Aku adalah pendosa yang memakai
kalung berlambangkan ayat-ayat suci. Mencoba menjadi saudara yang baik, tapi
dalam keriuhan jiwaku, sungguh tidak ada tempat yang jernih untuk membuat
segala pujian dan hinaan. Adakah yang lebih indah dari mati yang tenang,
menghabiskan umur di tempat sepi yang kita hanya bisa mendengar suara binatang
bersayap yang tak henti mendenging. Seperti hidup di hutan yang luas, di tengah
kegelapan yang sejatinya lebih terang dari siang hari, atau berada pada suatu
tempat pertapaan –yang sesekali akan didatangi orang untuk melihat apakah kita
masih bernafas atau tidak.
Tak bisa lagi kulayani segala
angkara murka diri sendiri. lalu tak mampu membendung segala kekotoran jiwa
ini, apakah aku akan benar-benar hidup? Bahkan sekarang telah lewat masanya dan
aku tidak sama sekali menghadapkan diri pada yang tunggal. Bahka aku hanya
mampu menuliskan kata-kata palsu yang bisa saja, setiap saat menjebakku sendiri
dalam pengakuan palsu. Tangan-tangan kotor, jemariku yang lusuh oleh kalimat
yang kutuliskan sendiri. kepercayaa-kepercayaan yang kubangun di atas cahaya
suram, bersinar dikejauhan tapi membutakan diri sendiri. Apakah yang aku cari
dari seluruh yang kulakukan?
Mulutku kering, lidahku seperti
lengket pada tenggorokan. Dadaku mengempis, dan segala kenangan menjadi
jelas-sejelas-jelasnya. Mengapa ada tanggung jawab? Aku seperti tidak
dilahirkan untuk pulang dalam rumah yang sama. Aku seperti ingin memiliki hidup
yang lain, yang aku tidak perlu memikul sebuah kata-kata untuk bunuh diri atau
membunuh orang lain. Mengapa ada kata pulang? Apakah semua ini hanyalah
permainan yang harus menjatuhkanku berulang kali?
Rasa-rasanya, kehidupan semakin
bertambah karat. Tidak ada yang bisa dipercaya bahkan pengalaman yang telah
kita dewakan. Guru, siapakah yang akan menemukanku? Seperti takezo yang
menemukan dirinya dalam rengkuha takuan, seperti seorang pezinah dan anjingnya
yang terselamatkan. Kubiarkan diriku berjalan, tak hirau semua tanggung jawab
yang tertangguhkan. Apakah aku seperti melarikan diri ditengah kecamuk perang
yang seharusnya dengan gagah berani kuadapi?
Ternyata akulah sang pengecut
itu, yang hanya mampu membuat kata semakin manis, tapi tak ada hal besar yang
aku lakukan yang bisa mensucikan tubuhku. Lembah menyesatkan, kutu-kutu menyerang
kepalaku. Aku terpuruk sendirian ditengah kemahapencarian. Apakah aku akan
percaya kepada orang-orang yang sedang mencari dirinya sendiri tapi melupakan
hal yang teramat sakral? Otakku tak mampu melampaui segala dayaku, aku
melakukan setiap pelanggaran yang mampu kucapai. Dan aku menjadi lemah, seperti
seorang pendosa pengecut yang lari dari takdir hukuman –yang aku tahu bahwa aku
tak akan bisa menghindarinya.
Dengan doakah yang mampu
memutarbalikkan diri? Dengan kekuatan apa tuhan akan berbaik hati menyentuh
hati kita yang berlumpur? Kepercayaan, kepercayaan telah lama hilang dalam
sebuah perjalanan menuju kemari. Titik-titik kecil masa depan yang pernah
kukumpulkan dari keterserakannya, kini tengah hancur berkeping-keping seperti
air yang ditumpas. Dan aku tidak percaya lagi bahwa kehidupan akan menerimaku
sebagai manusianya yang paling sadar.
Akulah pemabuk yang mengkhayalkan
akan berada pada kedamaian. Aku mabuk, dimabuk waktu juga sejarah. Yang
mementalkanku terus menerus pada perjalanan yang kian hari kian lapuk. Sudah
tidak ada yang bisa kulakukan, apakah aku harus memperpanjang tidurku demi
semua kesia-siaan ini? Jika yang tertemukan hanyalah kata-kata bodoh, kata-kata
mutiara yang perayu, lalu untuk apa aku terus berjalan seperti ini? Sedangkan kata
pulang menjadi sesuatu yang menakutkan; pulang, apakah itu sebuah jawaban? Aku
sekarat, sakit sendirian di pulau tak berpenghuni, hanya mayat hidup dan
bayangan-bayangan yang dihidupkan dari keserakahan dan kemurkaan.
Hatiku tak tertemukan lagi,
kemurnian tujuan dan cita-cita telah beku pada kekosongan. Apakah yang
kutemukan lagi dan lagi? Tidak ada apa-apa disini selain kosong dan sepi. Dan
aku adalah pesakitan kamar no 16 yang tidak akan pernah dijenguk oleh
pengarangnya karena namaku telah dihapus. Karena kelumpuran diriku yang tak
bisa dimaafkan. Karena pengkhianata terhadap batinku sendiri, karena
pengkhianatan terhadap tubuhku, juga imanku. Tuhan, juga imanku. Untuk yang
paling terakhir ini, tuhan, selamatkanlah jiwaku, tumbuhkan ketenangan itu, dan
peluklah aku agar tangisku tidak pecah dan membangunkan saudaraku lainnya.
Tangaku lelah, tubuhku lelah,
jiwaku lelah, keberuntunganku tertatih, tuhan, keyboard laptopku tak tahan lagi
menempuh jemariku yang rakus. Kepada siapa lagi kulabuhkan kekalahan ini, yang
mengerti betapa hidup adalah titik nadir yang terus diperbarui.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.