ketika malam tiba
malam, sebuah waktu ketika
ia mencatat daun-daun jatuh
pada rindu, keheningan panjang
lelaki yang pikirannya lusuh
duduk memandang langit
tapi malam memang malam
bunga tulip mekar di ujung kota
dibacanya lagi pesan-pesan panjang
dari koridor menuju ruang halaman
hatinya meluas, memasukkan satu
dua cerita, tiga empat berita ke palung
dadanya yang beku, pesan itu diulang
pesan itu diulang, hingga dini hari
tapi cinta tak mengenal malam
seorang lelaki yang kusut harinya
kembali menemui malam
ia bertanya, "apakah rindu di situ"
tapi sekarang sudah pagi,
semoga tak habis kisah ini.
malam ini ramai
di kepalanya, seperti ada yang bermain bola
mereka bersorak
mereka menyambut
sebuah kenangan yang tak lekang
oleh mimpi dan harapan
kenangan seorang kapten,
sama gadis impiannya
tulip mekar di dermaga
jarak
tercipta dari pandang dan temu
mereka bercakap tentang waktu
usia kata yang mengajak mesra
kalimat berpendar antara kita
kita memproduksi jarak,
kita membongkar jarak
sebuah tembok yang terpasang
sejak asali, kita luruhkan
dalam batas perjalanan
antara detak jantungku
dan kerling senyummu
di sanalah, jarak tak ada lagi
dengarkan degub yang sama
dari dada kita, mari
kenang
ada yang tertidur dalam bayang
sebuah pohon asam, pinggir jalan
panjang dan jauh sekali. deru motor
sesekali
ia pengelana
rupa humus dan penar hujan,
siut angin menyusul kabar.
kemarau yang ragu
desa yang ia angan mendesau
tanah-tanahnya telah mati
padi dan jagung pergi
ia pengelana
di pelupuk matanya, hamparan
janji dan teka-teki
kelebat fotografis,
satu persatu diusirnya
tanah-tanahnya telah mati
ubi dan kedelai tak bersemi
ia kembali tertidur di bayang
pepohonan tua yang sebentar
saja, menjadi kelabu
semenit sebelum malam jatuh
besok
besok
ketika bulan terang di kalender
seperti malam ini, adalah
wajahmu yang ingin kupandang
di malam bulan terang
seperti kalender malam ini
besok
ketika meja dan bangku kafe
telah disimpan tengah malam
adalah hangatmu yang terbayang
seperti rumah yang teduh
menelusupi gamang hatiku
menunggui jumpa
besok
ketika kota telah lelap
kubawakan cangkir bunga-bunga
seribu warna. ia perlambang
bahwa kita masihlah sebuah kisah
dari puisi ke puisi, dari rindu ke muara
pada segala tahun dan jaman
hingga menuai genggam
kita berdua
tak ada angin sore itu
aku memunggungi catatan kecil
setelah basah oleh dingin
sepanjang waktu, menunggumu
tak ada angin, hanya gigil
kejauhan
jalanan ke sini becek dan bisu
dan penanggalan kusam
oleh rindu-rindu yang mengalir
deras bersama ruang tunggu
teras yang menahun menahan
penantian
angin menyela getar tanganku
matamu. aku melihatnya
terbang awan putih dan bangau
kau yang berbaju hujan
kau yang bersela dedaunan
datang dengan tawa kecil
aku tersenyum, antara sesat
dan tangis, berpuluh langkah
menuju bukit untuk menjemputmu
menggandeng tanganmu yang kaku
lalu kita rebah menerawang
kapan angin berhenti di sore itu
2019-2020
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.