Ayahku menatap akuarium di ruang tamu. Sudah enam belas hari, dan ia hanya duduk menatap akuariumnya yang kosong. Tidak ada ekspresi apapun di wajah keriputnya. Seakan hidup juga selesai, meskipun nyawa masih melekat erat pada usia 67 tahunnya.
Perlahan istriku memegang tangan kanannya sembari melihat ke arahku. Istriku yang penuh kasih itu, tidak tahan juga dengan sikap ayahku yang enggan makan, enggan tidur, enggan melakukan apapun selain menatap kolam kaca kosongnya.
“Beli sekarang juga, aku akan menyuapi ayah,”ucap istriku hampir tanpa suara. Tangannya perlahan menyuapi ayah dengan bubur yang sudah dingin.
Aku beranjak dari lamunan yang kacau. Berbekal uang Rp 200 ribu sisa gaji bulan ini, aku pergi ke Pasar Pagi untuk membeli ikan berwarna merah –jenis apapun itu. Aku tidak seberapa suka ikan hias, tapi ayahku, luar biasa mengagumi ikan hias layaknya istri keduanya.
Boleh dikata bahwa ia lebih ingat ikannya dari pada mendiang ibuku yang menemaninya selama 30 tahun, lalu meninggal karena paru-parunya bermasalah. Sebagai seorang anak yang sudah dewasa, aku semakin tidak mengerti tingkah laku ayah yang kekakan-kanakan. Ia benar-benar telah kembali menjadi anak-anak.
Dan selama aku pergi ke Pasar Pagi ini, aku terus memikirkan kejadian-kejadian yang membuatku jengkel setengah mati. Hidup rasanya bertambah monoton sejak ibu meninggal, dan menyisakan ayah yang memiliki pikirannya sendiri. Pikiran di dunia antah berantah.
Untung Pasar Pagi tidak jauh letaknya sehingga aku bisa langsung pulang. Di pasar ini dulu ayahku suka sekali belanja ikan. Biasanya ayahku berjalan kaki atau hanya mengayuh sepeda untuk ke pasar sambil belanja sayur dan ikan laut untuk ibuku.
“Sri...ini ikannya,”teriakku kepada istriku, Sri Suhartini saat tiba di rumah.
Istriku muncul dari dapur sambil membawa lap untuk membersihkan tangannya. Ia tergesa-gesa meskipun sempat memandangku sejenak. Sembari mengambil plastik bening berisi ikan berwarna merah terang dari tanganku, mata istriku mengerjap yang berisyarat: “Jangan kau buang lagi ikannya,”.
Kuhembuskan nafas lega. Istriku memutar video ikan dari VCD usang di bawah televisi, dan ayah langsung tertarik dengan mengalihkan pandangannya dari kolam kosongnya. Hanya dua detik saja, istriku telah memasukkan ikan warna merah itu ke kolam. Dan sekejap, VCD dimatikan.
“Ayah ini ikannya ayah,”kata istriku sambil memegangi tangan ayahku dan menuntunnya mendekati kolam ikan. Kembali nafasku lega saat ayah tersenyum gembira. Aku hampir tertawa karena rupanya ayahku benar-benar berubah menjadi anak kecil.
Istriku langsung kembali ke dapurnya sambil menyenggolkan pinggulnya ke pinggulku, tak lupa cubitan genit mendarat ke pinggangku. “Mudah kan?”ujarnya. Aku mengangguk lalu menemaninya ke dapur untuk memasak pagi itu. Menyenangkan punya istri yang tahu apa yang harus dilakukan.
***
“Hermaan, Hermaan...!!!”.
Ayahku tergopoh-gopoh masuk kamar tanpa mengetuk lagi. Ia membangunkanku. Aku menggeliat seperti bekicot, malas bergerak sedangkan ayahku terus menggoyang-goyang tubuhku. Seakan gempa lokal datang, ayahku tak berhenti berkata soal ikan.
“Ikannya, ada ikan. Ada ikan Herman. Banguun...!!” begitu ia meracau.
Istriku ikut bangun lalu meraih jam weker di sebelahnya. “Sudah jam empat lewat mas, sholat sekalian,”sambung istriku. Sedangkan nyawaku belum sempurna menempel ke kepalaku, ayah sudah menarik tanganku untuk ikut bersamanya.
Di kursi rotan butut ruang tamu, aku terduduk. Ayahku terus memekik kalau ikannya bisa berenang. Entah bagaimana hatiku, perasaanku, pikiranku, emsosiku. Ingin menangis, ingin marah, tapi ia ayahku. Dan aku sangat sadar bahwa ada yang tidak beres pada pikiran ayahku. Ada sesuatu yang tidak biasa.
“Herman, ada Ikan Koi di kolamku,”ucapnya pelan. Ia melihat ke arahku, aku enggan melihat ke kolam. Tangannya yang sudah tidak kokoh lagi itu, memaksa mukaku untuk menoleh ke kolamnya. “Lihat ikanku ada di kolam,”sambungnya.
Aku tersenyum –pura-pura tersenyum. Hatiku dongkol minta ampun. Ayahku kembali mengulang perkataannya tentang ikannya yang bisa berenang, ikannya yang ada di kolam, ikannya yang berjenis Koi, ikannya berwarna merah, lalu balik ke ikannya yang bisa berenang. Bukankah semua ikan seharusnya bisa berenang?
“Iya ayah, ikannya ayah bisa berenang. Yang lain tidak bisa,”ucapku capek. Ayahku tersenyum saja sambil bercerita bahwa dulu ikannya pernah terjual sampai Rp 13 juta karena memiliki sirip yang mengkilap. Bukan hanya Ikan Koi, ia dulu juga pernah punya Ikan Arwana jenis Red Albino yang hampir terjual Rp 1 Miliar.
Karena ia sayang dengan Ikan Arwana yang dipeliharanya sejak kecil, maka ia mematok harga Rp 5 Miliar agar tidak ada orang yang mau membelinya. Tapi suatu ketika, dari mulut ke mulut, seorang keturunan Tionghoa yang datang langsung dari Cina bertamu ke rumahnya dan menawar ikannya seharga Rp 5 Miliar.
“Tapi ayah tetap tidak mau memberi ikan itu ke dia karena sudah seperti anak sendiri. Sudah ayah pelihara sejak ia kecil sama induknya. Dulu belinya di Pasar Ikan di Tuban, dekat makam Sunan Bonang,”tutur ayah di Subuh itu.
Ini adalah ceritanya yang ke entah ke berapa ribu kali. Dan aku harus menelan semua ceritanya seakan ia baru mengisahkan pertama kalinya. Dongkol di hati jangan dikata. Tapi ia ayahku, ayahku yang seharusnya kuhormati meskipun rasanya sulit sekali.
Saking dongkolnya dengan obrolannya yang tidak bisa dipisahkan dari ikan, maka tujuh belas hari yang lalu terpaksa kubuang ikan di akuariumnya. Ikan itu kukasihkan ke kucing tetangga meksipun ternyata kucing sialan itu tidak mau memakannya. Aneh. Mungkin terlalu sering diberi makan nasi bercampur ikan goreng kering.
Kehabisan akal dengan kucing rumahan itu, ikan jenis Koi itu kubuang jauh-jauh ke jalanan. Rasa-rasanya, seluruh kedongkolanku ikut sirna dengan kepergian ikan tersebut. Lalu aku pulang dan mendapati istriku yang terheran-heran dengan sikapku.
Sejak itu, ayahku menjadi pendiam dan tak berhenti memandangi akuariumnya. Hal itu bukan saja membuatku gelisah dan merasa bersalah, namun istriku jadi berang. Aku sempat disebutnya sebagai anak durhaka. Lalu terjadilah kesepakatan pagi itu, ketika aku membeli ikan seharga Rp 200 ribu.
“Herman, kau lihat kan cara berjalan ikan itu. Dia ke kiri dan ke kanan itu seperti mengajak kita berbicara. Kalau di Jepang, Ikan Koi begini sudah mahal, jutaan ayah bisa jual,”kata ayah terkekeh khas kakek-kakek.
Ketika aku merengut di kuris rotan itu, istriku datang dengan wajah sudah berbungkus mukena. ia tersenyum-senyum seakan mengolok-olok lalu memintaku shalat sementara ia akan mendengarkan cerita ayah. Tampaknya orang lain selalu bisa menghormati orang tua lebih dari kita yang anaknya sendiri.
Lima belas menit usai shalat, dengan seluruh daya aku kembali ke ruang tamu. Istriku tampak cantik sembari mendengarkan cerita tentang ikan dari ayah. Ia manggut-manggut sok mengerti mengenai jenis ikan yang berharga mahal. Sedikit-sedikit aku hafal jenis apa saja yang membuat ayah terpukau oleh ikan; Ikan Arwana, Ikan Koi, Ikan Louhan, Ikan Oscar, dan Ikan Diskus dari Sungai Amazon.
“Maas, aduh lama sekali shalatnya. Sini temenin ayah, aku masak dulu,”teriak Sri saat melihatku menyeret langkah menuju ke arahnya.
“Aku temeni kamu masak saja ya,”jawabku merajuk.
“Lha ayah siapa yang nemenin?”
“Biar nonton VCD deh, kemarin kan kubelikan kaset CD baru soal ikan-ikan,”.
“Ingat kata dokter kan? Kita harus berikan waktu berkualitas kepada ayah. Penyakit Alzheimer itu ya begitu, kan kemarin sudah dijelasin sama dokter. Jadi harus berikan waktu ke ayah, ajak ngobrol, yang sabar,”celoteh istriku di pagi itu.
Aku kalah, bukan mengalah. Waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB, masih ada dua jam lagi sebelum aku berangkat ke Kantor Pos untuk mengambil surat-surat yang perlu diantar ke tujuannya. Jadi kutemani ayah lagi menghadapi Ikan Koi satu-satunya dengan harga lumayan untuk pegawai sepertiku.
“Dulu kamu suka ikan waktu kecil,”ayahku mulai berkisah. Dan aku sangat tahu akan berakhir seperti apa. Lagian aku tidak pernah ingat kalau masa kecilku pernah suka dengan ikan.
“Kalau ayah beli ikan baru, kamu selalu pengen pegang. Kan anak kecil, pegangnya pasti ditekan karena takut lepas. Akhirnya mati deh ikannya,”ia terkekeh menertawakan masa kecilku.
“Jadi biasanya kalau ayah beli, ayah suka diam-diam memasukkannya ke kolam. Lain waktu, kamu kuberi ikan rawa saja. Ayah bohong kalau itu beli di pasar, biar bisa kamu pelihara sendiri. Jadi kamu punya kolam sendiri, ayah buatkan dari batu dan semen,”kata ayah dengan riangnya.
Sukar membayangkan bahwa ayah yang dulu menyenangkan, sekarang menjadi menjengkelkan. Ikan menjadi satu-satunya barang istimewa yang diingatnya. “Nanti kamu yang kasih makan ikan ya, peletnya ada di lemari gudang,”ujarnya lagi tak peduli dengan apapun yang kupikirkan.
“Ayah mandi dulu ya,”
“Nanti saja, ayah mau kasih makan ikan,”
“Kasih makan ikannya nanti siang lagi, tadi kan sudah dikasih makan,”
“Oh sudah ya? Belum kok, kalau pagi harus dikasih makan,”
“Tadi kan sudah dikasih makan sama ayah,”
“Belum,”tegasnya.
“Ayah, sudahlah jangan berdebat. Ayah sudah kasih makan tadi,”
“Ah jangan-jangan kamu yang buang ikannya ayah kemarin?” jerit ayah tiba-tiba.
Aku kaget bukan kepalang. “Kok ayah menuduhku?”
“Kamu yang selalu tidak suka kalau ayah pelihara ikan,”
“Bukannya ayah tadi yang bilang kalau aku dulu suka ikan juga?”
“Tidak, ayah tidak bilang begitu,”
“Tadi kan ayah bilang begitu?”
“Tidak”.
Aku terdiam. Ayah berdiri di depanku seperti menantangku berkelahi. Hatiku bergejolak luar biasa. Ingin sekali kupukul orang tua yang sudah tidak ingat apa-apa ini. Lagi pula, dia tidak akan ingat kalau hari ini aku memukulnya. Besok tentu yang diingat hanya ikan.
Istriku memandangiku dari pintu dapur. Ia melongok dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku hembuskan nafas lalu meninggalkan ayah yang hendak memberi makan ikannya, lagi. Lebih baik aku mandi dan bersiap-siap menuju ke kantor, banyak pekerjaan yang harus kulakukan dari pada mengurusi ayah yang menjengkelkan.
Usai mandi, Sri sudah mampu membujuk ayahku untuk bersiap-siap mandi. Nasi di piring ayahku juga sudah tandas. Aku tdak tahu bagaimana seorang perempuan bisa tabah menghadapi situasi yang tidak mampu kukendalikan. Ia juga telah menyediakan sarapan untuk kami bertiga, aku kembali kagum dengan istriku satu-satunya ini.
“Mas kenapa kok suka tidak sabar sama ayah?” tanyanya sembari mendatangiku yang sedang ganti baju.
“Yah kamu tahu sendiri lah. Ayah itu mengulang-ulang cerita yang sama dalam satu jam,”tukasku.
Istriku duduk di dipan. Aku tahu dia memandangiku dari pantulan cermin di lemari. “Mas bisa sabar kok pas aku ngidam,”
“Itu karena aku sayang sama kamu,”
“Jadi mas tidak sayang sama ayah?”
“Ini beda Sri,” aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.
“Beda bagaimana?”
“Aku tidak tahu. Pokoknya ini beda,” aku berbalik, memandangi istriku.
“Mas tidak usah ke kantor hari ini ya,”bujuknya.
“Emang kenapa?”
“Nggak papa, ijin saja sama kantor. Bilang istrimu mau melahirkan gitu,”tambahnya.
“Melahirkan gimana? Ini saja baru hamil tiga bulan kan?,”
“Hahaha...ya maksudnya alasan apa begitu mas. Alasan istrinya lagi ngidam pengen mas di rumah juga bisa kan?,”
“Hmm...emang kenapa Sri? Ada masalah?”
“Tidak, masalahnya ada di mas sebenarnya,”
“Kok bisa?”
“Duduk deh sebentar,”kata istriku sambil membuka laci meja di samping tempat tidur. Ia mengeluarkan buku tebal ratusan halaman. Dibukanya buku itu, penuh dengan catatan dan foto-foto.
“Siapa itu?”
“Sini duduk. Ini diarinya ibu, saya dapat saat bongkar baju-bajunya di lemari lama kita,”
Aku duduk di sampingnya sementara ia asyik membuka-buka album kehidupan itu. Sampai pada halaman yang sudah ditandainya, ia membacakan keras-keras tulisan ibu.
“Dulu Herman paling suka dengan burung. Ketika Herman di ajak ke Pasar Burung di Surabaya, Herman suka bertanya sampai 200 kali setiap jenis burung yang ada di sana. Ayahnya tentu selalu menjawab pertanyaan Herman hingga ia hafal jenis seluruh burung di Pasar Surabaya,”suara istriku membacakan cerita ibuku.
Aku merenungi kalimat yang baru dibacakan oleh Sri. Kuhembuskan nafasku. Aku masih ingat memang kisah burung-burung di Pasar Surabaya itu. Ada burung perkutut, ada burung Kenari, Mandar Batu,
“Jadi sekarang mas harus baik sama ayah, harus sayang sama ayah. Biar nanti, anak kita juga sayang sama ayahnya. Bagaimanapun, ayah juga yang membesarkan mas, yang sabar meladeni setiap kerewelan kita,”jelas istriku lagi. Ia memandangi mataku.
Ia lalu melanjutkan membaca buku Diary ibuku yang ditemukannya tersebut. Beberapa kisah yang ditulis ibuku secara acak membuat aku dan istriku tertawa terpingkal-pingkal, dan terkadang sedih. Aku baru tahu kalau ternyata ayah dan ibu dipertemukan gara-gara pameran ikan hias di Surabaya.
Saat aku menikmati waktu bersama Sri, tiba-tiba ayah datang dengan celana kolor. Ia terlihat selesai mandi. Dengana wajah tak berdosa ia berdiri sambil menunjukkan bungkus pakan ikan yang sudah habis.
Masyallah!!! Aku langsung melompat dari tempat tidur. Tentu ayah sudah menaruh semua pakan itu ke dalam aquarium. Bisa mabuk ikannya.
“Herman, pakannya sudah habis. Ikannya belum dikasih makan,”ucap Ayah yang terus mengejarku sampai di akuarium. Kulihat ikannya sudah mengambang dan ayah mengira kekurangan makan.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.