2012-12-29

Menonton dan Membaca


Saya menyadari dari dulu, tapi tidak benar-benar sadar bahwa ini teramat penting terhadap kesadaran saya sendiri; begitu juga kesadaran penonton yang sering kecewa terhadap film tertentu.

Sudah lama sejak novel Ayat-Ayat Cinta dimunculkan menjadi sebuah film bioskop yang menyedot perhatian yang luar biasa. Waktu itu aku masih di MA. R. Mutaabbidin, sebuah sekolah islam yang juga terkena sindrom booming ayat-ayat cinta. Semua orang berlomba menonton film ini, dan berhubung di kota saya tidak (belum) ada bioskop, maka saya dengan sabar menunggu –hingga suatu hari, sekolah itu mengadakan nonton bareng tidak resmi di pusat bahasa.

Kecewa. Begitulah perasaan saya ketika melihat film itu dari menit pertama. Saya mencoba mencocok-cocokkan edisi buku dengan filmnya yang ternyata jauh berbeda, dan itu membuatku geram. Apa gerangan yang dibuat sutradara ini? Tanyaku pada diriku sendiri, sementara teman-temanku terisak sedih melihat kisah cinta mereka yang ‘suci’. Dan kejadian ini adalah pertama kali aku membanding-bandingkan antara film dan buku. Yang pada selanjutnya, semakin banyak buku populer, dan semakin banyak pula yang diadaptasi ke dalam layar lebar.

Dari sekian banyak film adabtasi itu, kesemuanya menimbulkan kekecewaan berat kepada penonton yang sudah membaca edisi bukunya –tak terkecuali film harry potter dan the davinci code. Kejadian mengecewakan ini masih juga terjadi pada film popular terakhir yang tayang pada 12 Desember 2012 ini; 5cm. setelah membaca bukunya, dan membandingkan dengan filmnya, kita akan cenderung mendecak malas sambil berkata : “ckckck… yah, filmnya bagus sih, meskipun tidak sebagus bukunya…!”

A writing
Only in a novel are all things given full play –David Herbert Lawrence

Tidak ada yang bisa mengalahkan tinta seorang penulis dalam menciptakan dunia baru, kecuali oleh Tuhan yang menciptakan dunia itu sendiri. Maka penulis adalah tuhan yang hidup dalam imajinasi seorang pembaca. Ia menciptakan sebuah cerita yang tidak hidup bergerak untuk dilihat atau didengar, tapi cerita itu hidup dalam imajinasi. Cerita yang telah ditulis tidak lagi hidup dalam tulisan itu, namun hidup dalam alam yang lain, alam yang hanya disadari oleh seseorang ketika ia membaca tulisan tersebut.

Itulah keajaiban sebuah tulisan. Maka sebagai pembaca, kita kadang-kadang berasa hidup di alam lain ketika menyelsaikan sebuah novel fantasi. Saya pernah merasakan bagaimana sakitnya dipenjara (Count Monte Cristo), bagaimana rasanya menjadi gila karena kehidupan begitu kotor (Papillon), juga pernah menjadi seorang pemuda pemimpi yang bisa menakhlukkan sebuah dunia (Laskar Pemimpi). Kita seakan-akan ikut merasakan setiap apa yang dirasakan oleh tokoh dalam setiap buku yang kita baca. Maka benarlah, bahwa dengan tulisan kita bisa memanipulasi pikiran manusia lain.

Membaca karya sastra, terkhusus lagi membaca novel, kita dituntut untuk membacanya dengan cermat. Dalam arti membaca satu persatu kata yang tertera, tidak meloncat-loncat sekedar ingin mengetahui awal dan akhirnya saja. Jika kita melakukan itu, maka kita akan benar-benar mendapatkan peraaan bagaimana tokoh itu merasakan perannya –meskipun tokoh itu benar-benar fiksi. Dan bahkan, kita bisa mengetahui bagaimana perasaan penulis ketika menuliskannya. Karena no tears in the writer, no tears in reader. No surprise in the writer, no surprise in the reader –Robert Forse. Hal inilah yang akan menjadikan novel sebagai karya yang bernilai tinggi.

A Movie

Jika kita menganggap bahwa seluruh yang ditulis bisa difilmkan, maka mungkin terjadi perbedaan sudut pandang dalam menilai ‘bagian terpenting’ sebuah buku. Maka kita patut kecewa terhadap sebuah film yang based on novel. Itu bagian paling optimis yang bisa kita lakukan jika lagi-lagi ada sebuah film yang mengadopsi cerita novel dan menurut kita tidak sesuai. Karena sutradara, atau bahkan penulis skenario, memiliki sudut pandang tertentu mengenai bagian mana dari sebuah novel yang patut ditayangkan dalam film.

Perkara yang lain tentu saja mengenai hal teknis, yang dalam masalah ini tidak bisa kita paksakan. Saya pernah membuat script film yang saya dasarkan pada salah satu cerpen yang ada di koran nasional. Dan sayangnya, itu sulit sekali karena ; seorang penulis script film harus bisa menulis sejelas-jelasnya, yang andaikan ada orang yang membaca script film kita, orang itu bisa melihatnya dengan jelas. Baik itu segi musiknya, pencahayaan, juga kostumnya. Dan hal yang penting lagi adalah, apakah kita memiliki alat, bahan, budget dana, untuk melakukan hal itu. Maka kita tahu betappa sulitnya seseorang yang membuat film berdasarkan novel itu.

Film juga harus memperhatikan hal yang lebih terperinci dari hanya sekedar membuat seorang aktor/aktris memerankan karakter tertentu. Coba kita bandingkan ketika kita menulis seperti ini : seorang lelaki yang berpakaian lusuh, menenteng sebuah komputer bekas seberat 50kg. Itu adalah komputer zaman 70-an yang belum populer. Maka untuk membuat film yang hanya terdiri dari satu take itu saja, seorang produser harus mempersiapkan “aktor, pakaian lusuh, komputer klasik seberat 50kg, juga harus riset mengenai komputer zaman 70-an itu seperti apa, lelaki itu harus ditampilkan dengan make up lusuh, juga cahaya redup dari sisi kiri, berada di jalan atau disebuah tempat pembuangan akhir, dan lain-lain”.

Melihat catatan kecil yang kemudian menjadi rumit jika diaplikasikan ke dalam film tersebut, kita sebagai pembaca-penonton akan faham bagaimana kerja keras sutradara. Sehingga sebuah novel ketika akan diaplikasikan ke dalam layar lebar, sang sutradara akan memilih dengan cermat adegan/scene mana saja yang bisa di pakai, karena tentu saja tidak semua adegan bisa di filmkan begitu saja. Untuk itulah saya buat catatan ini, agar kita tidak lagi kecewa dalam menonton film hasil adabtasi novel yan telah kita baca.

Lalu solusinya adalah, kita harus bisa memisahkan antara seni membaca buku, dan seni menonton film. Karena kedua hal tersebut sangat berbeda, dan kita telah tahu perbedaannya di atas. Demikian, selamat menonton dan membaca kembali.

2012-12-28

Ulasan Buku: Membaca 5cm by Donny Dhirgantoro

Tiga tahun yang lalu aku membaca buku 5cm, menikmati alurnya sebagaimana aku menikmati buku-buku lainnya. Kemudian aku membaca lagi beberapa hari yang lalu, aku seperti tidak mengenal bacaanku yang dulu. Ada beberapa hal yang membuatku faham dengan novel ini, sekaligus masih menyisakan pertanyaan.

Ini masih belum mengenai filosofi hidup, ini masih berupa hal teknis yang sering membuatku gagap dalam membaca buku. Sejak tiga tahun yang lalu itu, aku mulai mengoleksi film dan menontonnya sepenuh hati, -kujadikan kegiatan rutin yang membuatku gelisah kalau sampai aku tidak memiliki stok film baru. Juga beberapa novel yang sebenarnya sudah agak kutinggalkan karena aku tengah berkecimpung di dunia perkuliahan, dimana, membaca novel dan puisi tidak membuatku mampu menulis artikel, jurnal, dan skripsi dengan baik.

Lalu aku membaca buku ini, 5cm, dan aku menemukan pemahaman baru. Karena di buku tersebut juga banyak sekali film-film serta sutradara yang disebutkan, bagai kerlip bintang menghiasi langit. Cuplikan-cuplikan itu membuat buku ini semakin manis dan hidup –hanya jika kita pernah menonton apa yang mereka sebutkan, atau pernah mengenal apa yang mereka tulis. Misalnya, yang sampai sekarang belum membuatku menikmati buku ini adalah nama-nama tokoh musik dengan ciri khasnya. Dan aku bukanlah penggemar musik yang serius, sehingga aku tidak seberapa mengena ketika mereka membicarakan beberapa musik. Jujur, ini kesalahanku sebagai pembaca yang tidak memiliki pengalaman banyak, bukan kesalahan buku yang tidak membuataku faham.

Film pertama yang di sebut adalah before sunrise dan before sunset. Aku telah menontonnya, dan ikut membayangkan bagaimana film itu –meskipun tidak dideskripsikan- mampu membawa imajinasiku sendiri. Kalau kita tidak pernah kenal sama kedua film ‘yang gak boleh dihapus dari laptopmu’ tersebut, kita tidak akan memiliki gambaran apapun tentang cerita ini, sebagaimana aku tiga tahun yang lalu. Memang, 5cm, meskipun bacaan novel ringan, ini menjadi bacaan berat.

Ringan dari segi alur dan cerita, namun berat dari segi isi dan komposisi. Kita lihat saja betapa banyak hal yang bertebaran yang hanya mampu difahami oleh anak kuliahan –dan bahkan anak kuliahan inipun terpaksa harus ku batasi karena tidak semua anak kuliahan ‘bisa membaca’. Baik itu yang secara langsung menyebutkan tentang terori, maupun tentang filosofi keindonesiaan, atau juga syair-syair yang memikat. Data dalam novel ini begitu banyak, dan sangat menunjukkan keilmuan pengarang yang juga besar. Rajin membaca buku, rajin diskusi, menonton film, dan juga mendengarkan musik.

Kita pembaca, yang tidak rajin melakuka keempat hal diatas, pasti ada salah satu bagian yang membuat kita kosong. Kalaupun tidak merasakan hal itu, disebabkan alur ceritanya yang bagus, atau kita yang tidak mau tahu tentang makna dari setiap yang kita baca. Karena aku mengalaminya, tiga tahun yang lalu, khatam dan tidak tahu apa-apa kecuali hal-hal penting yang disebutkan berulang-ulang; seperti, jargon dalam buku ini, sebagai berikut :

“…sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa…

Padahal seni membaca karya sastra adalah benar-benar membaca, bukan sekedar membaca cepat untuk memahami alur cerita sebagaimana kita membaca karya ilmiah. Membaca novel harus membaca huruf, kalimat, bagian per bagiannya hingga benar-benar larut. Maka dari itu, seperti yangaku sebutkan di atas, ketika kita banyak membaca karya sastra, tulisan kitapun akan mengikutinya. Bahkan untuk menulis artikel tugas kuliahpun, bahasanya akan terlihat hancur dan langsung dibuang dihadapan kita sama dosen.

Membaca 5cm ini memang membutuhkan keilmuan khusus, tidak hanya sekedar memahami gambaran ceritanya yang mengguncang. Memang, buku seperti ini menjadi langka, bahkan yang sekelas laskar pelangi; yang inspirasinya sebanyak ikan lautan, juga kalah cemerlang jika memandang keluasan jangkauan ilmunya. Namun dalam hal tertentu, tentu 5cm tidak bisa mengalahkan apa yang telah dilakukan oleh laskar pelangi, misalnya; karya sastra yang cemerlang, karena meskipun salah satu tokoh 5cm adalah sastrawan kampus, tidak ada satupun tulisannya yang membuat seorang sastrawan perlu mengomentarinya.

Buku tentang mimpi sudah seperti sampah diperpustakaan, semua orang berlomba untuk menaikkan cita-cita menjadi sesuatu yang spektakuler. Dan memang semua buku itu berhasil membawa semangat baru bagi para pemuda yang sedang galau mencari jati diri dan butuh motivasi. Salah satu kunci keberhasilan 5cm ini adalah bahasanya yang familiar dengan kehidupan anak muda. Jadi, jika dijumlah dari kalangan pemuda kota, rasa-rasanya penggemar 5m lebih banyak dari buku yang lain.

Kelemahan yang ku dapat dari buku ini adalah konflik yang dibangun kurang berkesan. Yang harus diperkuat lagi adalah cerita tentang cinta mereka yang segi dua (meskipun cerita macam ini sudah basi), kisah mereka yang memutuskan harus berpisah sementara waktu, juga ketika salah satu tokoh hampir mati di mahameru. Tiga hal tersebut bisa menggoncang emosi pembaca sejadi-jadinya. Tapi dilihat secara keseluruhan, buku ini memang luar biasa, dan pantas masuk dalam daftar wajib buku baca sebelum kau meninggal; jika kau orang indonesia.

Dan mengenai bahasa inggris yang bertebaran, ini adalah nilai plus, sekaligus kelemahan fatal karena sebagai negara berkembang, masih banyak pemuda indonesia yang belum bisa bahasa inggris. Ini menyulitkan pemahaman, karena bahasa inggris di sana (yang kebanyakan hanyalah merupakan lagu-lagu) menjadi komposisi yang indah buat memahami perasaan tokoh-tokohnya. Dan bagi yang tidak bisa bahasa inggris, memang harus kecewa.
Aku rasa demikian saja.

2012-12-27

Menyibak Cinta Menuju Cita-Cita


Cinta, katanya tidak bisa di definisikan dengan kata-kata, namun semua orang percaya dan merasakan bagaimana cinta membuat hidupnya berubah menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Cinta merupakan representasi dari Tuhan yang paling tinggi yang ada dalam diri manusa, dimana dengan cinta tersebut, Tuhan menciptakan kita menjadi makhluk-Nya yang paling sempurna. Aristoteles mengatakan “Tuhan adalah sesuatu yang tidak bergerak, namun menggerakkan segala sesuatu yang berada di luar dirinya melalui energi abstrak besar bernama cinta”. Cinta juga menjadi tema universal yang tidak pernah usang untuk ditulis dan dikaji, lalu melahirkan Kahlil Gibran yang menjadi rujukan paling menakjubkan bagi remaja-remaja yang sedang jatuh cinta. Ia juga melahirkan Shakespeare dengan Romeo-Julietnya, atau An Nizami dengan Laila-Majnunya serta sastrawan-sastrawan lokal di sekolah-sekolah karena mereka sedang jatuh cinta dengan teman sekelas mereka. Ia sebagaimana hidup itu sendiri, sangat berarti dan begitu bermakna, tidak terlihat namun dampaknya luar biasa.

Meskipun tidak terdefinisikan secara jelas, saya yakin setiap orang memiliki definisi tentang cinta menurut perkiraan, pemikiran, dan pengalamannya sendiri. Begitu pula Aristoteles diatas, demikian pula Plato atau filusuf-ilmuwan yang lain. 

Saya akan mencoba mencuplik arti cinta dari Wikipedia untuk menyamakan persepsi kita tentang cinta : cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut. Alasan saya menggunakan definisi diatas adalah karena saya setuju mengenai dua hal dalam definisi diatas, yaitu, pertama, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan. Sementara sebagian orang menganggap bahwa cinta adalah masalah hati, kita akan beranjak dan menyangkal bahwa cinta harus di wujudkan dalam kenyataan. Hati hanyalah tempat dimana cinta bersemayam, jika demikian maka cinta hanya akan mewujud sebagai penyakit yang akan menyiksa majikannya. Karena itu, satu hal yang sangat diharapkan oleh pecinta adalah ‘mengatakannya’. Cinta dari hati kepada tindakan konkrit. 

Kedua, cinta diartikan sebagai pemberian. Mulai dari pengorbanan, empati, kasih sayang, dan mau melakukan apapun yang diinginkan seseorang yang dicintainya, itu semua adalah pemberian. Sehingga seseorang yang berkata “aku cinta kamu”, sejatinya ia sedang memberikan segala hal dalam hidupnya untuk yang dicintainya. Disinilah kemudian orang-orang, terutama anak muda mengatakan bahwa cinta itu membebaskan, bukan mengekang.

Berdasar dua kesimpulan tentang cinta diatas, kita bisa membuat setiap pecinta memberikan kekuatannya kepada obyek cintanya agar berhasil menapaki kehidupan yang dahsyat dan luar biasa. Dua orang yang saling mencintai akan mampu membuat setiap percikan cintanya menjadi kekayaan, kecerdasan, kekuatan, dan tercapainya cita-cita. Cinta yang akan kita bicarakan, bukan hanya cinta semu antar remaja (cinta erotik), namun lebih dari itu, cinta ibu kepada anak, cinta guru kepada murid, cinta persaudaraan (philia), cinta spiritual (agape) lebih-lebih cinta kepada nusa dan bangsa –nasionalisme/patriotism (storge). Cinta, dimanapun ia tumbuh, akan menimbulkan perubahan yang besar menuju hal yang positif.

Menyibak Cinta Sejati

Untuk mengetahui bagaimana cinta sejati berproses dalam diri seorang anak Adam, kita harus melihat hasil temuan Sternberg (1988) yang terkenal dengan a triangular theory of love (segitiga cinta)nya. Ia menyimpulkan bahwa cinta itu bisa tersusun dari salah satu atau gabungan dari tiga elemen. Jika salah satu elemen cinta ini lebih besar atau hilang, maka cinta yang tumbuh akan pincang dan pada suatu saat akan gagal menjalin hubungan yang lebih baik dan atau lebih lama. Tiga komponen cinta tersebut adalah intimacy (keakraban/keintiman), passion (gairah), dan commitment (komitmen). Untuk lebih memahami segitiga cinta, gambar dibawah ini akan sangat membantu :



Dari ketiga hal diatas, bisa didapatkan tujuh macam kombinasi pengalaman cinta, yaitu :
a.   Liking ; ini bisa dicirikan sebagai sebuah bentuk yang murni persahabatan.
b.   Infatuation : ini adalah gairah cinta yang menggebu-gebu sebagaimana cinta monyet, menyebabkan tidak enak makan dan tidur serta selalu terbayang-bayang.
c.    Empty : cinta yang kosong terjadi karena tidak ada gairah maupun keakraban. Biasanya terjadi karena sistem perjodohan orang tua sebagaimana kakek buyut kita.
d.   Romantic love : gabungan dari liking dan passion menghasilkan cinta yang lebih tinggi dari sekedar cinta monyet. Cinta jenis ini akan saling perhatian sebagaimana persahabatan namun dibarengi gairah cinta yang membara.
e.   Fatuous love : cinta jenis ini bisa dilukiskan sebagai pasangan yang sebenarnya tidak mudah untuk saling mengerti, namun mereka memiliki komitmen dan gairah sehingga bisa berlanjut ke tahap yang lebih tinggi.
f.     Companionate : secara sederhana ini adalah pernikahan dua orang yang telah menjalin persahabatan sejak lama. Tidak ada gairah, namun mereka ingin berkomitmen untuk saling berdekatan sebagaimana sahabat. Tinggal menanam gairah, cinta akan menjadi sempurna.
g.    Consummate love : ini adalah cinta sempurna menurut Sternberg. Dua orang akan saling mencintai dengan penuh semangat, akrab, dan bergairah meski sudah bertahun-tahun.

Penutup ; Menuju Cita-Cita

Erich Fromm menyebutkan bahwa cinta yang produktif harus terdiri dari empat hal yaitu : Care (perhatian), Responsibility (tanggung jawab), Respect (saling menghormati), dan Knowledge (pengetahuan). Jadi secara sederhana maupun kompleks, rambu-rambu untuk menjadikan cinta sebagai pondasi awal menuju cita-cita. Seseorang yang mencintai berlandaskan pada perhatian yang penuh tentu akan menimbulkan kenyamanan kepada yang dicintai, begitu pula jika tanggung jawab, saling menghormati/menghargai, dan keinginan untuk terus-menerus belajar dari masing-masing pribadi, akan menimbulkan suasana yang sangat aktif produktif sehingga seakan-seakan tidak ada halangan yang berarti jika ada pasangan kita. Bila keempat hal tersebut bisa di jadikan landasan bercinta oleh kedua pasangan, maka bukan hal yang mustahil jika mereka berdua bisa menggapai cita-cita dengan penuh kebahagiaan.

Semoga anda mengenal Warren Buffet, ia adalah orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes pada tahun 2010 setelah menendang Bill Gates dari posisi nomor satu. Salah satu ungkapan hidupnya yang terkenal adalah “Saya tidak berbeda dari anda sekalian,jika ada, perbedaannya hanyalah bahwa saya bangun setiap pagi dan memiliki kesempatan untuk mengerjakan apa yang saya cintai”. Begitulah, mengerjakan segala sesuatu dengan cinta membuat kita mampu mengendalikan kehidupan dunia kita dengan sangat bijak.

Pada zaman yang sudah terang benderang ini, seharusnya kita telah menyadari kekuatan cinta sebagai energy abstrak yang menggerakkan seluruh persendian tubuh kita untuk menumbuhkan produktifitas yang luar biasa, bahkan yang mustahil sekalipun. Sejalan dengan kesimpulan Howard –doctor Harvard University, bahwa salah satu upaya signifikan yang berpeluang untuk mengarahkan dan menjadikan setiap individu pada posisi teta, yaitu dengan cinta. Cinta dapat memicu energy yang besar dari tubuh kita, ia adalah kekuatan terdahsyat yang pernah dikenal manusia setelah Tuhan.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyajikan sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul sajak kecil tentang cinta, semoga bisa menginspirasi pembaca.

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaimu harus menjelma aku

2012-12-26

Menjadi Gila


Kenapa kita harus memikirkan dunia, setelah semua ini, apa yang diharapkan dunia dari kita?

Dunia itu brengsek, kata seorang anak SMP di film pay it forward. Dan semua orang yang mendengarkan itu hanya mengangkat bahu dan tersenyum, juga seorang wartawan yang telah mengejar anak itu dari Newyork hingga ke California –senyum mereka berarti membenarkan, dan kagum bagaimana anak seusia itu tahu kalau dunia ini brengsek. Kata-kata itu ia adopsi dari guru inspiratifnya yang tiba-tiba mengajarkan bagaimana ia harus berfikir untuk merubah dunia. Hal mustahil yang harus dibebankan kepada anak SMP. Dan memang, dunia ini brengsek. Bahkan untuk menerbitkan kebaikan saja kita harus mencarinya susah payah.

Dan begitulah hidup ini. Semua orang merasakan bagaimana brengseknya sesuatu yang bernama kehidupan. Tidak ada hal yang lurus dan langsung menuju sasaran seperti jalan tol. Hidup ini begitu mengerikan. Untuk mencapai hal yang kita cita-citakan, membutuhkan seluruh kekuatan yang kita punya, memeras darah kita, membanting seluruh tulang tengkorak, dan itupun kadang tidak berhasil, tetap saja kita hidup sebatang kara seperti gelandangan. Jika sudah seperti ini, apakah tidak boleh jika anak tersebut mengatakan bahwa dunia itu brengsek? Dan dia pada akhirnya harus mati karena mempertahankan keyakinannya bahwa ia mampu merubah dunia. Anak SMP itu mati, seseorang yang telah membangun jaringan kebaikan di seluruh Amerika, mati di bunuh seorang anak seusianya. Mengerikan bukan?

Dan jika kita telah mendapatkan semua yang kita inginkan, apakah kebrengsekan dunia itu akan berakhir? Enak saja, tentu tidak. Dunia yang brengsek ini tidak akan pernah berakhir. Tidak pernah, bahkan dalam mimpi sekalipun kita tetap akan kebingungan mencari pegangan –dan kalau sudah dapat peganganpun, ia goyah dan menjatuhkan kita ke jurang yang lebih dalam lagi. Semua ini tidak akan selesai dengan pertanyaan atau pernyataan, ataupun dengan belajar keras di perpustakaan, apalagi diselesaikan dengan seorang pacar yang menggandeng tangan kita di sisi kanan, dan menggandeng orang lain di sisi kiri. Pacar-pacar yang brengsek, yang tidak bisa dipercaya seujung rambutpun. Lagian, kenapa orang pintar masih percaya kepada orang yang tidak memiliki hubungan keluarga sedikitpun, kemudian mau membelikan boneka, coklat, bunga, yang bahkan seumur-umur dia tidak pernah membelikan dirinya sendiri kesenangan model begitu.

Richard, seorang backpacker akhirnya sampai di Thailand. Sehabis mendapat tantangan untuk minum darah ular kobra, ia menginap di hotel murah khas backpacker. Di sana ia melihat banyak sekali turis yang sedang melihat bioskop, dan ia bergumam sendiri “kenapa melihat bioskop harus sejauh ini?” dan ia memang telah memutuskan untuk memiliki petualangannya sendiri. Petualangan yang tak akan terlupakan.

Pada fase itu mungkin kita bisa mengatakan sekali lagi bahwa dunia itu brengsek. Masa pencarian merupakan masa yang sulit, meskipun bagi seorang pelancong yang seharusnya menikmati perjalanannya. Richard tengah mencari bagaimana cara memiliki petualangan itu, hingga ia ditemukan oleh seorang gila yang mengaku telah menemukan pulau eksotis yang tidak ada tandingannya. Sebuah pulau dengan laut yang dikelilingi oleh bebatuan terjal sehingga tidak terlihat dari luar, dan bagian terbaiknya adalah; tersedia banyak ganja yang tidak akan habis, yang bisa dihisap terus menerus.

‘The mad man’ diketemukan bunuh diri dengan pisau, mengiris nadinya sendiri, dan sebelumnya telah menempelkan peta harta karun tersebut di pintu kamar Richard. Mengajak teman kamar di sebelahnya, akhirnya Richard dan dua orang lagi sampai di pantai tersembunyi dan hampir tertembak oleh petani ganja yang menunggu ganja-ganjanya di sawah. Luar biasa petualangan mereka karena tidak ada perahu yang membolehkan ke pulau tersebut sehingga mereka harus berenang sejauh 2km.

Di sana, ternyata benar terdapat surga. Dengan cerita yang tidak membosankan, dan akhirnya Richard menjadi pahlawan karena mampu membunuh seekor hiu yang hendak memakan dirinya, lalu Richard pendapatkan semua yang dia inginkan; petualangan yang menakjubkan, perempuan cantik, pemandangan spektakuler, dan seks yang membara. Ia telah mencpai klimaks behagaiaan, dan kita tahu sejak awal bahwa kehidupan itu brengsek. Maka si ‘brengsek’ tidak bisa membiarkan kebahagiaan Richard terlalu lama.

Richard harus menerima hukumannya karena ia pernah membuat salinan peta dan diberikan kepada orang lain –sementara orang itu telah kelihatan akan menyeberang kepulau eksotis tersebut. Ia disuruh menyelesaikan kasus itu, mengambil kembali petanya, dan tidak boleh kembali ke komunitasnya. Ia ditinggal dipinggir pantai, ditengah hutan, sendirian, tanpa bekal, tanpa makanan, dan pacar satu-satunya, menampar wajah Richard karena tidak terima Richard melakukan hubungan intim dengan ketua komunitas. Maka begitulah kehidupan membalas dendam terhadap segala kebahagiaan. (sebagai bahan pertimbangan, baca pula buku Alexander Dumas; Monte Cristo)

Dan apakah kalian pernah mendengar sebuah buku berjudul Papillon? Kisah seorang pemuda yang tiba-tiba di penjara tanpa salah. Hanya di penjara, dan ia selalu mencoba kabur karena tidak bersalah. Ia selalu mencoba kabur tapi terus saja tidak bisa. Ditangkap lagi dan lagi. Tahu kan, kehidupan itu brengsek?

Mereka berdua harus menemukan jalan agar tidak kehilangan kewarasan; dan jalan satu-satunya adalah menjadi orang gila. Yap, menjadi gila. Karena hidup begitu brengsek, mengesalkan, maka gila adalah satu-satunya jalan, satu-satunya pemikiran bebas yang masih dimiliki seorang manusia, satu-satunya hal yang tidak akan diusik oleh kehidupan karena kehidupan sudah muak kepada orang gila yang tidak mengejar dunia. Orang gila, asyik dengan dunianya sendiria. Orang gila, mampu membangun dunia yang lebih baik bagi dirinya sendiri.

Richard mengubah dirinya seakan-akan menjadi penguasa hutan. Ia memainkan dirinya sebagai rambo, bermain game petualang dengan dirinya menjadi tokoh utama. Ia berjalan kesana kemari, berlari-lari, sembunyi, membawa pistol-pistolan kayu dan seakan-akan memiliki musuh yang akan di bunuh atau membunuh. Dengan begitu, otaknya terus bekerja, dan ia tidak lekas menjadi gila. Begitupula Papillon yang akhirnya pura-pura gila untuk menutupi kekalutannya terhadap dunianya yang tidak pernah bisa berjalan baik meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga. Ia manusia biasa yang terus berjuang, yang terus pula mengalami nasib sial. Karena tentu saja, ia buka seorang tokoh dari novel atau film hollywood yang tokoh utamanya selalu menang dan bahagia di akhir cerita.

Maka dengan menjadi gila, kita akan terus memelihara otak kita untuk bertindak layaknya orang gila, dengan itulah kita menjaga diri dari kegilaan. Ini terdengar klise dan paradoks, namun karena kebrengsekannya dunialah kita menjadi banyak menemukan hal-hal yang tidak sewajarnya. Hal-hal yang klise, munafik, dan penuh dengan orang-orang hipokrit yang; selalu brengsek.

2012-12-22

Kekalahanku


Aku adalah pendosa yang memakai kalung berlambangkan ayat-ayat suci. Mencoba menjadi saudara yang baik, tapi dalam keriuhan jiwaku, sungguh tidak ada tempat yang jernih untuk membuat segala pujian dan hinaan. Adakah yang lebih indah dari mati yang tenang, menghabiskan umur di tempat sepi yang kita hanya bisa mendengar suara binatang bersayap yang tak henti mendenging. Seperti hidup di hutan yang luas, di tengah kegelapan yang sejatinya lebih terang dari siang hari, atau berada pada suatu tempat pertapaan –yang sesekali akan didatangi orang untuk melihat apakah kita masih bernafas atau tidak.

Tak bisa lagi kulayani segala angkara murka diri sendiri. lalu tak mampu membendung segala kekotoran jiwa ini, apakah aku akan benar-benar hidup? Bahkan sekarang telah lewat masanya dan aku tidak sama sekali menghadapkan diri pada yang tunggal. Bahka aku hanya mampu menuliskan kata-kata palsu yang bisa saja, setiap saat menjebakku sendiri dalam pengakuan palsu. Tangan-tangan kotor, jemariku yang lusuh oleh kalimat yang kutuliskan sendiri. kepercayaa-kepercayaan yang kubangun di atas cahaya suram, bersinar dikejauhan tapi membutakan diri sendiri. Apakah yang aku cari dari seluruh yang kulakukan?

Mulutku kering, lidahku seperti lengket pada tenggorokan. Dadaku mengempis, dan segala kenangan menjadi jelas-sejelas-jelasnya. Mengapa ada tanggung jawab? Aku seperti tidak dilahirkan untuk pulang dalam rumah yang sama. Aku seperti ingin memiliki hidup yang lain, yang aku tidak perlu memikul sebuah kata-kata untuk bunuh diri atau membunuh orang lain. Mengapa ada kata pulang? Apakah semua ini hanyalah permainan yang harus menjatuhkanku berulang kali?

Rasa-rasanya, kehidupan semakin bertambah karat. Tidak ada yang bisa dipercaya bahkan pengalaman yang telah kita dewakan. Guru, siapakah yang akan menemukanku? Seperti takezo yang menemukan dirinya dalam rengkuha takuan, seperti seorang pezinah dan anjingnya yang terselamatkan. Kubiarkan diriku berjalan, tak hirau semua tanggung jawab yang tertangguhkan. Apakah aku seperti melarikan diri ditengah kecamuk perang yang seharusnya dengan gagah berani kuadapi?

Ternyata akulah sang pengecut itu, yang hanya mampu membuat kata semakin manis, tapi tak ada hal besar yang aku lakukan yang bisa mensucikan tubuhku. Lembah menyesatkan, kutu-kutu menyerang kepalaku. Aku terpuruk sendirian ditengah kemahapencarian. Apakah aku akan percaya kepada orang-orang yang sedang mencari dirinya sendiri tapi melupakan hal yang teramat sakral? Otakku tak mampu melampaui segala dayaku, aku melakukan setiap pelanggaran yang mampu kucapai. Dan aku menjadi lemah, seperti seorang pendosa pengecut yang lari dari takdir hukuman –yang aku tahu bahwa aku tak akan bisa menghindarinya.

Dengan doakah yang mampu memutarbalikkan diri? Dengan kekuatan apa tuhan akan berbaik hati menyentuh hati kita yang berlumpur? Kepercayaan, kepercayaan telah lama hilang dalam sebuah perjalanan menuju kemari. Titik-titik kecil masa depan yang pernah kukumpulkan dari keterserakannya, kini tengah hancur berkeping-keping seperti air yang ditumpas. Dan aku tidak percaya lagi bahwa kehidupan akan menerimaku sebagai manusianya yang paling sadar.

Akulah pemabuk yang mengkhayalkan akan berada pada kedamaian. Aku mabuk, dimabuk waktu juga sejarah. Yang mementalkanku terus menerus pada perjalanan yang kian hari kian lapuk. Sudah tidak ada yang bisa kulakukan, apakah aku harus memperpanjang tidurku demi semua kesia-siaan ini? Jika yang tertemukan hanyalah kata-kata bodoh, kata-kata mutiara yang perayu, lalu untuk apa aku terus berjalan seperti ini? Sedangkan kata pulang menjadi sesuatu yang menakutkan; pulang, apakah itu sebuah jawaban? Aku sekarat, sakit sendirian di pulau tak berpenghuni, hanya mayat hidup dan bayangan-bayangan yang dihidupkan dari keserakahan dan kemurkaan.

Hatiku tak tertemukan lagi, kemurnian tujuan dan cita-cita telah beku pada kekosongan. Apakah yang kutemukan lagi dan lagi? Tidak ada apa-apa disini selain kosong dan sepi. Dan aku adalah pesakitan kamar no 16 yang tidak akan pernah dijenguk oleh pengarangnya karena namaku telah dihapus. Karena kelumpuran diriku yang tak bisa dimaafkan. Karena pengkhianata terhadap batinku sendiri, karena pengkhianatan terhadap tubuhku, juga imanku. Tuhan, juga imanku. Untuk yang paling terakhir ini, tuhan, selamatkanlah jiwaku, tumbuhkan ketenangan itu, dan peluklah aku agar tangisku tidak pecah dan membangunkan saudaraku lainnya.

Tangaku lelah, tubuhku lelah, jiwaku lelah, keberuntunganku tertatih, tuhan, keyboard laptopku tak tahan lagi menempuh jemariku yang rakus. Kepada siapa lagi kulabuhkan kekalahan ini, yang mengerti betapa hidup adalah titik nadir yang terus diperbarui.

2012-12-21

Ulasan Buku: Count of Monte Cristo

Pada mulanya adalah sebuah kebahagiaan, kepulangan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Edmond Dates pulang menaiki Le Pharaon (kapal dagang kebanggaan Merssailess) untuk menyusul sebuah kebahagiaan. Ia akan menemui ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan, dan dalam waktu dekat, seorang gadis yang dicintainya –yang juga mencintainya, akan segera dipinangnya dan melakukan upacara pernikahan. Dalam waktu yang teramat singkat, kita benar-benar dibuat takjub bahwa kejadian-kejadian berlarian dengan cepat. Singkatnya; Dantes pulang- memberi ayahnya uang yang banyak – akan menikah dengan Marcedes yang cantik – sekaligus ia akan diangkat menjadi Kapten Kapal karena Kapten Leclere telah meninggal dan Dantes merupakan Juru Mudi pertama.

Tetapi, “kata tetapi selalu menggambarkan sesuatu yang bertolak belakang”, tetapi, nasib kemudian merubahnya menjadi nasib yang amat sangat buruk. Sebab pesan yang diamanatkan oleh Kapten Leclere untuk mengunjungi Pulau Elbaf itu kemudian membawa petaka –akibat kelicikan, ketidaksukaan, iri dengki, fitnah, dan semua sifat buruk yang pernah dimiliki oleh seseorang yang sedang iri kepada Dantes yang dengan begitu mudahnya mendapatkan keberuntungan yang teramat besar dalam usianya yang muda.

Edmond kemudian dituduh sebagai orang yang bersalah, yang telah melakukan hubungan dengan kaum pemberontak di Pulau Elbaf itu. Kejadian seperti ini bisa kita fahami karena Paris pada masa itu sedang bergolak, ada sebagian pemberontak yang menentang pemerintahan Raja Louis XVIII –dan pemberontaknya adalah para pengikut setia Napoleon Bonaparte, kita bisa tahu bagaimana ketegangan yang terjadi. Dan nasib sial bagi Dantes adalah mendapatkan kepercayaan dari Kapten Leclere untuk mengantarakan bungkusan dan surat darinya ke Elbaf dan Paris. Jadilah mala petaka itu. Ditengah Dantes melakukan upacara pernikahannya dengan Marcedes, komisaris polisi dan beberapa anggotanya menangkap Dantes, dan tanpa pengadilan yang jelas, Dantes masuk ke penjara selama 14 tahun.

Dipenjara selama 14 tahun, tanpa bersalah, dalam keadaan yang hampir-hampir ia akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Ini hanya pada bagian awal novel ini. Awal yang membuat jantung kita meremuk pelan-pelan, juga seperti ingin jungkir balik melihat kehidupan yang sebegitu mengerikan. Dan di dalam penjara ini jugalah, Dantes akhirnya belajar kepada pesakitan yang lain (dengan cara yang yang luar biasa akhirnya ia bisa bertemu dengan orang ini –memiliki saudara yang baru) tentang beragam bahasa dan beragam kepandaian hingga ia mampu berbicara dalam beberapa bahasa. Dan yang paling penting; ia diberikan sebuah peta harta karun terbesar yang berada di pulau Monte Cristo, yang ketika Dantes keluar penjara dengan penyamaran, Dia menjadi kaya raya, dengan kepandaian yang tiada tara, dan dalam tempo singkat mampu menjadi orang nomor satu di seluruh dunia.

Ia menjadi Count “Tuan” of Monte Cristo (nama pulau). Lalu seolah menjadi perwakilan Tuhan di muka bumi, ia mulai membantu keluarga Morrel (pemilik kapal ketika Dantes masih menjadi pekerja di sana) dan membatu orang-orang yang pernah berjasa kepada dirinya pada masa dahulu; dengan bantuan yang tidak pernah mereka sangka sehingga mereka tidak akan pernah melupakan jasa Count Monte Cristo. Setelah semua usahanya menjadi Tuhan yang Baik kepada orang yang baik, lalu ia mulai menjadi Tuhan yang maha penghukum kepada orang-orang yang jahat. Ia mencari mantan-mata kawannya yang telah memfitnahnya, juga hakim yang dengan licik menjebloskan ke penjara bawah tanah karena untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dan seluruh orang yang yang membuat dia berpisah dengan Marcedes –kekasihnya yang juga hampir gila karena Dantes tak kunjung datang.

perjalanan tokoh dan peristiwa dalam novel ini benar-benar rumit dan saling terhubung satu sama lain. ini seperti pepatah; siapa menanam api, ia akan menuai asapnya. Orang-orang yang kaya dan pejabat tinggi hanyalah merupakan representasi dari mereka yang mampu mengelabuhi banyak orang. Ini seperti hampir terjadi di belahan bumi manapun, bahwa kebusukan orang, fitnah, dan laku-laku jahat terjadi untuk menjadikan diri sendiri kaya dan terhormat.

Dan di sini, semuanya dirangkai menjadi plot panjang dan penting. Kita seolah-seolah diajak langsung mengetahui setiap jejak yang dilakuka Dantes yang telah menghilang dan berubah menjadi Monte Cristo; sosok yang namanya dikenal di seluruh Paris. Tidak ada yang mengetahui masa lalu Monte Cristo, dan demikian pula tidak ada yang mengetahui masa lalu para bangsawan Prancis yang bobrok.

Apa yang kita dapat dari membaca buku ini? saya tidak bisa menjaminnya secara pasti apa yang akan segera kita dapat selain ketegangan dan keinginan terus membaca. Inilah kekuatan novel. Kadang kita dibuat merasa bahwa kehidupan novel itu benar-benar nyata, dan kehidupan nyata menjadi semu. Sebenarnya, kita akan lebih banyak faham tentang kehidupan jika kita membaca novel-novel yang berbasis kenyataan seperti ini. Bukan berarti based on true story, namun buku yang tidak mengada-ada, tidak merupakan fiksi imajinatif liar. Dengan membaca buku ini kita akan tahu kehidupan yang licik dan penuh kepentingan.

Salah satu bagian yang saya suka adalah ketika Edmon Dantes pertama kali di penjara dan ia mencoba bertahan hidup dengan segala akalnya. Lalu ketika ia akan benar-benar hilang kesadaran, ia dipertemukan dengan Abbe Faria yang mengajarkan kepadanya berbagai bahasa dan kepandaian. Dan kemudian Dantes keluar dari penjara itu benar-benar menjadi orang yang baru. Hal ini hampir sama dengan kejadian ketika Takezo (dalam buku Musashi) yang bengis itu di suruh oleh gurunya berada dalam kamar yang di dalamnya disediakan berbagai macam buku dan disuruh merenungi hidupnya lagi; lalu ia keluar menyandang nama baru : Miyamoto Musashi yang kemudian menjadi legenda Dewa Pedang di daratan Jepang.

Dari sini, saya bisa membayangkan bagaimana buku bisa membentuk orang yang sama sekali jika ia benar-benar tekun dalam mempelajari sesuatu. Edmond Dantes belajar selama 10 tahun di dalam penjara, dan Takezo belajar selama 3 tahun di dalam kamar. Merekalah yang kemudian menguasai dunia. Bagaimana jika anda yang berada dalam kamar selama itu? Apakah anda akan benar-benar menjadi orang yang baru, atau malah sebaliknya?

2012-12-19

Totalitas One Piece


Akhirnya saya bangga bisa menonton one piece meskipun harus memulainya dari awal sekali. Membutuhkan kerja keras untuk bisa mendownloadnya satu-persatu sambil senggol kiri kanan untuk sharing episode. Karakterisasi yang dibuat oleh Eiichiro Oda ini benar-benar menarik, unik, dan tentu saja ajaib. Saya masih bertanya-tanya, ada kekuatan apa pada Luffy, si manusia pemakan buah setan gomu-gomu (karet). Tidak ada yang istimewa dari karet jika aku terus memikirkannya. Apa yang bisa dilakukan oleh karet sehingga bisa menjadi Raja Bajak Laut?

Cita-cita

“I’ve set myself to become the king of the pirates, and if I die trying, then at least I tried” – Monkey D. Luffy (One Piece)

Hal pertama yang saya dapat dari One Piece adalah tentang cita-cita. Di belahan bumi manapun, cita-cita adalah mutlak diperlukan guna menumbuhkan daya juang. Tapi hanya di film-film Jepang saja –sementara ini yang saya tonton adalah Naruto dan One Piece, cita-cita menjadi kunci utama pertaruhan hidup dan mati seluruh tokoh; baik protagonis maupun antagonis. Mereka semua berjuang demi cita-cita, Luffy hendak menjadi Raja Bajak Laut, Zoro hendak menjadi ahli pedang nomor satu, Sanji (seorang koki handal) ingin melihat All Blue; sebuah laut yang menjadi muara segala lautan, tempat berkumpul segala ikan, Nami ingin menggambar peta dunia, Usopp ingin menjadi ksatria gagah berani, dan Chopper ingin menjadi dokter terbaik di seluruh dunia.

Mereka semua memiliki kehidupan sebelumnya yang penuh perjuangan. Penuh janji dengan orang-orang terdekat mereka dan orang yang pernah berjasa kepada mereka. Semuanya berjanji kepada masa lalu untuk menyongsong masa depan gemilang. Dari sinilah kemudian, berlanjut cerita-cerita yang membuat bulu roma kita tegak berdiri, membuat dahi kita berkeringat, dan tidak lupa tawa yang tiba-tiba lepas dari mulut kita.
Luffy, begitu pula Naruto, adalah tokoh protagonis utama yang memiliki sifat yang aneh. Kita anggap saja begitu. Bagaimana tidak, mereka adalah tokoh yang suka bercanda, tidak serius, suka makan, polos, dan seluruh kata itu terangkum dalam kata; bodoh. Tokoh utamanya adalah seorang yang bodoh. Namun mereka memiliki ketabahan, kegigihan, dan hati yang kuat untuk menggapai cita-citanya, lebih dari siapapun yang ada di film tersebut. Ini yang membuat dia tidak mati dalam pertarungan menghadapi musuh-musuh terkuat. Dan ini adalah pertarungan di mana cita-cita menjadi kunci utama, siapa yang mimpinya paling besar, maka dialah pemenangnya. If you want to compare ambitions, mine is bigger! (Monkey D. Luffy to Captain Kuro).

Terutama Luffy, seperti yang saya singgung di atas, tidak ada yang istimewa dari manusia karet dibandingkan dengan musuh-musuhnya yang mampu membelah lautan, menggerakkan pasir, mampu memodifikasi petir, memodifikasi es, dan misal ahli pedang seperti Zoro. Bahkan musuh-musuh Luffy pada masa depan adalah musuh-musuh kuat yang saya tidak sanggup membayangkan bagaimana Luffy akan bertahan terhadap serangan mereka. Bahkan Shanks, penolong Luffy pada waktu kecil, memiliki kemampuan yang luar biasa, sekali jalan saja membuat orang-orang pingsan dan kapal retak-retak.

Lalu apa yang istimewa dari Luffy si manusia karet ini? cita-cita. Yah, jawabannya ia memiliki janji, ia memiliki mimpi untuk menjadi Raja Bajak Laut dan tidak akan mati sebelum mencapai mimpi itu. Dan hingga saya menulis ini, Luffy baru akan menuju pulau ikan setelah menghancurkan Ennies Lobby, serta mengalahkan organisasi rahasia pemerintah yang paling misteriuss; CP9. Setelah ini mereka akan menuju Pulau Ikan, dan saya penasaran musuh seperti apa yang akan dihadapi di sana.

Sama seperti membaca buku yang bagus akan membuat otak kita bermutu, maka menonton film yang bagus akan membuat otak kita mengkilat. Saya percaya bahwa One Piece adalah salah satu tontonan kartun khusus dewasa yang seharusnya di tonton oleh kita yang memiliki tujuan panjang dan berat. Kita akan tahu bahwa, memang, untuk mencapai cita-cita itu dibutuhkan kerja keras. Dengan menonton film ini, kita akan terus menerus dipompa, dipacu, digelitik, bahwa Luffy saja mampu mengalahkan musuh terkuatnya dengan tekat; bukan dengan uang, dengan kesaktian, apalagi pangkat. Dan kita, kalau anda orang biasa, maka tentu akan bisa mengalahkan segala permasalahan yang menghadang di depan. Dan sekali lagi, saya yakin, memang cita-citalah yang mampu mendefinisikan kita itu “siapa”.

Persahabatan

listen up, you can pour drinks on me, you can throw food at me, you can even spit on me. I’ll just laugh that stuff off. But, good reason or not, nobody hurts a friend of mine!!! -Shank

Dalam masalah ini, saya memang agak kurang memiliki pengalaman. Namun di manapun, ketika cita-cita sudah ada ditangan, lalu ada orang yang sama yang memiliki cita-cita itu, kemudian menggapainya bersama, maka itu lebih memungkinkan untuk berhasil daripada berjalan sendiri. Seperti Luffy yang memiliki Zoro, Sanji, Nami, Chopper, Usopp, Franky, dan Brook. Seperti itulah Ikal memiliki laskar pelangi plus Arai dan Jimbron, lalu jangan lupa di Negeri 5 Menara dan 5cm; serta buku-buku mengenai menggapai mimpi, semua memiliki sahabat loyal yang berjuang bersama demi cita-cita.

Kita akan berhasil tumbuh, dewasa, serta benar-benar menjadi “seseorang” dengan adanya sahabat-sahabat itu. Salah satu materi yang diterangkan dalam psikologi komunikasi adalah mengenai cara kita mendefinisikan diri kita sendiri; kita tahu diri kita seperti apa itu karena lingkungan kita yang membentuk. Sehingga dengan adanya sabahat yang ikut membantu proses perjuangan, kita akan lebih mampu untuk mantap melangkah karena kita akan dengan cepat menemukan jati diri kita. Bukankah sudah jamak kita temui, seseorang yang belum tahu tujuannya lalu beralasan karena masih mencari jati diri? Jawabannya, carilah teman, sahabat, yang akan kau lindungi, yang akan melindungimu, dan sama-sama mencapai puncak kejayaan.

Maka Luffy, demi melindungi teman-temannya inilah yang mengantarkan dia juga mengalahkan semua musuhnya. Kata teman, dalam budaya Jepang tampaknya menjadi sesuatu yang sakral. Ia seperti saudara sehidup semati, bahkan dalam film ini, ikatan pertemanan + mimpi, lebih mahal daripada ikatan persaudaraan kandung. Semua-muanya harus meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan saudara sedesanya, meninggalkan keluarga, demi mencapai cita-cita.

Dan kisah perjuangan mereka untuk berkumpul dalam payung “Bajak Laut Topi Jerami” adalah karena kisah pertemanan yang kuat. Pertemanan yang yang saling memberi dan menerima. Saya masih mengingat bagaimana Robin mencoba untuk melindungi Luffy dan teman-temannya dari CP9. Yang kemudian dengan apiknya cerita berbalik bahwa Luffy-lah yang kemudian mati-matian menyelamatkan Robin hingga harus menghancurkan Ennies Lobby serta hampir mati berhadapan dengan Rob Luccy. Seorang teman tidak boleh pergi kecuali bahwa dia ingin pergi. Dari sini nilai kepala Luffy naik drastis dari 100juta berry menjadi 300juta berry dan menjadi bajak laut yang akan di cari diseluruh dunia.

 Sungguh, jika pembaca melihat one piece, dan mendengar kata ‘teman’, pembaca akan merinding. Seperti ini yang di katakan Vivi “semuanya, aku ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku tidak bisa pergi bersama kalian, terimakasih untuk semuanya, aku ingin pergi bertualang seperti kalian semua, tetapi aku tidak bisa. Aku mencintai negaraku, itulah mengapa aku tidak bisa datang, aku akan tinggal di sini. Tetapi jika suatu hari nanti kita bertemu lagi, maukah kaliah memanggilku ‘teman’ sekali lagi?”

Petualangan
-to be continued

Tentang Melakukan Perjalanan

dinding bertulis; pintu masuk perpustakaan UI

Banyak alasan untuk melakukan perjalanan. Bagi beberapa orang, mungkin untuk popularitas di masyarakat luas, yang lain lagi, mungkin karena tuntutan pekerjaan –menjadi wartawan wisata, atau sedang melakukan tugas penelitian yang di danai pemerintah maupun swasta, yang lain lagi, mungkin sedang melakukan hobbi yang tidak bisa dibendung. Alasan yang terakhir inilah yang awal kali membakar tubuhku. Dan semua alasan itu sah selama mereka tidak merugikan orang lain. Juga, perjalanan adalah sesuatu yang mubah, semua orang bisa menamakan kehidupannya sebagai sebuah perjalanan, tidak peduli apakah mereka melintasi kota-pulau, atau melintasi batinnya.

Perjalanan hanyalah akan berakhir pada kematian. Karena di sana kita bisa menemukan beragam kematian yang tidak kita duga, mulai kematian diri sendiri, hingga kematian akal sehat. Kita akan bisa berulang kali mendapati tubuh kita mati, otak kita mati, dan bahkan kesadaran kita menghilang. Namun berketerbalikan dari itu semua, kita akan selalu bisa, bahkan pada setiap langkah kaki kita yang tersandung batu, menemukan kembali diri kita yang baru, yang sebelumnya tidak pernah ada –yang secara ajaib, Tuhan membuat manusia yang lain dalam tubuh kita.

Aku tidak pernah mengira bahwa akhirnya aku bisa melakukan perjalananku sendiri, perjalanan yang sejatinya tidak pernah aku rencanakan karena ketidaktahuanku akan makna sebuah perjalanan. Selama ini aku mengira bahwa sebuah perjalanan hanyalah untuk menguji kualitas diri, semacam uji survival dalam menempuh kehidupan. Just it, not else. Aku mendewa-dewakan akan kemampuan perjalanan dalam membentuk dan mengetahui spirit manusia. Namun sejatinya, aku tidak pernah tahu bagaimana perjalanan bisa membuat seseorang benar-benar berubah.

Dahulu, bersama arbimapala, kami dibakar oleh semangat Gie dengan filmnya yang idealis, juga lagu-lagunya yang membuat dada kami mengembang. Sampaikanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu, ku akan menakhlukkan malam, dengan jalan pikiran. Sampaikanlah pada bapakku, aku mencari jalan atas semua keresahan-keresahan ini, keglisahan manusia, retaklah, malam yang dingin.. Berbagi waktu dengan alam kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka teki malam, tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka teki kekadilan. Akan aku telusuri jalan setapak ini, semoga kutemukan jawaban.

Maka aku kemudian, sedikit demi sedikit, memaknai setiap perjalananku. Dari satu tempat ke tempat lain, ada sebuah janji mengenai sejarah yang akan aku tuliskan. Aku mengingat beberapa orang yang sempat memberikan ruang hidupnya untuk kucecap, dan yang sekarang aku ingat –meskipun bukan yang terpenting, adalah dari Deddy Corbuzier, sang Mentalist itu, ketika ia membawakan acara Hitam Putih. Dalam program question in the weeknya, ia bertanya kepadaku; jika seseorang menulis tentang dirinya sendiri, seberapa tebal buku yang menulis tentang dirimu?

Maka aku terkesiap dengan pertanyaan itu. Tentu saja, perjalanan yang kulakukan, meskipun telah cukup melelahkanku, tetap saja belum cukup untuk membuat buku hidupku setebal apa yang aku inginkan. Aku terus mengira-ngira, apakah memang harus setebal itu buku yang menulis diriku?

Tidak, jawabanku tidak memuaskan diriku sendiri, meskipun buku tebal menulis tentang diri kita, aku tidak berani menjamin bahwa aku akan mencapai batas maksimal pemahaman mengenai hidup. Lalu apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan itulah yang mula-mula selalu menyelinap dalam alam-malam tidurku. Aku gelisah karena tidak bisa mendapat jawaban yang aku inginkan. Kegundahan itu, akhirnya ku tumpahkan dalam sebuah tulisan fiksi tentang seorang lelaki yang juga melakukan perjalanan karena kegelisaha yang sama. Maka selama aku belum beranjak dari tempatku berdiri –waktu itu- aku akan terus membuat diriku sendiri menjadi manusia fiksi. Hingga empat puluh lembar kemudian, aku baru bisa memulai lagi perjalanan yang kuinginkan.

Penyadaran

Entah, mungkin satu tahun yang lalu, ketika saya ke Yogyakarta, saya bertemu dengan Muhammad Al Fayyadl. Tentu saya sangat bergembira sekali, melihat seseorang yang tulisan-tulisannya selalu membuatku terpukau. Tapi dia tidak tahu siapa aku, tentu saja, orang besar selalu seperti itu, tidak mengerti bagaimana seorang pemuda yang penuh mimpi tengah mengaguminya. Meskipun demikian, dia orang istimewa. Yang membedakan dia dengan orang lain adalah tentang tanggapan-tanggapan yang dia lontarkan dalam menyikapi perbedaan yang ada dalam kalangan penulis.

Aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka, seperti mendengar keajaiban-keajaiban. Itu mungkin terlalu mengada-ada, tapi ketika kita tengah berada di tempat orang yang baik, sedang pada waktu itu dunia sedang tidak ada baiknya sama sekali, maka kita akan diberikan kesan yang luar biasa. Satu hal yang kemudian membuatku terus ingin mengenang peristiwa itu adalah; bahwa dia satu-satunya orang yang tidak pernah berfikir negatif kepada politik sastra. Aku terkaget-kaget. Aku tidak mengingatnya persis, namun yang pasti, aku sadar, bahwa pemikiran pertama-tama yang harus aku “perjalankan” adalah prasangkaku yang kadang buruk terhadap sebagian orang atau sebagian peristiwa. Maka aku menulis dalam salah satu statusku,

10.46 salah satu bentuk kegagalan diriku sendiri adalah, ketika aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa semua orang itu baik, lalu aku tidak percaya.

Maka perjalananku kali ini adalah membersihkan diriku dari sifat tersebut, entah aku akan menjadi penulis, atau hanya menjadi lelaki petani yang menanam kopi di tanah toraja. Semua hanyalah sarana, dan sarana itulah sebuah perjalanan yang harus kutempuh. Jadi, jika aku kembali dari perjalanan ini, pulang, dan aku masih tidak bisa membebaskan diriku dari sifat itu, maka berarti perjalananku gagal.

Pada suatu hari yang lain, aku bertemu dengan teman lama di surabaya. Kami bermalam di salah satu warung kopi lalu berbicara panjang lebar mengenai teman-teman kami yang lain. Dari sini kemudian, aku merasa bahwa aku, dan kawan-kawan karib sekampusku dulu, telah hidup ke dalam prasangka buruk dan kebencian yang mendalam. Namun waktu itu, memang aku merasa bahwa kebencian adalah satu-satunya hal yang bisa membuat kami berdiri di kaki sendiri, membuat kami terus memegang kebenaran, karena tidak ada kebenaran lagi selain yang hitam.

Malam itu, ditemani berteguk minuman keras, kami  berbincang terus menerus. Aku menguak satu-persatu, dari sisi orang lain, dari sisi yang benar-benar berbeda, tentang diriku sendiri, dan juga teman seperjuanganku. Aku seperti mendapatkan cahaya baru ditengah kepercayaan pada diriku sendiri yang meluntur pelan-pelan. Aku merasa tidak menjadi apa-apa selama ini. yang dari dulu begitu menggebu tentang nilai-nilai, tentang menjadi baik, juga seperti ingin menyebarkan kesadaran baru layaknya sang juru selamat, dan ternyata sekarang aku tersungkur sendirian. Mereka memang patut dibenci, tapi apakah aku harus membenci?

21.19 tuhan jika aku masih menyimpan kebencian terhadap peristiwa atau terhadap seseorang, tamparlah aku dengan peringatanmu. karena aku percaya, kebencian hanya akan membuatku tersesat dalam pekatnya diriku sendiri.

Sungguh, pada akhirnya aku juga harus menyingkirkan perasaan macam begini. Ini satu-satunya jalan untuk membuatku percaya bahwa aku berhasil dalam melakukan perjalanan. Pada saatnya, ketika aku pulang, maka aku akan dengan bangga menceritakan perjalananku, betapapun tipisnya catatan itu, bahwa aku telah mencapai tujuan perjalananku. Tuhan, aku hanya berharap, saat ini, memang aku tidak memiliki harapan yang lain selain itu, dan tidak kepada yang lain selain kepadamu.