Tiga
tahun yang lalu aku membaca buku 5cm, menikmati alurnya sebagaimana aku
menikmati buku-buku lainnya. Kemudian aku membaca lagi beberapa hari yang lalu,
aku seperti tidak mengenal bacaanku yang dulu. Ada beberapa hal yang membuatku
faham dengan novel ini, sekaligus masih menyisakan pertanyaan.
Ini masih belum mengenai filosofi hidup, ini masih berupa hal
teknis yang sering membuatku gagap dalam membaca buku. Sejak tiga tahun yang
lalu itu, aku mulai mengoleksi film dan menontonnya sepenuh hati, -kujadikan
kegiatan rutin yang membuatku gelisah kalau sampai aku tidak memiliki stok film
baru. Juga beberapa novel yang sebenarnya sudah agak kutinggalkan karena aku
tengah berkecimpung di dunia perkuliahan, dimana, membaca novel dan puisi tidak
membuatku mampu menulis artikel, jurnal, dan skripsi dengan baik.
Lalu aku membaca buku ini, 5cm, dan aku menemukan pemahaman
baru. Karena di buku tersebut juga banyak sekali film-film serta sutradara yang
disebutkan, bagai kerlip bintang menghiasi langit. Cuplikan-cuplikan itu
membuat buku ini semakin manis dan hidup –hanya jika kita pernah menonton apa
yang mereka sebutkan, atau pernah mengenal apa yang mereka tulis. Misalnya,
yang sampai sekarang belum membuatku menikmati buku ini adalah nama-nama tokoh
musik dengan ciri khasnya. Dan aku bukanlah penggemar musik yang serius,
sehingga aku tidak seberapa mengena ketika mereka membicarakan beberapa musik.
Jujur, ini kesalahanku sebagai pembaca yang tidak memiliki pengalaman banyak,
bukan kesalahan buku yang tidak membuataku faham.
Film pertama yang di sebut adalah before
sunrise dan before
sunset. Aku telah menontonnya, dan ikut membayangkan bagaimana film
itu –meskipun tidak dideskripsikan- mampu membawa imajinasiku sendiri. Kalau
kita tidak pernah kenal sama kedua film ‘yang gak boleh dihapus dari laptopmu’
tersebut, kita tidak akan memiliki gambaran apapun tentang cerita ini,
sebagaimana aku tiga tahun yang lalu. Memang, 5cm, meskipun bacaan novel
ringan, ini menjadi bacaan berat.
Ringan dari segi alur dan cerita, namun berat dari segi isi dan
komposisi. Kita lihat saja betapa banyak hal yang bertebaran yang hanya mampu
difahami oleh anak kuliahan –dan bahkan anak kuliahan inipun terpaksa harus ku
batasi karena tidak semua anak kuliahan ‘bisa membaca’. Baik itu yang secara
langsung menyebutkan tentang terori, maupun tentang filosofi keindonesiaan,
atau juga syair-syair yang memikat. Data dalam novel ini begitu banyak, dan
sangat menunjukkan keilmuan pengarang yang juga besar. Rajin membaca buku,
rajin diskusi, menonton film, dan juga mendengarkan musik.
Kita pembaca, yang tidak rajin melakuka keempat hal diatas,
pasti ada salah satu bagian yang membuat kita kosong. Kalaupun tidak merasakan
hal itu, disebabkan alur ceritanya yang bagus, atau kita yang tidak mau tahu tentang
makna dari setiap yang kita baca. Karena aku mengalaminya, tiga tahun yang
lalu, khatam dan tidak tahu apa-apa kecuali hal-hal penting yang disebutkan
berulang-ulang; seperti, jargon dalam buku ini, sebagai berikut :
“…sehabis
itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,
tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap
lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan
tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih
keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa…”
Padahal seni membaca karya sastra adalah benar-benar membaca,
bukan sekedar membaca cepat untuk memahami alur cerita sebagaimana kita membaca
karya ilmiah. Membaca novel harus membaca huruf, kalimat, bagian per bagiannya
hingga benar-benar larut. Maka dari itu, seperti yangaku sebutkan di atas,
ketika kita banyak membaca karya sastra, tulisan kitapun akan mengikutinya.
Bahkan untuk menulis artikel tugas kuliahpun, bahasanya akan terlihat hancur
dan langsung dibuang dihadapan kita sama dosen.
Membaca 5cm ini memang membutuhkan keilmuan khusus, tidak hanya
sekedar memahami gambaran ceritanya yang mengguncang. Memang, buku seperti ini
menjadi langka, bahkan yang sekelas laskar pelangi; yang inspirasinya sebanyak
ikan lautan, juga kalah cemerlang jika memandang keluasan jangkauan ilmunya.
Namun dalam hal tertentu, tentu 5cm tidak bisa mengalahkan apa yang telah
dilakukan oleh laskar pelangi, misalnya; karya sastra yang cemerlang, karena
meskipun salah satu tokoh 5cm adalah sastrawan kampus, tidak ada satupun
tulisannya yang membuat seorang sastrawan perlu mengomentarinya.
Buku tentang mimpi sudah seperti sampah diperpustakaan, semua
orang berlomba untuk menaikkan cita-cita menjadi sesuatu yang spektakuler. Dan
memang semua buku itu berhasil membawa semangat baru bagi para pemuda yang
sedang galau mencari jati diri dan butuh motivasi. Salah satu kunci
keberhasilan 5cm ini adalah bahasanya yang familiar dengan kehidupan anak muda.
Jadi, jika dijumlah dari kalangan pemuda kota, rasa-rasanya penggemar 5m lebih
banyak dari buku yang lain.
Kelemahan yang ku dapat dari buku ini adalah konflik yang
dibangun kurang berkesan. Yang harus diperkuat lagi adalah cerita tentang cinta
mereka yang segi dua (meskipun cerita macam ini sudah basi), kisah mereka yang
memutuskan harus berpisah sementara waktu, juga ketika salah satu tokoh hampir
mati di mahameru. Tiga hal tersebut bisa menggoncang emosi pembaca
sejadi-jadinya. Tapi dilihat secara keseluruhan, buku ini memang luar biasa,
dan pantas masuk dalam daftar wajib buku baca sebelum kau meninggal; jika kau
orang indonesia.
Dan mengenai bahasa inggris yang bertebaran, ini adalah nilai
plus, sekaligus kelemahan fatal karena sebagai negara berkembang, masih banyak
pemuda indonesia yang belum bisa bahasa inggris. Ini menyulitkan pemahaman,
karena bahasa inggris di sana (yang kebanyakan hanyalah merupakan lagu-lagu)
menjadi komposisi yang indah buat memahami perasaan tokoh-tokohnya. Dan bagi
yang tidak bisa bahasa inggris, memang harus kecewa.
Aku
rasa demikian saja.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.