2015-03-06

Teman Lama di Juanda Surabaya

Intan H Jihane

Ketika pesawat mendarat di Bandara Juanda Surabaya, perasaanku bercampur aduk. Hal ini tidak seperti pulang dari traveling kepada keluarga dengan happy ending.  Aku sadar bahwa tepat tidak tepat, aku telah memutuskan untuk pulang. Kali ini aku masih menyusun rencana guna memantapkan hatiku bahwa kepulanganku adalah suatu keharusan –paling tidak adalah suatu kepatutan.

Hujan deras. Surabaya meraung dalam kegelapan. Dua tas ransel kupanggul dengan hati-hati karena di sanalah seluruh kehidupanku selama dua tahun di Papua. Melewati beberapa petugas yang jaga sembari tersenyum membuat susana menjadi sedikit tenang. Paling tidak aku tidak mengalami pikiran negatif sehingga menimbulkan kenegatifan dalam diriku pula.

Di Bandara Juanda rupanya mirip seperti mall. Ini adalah kedua kalinya aku menginjakkan kaki sini. Saat berjalan tanpa tujuan ini, ku tatap “warung kopi” Starbuck lalu masuk ke dalamnya dan mendapati satu mug besar Vanilla Latte dari tangan seorang barista. Rasanya menyenangkan membayangkan hujan deras di luar lalu di depan kita tersedia kopi panas campur susu dan aneka rasanya.

Lalu seorang perempuan yang tampaknya kukenal muncul. Ia bekerja di warung kopi made in amerika ini. Saat ku tatap ia terus sembari tersenyum, saat itulah ia curiga dan mencuri-curi pandang ke arahku. Dalam hitungan detik, dia langsung melonjak dan berseru menyebut namaku sehingga membuat teman kerjanya terperanjat. Dia tidak tahu bahwa aku terperanjat pula bahwa ia bekerja di sana.

“Eh Mas kok di sini?”

Itu adalah permulaannya. Karena ia masih bekerja –dan dalam bahasa amerika, seseorang yang masih jam bekerja harus benar-benar bekerja, maka aku minum latteku sendirian, bukan di tempat pojokan seperti tahun-tahun lalu. Aku memandangi perempuan yang telah kukenal beberapa tahun lalu itu, dan ia tidak berubah sama sekali. Namun perempuan selalu berubah, ia mungkin menyimpan rasa sakit, atau kebahagiaan yang tidak mudah terungkap begitu saja.

Setelah satu setengah jam berakhir, ia bergabung dengan mug-nya yang penuh semangat. Tanpa menawariku, ia telah membawa dua piring besar berisi roti dan “semacam pizza”. Aku melahapnya meski perutku lebih meronta ingin nasi dan sepotong ayam krispi made in MC Donald atau AW&W atau KFC atau semacam itu yang berbau kolonial.

Hal pertama yang kita bahas adalah segala sesuatu tentang kabar. Kabarku baik, kabar dia baik. Lalu menanyakan teman-teman, dan pengalaman masing-masing selama kira-kira tiga tahun tidak bertemu. Aku tentu saja bercerita tentang Papua, bagaimana perjalananku bermula dari Sumatera dan berakhir di Papua. Yang paling akhir adalah menceritakan alasan-alasan mengapa aku pulang dengan mendadak.

Rupanya ia sudah lama bekerja di Starbuck Juanda Surabaya ini. Pekerjaannya nyaman dan kelihatannya teman-temannya pun menyenangkan. Kini ia menjabat sebagai barista, dan ia akan terus melakukan tes untuk menaikkan jabatannya yang telah ditata dengan apik oleh perushaaan. Namun beberapa kali ia mencoba, beberapa kali itu pula ia gugur.

Yang Datang dan Yang Pergi

Pekerjaan semacam ini memang pernah kubayangkan beberapa tahun lalu. Menyuguhi kopi di bandara tentunya akan bertemu dengan berbagai jenis orang setiap menitnya. Meskipun bisa kugolongkan bahwa yang masuk ke warung kopi semacam ini dipastikan orang dengan kondisi keuangan menengah ke atas –dan itu tidak mengapa, karena  permasalahan menimpa setiap orang, tidak peduli kelas bawah atau kelas atas.

Aku membayangkan akan mampu menuliskan setiap orang yang datang dan pergi setiap harinya. Ikut merasakan apa yang mereka rasakan berdasarkan cara memegang gelas, mengambil tempat duduk, cara minum kopi, atau bahkan cara membayar kopi yang dipesannya. Namun tentu, kalau aku bekerja di sana, yang akan menginspirasiku menulis adalah pilihan kopi yang dibelinya. Kubuat tanda emosi dan atau hal lainnya dari masing-masing menu yang ada di dalam warung kopi.

Bahkan cara memegang gelas temanku ini juga berbeda dengan caraku memegang gelas. Ia menggenggam mugnya dengan kedua tangan, seakan-akan ditubuhnya sedang mengalir udara dingin yang hendak dinetralisir dengan kehangatan kopi bikinannya. Selepas menyeruput kopinya, ia menjadi lebih hangat dan berbahagia. Sementara orang-orang datang dan pergi, kami masih tetap ngobrol panjang lebar.

Sekali lagi, memandangi tamu-tamu itu, aku seperti memandangi jiwa temanku ini. Warung kopi seperti hidup itu sendiri. Ada orang yang selalu datang, dan ada beberapa yang tinggal, lalu sebagian lagi pergi. Pada hidup temanku ini juga, banyak yang datang dan pergi. Dan yang pergi, ada yang menyisakan rasa sakit yang mungkin sukar pudar. Tampaknya kini ia sedang membangun nasib baiknya sendiri.

Sebagai warung kopi, kita harus menerima siapapun juga yang datang dan merelakan siapapun juga yang telah pergi. Bahkan suatu ketika, yang telah minum kopi lupa juga membayar tapi sudah tergesa-gesa pergi. Kita hanya harus mengindeksnya. Memberikan centang pada seseorang yang datang lalu membayar lebih, dan memberikan tanda X pada orang yang pergi tanpa mengucap salam. 

Dari warung kopimu, belajarlah ikhlas lalu berbahagia.

2015-03-04

Resign



Kebutuhan untuk hidup lebih baik, selalu mendesak manusia untuk maju. Biasanya hal ini akan berhubungan dengan meninggalkan zona sebelumnya ke dalam zona yang baru. Kalau bisa dikatakan bahwa zona sebelumnya adalah zona nyaman, maka seorang manusia harus rela meninggalkan zona nyaman menuju zona ketidaknyamanan guna menggapai kenyamanan yang baru.

Pada diriku sendiri, hal-hal semacam meninggalkan zona nyaman agaknya terlalu muluk. Sebabnya, diri sendiri tidak tahu apakah suatu hal menjadi nyaman atau tidak nyaman dibandingkan dengan hal yang lain yang belum pernah kita lakukan. Apalagi kebanyakan kita selalu terjebak dalam pekerjaan yang tidak enak.

Dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi, aku harus membuat keputusan yang harus kupegang teguh. Itulah pikiran saat kutinggalkan Cenderawasih Pos beberapa hari lalu. Di depan dua direktur koran terbesar di Papua ini, aku mantap untuk memutuskan resign dari pekerjaan sekaligus profesi yang penuh dengan pengalaman dan petualangan. Setelah menghadapi dua direktur tersebut, aku berteriak dalam hati; akhirnya aku bisa meninggalkan kenyamanan.

Jadilah aku keluar dari kantor yang telah memberikan banyak perubahan kepada diriku tersebut. Perasaan-perasaan saat meninggalkan pekerjaan memang moment yang sangat sulit untuk dilukiskan. Ada semacam kekhawatiran apakah aku akan mendapatkan pekerjaan yang “enak” sebagaimana menjadi jurnalis di Cenderawasih Pos. Atau apakah aku akan bekerja menjadi jurnalis lagi, atau apakah aku akan menjadi orang gagal pasca keberanianku untuk pergi dari pekerjaan yang nyaman.

Semua berkecamuk. Semua orang tentu berkecamuk pikirannya setelah resign dari pekerjaan yang “enak”. Kehidupan akan menjadi tidak jelas. Satu-satunya hal jelas ketika aku ditanya tentang apa yang akan aku lakukan adalah melanjutkan kuliah. Dan jika dalam dua tahun ke depan ditanya, apa yang kau lakukan? Maka akan kujawab dengan “setengah” bangga, aku sedang kuliah,

Bagi orang seusiaku, bekerja  adalah suatu keharusan. Bekerja menjadi hal yang wajib bagi orang yang merencanakan kehidupannya ke depan dengan menikah – beranak pinak – lalu memiliki cucu dan berakhir dengan kematian dikelilingi oleh keluarga besar. Orang yang tidak bekerja baik, akan merasa malu untuk menikah dengan gadis yang diimpikannya karena saat ini kehidupan bergerak lurus menuju realitas.

Bahkan jika gadis yang diimpikannya sudah dibutakan oleh cinta sehingga tidak peduli dengan pekerjaan si lelaki, maka orang tua mana yang akan merelakan anak yang dibesarkannya itu kepada lelaki yang kerjanya abal-abal? Orang tua perempuan sekarang lebih realistis dari pada orang tua jaman dulu. Mungkin karena telah terpengaruh sinetron, dan atau alam bawah sadarnya sudah termasuki oleh modernisme.

Karena itulah, sangat wajar bila aku harus resah karena telah meninggalkan pekerjaan menjadi jurnalis ini. Namun demikian, aku merasa bebas setelah resign dari pekerjaan tersebut. Sempat aku tidur seharian, dari pukul 12 malam hingga bangun pukul 12 siang. Lalu berleha-leha di kamar kos, menonton film, makan, keliling Kota Jayapura, nonton film lagi, dan tidur karena kelelahan secara fisik.

Menganggur, membawa dampak capek yang luar biasa dibandingkan saat kita capek bekerja. Karena sebagai wartawan di Jayapura, pekerjaan sudah bermula sejak pukul 08.00 WIT dan berakhir pukul 08.00 WIT. Mungkin wartawan yang bertugas liputan di kedinasan akan bisa pulang pukul 16.00 WIT sesuai dengan deadline kantor, namun wartawan kriminal, minimal pukul 16.00 WIT baru bisa mengetik dan melampaui deadline kantor. Bekerja seperti inilah yang sepertinya lelah sekali, namun rupanya tidak lebih capek dari pada menjadi pengangguran.

Kini, aku sudah melakukan pendaftaran di universitas doktor sutomo pada program studi ilmu komunikasi. Perkuliahan akan dimulai pada April 2015 ini, sedangkan akhir Maret aku ada perjalanan keliling Asean selama satu bulan penuh. Kembali lagi ada kekhawatiran, namun hal ini harus kulakukan karena demi menuju pencapaian “challenge your self” yang kupatrikan sejak beberapa tahun lalu.

Kini, hidup memang tampaknya lebih mudah. Aku berkeliling dari Surabaya ke Madura, bertemu dengan orang-orang lama. Agak menggelisahkan karena aku tidak datang sebagai orang yang sukses besar. Namun dua pertiga orang akan merasa kagum dengan perjalananku keliling Indonesia, meskipun mereka juga belum tahu tentang perjalananku keliling Asean. Mungkin mata mereka akan terbelalak.

Jadi, apakah aku akan bergerak ke kehidupan yang lebih maju karena dorongan untuk maju yang lebih baik? Entahlah, aku tidak tahu masa depan. Namun berusaha untuk menuju pada kehidupan yang lebih, akan selalu bisa diusahakan. Semoga.

2015-03-03

Ulasan Film: Before Sunrise

"A young man and woman meet on a train in Europe, and wind up spending one evening together in Vienna. Unfortunately, both know that this will probably be their only night together,".

Salah satu film romantis terbaik adalah Before Sunrise yang dirilis tahun 1995. Film ini, memiliki imajinasi dan percakapan yang indah terkait dua orang asing bertemu di sebuah kereta, lalu memutuskan untuk menghabiskan malam Bersama di Vienna. Dalam kehidupan nyata mungkin tidak akan pernah terjadi, terkhusus bagi kita yang memiliki wajah medium ugly ke bawah. Dan jika kita ganteng sekalipun, cantik sekalipun, kebanyakan entah bagaimana, wajah semacam kebanyakan sok tidak butuh orang sehingga tidak mungkin menyapa orang asing dan menawarkan kata-kata manis untuk berkencan.

Di Film ini, Jesse, pemuda Amerika yang menjalani kisah percintaannya yang rumit dan sedang mengajar pesawat murah agar bisa pulang ke negaranya; lalu Celine mahasiswi yang sedang perjalanan balik ke kampusnya di Sorbonne, Perancis. Ibaratnya pemuda urakan bertemu dengan cewek manis. Jesse yang sedang membaca Klaus Kinski berjudul All I Need is Love, gelisah karena ingin menyapa gadis di seberang yang sedang membaca Madame Edwarda/Le Mort/Histoire de I’oeil. Ini adalah momen, "sekarang lah saatnya, bodoh. Jangan hilangkan kesempatan!". Momen ini tidak datang setiap saat, sehingga kita juga mestinya harus mengambil momen itu selagi bisa. Lalu cerita bergulir dari satu keindahan ke keindahan lainnya.

Keindahan film ini adalah pada imajinasi no plot dan mengalirnya dialog diantara kedua aktornya. Kita terbuai bahwa Jesse dan Celine seperti tidak sedang memainkan drama film tapi tampak seperti sedang hidup di dalam film itu. Dari debar pertama kali bertemu hingga ciuman di bawah langit gemintang, semuanya tampak normal, mengalir, dan natural. Mereka memang terkesan membicarakan sesuatu yang ringan, tapi sesungguhnya berat jika kita sendiri yang melakukan obrolan itu: tentang cinta, takdir, masa depan, tentang orang tua, anak-anak, keluarga -obrolan mendalam bagi orang-orang yang mencintai kehidupan.

Rasa film ini juga begitu intim karena kita bisa mendengarkan seluruh percakapan yang panjang, tidak terpotong, dan mendalam. Namun bagiku, unpopular opinion mungkin, karakter lelaki Jesse sebenarnya membosankan karena terlalu sinis pada segala sesuatu, termasuk pada cinta. Ia banyak berargumen yang membela kaum lelaki lebih dari yang dibutuhkan. Si perempuan romantis ini jelas berada situasi yang berbeda dan jika kehidupan nyata pasti si perempuan tidak akan tahan lalu kisah berakhir bahkan belum satu jam. Karena itu, fakta lain yang menjengkelkan, adalah bahwa Celine mungkin berharap sesuatu yang romantis dari si tampan Jesse, yang akhirnya lelaki yang memenangkan film ini.

Tapi hal itu jugalah yang membuat film ini real dan nyata. Karena begitulah lelaki pada umumnya. Keduanya sudah punya pacar namun, seperti kehidupan teman-temanku saat ini, pacaran tidak selalu berjalan baik. Ada pertengkaran hampir tiap minggu, hendak putus tapi bingung nanti siapa yang mau ngajakin jalan, siapa yang bisa diajak makan bareng, siapa yang akan menanyakan kabar. Remaja memang ahli dalam membuat segala situasinya menjadi rumit. Tapi ia bertahan pada kerumitan itu. Jesse dan Celine sama-sama tahu bahwa mereka tidak mungkin bisa bersama -setidaknya ketika mereka bertemu. Tapi mereka adalah sosok yang percaya untuk menikmati momen saat ini, sebisa mungkin.

Saya dulu bukanlah penikmat momen. Saya tipe orang yang rela tidak bahagia saat ini demi kebahagiaan di masa depan -puasa dari kenikmatan sesaat. Tetapi sepertinya kehidupan tidak berjalan semacam itu. Tidak semua yang menahan kenikmatan saat ini bisa merasakan kebahagiaan di masa depan. Dunia bukanlah tempat terbaik untuk kita berharap yang ideal. Kenikmatan yang sesaat atau kebahagiaan abadi harus diraih sebisa-bisanya, berperang, bertengkar, adu mulut, hingga titik darah penghabisan. Saya mengalami momen ini dan sekarang menjadi sadar bahwa saya tidak bisa menunggu takdir begitu saja. Dan Jesse, dipicu ingin menggapai kecantikan perempuan perancis, mencoba meyakinkan Celine bahwa kehidupan ini begitu singkat, sehingga hari ini adalah momen menikmatinya. Celine yakin tidak yakin, ingin mengalamai kehidupan yang singkat itu lalu bersedia turun menjalani one night love with no sex scene dengan Jese.

Jika melihat tata kota yang indah dalam film ini, patut saya mengingat film keren lainnya “Midnight in Paris”. Film ini juga demikian, semacam pameran tempat-tempat eksotis di Vienna. Mereka berjalan di jembatan zollamtssteg yang di bawahnya mengalir Sungai Wien. Naik ke trem, dengan adegan ketika Jesse hendak merapikan rambut Celine di telinganya, lalu masuk ke toko kaset legendaris The Teuchtler Schallplattenhandlung und Antiquarität di Windmühlgasse 10 lalu melakukan adegan ikonik saling menghindari tatapan. Menggemaskan dan bikin geram.

Setelah before sunrise, sutradara Richard Linklater melanjutkan perjalanan Jesse dan Celine ke Before Sunset -sembilan tahun setelah pertemuan pertama mereka, yang tentu membuat hati saya patah hati, lalu Before Midnight, kita melihat mereka sudah menikah, sudah tua, dan saling curhat kehidupan.