2013-12-31

Puisi: Surat Cinta, dan seterusnya

surat cinta

surat yang kau kirimkan padanya, masih rapi dalam kotak yang tak pernah terbuka.
dan surat yang dia kirimkan kepadamu, masih dalam kotak yang sama. 

kita tak pernah tau cinta itu apa. 

10 Desember 2013


pelataran purnama

Di pelataran hatiku sekarang, tertanam bunga-bunga, dari masa-masa yang telah kutanam, kedukaan dan kegembiraan, apakah beda?

satusatu menjemput altar kemegahan dari takdirku, nasib yang mengantar segala sesuguhan malam minggu, dari gerhana hingga malam purnama, meski kau tak hadir, bukan berarti ratapku kian mendengung dari hari ke hati.

api unggunku, berdenyut-denyut karena melihat kuda berlari dalam pikiranku. menjadi angsa segitiga atau segiempat cinta yang sempurna, antara kita yang saling kasih, dan mata yang kutempatkan agar kau tergila-gila pada malam.

dan untuk kali ke sekian, degub itu terdengar lagi.

23 Desember 2013


cinta berjalan lambat

kita tahu cinta tidak secepat ini
malam harus panjang, jalan harus terang
kitab-kita kita paparkan dari lembarnya
membungkuk rukuk, sujud pada sajadah

tetapi hati bisa secepat itu, lerai
menggantung cita-cita dari bingkai
kaca dan matamu, menyipit seperti doa
mengayuh pedal soremu di sana
dan malamku di sini,

ketika jarak sama memenjarakannya
dengan waktu yang lelap, kita bersikukuh
saling melempar senyum
hingga kematian mereda.

29 Desember 2013

2013-10-20

Cerpen: Sebuah Pohon di Pinggir Desa

Umurku sudah seperti padi yang selesai di panen. Mataku suka berkaca-kaca, bibirku suka bergerak-gerak sendiri meskipun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Namun lebih tua dari diriku, tentu saja adalah sebuah pohon yang berdiri di pinggir desa Gelomi. Dulu pohon itu diberi nama Eloh dengan huruf E yang tidak boleh dibaca sehingga hanya ada suara “loh”. Huruf O di tengah kata itu dilafalkan seperti O yang ada pada kata “orang”. Loh, sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah desa Gelomi dan juga desa-desa lain disepanjang utara, Onomi, Katau, dan Lulaby.

Namun sebagaimana kehidupan yang terus berputar, Loh yang sekarang juga demikian, sekarang dia bukan apa-apa. Yang menjadi saksi betapa gagahnya dia hanyalah orang-orang tua sepertiku, yang usianya sudah seperti padi yang selesai di panen. Bahkan istriku sendiri sudah lama meninggal bersama beberapa kawan seangkatannya. Dia meninggal duluan karena aku menikah dengannya yang lebih tua delapan tahun. Aku tidak tahu ceritanya, hanya saja dulu aku menyukai angka delapan sehingga ketika aku berjarak 8 tahun dengannya, bagiku tidak apa-apa.

Tapi sebaiknya aku menceritakan mengenai pohon Loh ini. Seingatku, saat aku berusia dibawah delapan tahun, pohon Loh itu adalah pohon yang seringkali aku datangi. Oh bukan aku saja, tetapi seluruh warga desa, mulai dari desa Gelomi hingga Lulaby. Mereka datang bukan untuk beribadah seperti ke gereja. Mereka datang untuk menangis. Lelaki perempuan datang ke pohon itu untuk menangis. Karena dulu, orang tua kami, kakek buyut kami, mengatakan bahwa menangis adalah kekuatan.

Ketika aku berusia sekitar kurang lebih 80 tahun, ada orang datang dengan menggunakan sebuah helikopter. Mengenai helikopter ini, aku juga perlu menceritakannya sekali saja. Selama hidupku yang kurang lebih 80 tahun itu, aku pernah melihatnya sekali ketika ayah mengajakku pergi ke tempat yang jauh, membutuhkan waktu tiga setengah hari berjalan kaki. Di sana ada berbagai macam mesin yang bisa mengangkut manusia, baik itu darat maupun udara. Aku takjub, tapi tidak dengan ayahku. Karena ketika ayahku datang ke tempat itu, ia langsung memegang busur bersama saudara-saudaranya setanah kelahiran untuk menghancurkan penindasan –katanya begitu.

Dari sana aku kemudian pulang sendiri menempuh hutan lebat, gunung dan lembah. Selama lima hari aku berada di hutan, akhirnya aku sampai di rumah disambut dengan pesta bakar batu. Ibuku melukis tubuhku, begitu juga tetua adat yang lain, melukis tubuhku dengan daun dan akar hutan yang tidak sembarang bisa ditemukan. Aku dianggap sebagai pahlawan. Katanya aku telah membunuh musuh kami dan pulang sebagai pahlawan. Padahal seingatku, aku tidak ingat apa-apa.

Setelah pesta itu, kami kemudian menangis bersama-sama di bawah pohon Loh. Akibat tangisan kami, pohon loh menjadi rindang daunnya, dan berbuah besar, manis, berwarna merah dan kuning menyala. Kami berpesta buah Loh hingga malam. Tetua-tetua adat bercerita mengenai asal muasal buah Loh hingga kami semua percaya bahwa Loh adalah mu’jizat dari Tuhan, buah yang juga dimakan Adam dan Hawa hingga turun ke desa ini. Begitulah hingga kami selalu menangis di bawah pohon Loh. Dari tangisan itu, muncul daun dan buah yang menjadi sumber makanan.

Disuatu hari yang panas, ketika kami sedang asyik menangis di bawah pohon loh, heli itu datang memecah kesunyian desa. Mereka turun dari sana layaknya pahlawan, rambut seorang perempuan berkelebat disapu angin membuatnya seolah-olah istimewa. Berjalan di depan orang-orang yang tinggi itu, ayahku. Dia tersenyum memegang tangan tetua adat. Tetua adat juga memegang tangannya, mengusap dadanya, dan saling membenturkan kening. Ayahku pulang.

Tiga tetua adat, termasuk aku, berkumpul dengan ayahku. Katanya mereka yang baru datang adalah penyelamat yang akan membawa desa kami menuju modernisme –modernisme? Mereka mulai dengan ajaran-ajaran yang tidak kami mengerti. Mereka membuat bangunan, mereka memberikan pengajaran, mereka membuat permainan, dan lain-lain. Yang paling mengesalkan bagiku, mereka menyebut seorang lelaki tidak boleh menangis. Itu adalah hal terlucu yang pernah kudengar di dunia ini.

Mereka membawa penduduk desa pada suatu pagi ke bukit batu. Bukit itu juga tidak jauh dari pohon Loh. Jadi seluruh orang yang sedang menangis di pohon Loh penasaran dan menghentikan tangisannya untuk menuju bukit batu. Di sana mereka berdiri sambil bertelanjang dada sebagaimana kami sambil menunjukkan otot-otot tubuhnya.

“Lihat bentuk otot laki-laki dan perempuan,”tunjuknya pada otot lengan ketika lengan itu ditekuk ke atas sambil mengerahkan tenaga. Kami semua mengamati, termasuk aku sendiri berdiri paling depan.

“Lihat, lebih besar otot laki-laki kan?” katanya lagi. Kami mengangguk, masih belum faham apa maksudnya.
Yang lebih mencengangkan dia kemudian menyuruh salah seorang perempuan kami maju bersama seorang pasangannya. Si perempuan disuruh mengangkat sebuah batu besar yang mustahil bisa diangkatnya.

Kemudian si lelaki disuruh mengangkatnya hingga sampai di atas kepalanya. Mereka orang asing menunjuk-nunjuk ke otot si lelaki bangsa kami. Katanya itulah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Lelaki punya otot yang lebih besar, kekuatan yang lebih besar.

“Seorang yang kuat tidak boleh menangis” simpul mereka. Kami semua mengangguk-angguk. Hingga mulai hari itu, perlahan-lahan lelaki yang menangis semakin berkurang. Hanya perempuan yang saban hari datang ke pohon Loh untuk menangis tanpa ada seorang lelakipun. Hingga beberapa tahun kemudian tidak ada seorang lelakipun yang datang untuk menangis di pohon Loh. Maka tanpa sadar pohon Loh pun sudah tidak pernah berbuah lagi, hanya daunnya yang rimbun mengalahkan pohon-pohon diseluruh hutan.

Ketika ku merenungi masa lalu itu, menjadi teringat juga bahwa hari ini sudah tidak ada lagi yang menangis di bawah pohon Loh. Aku terkagum-kagum bagaimana bisa tradisi sekuat itu bisa raib tidak tersisa. Bahkan perempuan-perempuan sekarang merasa kuat dengan tidak menangis. Tampaknya menangis kini dianggap sesuatu yang memalukan. Semakin kuamati perubahan itu, semakin aku dendam dengan masa datangnya helikopter tersebut.

Seakan-akan tidak pernah ada yang berubah di dunia ini, padahal setiap harinya dunia selalu berubah. Aku berniat untuk mengubah tradisi yang sudah lenyap itu, tapi bagaimana? Akhirnya aku datang ke pohon Loh yang bahkan tidak berdaun. Cabangnya sering jatuh sendiri dan dibuat kayu bakar oleh beberapa perempuan desa. Kadang-kadang sering juga kudengar beberapa lelaki yang hendak menebangnya, tetapi mereka masih bergulat tentang siapa yang harus menebang duluan. Mereka pengecut sehingga tidak ada yang berani memulainya.

Aku duduk di sana mencoba menangisi masa lalu. Tetapi beberapa orang datang dan menertawakanku. Aku jadi urung menangis. Pura-pura duduk menikmati angin sambil bersiul-siul. Setelah mereka pergi, aku menangis lagi lebih keras hingga sore hari. Aku melihat pohon Loh yang masih tetap tidak berdaun. Mataku nanar, lalu aku mulai menangis lagi hingga malam. Beberapa orang berkerumun disekitarku penasaran. Mereka masih muda, pasti tidak tahu kalau dulu tangisan telah menyirami desa ini dengan berkah dan makanan. Akhirnya aku hanya duduk termangu di sana, juga tertidur hingga pagi hari. Hanya duduk menangis yang sehari-hari kulakukan di sana. Orang-orang semakin bergunjing tentang aku yang gila. Semakin hari berita itu semakin santer hingga anak-anak kecil mulai melempariku dengan batu sambil bereriak-teriak “Gila! Gila! Gila!”.

Aku gemetaran setiap hari. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, lama-kelamaan aku menjadi akrab dengan pandangan gila yang melekat pada diriku. Mereka mulai melempariku dengan makanan. Orang tua dari anak-anak itu mulai datang memberikanku roti, nasi, talas, dan singkong. Setiap hari kerjaanku adalah menangis dan menangisi nasib penduduk desa. Saat aku menangis sambil menengadahkan kepalaku ke atas, kulihat sepucuk daun muda bertunas. Mataku semakin berkaca, aku menangis lebih keras dan lebih keras lagi. Aku menangis karena bahagia.

Keesokan harinya aku mulai berteriak menceritakan bahwa dulu pohon Loh berdaun lebat dengan buah berwarna kuning dan merah yang manis. Orang–orang tertawa, aku terus bercerita sambil menangis. Di lain waktu juga kulihat orang-orang dewasa sudah berkerumun mendengarkan ceritaku, lalu dilain waktu juga, kakek-nenek mereka datang mendengarkan ceritaku. Mereka bergetar karena meningat masa lalu. akhirnya orang-orang tua itu datang padaku sambil berpelukan dan menangis bersama-sama di bawah pohon Loh. Ku menengadah ke atas, kulihat lima tunas baru muncul. Kutunjukkan kepada mereka dan tangisan kami bertambah keras.

Hingga pada hari ke delapan, tunas-tunas kecil seperti burung gereja mulai rimbun dicabang-cabangnya. Anak-anak merasa takjub, pemuda-pemuda mula menulis puisi cinta, gadis-gadis mulai gandrung minta daun-daun muda dari pohon Loh, dan orang-orang tua mereka hanya bisa merasakan kesedihan yang sangat karena seluruh orang tua datang ke pohon Loh untuk menangis. Mereka datang kepada kami, berangkulan dan menangis bersama. Orang-orang yang dulu tidak ingin menangis karena dianggap lemah, kini menangis bersama-sama.

Pada bulan purnama yang pertama, kami tengadah dan melihat daun-daun sudah ada diseluruh pohonnya. Aku kehabisan air mata tapi tetap menangis. Sungguh, akhirnya aku bahagia. Pemuda-pemuda yang dulu tidak percaya, sekarang memiliki mata yang bulat terheran-heran melihat daun-daun yang muncul. Mereka akhirnya mencoba-coba untuk menangis bersama kami, awalnya hanya gadis-gadis muda saja yang menangis bersama ayah dan ibunya. Tetapi sebagaimana penyakit kulit, menangis juga bisa membuat orang ketularan. Seluruh orang di desa Gelomi akhirnya menangis di bawah pohon Loh hingga air mata membanjir, lalu daun-daun bersemi bersama kuncup bunga keesokan hari.

Sungguh aku bisa melihat buah yang akan berwarna merah dan kuning di purnama berikutnya. Aku kehabisan air mata. Lalu dengan bahagia aku menutup mataku sebagai padi yang usai di panen. Nafasku berkembang teratur, suara-suara yang kutangkap hanya semayup. Tangis mereka begitu kentara membakar dadaku. Dalam samarnya kedua penglihatanku, aku benar-benar melihat buah itu, buah Loh yang dimakan adam dan hawa, jatuh ke pangkuanku. Lalu tangisan mereka memecah memekik-mekik, aku yakin, tangisan mereka adalah perlambang dari kekuatan batin kami.

2013-09-27

Mendidik Papua Melalui Media

Salah satu fungsi media massa adalah sebagai pendidikan bagi khalayaknya. Jika suatu media masa tidak benar-benar mendidik maka dia tidak memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakatnya, juga tidak melaksanakan amanat dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 2009 pada Bab II Pasal 3 Ayat (1) yang berbunyi bahwa pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Fungsi seperti ini, bagi media massa yang ada di daerah-daeah dengan khalayak yang masih belum memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang baik, memang membutuhkan keberanian. Keberanian dalam artian, tantangan yang dihadapi oleh sebuah media massa sebagai perusahaan pers bisa terancam. Dengan biaya produksi yang lebih mahal, belum tentu khalayak akan menerima jenis pendidikan yang diberikan oleh sebuah perusahaan pers. Maka dari itu diperlukan berbagai macam penelitian dan survey pembaca sebelum memutuskan pendidikan seperti apa yang akan dilakukan oleh media massa dalam memberikan fungsi pendidikannya.
Mengenai fungsi tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam beberapa minggu ini Harian Cenderawasih Pos (Cepos) telah memasukkan fungsi tersebut kesecara khusus dalam terbitannya. Apa yang telah dilakukan oleh redaksi Cepos ini tergolong berani. Fungsi pendidikan dan sumber informasi yang menjadi nyawa dari media massa benar-benar digodok dan disajikan dalam bentuk yang sangat baik dalam bentuk rubrik baru yang khusus menyajikan informasi tertentu.
Rubrik baru yang diniatkan agar bisa lebih komunikatif dengan khalayak, merupakan langkah strategis bagi sebuah media massa besar yang hendak melakukan ekspansi kepada pembaca yang lebih besar lagi. Karena, rubrik komunikatif yang dihadirkan, disamping untuk pendidikan literatur bagi khalayak, juga bisa digunakan sebagai langkah untuk mengetahui minat pembaca, Dengan mengetahui minat pembaca tersebut, media massa tidak akan kekurangan informasi yang dibutuhkan, atau paling tidak, apa yang dianggap penting bagi masyarakat.
Mengapa pendidikan menjadi penting dalam pandangan media massa cetak? Karena seperti yang kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia secara umum mengalami lompatan budaya (jumping culture) dari praliterasi (lisan) menuju postliterasi (teknologi informasi and komunikasi). Kita tidak pernah mengalami budaya literasi yang seharusnya mempersiapkan mental kita untuk berhadapan dengan dunia cyber seperti sekarang ini. Dari sinilah, media massa cetak yang merupakan produk budaya literasi, dirasa paling tepat untuk –meminjam istilah hpodhermic needle theory, menyuntikkan segala pengetahuan melalui sebuah tulisan. Dengan kemasan dan isi yang menarik, niscaya budaya literasi akan berkembang di tanah Papua.
Sebagaimana masyarakat Indonesia secara umum tersebut, begitulah budaya yang ada di Papua. Kita bisa melihat bahwa cerita lucu seperti MOP sangat penting dan menjadi salah satu identitas orang Papua. Bersamaan dengan budaya lisan yang menguat, budaya tulisan malah sama sekali belum tersentuh secara maksimal. Berbagai tulisan mengenai pendidikan di tanah papua tidak ada yang mengatakan baik. Analisanya, bahkan pendidikan di Indonesia di Papua berjalan mundur.
Melihat hal yang seperti itu, kita bisa menilai bahwa Cepos yang membuat rubrik baru, baik itu rubrik Kesehatan (Health), Opini, Selebriti, Resep, dan lain-lain, adalah langkah berani untuk membuka cakrawala masyarakat Papua terhadap berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana teori stimulus-respon[1] yang mengatakan bahwa publik sangat rentan terhadap pesan-pesan yang disebarkan melalui media massa. Jika pesan-pesan tersebut tepat sasaran, maka masyarakat akan terpengaruh dengan efek yang diinginkan oleh pembuat pesan. Maka dari itulah, jika Rubrik yang ditawarkan oleh Cepos tepat sasaran, maka pembaca di Papua akan terpengaruh. Tinggal bagaimana pesan tersebut diolah agar menjadi sebuah pendidikan dan penyebaran informasi yang benar dan membangun.
Hal yang penting untuk ditindaklanjuti oleh Cepos antara lain, memahami bahwa salah satu alasan orang tetarik untuk membaca sebuah informasi adalah karena unsur proximity (kedekatan). Jika opini yang disajikan oleh Cepos, ataupun juga rubrik baru yang lainnya, tidak dekat dengan masyarakat pembacanya –Papua, maka secara langsung maupun tidak langsung itu namanya bunuh diri. Untuk itu, jika harus menaikkan rubrik Health, maka pilihlan cara menjaga kesehatan berdasarkan konteks Papua, termasuk rubrik Resep, opini yang dimuat, dan lain sebagainya.
Juga perlu diperhatikan oleh media massa, mengenai konsistensi penerbitan. Rubrik yang baru tersebut harus eksis dan diingat oleh masyarakat sehingga akan dicari karena dibutuhkan. Jika hari ini terbit rubrik Opini, besoknya terbit rubrik Selebritis, lusa terbit rubrik Resep, dan keesokannya malah tidak ada rubrik tambahan karena ada rubrik Papua Society, pembaca akan kebingungan. Pembaca malah akan memaknai penambahan rubrik baru hanya sebagai selingan, bukan sebagai kebutuhan. Dan pada titik ini, penambahan rubrik tidak akan menambah nilai bagi perusahaan, kecuali dana yang membengkak.


[1] De Fleur dan Ball-Rokeach (1998)

2013-09-20

Quo Vadis Motivasi

Banyak hal yang tidak terselamatkan dalam kehidupan ini. Banyak pula hal yang tidak tercapai,banyak orang gagal, banyak yang mati ditengah perjuangan. Tetapi orang yang positif terhadap kehidupannya masih sangat banyak, melebihi batas keyakinannya sendiri. Dia selalu mengelus dadanya dan berkata: sabarlah hatiku, kegagalan ini adalah sebuah jalan menuju kesuksesan. Tetapi tetap saja dia akhirnya gagal.

Saya kemudian mengingat lagunya jamrud yang liriknya bertolak belakang dengan mindshet orang selama ini. Liriknya seperti ini : berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit dahulu senangpun tak datang, malah mati kemudian. Itu faktanya. Sungguh berbeda dengan lagunya Rhoma Irama yang optimis bukan?

Bagaimana dengan buku-buku motivasi yang memuat fakta mengenai kekuatan harapan dan cita-cita? Bagaimana dengan kisah-kisah motivasi mengenai kekuatan sebuah mimpi sehingga mereka benar-benar menjadi orang besar? Juga bagaimana energi positif yang disebarkan Mario Teguh sehingga membuat hidup kita menjadi benar-benar bermakna?

Oh tidak, itu adalah industri. Apakah itu buku-buku motivasi atau novel-novel based on true story, yang beredar pesat merupakan sebuah iklan yang menjual mimpi. Sama dengan iklan shampoo Pantene yang mengiming-iming bahwa jika anda memakai shampo tersebut, maka Ariel Peterpan akan datang mengetuk pintu kamarmu. Atau iklan Axe yang jika kau menggunakannya, maka bidadari sekelas Luna Maya akan mengunjungi kamar tidurmu, tidak peduli apakah kau sedang memakai baju atau tidak.

Dari sini, lihat, adakah bedanya buku motivasi dengan iklan shampo tersebut?

Maka motivasi dari mereka adalah sama dengan iklan yang seolah-olah hendak menerbangkan dirimu ke angkasa, mengejar mimpi yang hinga mati sekalipun, tidak pernah ada yang bisa menyamai mario teguh dan lain sebagainya. Orang-orang yang percaya dengan hal tersebut, biasanya akan percaya kepada janji-janji manis dari orang lain. Ia sama saja dengan orang yang mudah  terperdaya. Seperti seorang perempuan yang masih percaya dengan janji lelaki, bahwa dia akan hidup mati untuknya, rela sakit demi dia, akan mencintai hingga tua, dan blablabla yang lain.

Ini adalah pandangan saya sebagai orang normal. Saya merasa normal dan itu saya rasa bukan suatu kesombongan. Jadi ketika saya percaya bahwa motivasi yang ada di buku dan televisi adalah sebuah iklan belaka, maka saya sadar bahwa selama ini saya hanya hidup dalam buai mimpi. Saya percaya bahwa saya akan sukses dengan meraih beberapa keadaan yang membahagiakan, dan membanggakan, namun itu tidaklah semudah sebagaimana yang ada dalam buku.

Hidup itu seprti yang tengah kau jalani sekarang. Jika kau mahasiswa maka itulah duniamu, dan jangan pernah beani bermimpi macam-macam atau kau akan kecewa. Memang banyak orang yang sukses beradasarkan mimpinya, tetapi tetap tidak akan bisa dibandingkan dengan orang yang gagal karena mimpinya. Orang yang gagal selalu lebih banyak daripada orang yang sukses, hanya saja, orang yang sukses, kaya, dan tampan bisa membuat dirinya muncul di media massa sehingga lebih menonjol.

Mereka yang sukses ini kemudian membuat sebuah kilas balik bahwa dirinya dahulu merupakan seseorang yang sama dengan orang lainnya. Mereka menciptakan kondisi untuk bisa dipercaya, bahwa mereka dilahirkan di desa, bertemu dengan berbagai macam kegagalan, kemudian bisa bersinar. Kita sebagai orang luar, yang tidak bisa mengetahui niat baik dan buruk dalam hati manusia, tentu akan percaya bahwa memang kesuksesan harus dimulau dari titik nol. Dan memang, yang sedemikian itu ada, tapi tidak semuanya. Karena lebih banyak yang hancur lebur daripada yang berdiri menjadi pemenang. The winner, stands alone.

Hak dan Pemberian

Sukses, jika kita pandang sebagai kekayaan, kegagahan, kepintaran, posisi penting, maka hal itu tidak bisa menjadi hak setiap orang sebagaimana yang diucapkan oleh Adrie Wongso yang selalu berkoar bahwa success is my right. Akan selalu ada seorang looser, orang yang kalah, yang disia-siakan, yang mundur dengan hati sakit atau mundur teratur. Akan selalu ada dua sisi dalam mata uang kehidupan, satu berawajah ceria, satunya berawah suram. Tidak bisa setiap orang menjadi manager di perusahaan yang sama; sebuah dunia.

Hanya jika sukses berarti kebahagiaan, maka setiap orang akan merasakannya. Kebahagiaan, sebagaimana nasib sial, tidak akan kekal. Itu sudah sunnatullah, suatu hukum alam yang bahkan sejak Adam diciptakan pasti seorang anak manusia akan mengalami dua hal tersebut. jadi, bagaimanapun kita berusaha mengejar kesuksesan (baca:kebahagiaan) maka kita pasti akan mendapatkannya. Dan hal ini sebanding dengan bagaimanapun usaha kita untuk tidak bahagia, maka kita suatu saat akan tetap mendapatkan kebahagiaan tersebut.

Jadi sukses (bahagia) itu adalah sebuah pemberian dari Sang Maha Kasih Sayang. Itu bukan hak. Karena bagaimanapun kau menolak, maka kau akan merasakan kebahagiaan itu. Berusahalah yang baik untuk apa yang ada di depanmu, untuk sebuah cita-cita, tapi jangan percayakan sepenuhnya pada kekuatan cita-citamu. Karena Tuhan, memiliki selera humor yang tidak bisa ditebak.

2013-09-18

Mempertanyakan "Utamakan Orang Asli Papua"

Hidup di Papua memang menyenangkan. Banyak hal yang menyenangkan daripada yang menyengsarakan. Tetapi lama kelamaan, aku agak sinis terhadap tuntutan dari setiap orang untuk mengutamakan Papua di atas segalanya. Kalimat-kalimat seperti : utamakan orang asli papua yang muncul dalam setiap pembahasan tentang kemajuan masyarakat ujung timur Indonesia ini, memiliki kelemahan yang fatal dari segi psikologis.

Berdasarkan fakta kita bisa melihat bahwa bangsa Papua itu bangsa yang tertinggal. Hal yang menonjol adalah cara mereka menghabiskan uang dalam sekali pakai. Di daerah-daerah tertentu yang menjadi tempat pendulangan emas, seperti Timika, penduduk asli yang mendapatkan serpihan emas dan kemudian menjualnya seharga 2-5 juta, maka akan langsung dihabiskan dalam sekali pakai. Yang intinya dalam pemakaian tersebut, semuanya untuk bersenang-senang.

Selama mereka tidak belajar menjadi orang modern, dalam artian yang sepositif mungkin, maka pengutamaan orang asli papua hanya akan menambah kekerasan yang ada di sini. Dua kali aku berjibaku dengan kasus salah kaprah dalam pengutamaan orang asli papua yang seakan-akan, semua kesalahan dilimpahkan pada pendatang.

Keduanya kasus kecelakaan yang menimpa pendatang. Pertama di Sentani, Kabupaten Jayapura, terjadi kecelakaan bermotor yang menewaskan salah seorang penduduk asli. Penduduk asli tersebut, berdasarkan kronologis kejadiannya, saat itu sedang mabuk dan mengendarai sepeda motor. Dimanapun kita tahu, bagaimana orang mabuk yang mengendarai sepeda motor. Diapun menabrak belakang truk yang hendak menikung, kemudian seorang keturunan Cina yang membawa mobil disebelahnya dijadikan tersangka.

Orang keturunan Cina ini didatangkan ke Polres setempat, dijadikan tersangka, hendak ditahan, disuruh membayar denda adat 1 Miliar, dipukul didepan polisi oleh keluarga orang mabuk itu, hingga si orang Cina ini melapor ke Kepolisian Daerah Papua namun tidak menemukan hasil. Waktu itu, aku menemui orang Cina ini, dan dia akhirnya tidak jadi menghubungi wartawan meskipun dia kalah telak. Akupun bungkam. (kasus ini berdasarkan penuturan Irwan, family orang Cina yang ditahan)

Kasus kedua, sama juga tentang kecelakaan. Seorang anak pribumi yang hendak putar balik dijalanan menikung di Kota Jayapura. Dari arah depan, sebuah mobil Toyota Strada melaju dan kemudian membunuh orang yang dibonceng. Keteledoran ini jelas salah orang yang membonceng sepeda motor tersebut, dia seenaknya putar balik tanpa memperhatikan kendaraan lain. Faktanya di laporan polisi, dia malah sebagai saksi, dan pemilik mobil tersebut dikena denda adat, seluruh biaya pemakaman dan biaya lain-lain ditimpakan kepadanya, disamping keluarga orang mati menuntut dia tetap dihukum kurungan. Keluarga korban ini, bahkan sampai memalang jalan memaksa agar tuntutannya dipenuhi. (kasus ini berdasarkan laporan polresta jayapura)

Itu hanyalah salah satu contoh. Pengutamaan orang asli papua ini memang malah terkesan menunjukkan kelemahan mereka sendiri. Seakan-akan ada ketakutan akan dilibas oleh pendatang yang memang memiliki kemampuan hidup modern terlebih dahulu dibandingkan mereka. Ketakutan seperti itu memang benar, dan ini menjadi pisau bermata dua diantara kita pendatang, atau mereka yang penduduk asli.

Kita lihat saja, berapa biji Kepala Daerah di seluruh Papua dan Papua Barat yang kemudian bersih dari perkara korupsi. Setahu saya, itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ironisnya adalah mereka semua anak asli Papua, anak sah peradaban yang menginginkan kemajuan. Uang yang berputar di masing-masing daerah di Papua ini sudah bernilai Triliun, bukan lagi Miliar ataupun ratusan juta sebagaimana di Pulau Jawa. Jadi, dengan sumber daya manusia yang masih belajar, mau dikemanakan uang sebegitu besarnya? Aku angkat tangan jika orang Papua tidak bergerak untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Lihatlah Kapolda Papua saat ini, dia bukan orang Papua, tapi dia menyatukan seluruh komunitas. Dia mengatasi masalah dengan tidakan persuasif, bukan represif. Lihatlah Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, dia bukan orang Papua, tapi sudah berapa koruptor kelas kakap yang ditahannya dalam kepemerintahannya yang baru dua bulan ini?

Jadi, orang Papua sendiri harus membuat resolusi. Jika selamanya hanya menuding pendatang sebagai biang masalah, selamanya pula kita tidak akan melangkah ke depan. Sejarah pendatang bukanlah sejarah satu warna yang terus menimbulkan konflik. Pada suatu kesadaran, kita membutuhkan pendatang untuk menata wilayah yang belum tertata. Pendatanglah yang meramaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga kemudahan hidup bisa dirasakan.

Di Papua itu menyenangkan memang, jika dan hanya jika masyarakat pendatang bukan musuh adat, jika dan hanya jika penduduk pribumi belajar menjadi orang yang cinta pada tanahnya senditi. Dari sana, korupsi musnah, dan nyali orang Papua akan mengalahkan pendatang dengan sendirinya.

2013-09-12

Membuka Dunia di Papua

Pendidikan yang ada di Papua ini miris. Jika kita berfikir bahwa anak-anak yang putus sekolah itu hanya ada di pelosok Papua, terutama di Pegunungan, kita salah. Karena bahkan di Kota Jayapura sekalipun, yang notabenenya Ibu Kota Provinsi Papua, masih banyak kita temukan anak-anak yang tanpa malu-malu mengaku putus sekolah. Praktis, sekolah hanyalah milik segelintir orang.

Di samping hal itu, bisa dikatakan kalau pendidikan di Propinsi Indonesia paling timur ini berjalan mundur. Mundur karena pendidikan pada masa sekarang amat berbeda kualitas dengan pendidikan di masa dulu, terutama ditunjukkan ketika masa belanda. Paling tidak 50 tahun yang lalu, pendidikan amat diperhatikan karena orang Belanda yakin hal tersebut bisa membuat orang Papua dipekerjakan –ironis tapi manis.

Hal tersebut dengan gamblang disampaikan oleh beberapa tokoh adat maupun tokoh gereja ketika melakukan pertemuan dengan Gubernur Papua. Dikatakan oleh mereka bahwa dahulu, orang Belanda membuat asrama untuk sebagai tempat tinggal siswa. Ada pengawasan ketat terhadap para guru, termasuk memberi pendidikan orang pelosok untuk dididik yang kemudian dijadikan sebagai guru. Sekarang hal tersebut hanyalah kenangan menyakitkan. Realitas sekarang, bahkan gurupun tidak lagi menempati sekolah dimana ia mengajar.

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi (Susenas) tahun 2006 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan, sebanyak 73.729 orang dari 432.122 anak di Papua berusia 7-15 tahun tak pernah sekolah.[1] Itu baru yang tidak pernah sekolah, belum menyentuh kepada berapa ribu lagi anak-anak yang kemudian putus sekolah di tengah semester karena berbagai macam alasan; ekonomi, sosial, budaya, dll.

Pembangunan pendidikan yang sulit diharapkan dari pemerintah, baik daerah maupun pusat, harus dicarikan solusinya. Hal itulah yang kemudian dilakukan oleh Sekolah Menulis Papua, yang dalam hal ini concern kepada pendidikan luar sekolah. Ternyata pada awalnya kami juga mengalami gagap budaya. Masih banyak anak-anak yang kita kumpulkan di Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura, tidak bersekolah, atau putus sekolah.

Ketika malam Minggu, kita sengaja mengumpulkan beberapa anak yang ada di sekitar perumahan untuk bersenda gurau. Kebetulan ada ratusan buku yang telah dikirimkan oleh dermawan baik hati dari Bandung, kita perkenalkan kepada mereka buku-buku itu. Mereka kemudian berhamburan seperti kupu-kupu, memegang buku dengan rasa takjub, lalu memukulkannya ke temannya hingga buku berserakan, kulit mengelupas, dan warna menjadi kabut. Itulah fakta. Mereka kagum dan cinta kepada buku, tetapi mereka masih belum bisa memperlakukan buku dengan cara yang baik.

Berhadapan dengan anak-anak yang masih nyaman dengan tanpa sandal ini, kadang sering menjengkelkan. Tapi itulah seninya. Kita masih mengenalkan kepada mereka bahwa sebuah buku adalah harta berharga. Menyentuhnya harus dengan khidmat, membacanya harus gembira, dan memperlakukan sebuah buku harus dengan hati.

Kita masih mengenalkan kepada anak-anak ini, bahwa huruf W itu tidak sama dengan K, dan kata yang berakhiran huruf N tidak bisa dibaca seperti berakhiran huruf G. Jadi Ikan akan dibaca Ikang. Dan kata Panggang malah dibaca Panggan.[2]

Mereka rupanya begitu antusias ketika kita bercerita mengenai salah satu dongeng yang ada di buku. Mereka menganga, seakan-akan dunia itu menjadi luas seluas cakrawala. Setelah itu, mereka rutin datang ke rumah kami, Sekolah Menulis Papua, yang kemudian menjadi salah satu tempat berkunjung favorit setelah rumah mereka sendiri.

Sudah menjadi sifat manusia yang mudah bosan. Ketika buku-buku ini habis mereka lahap, terutama komik-komik berwarna yang menggerakkan imajinasi, dikhawatirkan mereka akan jarang berkunjung dan kembali kepada dunia tanpa huruf. Saya membayangkan bahwa mereka akan kembali bergumul dengan anjing-anjing, lalu bermain lumpur di sekitar danau. Itu seperti gerimis yang tiba-tiba datang mengetuk hati, tapi kita tidak memiliki rumah.

Inilah keberadaan kita sesungguhnya. Ketika pemerintah sudah sulit diharapkan, sebisanya kita memanfaatkan sisa-sisa semangat yang masih menyala. Kebutuhan akan berbagai macam buku anak untuk menggugah minat baca anak-anak Papua merupakan sebuah keniscayaan. Jika kita gagal membina mereka saat ini, kita akan menemukan mereka dijalanan dengan pikiran kacau penuh minuman keras. 10 tahun lagi, itulah fakta lain dari kehidupan pemuda Papua.

Maka dari itu, dari pemikiran dan kejernihan hati yang dalam, kami keluarga besar Sekolah Menulis Papua mengajak semua kalangan yang peduli kepada kemanusiaan untuk menyumbangkan buku-buku dari tanah sebrang. Demi kemanusiaan, menyumbang buku di sini, adalah sama dengan menyumbang dunia.


[1] Laporan Jurnalistik Kompas. 2009. Ekspedisi Tanah Papua. Penerbit Buku Kompas: Jakarta

[2] ibid

2013-08-22

Bukan Komik Biasa


Hari ini bertumpuk-tumpuk buku ada di beranda, buku hasil sumbangan seorang donatur demi sekolah menulis yang akan segera beroperasi di Papua. Tentu saja ada perasaan bahagia yang besar di hatiku, persis dengan perasaan ketika kita mampu menyelamatkan tiga anak burung yang terjatuh dari sarangnya.

Sebuah pesan singkat muncul lagi di hapeku, “Itu hanya tahap pertama, ini masih ada beberapa kardus besar yang di pak sebelum siap dikirim lagi ke Papua,”. Aku terpesona dengan bunyi sms tersebut, sekaligus berdecak kagum dan geleng-geleng kepala. Ada beberapa orang yang tanpa pertimbangan mengorbankan segala sesuatu untuk menyelamatkan sebuah generasi, dilain pihak, ada pula beberapa orang yang tanpa pertimbangan merampas hak mereka.

Dari 12 kardus yang ada di depanku kini, sebagian besar berisi komik-komik dari Jepang yang sudah lama dikenal oleh orang Indonesia. Ketika ku susun, ada sepuluh tumpukan setinggi 1 meter. Aku kembali terpesona. Memikirkan tentang komik ini, aku kembali teringat dengan Naruto yang ingin menjadi Hokage, dan juga Luffy yang ingn menjadi Raja Bajak Laut. Adegan mereka kembali berputar di kepalaku, yang kemudian memberikan suntikan keanehan kepadaku karena karakter mereka yang sungguh, bisa menggugah kita yang sedang tertidur.

Beberapa orang dari kita menganggap bahwa komik tidak terlalu menjanjikan untuk dibaca. Komiks-komiks tersebut hanyalah sebuah bacaan anak kecil yang dibaca kalau senggang, dan ketika tidak ada buku pelajaran yang mesti dibaca. Dulu, aku sepakat dengan pendapat itu karena aku hanya memandangi komiks dari luar, tanpa pernah membacanya. Ketika itu, doraemon, ninja hattori, dan dragon ball, yang sepintas lalu kulihat lewat televisi, tidak memberikan didikan yang berarti, apalagi pasca kemunculan sinchan, ini malah memperparah thesis-ku mengenai arti sebuah komiks.

Setelah belajar di SMA dan Kuliah, aku mengenal Naruto dan One Piece dalam beberapa kesempatan hingga kemudian benar-benar mendowload semua video chapter kedua judul tersebut. Aku merasa demam, berkali-kali tergelak, juga berkali-kali menyadari sebuah kehidupan. Lalu hari ini aku mendapati begitu banyak komik berserakan di beranda rumah, aku agak lain dalam menghargai mereka.

Satu persatu ku baca komik yang sebelumnya tidak pernah kutahu. Yang akhirnya membuatku bertanya-tanya mengenai betapa seriusnya pengarang komik dalam mengeksplorasi tokoh dengan keilmuan-keilmuannya. Ini seperti JK Rowling yang benar-benar membuat dunia baru –dunia sihir- melalui Harry Potter, atau pula CS Lewis yang mencipta tuhan semacam Aslan di Narnia, dan JR. Tolkien yang membuat dunia The Lord of The Ring. Eichiro Oda juga mampu membuat dunia bajak laut sehebat One Piece, dan Masashi Kishimoto mampu membuat dunia ninja senyata Naruto.

Selebihnya adalah kisah yang lain, betapa komiks-komiks tersebut benar-benar menyajikan kehidupan yang nyata. Ketika komiks itu bicara mengenai dunia memasak, maka pengarangnya seakan-akan benar-benar faham mengena teknik, bahan, dan bagaimana memasak makanan yang sempurna. Ketika bercerita mengenai dunia kejahatan, dia benar-benar faham mengenai motif, teknik, dan cara kejahatan membalas dendam. Apakah pengarang-pengarang komiks ini memang seluar biasa itu? Mereka mampu membuat dunia yang benar-benar diingnkannya, seakan tidak ada kecacatan dalam dunia mereka.

Bahkan Eichiro Oda ketika ditanya, “Apakah nantinya kru bajak laut topi jerami akan bertambah?” dia menjawab, “Itu terserah Luffy (tokoh utama yang menjadi kapten bajak laut topi jerami),”. Dia benar-benar menjadi tuhan yang menghidupkan Luffy, dan menjadikannya manusia yang bisa berkehendak bebas.

Entah manusia macam apa yang mengarang komik-komik tersebut, aku terus berupaya mengetahui dari mana mereka mendapatkan pengetahuan yang sempurna mengenai suatu dunia –dunia ninja, dunia bajak laut, dunia sihir, dunia arwah, dunia makanan, dll. Mereka seakan menjadi ahli di dalamnya seperti pakar, seperti professor yang tiap hari keliling dunia untuk memberikan ceramah. Aku benar-benar penasaran bagaimana mereka belajar untuk kesempurnaan ide cerita tersebut. Aku takjub. 

2013-08-12

Lebaran : Eksistensi dan Substansi


Umat muslim telah merayakan lebaran. Meskipun di Kota Jayapura ini umat muslim masih tergolong minoritas, tapi perayaan lebaran tetap terlihat menonjol. Pertunjukan busana di jalanan seperti catwalk panjang yang memang sengaja diciptakan demikian. Dari tahun ke tahun tetap sama, kita berlomba untuk berhari raya, bersenang-senang, dan tentu saja kembali menabung apa yang hendak kita singkirkan jauh-jauh ketika Bulan Ramadhan : dosa dan kesalahan.

Pada hari raya ini kita lebih banyak membicarakan diskon khusus pada banyak tempat. Dengan embel-embel lebaran dan ramadhan, penjual berlomba memancing munculnya jiwa manusia yang paling primitif, yaitu kerakusan. Disaat yang sama, ketika puasa (shoum = menahan) mengharuskan kita untuk menahan segala bentuk nafsu dan dosa, kita malah mengumbarnya. Berpuncak pada Hari Raya Lebaran inilah, kita bukan kembali pada fitrah manusia, tapi berpaling pada sifat hewani yang konsumtif tanpa pertimbangan. Ini semacam balas dendam karena kita merasa dikekang selama Ramadhan.

Jadi Lebaran memang tetap eksis di Kota kita tercinta ini. Tetapi ada yang perlu kita perhatikan dengan serius mengenai pelaksanaannya. Karena eksistensi (keberadaan) suatu benda tidak melulu menunjukkan kualitas yang sesungguhnya.

Mari mengingat sejenak sebuah pandangan dalam ilmu filsafat mengenai beberapa orang yang memandang dirinya sebagai kaum yang menganut faham eksistensialis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eksistensialis berarti penganut faham eksistensialisme, dan eksistensialisme sendiri adalah faham yang berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggungjawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Inilah kita yang sesungguhnya. Kita berupaya keras untuk selalu menjaga keberadaan sesuatu tanpa mempedulikan kualitas kebenarannya. Kita goyah, mempertahankan keberadaan Hari Raya Lebaran tapi kehilangan makna di dalamnya. Sebagaimana kita mempertahankan budaya silaturahim dan budaya berbagi di hari Lebaran, tapi kita lupa pada substansi yang sesungguhnya.

Substansi

Jika kita mendengar khutbah salah seorang khatib Jumat ketika Bulan Ramadhan atau pada saat khutbah shalat Idul Fitri, maka kita akan menemui kalimat bahwa ketika hari raya idul fitri datang, maka kita bagaikan bayi yang dilahirkan, yang artinya kita sudah tanpa dosa sama sekali. Itu memang benar. Karena kita sebulan penuh digembleng mental untuk bisa menahan nafsu, sekaligus memperbanyak amal shaleh, maka setelah selesai Bulan Ramadhan, kita adalah putih.

Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang juga bisa diartikan dengan kelahiran kembali. Harapan dari hari raya ini jelas; kita kembali menjadi fitrah, manusia yang baru dilahirkan, tanpa dosa dan salah. Di dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 172 dijelaskan mengenai perjanjian awal manusia dengan Allah. Inilah perjanjian primordial itu. Ketika kita masih di alam ruh, kita ditanya oleh Tuhan, Bukankah Aku ini Tuhanmu?, Dan kita menjawab : Benar, Engkau Tuhanku! Kami menjadi saksi. Maka sejak kita keluar dari Ramadhan, kita adalah bayi yang terlahir kembali akibat perjanjian tersebut.

Mari kita lihat pelaksanaan Idul Fitri disekeliling. Apakah sudah menampakkan bahwa kita ini manusia suci dan putih yang dilahirkan kembali?

Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa merayakan idul fitri tidak harus dengan baju baru, sepatu baru, atau juga jajanan yang melimpah ruah di ruang tamu dan meja makan, melainkan dengan cara pandang baru terhadap sesama manusia dan kepada Allah sebagai Tuhan kita. Dengan cara pandang yang baru kita akan bisa melihat dengan jelas perihal kemanusiaan yang akhir-akhir ini tenggelam. Menjadi manusia yang kembali pada tauhid, menjadikan sandaran hanya kepada Allah Tuhan Semesta Alam.

Cara pandang yang baru akan membawa kita kepada peradaban yang agung. Di samping kembali kepada fitrah manusia yang suci, kita juga bisa membawa makna berbagi yang lebih baik di Hari Lebaran ini. Selama satu bulan kita diperintahkan untuk puasa, kita akan faham bagaimana makna lapar dan dahaga. Dari sana kita bisa menjadi makhluk sosial yang paling penting yang pernah diciptakan oleh Tuhan.

Kita melihat di jalanan anak kecil membawa kantong plastik dan bahkan membawa ransel untuk berkunjung dari satu ke rumah yang lain demi minuman kaleng atau selembar uang kertas*. Sebagai tuan rumah, maka kita telah merayakan hari berbagi yang membahagiakan tersebut. Tapi bagi anak-anak pembawa kantong plastik tersebut, ini bukan pembelajaran yang baik. Disini kita ikut bertanggungjawab pada psikis anak-anak yang dilegitimasi untuk menjadi peminta-minta.

Sebagai orang tua kita harus cepat memberikan pemahaman kepada anak-anak. Menjalin silaturrahim itu baik, dianjurkan malah, tapi dengan menjadikan hal tersebut untuk ajang mencari minuman kaleng, bukanlah hal yang mulia. Sesampanya di rumah, jajarkan kaleng tersebut, dan berikan kembali kepada anak-anak yang datang. Bahkan yang lebih baik, biarkan anak-anak kita yang memberikan kaleng-kaleng itu kepada mereka yang membutuhkan, karena belajar berbagi memang harus bermula sejak dini.

Hari raya idul fitri memang bom waktu. Ia hari kemenangan yang juga memunculkan budaya konsumerisme yang tidak bisa ditolak. Jika kita tidak berhati-hati dan kembali pada fitrah manusia, maka kita akan selamanya terjebak. Semoga Tuhan membimbing kita semua.

*Tradisi di Papua

2013-07-14

Papua dalam Bautan Ramadhan


Manusia, sebagaimana yang kita ketahui adalah sosok yang unik sekaligus kompleks. Disebut sebagai makhluk yang sempurna, namun banyak yang perlu kita pertanyakan dari kesempurnaan tersebut –malah sebagian manusia menunjukkan kebalikan dari sempurna.

Itulah kenyataan yang kita hadapi sekarang ini. Kita sering meneriakkan kemerdekaan berfikir, kebebasan bersuara dan berkumpul, tapi dengan itu pula kita menggarong kebebasan orang lain. Hari ini misalnya, adalah bulan puasa yang penuh barokah dan banyak maghfiroh. Bagi kita yang muslim, ini adalah bulan yang menggembirakan.

Di desa-desa kita mendengar bacaan alquran setiap hari mengalun merdu, dan diperkotaan tiba-tiba suara serak anak-anak berkumandang di masjid-masjid. Tidak ada yang aneh? Tentu tidak ada yang aneh karena kita muslim, hidup dilingkungan yang 100% penduduknya muslim. Kalaupun ada yang merasa terganggu dengan bacaan alquran yang keras berkumandang, maka kita akan lantang meneriakinya “kafir!”. Maka mereka menggerutu sambil memendam bara.

Di Papua, mayoritas umat beragama adalah nasrani, entah katolik atau protestan. Dalam budaya mereka tidak ada kegiatan membaca doa keras-keras di corong masjid sebagaimana umat muslim. Sedang pada bulan ramadhan ini, tiba-tiba saja bacaan alquran menggema disetiap sudut arah. Aku yang selama ini memang rajin mengaji *serius* menjadi senang bukan main, tapi ketika memandang seorang Papua yang mungin beragama Nasrani, yang sedari tadi duduk tenang di pangkalan ojek, tekaget-kaget dan langsung meninggalkan tempat itu sambil merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh orang muslim.

Aku terhanyak sesaat, menyadari bahwa aku sedang berada di Papua. Dan kalaupun aku ada di desaku yang 100% muslim, jika bacaan alquran malah mengganggu orang lain yang sedang beristirahat karena seharian bekerja di luar, akupun akan berpikir ulang mengenai hal ini. Oh iya, semoga kalian yang membaca memahami keresahanku, jangan menganggapku sudah memasuki liberal barat sebagaimana

Apakah membaca al quran keras-keras ini akan menampakkan kesungguhan kita dalam membaca al quran? Untuk jawaban pertanyaan ini, saya punya penglaman, dan jawabannya tentu saja tidak. Bahkan kadang aku –ketika mengaji alquran dengan speaker- malah ingin memerdukan suara agar calon mertuaku mendengar betapa calon menantunya rajin mengaji dengan suara mrdu mendayu-dayu.

Untuk permasalahan ibadah, saya sangat yakin bahwa ibadah sirri itu lebih aman ketimbang ibadah jahr. Aman dalam artian kita tidak akan memiliki kemungkinan untuk bersikap riya (pamer) jika kita membaca alquran didalam kamar, atau di pojok masjid di suatu malam.

Jika membaca aquran menggunakan corong sebagaimana di masjid adalah bertujuan untuk syiar islam, maka dakwah islam tidak boleh menyakiti rasa kemanusiaan terhadap umat lain. Kita umat islam sebenarnya memiliki jalan toleransi yang tertinggi, atau dalam tradisi NU (Nahdlatul Ulama’), mereka memiliki tradisi tasamuh (salah satu dari tiga pilar : tawassuth dan tawazun) yang artinya memang toleransi. Maka memang seharusnya kita memikirkan ulang apakah yang kita lakukan (sebagai umat muslim) selama ini memang menjunjung hal tersebut.

Agama islam itu agama budaya dan peradaban, tidak semata-mata mengurusi masasah ibadah dan memisahkannya dari lingkungan sekitar. Bahkan di Papua, umat Nasrani dihimbau oleh Pemerintah Kota Jayapura yang walikotanya juga Nasrani, agar tidak berjualan makanan di siang hari demi menghormati umat muslim yang sedang berpuasa. Kemudian Kapolres Kota Jayapura mendukungnya sepenuh sikap, yang bahkan meningkatkan agenda patroli keamanan dalam rangka Ramadhan. Kita yang dihormati sedemikian rupa oleh orang beragama lain, sudah seharusnya kita menghormati orang lain juga.

Namun untuk menghindari sikap yang radikal dalam mengambil keputusan, saya memiliki usualan yang lebih baik daripada sekedar melarang atau membolehkan membaca alquran keras-keras dengan pengeras suara. Caranya adalah dengan memanggil suara-suara emas untuk mengaji melalui pengeras, sedangkan orang-orang dengan suara serak mesti sadar diri, dan mengaji dengan khusyuk dibawah bayang lampu terang masjid. Dengan begitu, paling tidak, jika dimungkinkan untuk syiar agama islam, orang diluar sana akan mendengarkan lantunan tersebut dengan dada terbuka, karena Allah yang akan menimbulkan hidayah kepada mereka, bukan kita.

2013-07-07

mengacau; aku kehilangan masa lalu


berbulan-bulan tidak menulis bisa membuatmu sakit dan gila. bahkan tanganku sekitar siku sampai jari-jemari sudah dalam tahap mengarat, yang kalau tidak melanjutkan tulisan, akan berakhir dengan terputusnya jari-jari sehingga terlihat seperti penyakit kusta.

memang orang yang sudah terbiasa menulis lalu berhenti secara tiba-tiba itu seperti seseorang yang tengah menjalani terapi diet selama 1 tahun, lalu tiba-tiba satu minggu dia tidak bisa menahan diri untuk tidak makan makanan yang disediakan di sebuah rumah makan prasmanan, maka otomatis, perutnya akan kembali membuncit, pahanya kembali membesar, juga pembuluh darahnya akan menyempit dengan dramatis.

maka aku, demi agar tidak mati kutu, otakku agar tidak mengendap seperti sampah di kali-kali, maka menulis lagi meski dengan sangat terpaksa adalah sebuah penyembuhan. ini semacam terapi kebuntuan, terapi yang dilakukan oleh seorang psikolog terhadap pasiennya yang sudah lama tidak berhubungan sosial.

menulis sebagaimana yang kita pahami adalah sebuah pekerjaan berfikir yang membutuhkan ketabahan tersendiri. ia sama saja dengan membaca yang tidak semua orang bisa melakukannya. padahal berdasarkan pencarian saya, sudah tertemukan sekitar 35 manfaat dari membaca dan atau membacakan kepada anak-anak. hm.., tidak semua hal bagus bisa dilakukan oleh manusia bukan?

maka menulis sebenarnya adalah pekerjaan eksklusif yang bisa membuat kita menjadi seseorang yang spesial. dimana-mana, profesi yang tidak banyak diminati oleh orang adalah profesi yang sulit, tapi sekaligus menonjol dalam pembangunan manusia. menulis adalah pekerjaan yang sulit, semua orang mau menjadi tapi tidak satupun yang berhasil menjadi penulis -kecuali dengan syarat tertentu yang sangat khusus.

menulis itu kadang tidak bisa diajarkan, kadang kemampuan menulis merupakan sebuah anugerah yang datang dengan sendirinya tanpa kita minta. orang-orang yang sudah besar boleh saja mengatakan bahwa mereka belajar menulis dengan serius, tapi tidak sepenuhnya saya membenarkan. mungkin memang ada kesempatan tertentu, maksudku ilham tertentu yang berada di tangannya sehingga kata yang digunakannya bisa dirubah menjadi untaian yang menakjubkan.

maka di sinilah aku, belajar lagi menggunakan memori kepenulisan yang sempat kupunya lalu hilang ditelan kapal Pelni di suatu malam buta, aku bangun dibaraknya dan berangsur-angsur setiap kata yang pernah kudapat merayap dari balik kasur dan merembes ke dag kapal yang membesi. aku menggelengkap kepala dan sebagaimana rambut yang basa, kepalaku merontokkan pengertian satu persatu dan hilang ditelan gelombang laut.

setibanya di daratan, aku linglung dan rubuh; seakan semua penyakitku hilang, tapi seakan menimbulkan kelumpuhan dalam berfikir. aku pandang dermaga yang menjadi bisu, angin laut menjadi karat, ombak samudera menjadi aneh, kuberjalan diperkotaan dan mendapati diriku menjadi bagian tak terjelaskan dari peradaban. ada anak-anak berlari, menggandeng tanganku, dan mengenalkanku pada a b c.

apakah aku kemudian, jika setiap kalimat yang dulu kukunyah menjadi kabut. Aku tidak lagi mengenal suasana melankolis yang dulu kerap hinggap di hatiku. Dia seperti kupu-kupu yang terbang dan tak hinggap lagi di dahan-dahan, karena aku juga tak menyapa pepohonan yang ada dibalik hutan, pegunungan, dan perjalanan.

Aku seperti dekil yang jatuh dikubangan becek tempat segenap serapah beralamat. Pelan-pelan aku berdiri dari sana mencari tahu apakah ada keajaiban yang disembunyikan tuhan; sebagaimana cerita dan kisah yang santer terdengar, masa lalu-masa lalu, aku kehilangan masa laluku.

2013-03-20

Cinta


Beberapa hari ini, mbak Dzikry, si penulis buku-buku cerita islami masa ketika aku masih kecil itu, sedang giat mencari referensi tentang cinta. Meskipun aku juga masih belum memahami secara benar bagaimana cinta itu, sedangkan pengetahuan datang bertubi-tubi tanpa bisa kita tangkap secara keseluruhan, maka aku juga masih punya hak dan kewajiban untuk menuliskannya.

Membicarakan cinta, seakan kita sedang masuk ke dunia semua orang. Kita seakan menulis orang lain sedangkan kita belum pernah bertemu dengannya. Mengapa demikian? Tak lain karena semua orang mengenal cinta, merasakannya, tahu keberadaannya, tetapi saking personalnya cinta itu, maka kita memiliki pemikiran dan pengertian yang berbeda. Maka dari itulah menulis tentang cinta itu sulit. Sulit karena penulis harus bisa merangkum semua pengetahuan tentang cinta, bukan hanya menuliskan cinta yang berdasarkan pengalamannya, tapi cinta yang juga berdasarkan pengalaman pembaca, orang lain, bahkan berdasarkan kisah dalam buku. Intinya, penulis harus tahu apa yang dituliskannya.

Cinta itu abstrak, immateri, intangible, untouchable, misterius tapi bukan sesuatu yang impossible untuk difahami. Karena ketakterlihatannya tersebut, maka kita bisa berdebat apapun tentang cinta, hingga serak tenggorokan, hingga menangis, dan kita tetap kuat di posisi masing-masing. Mempercayai cinta itu ada, seperti percaya kepada sesuatu yang tidak terlihat lainnya, sebagaimana percaya kepada tuhan, percaya kepada masa lalu orang lain, juga percaya kepada kekuatan tersembunyi dalam diri kita. Lagipula masih banyak hal yang tak tersentuh yang harus kita percayai, hanya bermodalkan percaya.

Lalu aku melihat beberapa dari kita yang memang enggan percaya kepada cinta. Ini agak menarik, aku melihat hal tersebut sebagai mekanisme perlindungan terhadap jiwanya. Persis rasa sakit yang melindungi tubuh kita dari kerusakan yang lebih parah. Misalkan ketika tidur ada api yang membakar dipan hingga merembet ke kaki kita. Jika tidak ada rasa sakit, maka kita tidak akan terbangun untuk mematikannya, tapi akan terjaga keesokan paginya dengan kaki setengah matang untuk sarapan. Begitu juga rasa kantuk, yang menjaga kita dari tidur mendadak saat menyetir mobil, menaiki motor, sehingga kita bisa beristirahat untuk tidur lalu melanjutkan aktifitas. Maka begitulah orang-orang yang tidak percaya kepada cinta.

Mereka bisa jadi adalah seseorang yang rapuh, yang mudah sekali jatuh cinta (bagi laki-laki) atau mudah sekali terbujuk rayuan gombal (bagi perempuan). Mungkin pada masa lalu ia pernah percaya kepada cinta, menyerahkan hidupnya untuk yang dicintainya, tapi tiba-tiba keadaan tidak membaik, malah jalinan cinta tersebut pudar dan menyisakan rasa sakit yang tiada tara –yang mereka beruntung tidak melakukan upacara bunuh diri. Setelah melewati masa berkabung, ia boleh mengenal cinta lagi, merayakan cinta dengan orang baru, lalu pada suatu hari di musim hujan, ia di khianati karena kekasihnya bergandeng mesra dengan orang lain. Orang-orang inilah yang kemudian tidak percaya lagi kepada cinta, menjadi apathis, dan muak dengan segala macam perasaan tentang hubungan lawan jenis.


Namun di atas semua itu, sesungguhnya ia masih percaya, hanya saja, pengalaman tidak mengajarinya demikian sehingga ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak percaya, hanya agar hatinya tidak lagi terjebak, hanya agar dirinya tidak merasakan sakit yang sama. Inilah mekanisme perlindungan jiwanya, yang rapuh. Entah untuk sampai kapan, yang ia tahu adalah, nanti segala sesuatunya akan tiba. Dan bagi orang lain yang juga tidak percaya kepada cinta, mungkin hanya belum belajar tentang cinta. Ia belum tahu bahwa cinta merupakan sesuatu yang bisa dibuktikan –dilihat dan dirasakan. Karena bahkan sesuatu yang abstrak seperti ini, sudah bisa dijelaskan dengan teori layaknya ilmu pengetahuan yang lain.

Aku sebagai pemuda yang percaya kepada cinta, kadang-kadang harus mereka-reka sendiri bagaimana seseorang dikatakan jatuh cinta, atau bagaimana aku menandai diriku ketika sedang jatuh cinta. Pernah suatu kali aku membuka diskusi tentang cinta di sebuah forum chat, yang anggotanya sudahlah mahasiswa, ada yang master, ada yang sudah menikah, dan seseorang lebih tua, sudah menikah, yang paling bijak diantara kami, memberi saran ke salah satu anggota yang akan menikah, bahwa “dalam perkawinan, kita tidak cuma butuh cinta. Tapi kita perlu komitmen, kesetiaan, pengertian, komunikasi…” aku langsung berfikir, maksudku, mengelus dada, mengapa kesimpulannya bisa seperti itu. Dan ia yakin sekali mengucapkan hal tersebut, sekaligus meyakinkan orang-orang lain.

Yang ingin kukatakan adalah, bahwa komitmen, setia, pengertian, komunikasi yang baik itu adalah unsur pembentuk cinta. Jika salah satu dari unsur tersebut berkurang, maka berkurangpulalah cinta tersebut dari kesempurnaan. Banyak orang dari kita menganggap bahwa cinta itu sama artinya dengan kemesraan yang berbau seksual. Ini sebenarnya tidak salah, hanya kita kurang berfikir holistik untuk mengatakan sesuatu tentang cinta. Kita masih parsial, memahami dari sudut-sudut ruang yang miskin, padahal cinta sendiri itu sungguhlah energi yang kaya. Tuhan saja, menciptakan dunia ini dengan energi cinta, dan dalam hukum kekekalan energi mengatakan bahwa cinta bisa berubah, dari satu bentuk ke bentuk lain, tapi tidak bisa musnah (maaf tidak ada hubungannya).

Maka kita mesti merekonstruksi ulang pemikiran kita tentang cinta. Paling tidak, bagi kita yang merasa sudah final dengan kehidupan ini. Berbeda dengan Mbak Dzikry yang meskipun sudah menikah namun masih terus mencari-belajar tentang cinta, orang lain justru menganggap bahwa masa cinta yang bahagia berakhir ketika kita sudah menikah. Lihat saja joke-joke di televisi, kemudian film yang mendapat perhatian besar seperti The Hangover 1 & 2, yang membuat gambaran bahwa menikah adalah berakhirnya masa muda yang bahagia, masuk ke dalam rutinitas yang membosankan, terkurung dalam janji dan komitmen, dan sebagainya-dan sebagainya. –sebagai referensi baca Why Men Lie by Barbara & Allan Pease

Aku membaca buku Mengikat Makna-nya Hernowo sekilas-kilas, lalu menemukan tulisan yang kurang lebihnya : pandangan mata atau berita yang didengar yang bisa melahirkan rasa senang disebut ‘Aliqa, apabila melebihinya sehingga terbetik untuk mendekat maka dinamai Mail. Dan bila keinginan itu mencapai tingkat kehendak untuk menguasainya maka dinamai Mawaddah. Bila seseorang bersedia berkorban atau membahayakan dirinya demi kekaksihnya dinamakan Al ‘Isyq. Sedangkan jika cinta telah memenuhi hati seseorang sehingga tidak ada lagi tempat bagi yang lain maka dinamakan At Tatayum. Jika ia tidak lagi dapat menguasai dirinya atau tidak mampu lagi berpikir membedakan sesuatu akibat cinta maka keadaan ini dinamai Walih.

Semua kata di atas, adalah tentang cinta. Aliqa, mail, ‘isyq, tatayum, semuanya adalah cinta, hanya kualitasnya saja yang berbeda. Tulisan di atas bisa menjadi pengetahuan yang berharga bagi kita yang belajar tentang cinta. Karena kata-kata dalam bahasa arab tersebut telah di bagi berdasarkan tingkatan kualitasnya oleh Ibnu Qayyim Al Jauziy, yang bisa pula kita terapkan saat kita menghadapi situasi cinta.

Saya dulu menyangka bahwa anak muda sekarang, yang suka pacaran, itu bukanlah cinta. Seorang jejaka yang selalu keluar rumah ketika seorang gadis pujaannya lewat, itu bukan cinta. Seorang gadis yang menunggu sms-sms pacarnya juga bukan cinta. Apalagi tipikal anak muda sekarang yang mengatakan cinta hanya karena tertarik denga fisik pasangannya, sungguh itu bukan cinta. Semua hal tidak kukatakan cinta kecuali sudah melampaui tiga tahap seperti yang ditulis oleh Sternberg (1) : intimacy, passion, dan commitment. Namun semua buku ini akhirnya merubah pandanganku tentang cinta sama sekali. Aku menjadi lebih faham, dan dalam beberapa kasus, menyelesaikan perselisihan beberapa adik tingkat yang sedang galau dan stress akibat ketidakmengertian mereka tentang cinta, juga menambah pengetahuanku.

Semuanya adalah cinta, atau lebih tepatnya awal dari cinta. Ketika anda terpukau dengan kecantikan seseorang, maka buatlah komitmen kepadanya bahwa kalian akan hidup bersama hingga tua, hidup nyaman sebagaimana anda dengan sahabat-sahabat anda. Jika anda telah menemukan seorang yang sangat mengerti anda (bisa jadi itu sahabat anda sendiri), maka buatlah komitmen kepadanya untuk saling menjaga hingga tua bersama, besarkan anak-anak dengan penuh cinta. Dan jika anda yang sudah berkomitmen kepada seseorang yang terlanjur di pasangkan oleh ortu, maka temukanlah hal-hal yang bisa membuat kalian bersatu seperti seorang sahabat, mulailah saling memahami, dan berjanji hingga tua bahagia. Maka semuanya bisa menjadi awal dari cinta sejati yang didambakan oleh setiap orang.

Seorang gadis cantik pernah mengatakan kepadaku akan ketakutannya kepada setiap orang yang mendekatinya. Apakah orang tersebut datang karena kecantikannya? Atau datang murni karena cinta? Ternyata dia sadar bahwa dia cantik. Aku tersenyum, lalu berkata seperti seorang ahli dakwah “jangan takut. Jika seseorang mencintaimu karena kamu cantik (dalam hal ini mengarah kepada segala sesuatu yang berbau hormonal -passion), maka itu adalah awal kebahagiaan kalian. Tinggal kau melengkapi bagian yang lain, yaitu bagaimana kalian bisa saling merasa nyaman sebagaimana sahabat (intimacy), dan melanjutkan ke tahap berikutnya; menikah (commitment)” jika anda sudah memiliki ketiganya, maka sempurnalah cinta kalian.

Kita yang tidak cantik, tidak kaya, tidak tampan, tidak gagah, tinggi semampai, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan fisik, cenderung menilai buruk kepada orang lain yang lebih tampan atau cantik. Kita biasa mengungkapkan “biarlah dia cantik, tapi hanya luarnya” dan dengan begitu menganggap diri sendiri lebih cantik secara rohani. Ini bukan sesuatu yang untuk di olok-olok. Semua ada bagiannya tersendiri. Jika anda cantik secara fisik, maka perbaikilah sikap dan hati anda karena kecantikan fisik tidak dibutuhkan saat anda tua. Dan bagi anda yang cantik akhlaknya, beruntunglah anda, dan semoga mendapat pasangan yang ganteng imannya.

Dari sini, aku sangat percaya bahwa cinta itu bisa dipelajari oleh siapa saja. Bahkan cinta harus disengaja, harus dibangun, diperbaiki, diperbarui, sebagaimana kita dengan rumah kita. Cinta memiliki bagian-bagiannya, jika kita tidak menyempurnakannya, maka kita tidak akan merasa nyaman di dalamnya.  Maka dari itulah, aku juga setuju kalau kita tidak jatuh cinta, tapi membangun cinta. Paling tidak itulah yang di ajarkan dalam agamaku. Bahwa kita tidak diperbolehkan pacaran, semata-mata agar kita membangun cinta dengan seorang pasangan seiman yang tiba-tiba hadir, hidup bersama kita, berbagi rahasia, dan saling melayani. (ada film Fireproof yang wajib di tonton oleh seorang laki-laki agar bisa membangun cinta).

Dengan kepercayaanku tersebutlah, aku bisa merencanakan kepada siapa aku akan jatuh cinta, dan bilamana harus terjadi, saat aku terpaksa membenci orang yang kucintai.


Ket :
(1) Teori Segitiga Cinta oleh Stenberg bisa dibaca di sini : Menyibak Cinta

2013-03-15

Midnight In Parepare

Semasa kecil, ketika orang tuaku sibuk melarang anaknya agar tidak memakan sayap ayam, aku malah selalu mencuri-curi sayap tersebut. Mitos ini entah terjadi di seluruh jawa atau cuma terjadi di rumahku saja, aku tidak tahu. Setiap ada sayap ayam (jawa: suwiwi) tersebut, ibuku akan menyembunyikannya. Menurut beliau, seorang jejaka atau gadis yang makan suwiwi akan menikah dengan orang yang jauh, dan beliau tidak mau jika anak-anaknya mendapatkan suami/istri di tempat yang jauh. Aku agak yakin bahwa ini merupakan pengaruh dari ayahku, karena ibuku terlihat tidak memiliki latar belakang mistis mengenai segala sesuatu, sedangkan ayahku adalah salah seorang keturunan pemelihara Jin.

Tapi permulaan itu seharusnya salah, karena sekarang aku tengah melakukan perjalanan penemuan diri, bukan penemuan istri. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan suwiwi bersama mitosnya, hanya saja aku menganggap bahwa perjalanannku ini mungkin suatu saat, menghasilkan hubungan dengan banyak perempuan lintas kota, lintas pulau, yang bisa saja salah satu dari mereka adalah seseorang yang duduk di sisiku hingga tua bersama. Mungkin saja, dan yang lebih aneh, itu mungkin disebabkan oleh suwiwi yang kucuri sewaktu kecil. Ah, aku mulai menghayal.

Hingga suatu malam, sekitar pukul setengah dua pagi, aku tiba di sebuah kota yang jauh dari bayanganku. Aku berada di kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kota ini, pada malam hari agak memiliki kemiripan dengan Paris (dream mode on). Aku membuktikan bahwa Pare pada malam hari, berbeda dengan Jakarta atau Surabaya ketika malam, juga berbeda dengan desa-desa di sepanjang pulau Jawa. Parepare merupakan kota kecil yang ramai, lampu jalanan sudah menjadi seni indah, papan billboard, gemerlap pub di pinggir pantai. Itulah yang pertama kali kutangkap.

Di sebuah lampu merah aku (di)turun(kan) dari bus bertuliskan Pipposs untuk tujuan Pollman (Polewali – Mandar). Susah mencari bus untuk jurusan Parepare karena kebanyakan dari mereka tidak melalui kota. Diantar oleh salah seorang sahabat baru, aku mencari-cari di Terminal Daya Makassar bus yang menuju ke Parepare. Cukup lama kami memantau beberapa bus tangguh yang keluar terminal tapi tidak satupun yang menuju Parepare. Kami akhirnya menuju ke hulu bus, masuk ke Terminal, dan bertanya ke semua bus yang ada di sana. Aku pantas bersyukur karena mendapatkan salah bus AC yang dingin dan meluncur dengan kecepatan tinggi –meskipun aku harus menjadi penumpang gelap karena di suruh menunggu di luar terminal yang jauh dari pandangan petugas jaga, juga naik dari tempat yang gelap bersama teman baruku itu –yang alhamdulillah juga agak gelap.

Jadi di Pareparelah aku berada. Berdiri di bawah lampu merah yang cuma berkelip kuning tiap dua detik. Sebenarnya aku sampai satu jam lebih awal, maksudku jam setengah satu, dan menikmati malam yang eksotis tersebut. Mari kita membayangkan kota Parepare pada malam hari. Tidak ada keramaian sama sekali, sedangkan lampu jalanan kota begitu terang benderang. Hanya ada satu dua taksi yang melintas, atau seseorang yang sedang mendorong gerobak makanan. Langit cerah, tidak ada suara-suara, jalanan lengang, seperti lorong-lorong kota yang ada di Paris, begitu fantastis dan imajinatif.

Ini berbeda ketika kau berdiri di kota terdekatnya, Makassar misalnya. Kau bisa saja berdiri hingga jam tiga pagi, tapi tidak akan kau dapatkan lorong-lorong semenarik ini, juga tidak ada lampu merah sesepi tempat ini. Apalagi di Surabaya, bukan? Aku di sini bisa menari, tidur telentang di perempatan seperti film The Notebook sambil was-was kalau ada mobil yang melintas, menyanyi-nyanyi sendiri, dan jingkrak-jingkrak. Tertawa lepas menertawakan kebodohan dan kebahagiaan yang kualami. Sungguh, Parepare sungguh begitu wah malam itu.

Setelah berjalan melewati beberapa lorongnya sedikit-sedikit, aku mencoba telpon temanku. Teman baruku juga, seseorang yang sabar, baik, positif, pengertian, jujur, pandai menabung, tidak sombong, dan segala sifat baik yang bisa kau dapatkan dalam kamus, bisa kau sematkan padanya. Tapi tidak diangkat padahal dari tadi ku sms-an. Lalu aku sms saja, siapa tahu dia sedang membuat banner dan spanduk untuk menyambut kedatanganku. Jadi aku sms sambil melanjutkan kegiatanku ketika tidak ada orang, bogil; bodoh dan gila. Tiga detik kemudian dia membalas smsku dan berjanji secepatnya menjemputku di lampu merah Labbukan.

Aku lihat matanya yang berbinar ketika pertama kali menemukanku, sebinar mataku. Tapi aku tahu bahwa dia sudah mengantuk, dia orang baik yang suka sibuk demi orang lain. Aku berharap bahwa dia akan membawaku pulang, mengenalkanku pada keluarganya, lalu pergi tidur. Tapi tidak, dia mengajakku makan nasi uduk yang dikasih kuah santan dengan sambal cair dan telur bundar. Aku lupa namanya, sepertinya itu makanan yang memang hanya tersedia tengah malam. Setelah makan, harapanku yang pertama tak kunjung dikabulkan, dia mengajakku berkeliling kota Parepare. Aku melonjak kegirangan meskipun aku tahu bahwa temanku ini sedang capek –terlihat dari matanya yang memerah.

Kami berkeliling menggunakan skuter, mengelilingi kota Pare yang naik-turun, mengingatkanku kepada Gill Pender yang tersesat di Paris pada tengah malam dan bertemu Hemingway atau Piccasso. Yang kutemukan di sini adalah rumah masa kecil Habibie yang sudah berubah menjadi warnet, dan aku tertawa sambil gelengkan kepala. Juga rumah Andi Mallarangeng semasa masih belum kaya di Jakarta, juga seorang polisi yang berbincang dengan waria cantik.

Malam itu, tengah malam di Parepare, serasa tengah malam di Paris -tontonlah film Midnight in Paris. Aku bisa membayangkannya.