Salah satu fungsi media massa
adalah sebagai pendidikan bagi khalayaknya. Jika suatu media masa tidak
benar-benar mendidik maka dia tidak memiliki tanggung jawab sosial kepada
masyarakatnya, juga tidak melaksanakan amanat dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 2009
pada Bab II Pasal 3 Ayat (1) yang berbunyi bahwa pers nasional memiliki fungsi
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Fungsi seperti ini, bagi
media massa yang ada di daerah-daeah dengan khalayak yang masih belum memiliki
budaya literasi (baca-tulis) yang baik, memang membutuhkan keberanian.
Keberanian dalam artian, tantangan yang dihadapi oleh sebuah media massa
sebagai perusahaan pers bisa terancam. Dengan biaya produksi yang lebih mahal,
belum tentu khalayak akan menerima jenis pendidikan yang diberikan oleh sebuah
perusahaan pers. Maka dari itu diperlukan berbagai macam penelitian dan survey
pembaca sebelum memutuskan pendidikan seperti apa yang akan dilakukan oleh
media massa dalam memberikan fungsi pendidikannya.
Mengenai
fungsi tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam beberapa minggu ini Harian
Cenderawasih Pos (Cepos) telah memasukkan fungsi tersebut kesecara khusus dalam
terbitannya. Apa yang telah dilakukan oleh redaksi Cepos ini tergolong berani.
Fungsi pendidikan dan sumber informasi yang menjadi nyawa dari media massa
benar-benar digodok dan disajikan dalam bentuk yang sangat baik dalam bentuk
rubrik baru yang khusus menyajikan informasi tertentu.
Rubrik baru
yang diniatkan agar bisa lebih komunikatif dengan khalayak, merupakan langkah
strategis bagi sebuah media massa besar yang hendak melakukan ekspansi kepada
pembaca yang lebih besar lagi. Karena, rubrik komunikatif yang dihadirkan,
disamping untuk pendidikan literatur bagi khalayak, juga bisa digunakan sebagai
langkah untuk mengetahui minat pembaca, Dengan mengetahui minat pembaca
tersebut, media massa tidak akan kekurangan informasi yang dibutuhkan, atau
paling tidak, apa yang dianggap penting bagi masyarakat.
Mengapa pendidikan
menjadi penting dalam pandangan media massa cetak? Karena seperti yang kita
ketahui, bahwa bangsa Indonesia secara umum mengalami lompatan budaya (jumping
culture) dari praliterasi (lisan) menuju postliterasi (teknologi informasi
and komunikasi). Kita tidak pernah mengalami budaya literasi yang seharusnya
mempersiapkan mental kita untuk berhadapan dengan dunia cyber seperti sekarang
ini. Dari sinilah, media massa cetak yang merupakan produk budaya literasi,
dirasa paling tepat untuk –meminjam istilah hpodhermic needle theory,
menyuntikkan segala pengetahuan melalui sebuah tulisan. Dengan kemasan dan isi
yang menarik, niscaya budaya literasi akan berkembang di tanah Papua.
Sebagaimana
masyarakat Indonesia secara umum tersebut, begitulah budaya yang ada di Papua.
Kita bisa melihat bahwa cerita lucu seperti MOP sangat penting dan menjadi
salah satu identitas orang Papua. Bersamaan dengan budaya lisan yang menguat,
budaya tulisan malah sama sekali belum tersentuh secara maksimal. Berbagai
tulisan mengenai pendidikan di tanah papua tidak ada yang mengatakan baik.
Analisanya, bahkan pendidikan di Indonesia di Papua berjalan mundur.
Melihat hal
yang seperti itu, kita bisa menilai bahwa Cepos yang membuat rubrik baru, baik
itu rubrik Kesehatan (Health), Opini, Selebriti, Resep, dan lain-lain, adalah
langkah berani untuk membuka cakrawala masyarakat Papua terhadap berbagai macam
pengetahuan. Sebagaimana teori stimulus-respon[1]
yang mengatakan bahwa publik sangat rentan terhadap pesan-pesan yang disebarkan
melalui media massa. Jika pesan-pesan tersebut tepat sasaran, maka masyarakat
akan terpengaruh dengan efek yang diinginkan oleh pembuat pesan. Maka dari
itulah, jika Rubrik yang ditawarkan oleh Cepos tepat sasaran, maka pembaca di
Papua akan terpengaruh. Tinggal bagaimana pesan tersebut diolah agar menjadi
sebuah pendidikan dan penyebaran informasi yang benar dan membangun.
Hal yang
penting untuk ditindaklanjuti oleh Cepos antara lain, memahami bahwa salah satu
alasan orang tetarik untuk membaca sebuah informasi adalah karena unsur proximity
(kedekatan). Jika opini
yang disajikan oleh Cepos, ataupun juga rubrik baru yang lainnya, tidak dekat
dengan masyarakat pembacanya –Papua, maka secara langsung maupun tidak langsung
itu namanya bunuh diri. Untuk itu, jika harus menaikkan rubrik Health, maka
pilihlan cara menjaga kesehatan berdasarkan konteks Papua, termasuk rubrik
Resep, opini yang dimuat, dan lain sebagainya.
Juga perlu
diperhatikan oleh media massa, mengenai konsistensi penerbitan. Rubrik yang
baru tersebut harus eksis dan diingat oleh masyarakat sehingga akan dicari
karena dibutuhkan. Jika hari ini terbit rubrik Opini, besoknya terbit rubrik
Selebritis, lusa terbit rubrik Resep, dan keesokannya malah tidak ada rubrik
tambahan karena ada rubrik Papua Society, pembaca akan kebingungan. Pembaca
malah akan memaknai penambahan rubrik baru hanya sebagai selingan, bukan
sebagai kebutuhan. Dan pada titik ini, penambahan rubrik tidak akan menambah
nilai bagi perusahaan, kecuali dana yang membengkak.
Thanks for thee post
BalasHapus