Hidup di Papua memang menyenangkan. Banyak hal yang menyenangkan
daripada yang menyengsarakan. Tetapi lama kelamaan, aku agak sinis
terhadap tuntutan dari setiap orang untuk mengutamakan Papua di atas
segalanya. Kalimat-kalimat seperti : utamakan orang asli papua
yang muncul dalam setiap pembahasan tentang kemajuan masyarakat ujung
timur Indonesia ini, memiliki kelemahan yang fatal dari segi psikologis.
Berdasarkan
fakta kita bisa melihat bahwa bangsa Papua itu bangsa yang tertinggal.
Hal yang menonjol adalah cara mereka menghabiskan uang dalam sekali
pakai. Di daerah-daerah tertentu yang menjadi tempat pendulangan emas,
seperti Timika, penduduk asli yang mendapatkan serpihan emas dan
kemudian menjualnya seharga 2-5 juta, maka akan langsung dihabiskan
dalam sekali pakai. Yang intinya dalam pemakaian tersebut, semuanya
untuk bersenang-senang.
Selama mereka tidak belajar
menjadi orang modern, dalam artian yang sepositif mungkin, maka
pengutamaan orang asli papua hanya akan menambah kekerasan yang ada di
sini. Dua kali aku berjibaku dengan kasus salah kaprah dalam pengutamaan
orang asli papua yang seakan-akan, semua kesalahan dilimpahkan pada
pendatang.
Keduanya kasus kecelakaan yang menimpa
pendatang. Pertama di Sentani, Kabupaten Jayapura, terjadi kecelakaan
bermotor yang menewaskan salah seorang penduduk asli. Penduduk asli
tersebut, berdasarkan kronologis kejadiannya, saat itu sedang mabuk dan
mengendarai sepeda motor. Dimanapun kita tahu, bagaimana orang mabuk
yang mengendarai sepeda motor. Diapun menabrak belakang truk yang hendak
menikung, kemudian seorang keturunan Cina yang membawa mobil
disebelahnya dijadikan tersangka.
Orang keturunan Cina ini
didatangkan ke Polres setempat, dijadikan tersangka, hendak ditahan,
disuruh membayar denda adat 1 Miliar, dipukul didepan polisi oleh
keluarga orang mabuk itu, hingga si orang Cina ini melapor ke Kepolisian
Daerah Papua namun tidak menemukan hasil. Waktu itu, aku menemui orang
Cina ini, dan dia akhirnya tidak jadi menghubungi wartawan meskipun dia
kalah telak. Akupun bungkam. (kasus ini berdasarkan penuturan Irwan,
family orang Cina yang ditahan)
Kasus kedua, sama juga
tentang kecelakaan. Seorang anak pribumi yang hendak putar balik
dijalanan menikung di Kota Jayapura. Dari arah depan, sebuah mobil
Toyota Strada melaju dan kemudian membunuh orang yang dibonceng.
Keteledoran ini jelas salah orang yang membonceng sepeda motor tersebut,
dia seenaknya putar balik tanpa memperhatikan kendaraan lain. Faktanya
di laporan polisi, dia malah sebagai saksi, dan pemilik mobil tersebut
dikena denda adat, seluruh biaya pemakaman dan biaya lain-lain
ditimpakan kepadanya, disamping keluarga orang mati menuntut dia tetap
dihukum kurungan. Keluarga korban ini, bahkan sampai memalang jalan
memaksa agar tuntutannya dipenuhi. (kasus ini berdasarkan laporan
polresta jayapura)
Itu hanyalah salah satu contoh.
Pengutamaan orang asli papua ini memang malah terkesan menunjukkan
kelemahan mereka sendiri. Seakan-akan ada ketakutan akan dilibas oleh
pendatang yang memang memiliki kemampuan hidup modern terlebih dahulu
dibandingkan mereka. Ketakutan seperti itu memang benar, dan ini menjadi
pisau bermata dua diantara kita pendatang, atau mereka yang penduduk
asli.
Kita lihat saja, berapa biji Kepala Daerah di
seluruh Papua dan Papua Barat yang kemudian bersih dari perkara korupsi.
Setahu saya, itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ironisnya
adalah mereka semua anak asli Papua, anak sah peradaban yang
menginginkan kemajuan. Uang yang berputar di masing-masing daerah di
Papua ini sudah bernilai Triliun, bukan lagi Miliar ataupun ratusan juta
sebagaimana di Pulau Jawa. Jadi, dengan sumber daya manusia yang masih
belajar, mau dikemanakan uang sebegitu besarnya? Aku angkat tangan jika
orang Papua tidak bergerak untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Lihatlah
Kapolda Papua saat ini, dia bukan orang Papua, tapi dia menyatukan
seluruh komunitas. Dia mengatasi masalah dengan tidakan persuasif, bukan
represif. Lihatlah Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, dia bukan orang
Papua, tapi sudah berapa koruptor kelas kakap yang ditahannya dalam
kepemerintahannya yang baru dua bulan ini?
Jadi, orang
Papua sendiri harus membuat resolusi. Jika selamanya hanya menuding
pendatang sebagai biang masalah, selamanya pula kita tidak akan
melangkah ke depan. Sejarah pendatang bukanlah sejarah satu warna yang
terus menimbulkan konflik. Pada suatu kesadaran, kita membutuhkan
pendatang untuk menata wilayah yang belum tertata. Pendatanglah yang
meramaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga kemudahan hidup
bisa dirasakan.
Di Papua itu menyenangkan memang, jika dan
hanya jika masyarakat pendatang bukan musuh adat, jika dan hanya jika
penduduk pribumi belajar menjadi orang yang cinta pada tanahnya senditi.
Dari sana, korupsi musnah, dan nyali orang Papua akan mengalahkan
pendatang dengan sendirinya.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.