa sekarang.
Gus Fenan tampak menguasai apa
yang sedang dibicarakannya. Entah karena memang hebat atau kami terpukau oleh
garis keturunannya, tapi Gus Fenan memang dapat menjelaskan kondisi santri
persis seperti yang ada dalam pikiran kami. Beberapa menit kemudian, aku paham
maksud dari Gus Fenan membuka keran informasi melalui handphone itu.
“Informasi adalah kekuatan baru dunia ini,” begitulah kesimpulanku. Gus Fenan
masih terus menjelaskan tentang konsep-konsep koperasi pesantren, financial
technology, hingga budaya santri yang selalu menurut dengan ucapan ulama.
Semakin lama, kami semakin sulit memahami apa yang dibicarakan oleh Gus Fenan.
Tetapi mungkin waktunya memang tepat. Setelah hampir setengah jam menonton video Gus Fenan, dua mobil elf datang dan membunyikan bel 2 kali. Benaya sudah berada jauh di tengah lapangan untuk mengarahkan parkir mobil. Aku bahagia, bahagia karena makanan datang, dan bahagia karena Pesantren Tinggi sekarang ingin menjadikan santrinya hebat. Aku tersenyum, dan bersyukur karena menjadi bagian dari takdir ini.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.