2019-03-20

Skripsi


Gegara skripsi mahasiswa bisa ngambek dan bunuh diri, bisa juga berantem dengan pacarnya lalu menyumpahi dosennya dengan kutukan paling mematikan 'avra kadavra' milik 'you know who'. Tetapi di sinilah mahasiswa bisa serius, sekali saja dalam empat tahun kuliah, mahasiswa akhirnya serius.

Saya sering berfikir, atau sebetulnya bertanya-tanya, apa gunanya kuliah? Karena saya mendapat simpulan bahwa kuliah memang tidak berguna. Paling tidak, dari segi pencapaian ilmu pengetahuan, baik transfer knowledge dari dosen maupun dari usaha mandiri mahasiswa untuk belajar di rumah, tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Semenjak semester satu hingga semester tujuh, sudah berapa mata kuliah yang ditempuh, berapa ribu pohon yang ditebang untuk kertas print tugas-tugas makalah yang tak berefek, atau berapa ratus jam dihabiskan yang seharusnya bisa digunakan main ML dan PUBG, tetapi tak satu materi pun  yang bertahan di kepala. Di lingkungan kampus manapun, itulah gambaran terburuknya.

Sejak zaman paleolitikum, ketika manusia setinggi pohon kelapa masih hidup, hingga sekarang robot buatan lebih canggih dari manusia yang menciptakan, mahasiswa selalu kebingungan ketika skripsi di mulai. Teori yang diajarkan sejak semester satu, metodologi yang diajarkan dalam banyak kesempatan, pun diskusi dan seminar, langsung hilang dari pikiran begitu skripsi tertulis di KRS.

Karena itu, skripsi menjadi suatu hal yang penting, bahkan lebih penting dari perkuliahan empat tahun. Ketika skripsi, mahasiswa mulai belajar dari nol, dimulai dari bagaimana menemukan, memilih teori dan metode yang sesuai, menganalisis, hingga membuat suatu simpulan. Di skripsi mereka tidak hanya menyantumkan teori, tetapi juga memahaminya untuk keperluan analisis. Termasuk mahasiswa akhirnya belajar menulis meski dengan terpaksa.

Karena baru saja belajar serius, maka mahasiswa pasti kesulitan bahkan untuk tahap paling awal; menemukan masalah dan merumuskannya menjadi judul. Ketika mahasiswa datang ke dosen, mereka berangan-angan bahwa persoalan yang dibawanya seakan sempurna. Dia juga telah menulisnya menjadi judul yang perfect. Tetapi ketika sudah berhadapan dengan dosen, pertanyaan 'kenapa mau neliti itu?' yang disampaikan biasa saja, menjadi palu godam yang tak terjawab.

Bagaimana menemukan masalah untuk diteliti? Sebenarnya sederhana, yaitu dengan menjawab apa itu masalah. Masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, atau ketidaksesuaian antara teori dan kenyataan. Tetapi ingat, masalah ini harus baru, menyangkut orang banyak, penting dan berdampak. Ini yang dinamakan signifikansi; penting apa tidak masalah itu untuk diteliti. Kebanyakan mahasiswa kesulitan menemukan obyek penelitian karena tidak melihat sisi signifikansinya.

Dosen akan selalu melihat signifikansi ini terlebih dahulu. Intinya, kalau nggak penting, ngapain diteliti? Karena itu, setiap mahasiswa menemukan masalah, harus menyusun argumentasi pentingnya masalah tersebut sehingga pantas diteliti. Lihatlah dari segi dampak sosial, dampak ke personal, dampak terhadap teknologi, atau dampak terhadap perkembangan pengetahuan manusia.

Selain itu, mahasiswa bisa merencanakan pembuktian/perbandingan teori. Misalnya, teori strategi public relation, maka tinggal mencari lembaga/perusahaan atau badan usaha untuk dicari strategi public relationnya lalu dibandingkan dengan teori. Ini sangat sederhana. Perbandingan teori ini mungkin yang paling mudah dalam penelitian, tetapi bukan berarti buruk. Karena tidak ada penelitian yang buruk jika dikerjakan sesuai dengan metodenya.

Misalnya Teori Interaksionisme Simbolik, yang asumsi dasarnya adalah manusia dalam memaknai lingkungan ditentukan oleh diri sendiri dan orang lain. Maka mahasiswa bisa membuktikan teori itu dengan mewawancarai sejumlah informan dalam mempersepsikan dan menginterpretasikan Jokowi dan Prabowo, apakah betul-betul dari dirinya sendiri, orang lain, dan dengan cara apa pengaruh itu terjadi.

Contoh lain, teori gender yang mengasumsikan adanya ketidaksetaraan dalam hubungan lelaki dan perempuan. Maka mahasiswa bisa mencari ketidaksetaraan itu dalam film, hubungan suami-istri, iklan, hingga pekerja media massa. Tetapi ingat, mencari film, iklan, dan hubungan suami-istri ini tetap mempertimbangkan pentingnya obyek penelitian tersebut. Untuk lebih ringkas, pahami kondisi di bawah ini :

Pertama, jika ingin meneliti realitas sosial, maka carilah hal yang aneh, tabu, keren, atau luar biasa. Penelitian terhadap hubungan pacaran di kalangan remaja, bisa jadi biasa saja. Tetapi jika pacaran itu bertahan sejak SMP hingga kuliah, bisa menjadi penelitian yang signifikan.
Meneliti relasi antara dosen dan mahasiswa, itu biasa saja, tetapi jika terjadi bunuh diri ketika mahasiswa bimbingan, maka meneliti relasi dossn-mahasiswa itu menjadi penting.

Meneliti komunitas LGBT tampak selalu penting dan menarik. Tapi biasanya mahasiswa akan kesulitan mencari masalah penelitiannya. Sebagai mahasiswa komunikasi, selalu ingat interpersonal communication (hubungan antar dua orang LGBT), atau mediated communication (komunikasi termediasi - LGBT yang berhubungan dengan aplikasi media sosial tertentu), juga psikologi komunikasinya (konsep diri seorang LGBT).

Kedua, jika ingin meneliti film (iklan, video klip, dll) lihatlah apakah media audiovisual itu baru. Mendapatkan suatu nominasi dalam festival film dalam negeri dan luar negeri? Karena film itu subyektif sehingga harus bisa meyakinkan dosen bahwa film itu penting untuk diteliti. Jika itu film lama, maka harus memunculkan konteks masa kini, artinya film itu sedang hangat dibahas. Jangan pernah mengajukan film yang jelek, tidak terkenal, tidak memenangkan apapun, dan tidak dibicarakan sama sekali oleh publik.

Iklan dan video klip yang ada di televisi juga menarik diteliti dalam skripsi komunikasi. Di sana ada pesan yang disampaikan menggunakan media kepada khalayak sehingga patut diteliti. Selalu ingat apakah iklannya punya sisi khas, unik, aneh, menyangkut realitas eksternal yang bisa dianalisis menggunakan teori tertentu, dan lain sebagainya. Ingat selalu mencari sisi penting dari iklan itu dengan matang.

Ketiga, jika ingin meneliti budaya maka pikirkanlah kemampuan kalian untuk mengeksplorasinya, mengikuti setiap ritualnya, dan berkesempatan indept interview dengan pemangku adat. Setiap budaya daerah penting diteliti, tinggal bagaimana mahasiswa menemukan konteks teori/metodenya, apakah komunikasi ritual, etnografi, atau makna dalam tanda budaya.

Keempat, penelitian terhadap personal, relasi antarpersonel, suatu kelompok atau komunitas, juga organisasi, semuanya bisa dianalisis menggunakan teori komunikasi. Seorang figur bisa dianalisis persepsinya terhadap suatu realitas, konsep dirinya, personal branding, juga manajemen kesan. Suatu kelompok atau organisasi bisa dianalisis dari identitas kelompoknya, manajemen keorganisasian, juga tanggapan kelompok terkait kondisi sosial.

Semua tema di atas menimbulkan penggunaan teori yang berbeda-beda. Termasuk mahasiswa harus mengumpulkan alasan yang kuat di setiap tema yang diperlukan. Seringkali mahasiswa sudah tepat meneliti suatu kelompok, tapi ragu menjelaskan pentingnya kelompok itu diteliti. Sehingga penelitiannya pun harus berganti judul.

Kelima, media massa dan media sosial juga menjadi bahan kajian yang tak ada habisnya dewasa ini. Jika ingin meneliti media massa, biasakan untuk mempelajari analisis isi, analisis wacana dan framing, bisa juga analisis keorganisasian media massa, persepsi wartawan, termasuk penerapan kode etik. Beberapa tema di atas memiliki kekhasan tersendiri sehingga dibutuhkan ketekunan.

Media sosial juga bisa menjaga salah satu obyek penelitian. Saat ini media sosial menjadi basis data yang besar, tempat bergantung manusia, serta terjadi transaksi pesan yang luar biasa setiap detiknya. Maka mahasiswa bisa meneliti opini di media sosial, atau peran medsos dalam difusi informasi, dan penelitian media sosial yang digunakan oleh masyarakat untuk berjualan (pemasaran) hingga ujaran kebencian, hoax, dan post truth.

Keenam, penelitian politik juga menarik perhatian karena banyak kejadian ganjil di peta perpolitikan Indonesia. Penelitian politik bisa di media sosial, misalnya peran medsos dalam memenangkan kandidat, juga bisa di media massa; misalnya analisis framing pemberitahaan politik di beberapa media massa. Peneliti juga bisa ke eksplorasi ke ranah pribadi politisi, strategi kampanye politik, hingga propaganda, persepsi masyarakat terhadap politisi, dan lain-lain.

Setelah menemukan masalah yang keren, dia harus berhadapan dengan penyusunan kata agar menjadi satu kesatuan judul yang bisa diterima dosen. Ini tantangan yang tak kalah berkeringat juga. Bagi mahasiswa, bagaimanapun mereka menyusun kalimat yang sempurna, selalu keliru dan harus rombak total. Maka tantangan berikutnya adalah menaklukkan rasa was-was ketika mau bimbingan dengan dosen.

2019-02-07

Oligarki Media di Indonesia


Jika ingin memahami tentang bagaimana oligarki media bekerja, maka bacalah buku Kuasa Media di Indonesia. Sejauh ini, buku karya Ross Tapsell ini adalah buku terbaik yang pernah saya baca soal oligarki, kepemilikan, juga cara bermain culas media massa.

Sebagai pengajar jurnalisme di program studi ilmu komunikasi, saya sangat bersyukur telah membacanya. Buku ini dengan akurasi tinggi memotret peta kepemilikan yang menguasai media di Indonesia. Banyak kejutan menyenangkan membaca buku dengan basis data berdasar penelitian selama 8 tahun tersebut.

Selama ini pembahasan mengenai kuasa media atau konglomerasi media merupakan sesuatu yang abstrak dan tanpa data. Kita hanya menebak dari pergerakan pemberitaan media massa, cara-cara mereka menyusun framing dan tata bahasa, dan juga kecondongan dari pemilik media yang ikut serta dalam partai. Tapi dalam buku ini kita akan dibuat terkejut dengan banyaknya data yang bertebaran.

Tampaknya begitulah ciri khas penulis barat yang daya literasinya jauh mengungguli kita. Ini bukan persoalan rendah diri atau jiwa inlander, tetapi suatu otokritik kepada pribadi saya dan bangsa ini yang tidak suka buku -bahkan cenderung membenci dan mencemooh. Setiap kalimat dalam buku ini bermutu, tidak patut melewatkan satu halaman pun.

Media massa dalam berbagai kajian merupakan salah satu produk modernisme yang paling penting. Ia yang menentukan pengetahuan kita terhadap realitas di sekeliling masyarakat. Karena itu, kajian media akan selalu penting terutama karena media itu sendiri, adalah alat -sebagaimana pisau- jika berada di tangan orang yang salah akan bisa membunuh orang.

Pisau hanya membunuh seorang dalam satu waktu, tetapi media bisa membunuh jutaan manusia dalam sekali tayang.

Dulu banyak contoh yang diulang-ulang dalam perkuliahan terjadinya kontra antara TV One (Aburizal Bakrie - Golkar) dan Metro TV (Surya Paloh - NasDem). Baik saat Lapindo menenggelamkan Sidoarjo, maupun saat Pilpres 2014. Dalam buku ini Tapsell melihatnya lebih dekat dan membuat pembaca benar-benar merasa lega bahwa akhirnya kita bisa mengetahui politik macam apa yang berjalan di dalamnya.

Lihat pernyataan tiga oligark media yang diwawancarai oleh Tapsell. Pertama, Surya Paloh : "Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia..., Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan Metro TV atau Media Indonesia. Saya tidak ingin jadi hipokrit".

Mirip dengan pernyataan itu, Aburizal Bakrie, ketika ditanya tentang memanfaatkan medianya untuk kepentingan politik, dia menjawab : "Ini seperti Fox mendukung kandidat Partai Republik. CNN mendukung kandidat Partai Demokrat. TV One tentu saja mendukung saya, dan Metro mendukungnya (maksudnya Surya Paloh)". Ini to the point, dan melukai perasaan masyarakat yang selama ini berharap banyak pada media.

Tidak berbeda dengan kedua tokoh Parpol itu, Dahlan Iskan yang dulu dipuja sebagai sosok yang berintegritas dan pekerja keras, ternyata memiliki jawaban yang sama terkait media yang dikelolanya. Kata Dahlan, "Kami selalu mendukung beberapa kandidat di (grup) 
Jawa Pos, hampir selalu seperti itu". Termasuk sekarang Risma jadi Wali Kota Surabaya, sedikit banyak adalah berkat jasa Jawa Pos yang mencitrakannya sedemikian rupa dengan framing yang tak sejajar dengan kandidat lainnya.

Selain tiga orang yang telah saya tulis di atas, Tapsell dengan meyakinkan menyebut 4 konglomerat lain yang menguasai seluruh media besar di Indonesia. Yaitu : Harry Tanoesoedibjo yang memiliki MNC, Global, RCTI, Koran Sindo, Okezone, dll. Eddy Sariatmadja SCTV, Indosiar, Liputan6, dan El Shinta. James Riady memiliki BeritaSatu dan Koran Suara Pembaruan. Jacob Oetama pemilik Kompas TV, Kompas, Tribunnews, dll. Terakhir adalah Chairul Tanjung, pemilik Trans Corp, CNN, dan Detik.

Memang persoalan ini bukan khas Indonesia. Oligarki media, oligarki politik, oligarki ekonomi, terjadi di semua negara dan di banyak zaman. Mengetahui bahwa informasi hanya dikuasai segelintir orang membuat hati kesal dan pengen pukul orang. Karena jika kita ingin betul-betul membaca berita, serius ingin menonton berita politik dan pemerintahan, semua sudah diedit sesuai dengan pesanan.

2019-01-20

Keluargaku yang Bahagia


(tulisan ini mengandung narsisme dan pemujaan berlebihan terhadap diri sendiri. waspadalah!)

Sebenarnya mau membuat sebuah tulisan tentang Kartini, tapi versi istriku. Judulnya bisa jadi 'Kartiniku di Rumah' atau semacam 'Kartini di Hatiku'. Tetapi agak sulit membayangkan bahwa Kartini akan mengerti menjadi istri dari lelaki biasa yang memiliki cita-cita luar biasa, tetapi cita-cita itu terpendam bersama kenyataan dan keikhlasan haha.

Jadilah aku membuat tulisan tentang istriku, yang juga perempuan biasa tetapi karena kami berdua mencoba hidup bahagia, lalu saling mencocokkan seluruh persamaan dan perbedaan, saling mengerti dan menerima apa yang terbaik dan memperbaiki apa yang buruk, jadilah ia istri terbaik yang bisa aku temukan saat ini.

Setelah menulis agak panjang, ternyata harus kuubah lagi fokusnya. Bukan menjelaskan tentang istri, karena menulis sesuatu seperti itu, di blog yang dibaca umum, rasanya menjadi agak kurang etis, kalau tidak dibilang memalukan. Karena itu kuputuskan untuk menulis tentang pengalaman berumah tangga yang harus selalu sesuai moto : membahagiakan. Karena rumah tangga bahagia itu bukan mitos.

Sejak tiga tahun kenal sebelum menikah, lalu sekarang memiliki anak berusia 5 bulan, kami sekalipun tidak pernah bertengkar. Kadang kami saling merasa beruntung ketika membandingkan dengan angan-angan di masa remaja akan jodoh yang akan kita masing-masing nikahi. Agak sembrono memang, membandingkan dengan sesuatu yang tidak riil. Tapi itu adalah salah satu cara mensyukuri hidup, bukan?

Kami hidup seperti manusia pada umumnya. Dia ibu rumah tangga yang sehari-hari di rumah, dan aku bekerja sejak pukul 08.00 - 15.00 WIB. Setelah aku berangkat kerja, istri tidak selalu menghubungiku untuk mengingatkan makan atau persoalan remeh lainnya. Itu membantuku fokus di tempat kerja. Tetapi sebisa mungkin aku mencoba wa istri karena di rumah saja tentu membosankan sehingga perlu diajak ngobrol -meskipun kadang aku balasnya lama karena sambil mengerjakan sesuatu.

Salah satu hal yang membuat kami bahagia adalah keterbukaan dan kepercayaan ke masing-masing pasangan. Sebagai lelaki, mungkin saya biasa saja dengan kondisi itu, ditambah istri tidak memiliki aktivitas di luar rumah. Tapi dia sebagai perempuan harus mendapat nilai plus karena saya lelaki yang menyukai aktivitas di luar rumah (bukan outdoor). Dia sering bilang "mas, aku cemburu kalau begini dan begitu", lalu aku jawab "oke, mas tidak akan begini dan begitu".

Ada beberapa kondisi yang kami tidak suka dilakukan oleh masing-masing pasangan. Tapi kami sampaikan juga. Dari sini kita belajar bahwa sesuatu yang terlihat keliru, tidak selamanya keliru, kadang ada pemahaman yang salah sehingga harus dikonfirmasi. Mirip-mirip sama kerjaan wartawan yang suka mengonfirmasikan berita hoax begitu. Nyatanya, banyak hal yang tadinya sepertinya salah, ternyata tidak sesalah itu jika dikomunikasikan.

Rumus sederhana dari dua orang yang menikah adalah cinta. Ingin muntah? Haha. Meskipun ini klise tetapi tetap kusampaikan karena ini membahas sesuatu yang serius. Bagi kalian yang sudah pernah mencintai orang lain, maka kebahagiaan orang lain itulah bahagiamu. Sama dengan, jika seorang anak sukses, yang paling bahagia bukan anak itu, tapi orang tuanya. Ketika saling cinta, maka kebahagiaan istri adalah bahagianya suami, dan kebahagiaan suami adalah bahagianya istri.

Bagi lelaki yang sudah berumah tangga 5 tahun, 10 tahun, dan seterusnya, memahami kondisi di atas tentu luas biasa berat. Atau bahkan saya akan ditertawakan. Karena selama ini, pernikahan yang sudah bertahun-tahun tidak lagi dibangun di atas pondasi cinta, tapi sudah terlanjur. Mereka berdua bertahan karena anak, karena keluarga besar, padahal sudah tidak ada lagi pembicaraan yang manis, tidak ada lagi gandeng tangan romantis.

Di keluarga kami, sentuhan, ucapan, dan perilaku sehari-hari sebisa mungkin ditunjukkan untuk mengungkapkan cinta. Tanpa ada acara tertentu, kami biasa berpelukan atau mengucapkan kata cinta yang manis ke telinga masing-masing. Perlu dicatat, lelaki biasanya tidak peka terhadap kondisi ini. Bagi lelaki, mengucap cinta ke istri itu menggelikan, bahkan cenderung menjijikkan. Padahal ini adalah pondasi yang kuat untuk meletakkan rasa bahagia di rumah.

Istri pernah mengucapkan kalimat yang bersungguh-sungguh dari hatinya. Bahwa pencapaian terbesarnya selama hidup, adalah menikah denganku. Lucu tapi ia serius mengucapkannya. Entah dengan alasan apapun, ucapan itu akan membekas di hatiku. Karena laki-laki suka dihargai menjadi pahlawan terbaik;semacam itu. Termasuk perlu ditulis adalah istri tidak pernah menuntut di luar batas kemampuan suami, ini yang keren dan tiada duanya.

Pernah suatu kali aku sakit selama satu minggu. Ia berangkat sendiri mengurus perpanjangan SIM di Polres Batu padahal dia baru dua bulan di sini. Dia tidak hafal tempat dan hanya mengandalkan google maps hingga tersesat. Membayangkan betapa mandirinya dia, sebagai lelaki, tentu aku terharu. Karena itu sebisa mungkin, akhirnya, aku harus selalu mengantarnya. Bahkan untuk perbuatan sepele seperti beli sayur dan lauk di setiap pagi.

Pun aku akhirnya harus mengimbangi dengan menjadi lelaki yang tangguh dan harapan terbaik bagi sang istri. Hampir jarang aku melarang atau menolak ketika istri mau belanja, betapapun belanjaannya nggak penting. Aku selalu bilang iya. Di hari-hari tertentu, secara acak, aku membelikan bunga mawar kesukaannya, sesekali coklat silverqueen meski mahal. Kutaruh bunga mawar di meja, kadang di atas bantal, sepulangku kerja. Begitu dia tahu ada bunga, dia akan berteriak, otomatis peluk, dan mengucapkan terimakasih.

Beberapa kali aku rela bolos kerja demi menyempatkan waktu untuk membawa istri keluar rumah. Kami makan di luar, sepeda motoran keliling kota, berakhir di taman dengan foto-foto untuk di upload ketika liburan. Istriku juga terus mempelajari masak-masakan yang enak. Salah satu hal yang menyenangkan adalah menemaninya masak, dia pegang wajan dan panci, aku memegang Gie.

Hubungan semacam ini tentu saja manis dan patut untuk dilanggengkan. Sayangnya, banyak sekali rumah tangga yang pupus di tengah jalan akhir-akhir ini. Sering aku mendengar lelaki yang sepulang kerja langsung sibuk dengan gadgetnya, menyapa anak ala kadarnya, dan langsung tidur. Banyak juga lelaki yang gengsi untuk menyapu rumah, mencuci piring kotor, atau berterimakasih kepada istri karena telah menjadi ibu rumah tangga yg luar biasa.

Aku dan istri memiliki banyak sekali perbedaan. Bisa dikatakan, persamaan kami hanya ada di satu atau dua hal saja. Misalnya kami sama-sama suka mie ayam. Selain itu semuanya berbeda. Tapi perbedaan ini tidak terlalu kami persoalkan karena tidak prinsipil. Kami banyak mengeksplorasi hal-hal yang mainstream, seperti jalan-jalan, makan-makan, dan menghabiskan waktu bercengkerama di beranda kontrakan.

Hidup sekali kuupayakan untuk tidak menyesal dari setiap pilihan hidup.
Mungkin istri pernah ragu menikah denganku dan akupun suatu waktu di masa lalu berharap lebih dari istriku. Tetapi itu tidak ada gunanya. Kami bahagia dengan pasangan pilihan tuhan, dengan cara yang kami upayakan dengan sungguh-sungguh. Setiap hari kami berbalas cinta dan tak satupun kondisi itu membosankan. Bahagia adalah pilihan berdua, bukan upaya dari satu orang.

2019-01-19

Ulasan Film: Sex Education



Kita tidak sedang membicarakan wacana pembelajaran seks bagi siswa sekolah. Sex Education adalah tv series original dari Netflix yang saya tonton sejak satu minggu ke belakang. Ide ceritanya menarik, sebuah film yang mengisahkan kehidupan anak-anak sekolah menengah pertama di Amerika

Protagonisnya adalah Otis Milburn, usia 16 tahun, siswa SMP yang tidak pernah berhubungan seks sekalipun. Jauh setelah film diputar, baru diketahui bahwa Otis mengalami fobia seks. Teman akrabnya, Eric, seorang lelaki pecinta lelaki, suka dandan dan memakai outfit mencolok ke sekolah. Ia dan Otis adalah lelaki biasa di sekolah, minoritas, dan cenderung rendah diri.

Tokoh protagonis lainnya adalah Maeve Wiley, salah seorang perempuan yang punya stereotip murahan dan terkenal dengan julukan 'penis bitter'. Maeve seorang pembaca buku feminist dan memiliki kehidupan yang semrawut dengan orang tua dan kakak seorang penjual narkoba. Maeve termasuk sosok yang mandiri di sekolah, apatis, dan tangguh.

Otis dan Maeve akrab gara-gara mereka mendapati Adam Grof di kamar mandi, yang pusing karena menenggak 3 tablet viagra. Penisnya mengacung keras dan tidak bisa mengecil. Sebenarnya Adam mengidap rasa tidak percaya diri akibat penisnya yang terkenal superb. Akibatnya ia tidak pernah bisa ejakulasi ketika main seks pacarnya.

Singkat cerita, Otis berhasil mengedukasi Adam untuk menerima kondisinya. Sehingga beberapa hari kemudian, Maeve tahu dari pacar Adam, bahwa ia bisa ejakulasi. Keberhasilan Otis ini tidak lepas dari posisinya sebagai anak seorang terapis seks, sehingga sejak kecil ia memiliki banyak pengetahuan soal alat kelamin sampai persoalan seksualitas.

Kondisi ini segera ditangkap Maeve sebagai peluang bisnis. Otis diminta menjadi konsultan seks sebagaimana ibunya, dengan kliennya adalah siswa sekolah yang memiliki banyak persoalan; pubertas, masalah tidak puas berhubungan seks, takut dengan kelamin, juga kecanduan masturbasi.

Dari sini kisah mengalir menjadi banyak cerita yang menarik. Tetapi bukan hanya soal Otis yang akhirnya banyak menyelesaikan persoalan seks teman-temannya, tapi lebih dari itu mengupas banyak persoalan remaja dan kehidupan siswa di Amerika.

Film ini banyak menggambarkan kehidupan yang riil, bukan seperti sinetron fantasi pada umumnya. Otis yang memiliki ibu seorang terapis seks malah fobia terhadap seks dan ibuknya pun tidak bisa menyembuhkan. Eric, sempat mengalami masalah berat dengan Otis yang menyebabkan hubungan mereka hancur lalu Eric harus mencari jati diri akan ke-homo-annya.

Maeve, yang sejak awal dijuluki 'penggigit penis' akhirnya juga bercerita bagaimana ia mendapatkan julukan itu gara-gara ia menolak berhubungan seksual. Ditunjukkan dengan jelas bahwa Maeve hanya berhubungan seks dengan seorang lelaki paling tampan, berkulit hitam, dan seorang bintang renang sekolah. Kehidupan pribadinya yang patut dikasihani juga terungkap dan inspiratif.

Adam Grof juga bisa disorot, sebagai seorang lelaki tinggi besar, suka mengganggu Eric, anak kepala sekolah, tapi selalu bermasalah dengan ayahnya. Semua tokoh digambarkan secara manusiawi, memiliki satu kelebihan dan banyak kekurangan. Tak terkecuali geng centil yang biasa ada di sinetron Indonesia, juga tidak menggangu secara fisik, tetapi bermain isu dan sinisme.

Film ini sangat greget mulai dari awal hingga akhir. Sebuah tontonan yang menghibur sekaligus memberi kita banyak perspektif soal etika dan moral di dunia ini. Apalagi kisahnya mengenai remaja yang rata-rata masih mencari jati diri. Semuanya sedang menghadapi masa puber yang menjengkelkan, juga menantang.

Mereka membentuk kelompok, menyusun strategi pertemanan, mencari trik agar memiliki pacar dan dapat berkencan. Bahkan di film ini ada seorang perempuan yang sangat ingin berhubungan seks sampai menawarkan tubuhnya ke siapapun yang dijumpai, termasuk Otis. Yang akhirnya dua orang ini hanya sampai telanjang di kamar tidur tetapi gagal melakukan tujuannya gara-gara fobia Otis.

Jika betul bahwa film merepresentasikan masyarakatnya, maka kita akan mengacungkan jempol ke bawah untuk bangsa Amerika. Etika timur yang kita anut di Indonesia sungguh bertolak belakang dengan yang terjadi di sana. Kita menjunjung tinggi asas kerahasiaan dan ke-tabu-an seks, sementara di sana diobral.

Dari sudut pandang pribadi, saya tidak menolak seksualitas bagaimanapun. Tetapi merayakan seksualitas sebagai tanda seorang remaja keren sungguh tidak patut. Jauh lebih berbahaya ketika seorang remaja malu tidak berhubungan seks dengan pacar atau teman sekolah, dibanding seorang remaja yang menjaga diri dari seks dan menyimpan moment itu untuk masa depan yang lebih siap. Seks tentu lebih baik dilakukan di ruang privat, dibanding di pesta-pesta sekolah.

2018-11-02

Spiderman


Beberapa hari ini leher kananku terasa gatal. Aku tidak pernah melihatnya di cermin atau mencoba mencari tahu mengapa. Karena aku membayangkan bahwa besok pagi ketika bangun tidur, tanganku bisa lengket ke dinding, lalu tiba-tiba aku merayap di atap rumah. Aku menjadi spiderman.

Tapi jika memang aku memiliki kekuatan super, aku akan ikhlas menerimanya. Tentu saja, menjadi kuat dan keren, bisa melakukan apa yang tidak bisa manusia biasa lakukan; its cool. Berbeda dengan manusia kebanyakan adalah berkah yang kini digunakan motivator untuk kliennya.

Kita semua orang biasa, yang kadang ego membuat kita sok menjadi orang luar biasa padahal palsu. Kita rata-rata akrab dengan seorang lelaki biasa, memiliki istri biasa, anak lima, 2 nakal, 1 pasif, 1 penurut, 1 paling bisa diandalkan. Atau kalian adalah mahasiswa biasa yang berdebar-debar ketika pembayaran semester akan dimulai.

Maka ketika lelaki biasa, mahasiswa biasa, tukang bangunan yang membenahi kusen jendela, atau dia anggota dewan yang rajin ikut rapat tapi minim berpendapat: memiliki kekuatan super bisa menembus tembok, bisa sekuat hulk dan kapten marvell, alangkah bahagia orang biasa tersebut. Bahagia yang paling kecil misalnya bangga dengan diri sendiri, itu juga cukup bagus.

Kekuatan super yang aku kepengen ini bukan dengan rencana menjadi pahlawan. Superhero Spiderman yang terkenal dengan ungkapan 'dibalik kekuatan yang hebat ada tanggungjawab yang besar' memang inspiratif tapi juga lebai. Jijik jijik gimana begitu. Jika aku bisa terbang belum tentu aku juga pengen menyelamatkan pesawat yang mau jatuh gara-gara sistem penerbangan Indonesia yang amburadul.

Kalau gatal di leher kananku ini benar-benar dari laba-laba yang bisa menjadikanku Spiderman, tidak akan menjadi masalah bagi siapapun. Tidak ada yang dirugikan. Keuntunganku hanya bisa merayap tembok. Tapi merayapi tembok tidak bisa digunakan untuk menghasilkan uang banyak karena aku pengajar, bukan tukang sirkus yang dibayar karena melakukan pekerjaan yang lucu atau tipuan canggih.

Tidak akan ada yang berubah dariku, kecuali mungkin agak sombong sedikit karena merayap di tembok adalah sesuatu yang tak lazim. Jika kalian membayangkan menjadi spiderman kemudian bisa loncat indah dari gedung ke gedung menggunakan jaring laba-laba, maka bersiaplah kecewa. Karena di kota ini, atau bahkan Jakarta, tidak ada gedung yang bersisian kanan-kiri jalan sehingga loncatan tampak memukau.

Dengan kondisi ini maka Spiderman jelas dapat dikalahkan oleh Doflamingo, antagonis di anime One Piece yang memiliki kekuatan benang. Benangnya bisa ditarik atau digantungkan di awan sehingga bisa loncat kemanapun asal ada awan. Karena itu, sia-sia juga kekuatan spiderman jika tidak ada gedung-gedung seperti yang ditampilkan Hollywood.

Dan jika memang aku spiderman lalu daftar caleg, mungkin agak repot. Karena di Indonesia, spiderman akan kalah dengan politisi. Bahkan jika Spiderman membantu menumpas kejahatan, semisal korupsi atau menggarong tanah orang untuk korporasi, Spiderman akan kalah dengan tentara. Karena Spiderman tentu saja bisa dituntut secara hukum. Jika tidak percaya, sebaiknya kita tonton superhero beberapa waktu terakhir yang  Spiderman asli yang dihujat media massa, atau Batman dan Superman yang disuruh mundur jadi pahlawan.

Karena itu, aku tidak banyak berharap jika gen laba-laba kemudian menjadikanku punya kekuatan super, yang kemudian bisa digunakan untuk memberantas kejahatan. Sungguh Indonesia lebih dikuasai pemodal yang menanamkan uangnya ke seluruh capres siapapun itu, sehingga superhero juga akhirnya kalah.

Lagipula, bagaimana mungkin spiderman yang pahlawan, baik hati, berbudi pekerti luhur, akan bentrok dengan aparat keamanan? Tidak bisa.

Jadi siap-siap putus asa jika menjadi superhero di Indonesia. Karena melawan gelombang oligarki yang sudah mencengkeram Indonesia butuh atta ashiap dan ria ricis untuk membuatnya jadi lucu. Undang-undang bisa dibuat sesuai pesanan, penjara bisa dibeli fasilitasnya, termasuk hukum yang bisa dibeli, menjadikan superhero pun akan terkejoet dengan sistem tata kelola kenegaraan Indonesia.

2018-09-27

Ruang Kelas


Pikiran-pikiran manusia intelektual perguruan tinggi di Indonesia mudah ditebak : kubus, berisi coretan yang tidak teratur, keras seperti kursi kayu, pendiam seperti anak semester satu. Pikiran-pikiran kita dibatasi hanya 8 x 9 meter dan tidak boleh keluar dari ruangan itu. Dosen setuju dan merasa aman jika pikiran seluruh anggota kelas tidak liar, mengikuti metode yang telah dipatenkan dengan argumentasi kaku yang tak (boleh) terbantahkan.

Semua berjalan sesuai dengan kontrak kuliah, dan yang boleh melanggar kontrak hanyalah dosen. Keterlambatan mahasiswa adalah amunisi bagi dosen untuk marah sepanjang 3 SKS pertemuan, yang akhirnya membuat seluruh kelas terlihat bodoh dan terancam. Sedangkan keterlambatan dosen bisa dimaklumi; dosen itu sibuk dan banyak aktivitas yang tidak bisa dikalahkan oleh ruang kelas.

Pendidikan semacam ini adalah versi terbaik dari yang pernah didapatkan mahasiswa sepanjang masa. Untungnya, perjalanan kuliah semacam itu sudah dilaksanakan selama ratusan tahun. Karena itu tidak akan ada yang protes. Sebagai mahasiswa kita akrab dengan kejadian-kejadian tersebut sehingga tidak memermasalahkannya. Kita selalu menjadi asing terhadap rutinitas, karena itu rutinitas harus digugat karena tidak menumbuhkan kekritisan se-senti pun.

Sebagai ruang publik, kelas harusnya menjadi tempat diskusi yang memuja akal dan argumentasi. Di dalamnya tidak ada lagi dogma dan struktur kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir mahasiswa. Meskipun kondisi ini –tampaknya- tidak indonesiawi, tetapi hal itu perlu karena mental bangsa jajahan harus segera dipatahkan. Sebagai dosen, mereka sangat takut untuk dilawan lalu diketahui kedunguannya, dan sebagai mahasiswa, mereka juga takut jika nilai luntur warnanya.

Gejala ruang kelas yang tidak layak menjadi raung intelektualitas ini merembet ke seluruh perguruan tinggi. Argumen lain yang popular adalah mahasiswa harusnya tidak mengharapkan apapun dari ruang kelasnya, tetapi harus mencari sendiri di luar akademik kampus. Dia harus berorganisasi, beradu debat dan pikir di organisasi mahasiswa di luar kampus, termasuk menyelenggarakan kuliah-kuliah tamu mini mengundang sarjana dan ahli untuk diskusi.

Lalu apa gunanya ruang kelas jika kita harus mencari segala sesuatunya di luar kelas? perkuliahan harus menjadi lembaga pendidikan yang berisi orang-orang kritis sehingga bisa memikirkan negara dan bangsa ini lebih baik. Ruang kelas harus bisa mengevaluasi keadaan sehingga bisa melahirkan pemikiran baru. Mahasiswa dan dosen sebagai pemilik ruang kelas, harus dapat berkolaborasi memunculkan opini yang menumbangkan otoritarianisme dan menumbuhkan optimisme berpolitik dan berbangsa.

Mahasiswa merupakan manusia yang paling beruntung karena bisa menikmati pendidikan sampai perguruan tinggi. Karena itu beban berat bagi pemuda yang bisa kuliah untuk dapat melakukan perubahan sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya. Mahasiswa tidak boleh picik, manja, mengikuti pendapat umum yang keliru, apalagi membuat kerumunan sendiri yang bisa dibawa arus ke sana-kemari seperti buih.

Memang tanggung jawab ini berat, terutama mahasiswa yang baru saja keluar dari rumah untuk menjalani pendidikan tingkat tinggi di perantauan. Tetapi mahasiswa harus cepat beradaptasi karena perkuliahan dihitung dari waktu dan kebanggaan akan lulus tujuh semester. Waktu benar-benar menjadi pisau tajam yang mengiris nadi mahasiswa semester akhir. Mahasiswa akan merasakan waktu yang menjalar serba mendadak; tiba-tiba sudah perkuliahan minggu kelima, dan tiba-tiba sudah semester delapan.

Ruang kelas harus dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh mahasiswa untuk membangun basis pengetahuan yang kuat. Persoalan klasik mengenai dosen otoriter dan mau menang sendiri bisa dilawan dengan pertanyaan-pertanyaan santun sehingga tidak tampak melawan, apalagi menggurui dan justifikasi. Dosen juga manusai, sebagaimana mahasiswa yang manusia. Jika pertanyaan mahasiswa terlihat marah dan berapi-api, dosen pun akan bersiap dengan meningkatkan kewaspadaan pengetahuannya, atau pertahanan diri semacam rusa di alam bebas.

2018-08-10

Ulasan Buku: Lelaki Harimau


Sinopsis

Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”

Overview

Judul novel ini begitu sastrawai, termasuk kisah di dalamnya. Sastrawi dalam pemahaman saya adalah gambaran karya fiksi Indonesia yang bisa membuat pembaca tidak hanya menikmati kisahnya, tapi juga mengagumi gaya kepenulisannya, dan yang paling utama, menakar penulisnya dalam kancah sastra nusantara. Maka dari itu, sulit bagi sebagian besar sastrawan menimbang sosok Andrea Hirata atau Tere Liye sebagai sastrawan; keduanya adalah novelis, sama seperti Denny JA yang bersusah payah membuat ‘puisi-esai’ yang dikagumi sebagian kalangan yang diduga ‘bayaran’.

Membaca karya sastra di Indonesia memang harus pilih-pilih supaya tidak terjebak dalam kisah membosankan, atau kisah luar biasa tetapi penuturannya membuat pembaca bodoh. Kisah dalam novel ini sangat memesona penalaran kita yang terbiasa dengan fakta-fakta biasa saja. Padahal di sekeliling kita yang hidup di pedesaan, banyak kejadian nyata, fakta, aseli, tetapi tampak seperti fiksi karena penuturan masyarakat yang terbayangi mitos dan legenda. Contohnya adalah ketika Margio, seorang remaja tanggung, membunuh Anwar Sadat, lelaki paruh baya, dengan cara menggigit lehernya hingga putus.

Begitulah kisah Lelaki Harimau bermula. Lalu kisah berjalan cepata ke kisah masing-masing tokoh beserta keluarganya: Margio, Anwar Sadat, Kyai Jahro, Mayor Sadrah, Ma Soma, hingga ke sebab musabab Margio menggigit Anwar Sadat. Meskipun terkesan cepat, tetapi bagi saya tetap lambat untuk segera mengetahui alasan Margio melakukan pembunuhan dengan cara yang tidak masuk akal tersebut. Bayangkan, kejadian Margio menggigit Sadat di halaman 1 itu baru jelas terdeskripsikan di halaman 31. Maka itu, membaca novel ini kita harus benar-benar fokus mengingat nama dan tempat, mengingat kisah satu orang lalu menimbunnya dengan kisah orang lainnya, serta tetap duduk hingga novel selesai.

Kekuatan Eka Kurniawan, selain pada kisahnya yang memukau, juga terletak pada bahasanya yang detil dan unik. Misalnya ia menulis : “Ia hampir memenggalnya, menggergaji leher itu hingga batang tenggorokan Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading sebelum banjir oleh merah, saat pintu kamar tidur terkuak dan Maesa Dewi berdiri di sana, mengenakan pakaian tidur satin putih dengan motif bunga peoni, pipinya berhias garis peninggalan lipatan bantal, matanya setengah redup namun bersegera insaf, dan tangannya yang ramping terangkat, jemari menutup bibirnya yang terkuak kecil melontarkan kata tanpa bunyi,” (lhat halaman 33).

Paragraf di atas adalah penjelasan Eka semenit pasca Maesa Dewi mendapati Margio menggigit mati ayahnya di ruang tamu, di depan kamarnya. Ada cetak miring dalam paragraf di atas sengaja saya lakukan untuk menunjukkan detilitas yang unik dalam penuturan penulis. Tentu saja jarang ada penulis yang bisa mendeskripsikan detilitas yang amat bertolak belakang – kasus pembunuhan tetapi detil ke motif bunga peoni. Ditambah, satu paragraf panjang itu sebenarnya hanyalah satu kalimat. Hanya penulis yang telah melampaui penulis pemula yang mampu membuat paragraf panjang tanpa putus tapi tetap enak dibaca.

Yang paling menarik dari seluruh novel ini, adalah jawaban Margio atas pertanyaan bagaimana dan mengapa ia bisa membunuh Anwar Sadat dengan cara yang sedemikian? : “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.” Jawaban ini membuat tubuhku seperti tersengat listrik dan whuus, ada angin yang lewat di bawah telinga. Tentu itu bukan fakta, tetapi aku membayangkan jawaban seperti itu keluar dari mulut seseorang setelah memutuskan leher lelaki dewasa hanya dengan giginya, adalah sesuatu yang ajaib.

Mistisisme dari jawaban Margio, sangat diterima di pedesaan, bahkan jika ada kisah yang lebih suram dari itu. Mistis lanjutan diceritakan dalam bagian 2, tentang bagaimana Margio berkenalan dengan hewan mistis ‘harimau putih’ yang merupakan peninggalan kakeknya itu. Kisah mengenai Margio dan harimaunya memang khas pedesaan yang percaya bahwa manusia bisa memiliki kekuatan yang biasanya direpresentasikan kepada hewan-hewan. Karena itu, kisah mengenai harimau mendapatkan tempat tersendiri dalam novel ini, seakan ingin memberikan konteks yang lebih luas bagaimana seorang remaja bisa memiliki jawaban memukau tentang pembunuhan.

Kisah dan Tragedi

Hidup kita adalah sebuah tragedi yang tidak ada henti-hentinya. Hidup liar, penuh dengan tantangan, kegilaan, dan kesenangan yang segera berlalu dengan cepat; seperti matahari sore yang akan tenggelam sepanjang malam. Pembicaraan atas berbagai tragedi kehidupan, lebih sering saya omongkan dengan beberapa tetangga kos yang memiliki macam-macam profesi: supir truk, dukun pengasihan, pegawai humas pemkot batu, tukang bakso, dan seorang guru bahasa inggris. Mereka semua tentu saja hanya mengangguk-angguk karena tidak memahami kalimat saya. Dan ketidakpahaman adalah tragedi yang paling mengenaskan di dunia ini.

Padahal orang yang jelas menagalami tragedi dalam kehidupan ini adalah para tetangga saya yang terhormat. Tapi biarlah mereka tidak paham; meskipun gaji guru tidak pernah memuaskan, meskipun supir truk selalu berurusan dengan preman dan polisi, atau teman saya yang dukun pengasihan malah keterlaluan tragis karena tidak kunjung beristri. Tragedi semacam ini, bagi orang desa adalah hal yang lumrah. Mereka tidak pernah membicarakan bagaimana Jokowi harusnya begini begitu, atau mereka juga tidak pernah mempermasalahkan mengapa Khofifah yang memang di Jawa Timur. Ketidaktahuan mereka terhadap tragedi telah cukup untuk dilakukan tanpa pikiran curiga kepada tuhan.

Dan, hidup yang dialami oarng-orang di dalam novel Lelaki Harimau kesemuanya adalah sebuah tragedi pula. Tidak ada nasib baik yang dialami hingga bisa membawa kesenangan terus menerus. Margio adalah sosok remaja yang memiliki dendam kesumat kepada ayahnya –yang menghidupi Margio dengan ancaman dan pukulan. Maka ketika Margio malah membunuh Anwar Sadat –yang adalah bapak dari Maharani, gadis pujaan Margio, semua orang kaget. Seharusnya Margio membunuh ayahnya, bukan Sadat. Maharani bernasib buruk, begitu juga kedua saudarinya. Ibu Margio bernasib buruk, tak terkecuali hidup Sadat bersama istri dan mertuanya adalah suatu tragedi yang berkelindan dengan nafsu dan pengkhianatan.

Tetapi kita tidak cukup membicarakan tragedi tanpa membicarakan nilai-nilai dalam kehidupan. “Deskripsi perkembangan psikologis para tokoh Lelaki Harimau membuat kita menyadari betapa nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari ternyata terlalu sederhana, tak memadai untuk memnilai kehidupan manusia yang penuh liku-liku.” Itu adalah kutipan tulisan Katrin Bandel, di Kompas, yang menjadi salah satu testimoni di cover belakang. Saya kira penggalan komentar ini sangat pas untuk diletakkan dalam kehidupan nyata di Indonesia; dengan berbagai macam kejadian criminal unik, menyeramkan, hingga yang sadistik.

Informasi Buku
Eka Kurniawan. 2014. Lelaki Harimau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 204 halaman

2018-07-23

Era Digital; Kembalikan Pendidikan ke Orang Tua!


Mendikbud, Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP saat memantau hari pertama sekolah di Abepura, Papua (sumber : Siaran Pers BKLM di https://www.kemdikbud.go.id/)

Pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan membahayakan. Setiap kita bicara tentang dunia pendidikan, rasa pesimis dan kecaman selalu ada. Nasib para siswa ini, mirip dengan siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dalam film Tare Zameen Paar bernama Ikhsaan Awasthi. Ikhsaan bernasib buruk karena gangguan dyslexia, yaitu ketidakmampuan membaca seperti yang banyak diharapkan guru dan orang tua. Setiap dia melihat tulisan dan angka, semuanya berubah menjadi bintang di langit dan bebek yang berenang di kolam. Di sekolah maupun di rumah, ia dituntut dalam perkataan yang sama: harus bisa membaca dan menghitung!

Apa yang dialami ikhsaan, dialami juga oleh seluruh siswa kita, bahkan siswa yang sehat secara fisik dan mental. Ahli pendidikan dari Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, ketika mengisi ceramah di Ted (2006), menyebutkan bahwa kita semua terjebak dalam rutinitas dunia pendidikan yang tanpa tujuan. Mengajar yang harusnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak tercapai karena rutinitas yang apatis. Bagi siswa, belajar sepanjang hayat untuk living together juga tidak tercapai karena rutinitas belajar yang monoton. Termasuk yang terpenting, orang tua di rumah juga terjebak rutinitas pekerjaannya sehingga tidak memberikan waktu untuk pendidikan karakter anak-anaknya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak adalah orang tua. Tanpa mengecilkan peran sekolah, ada sebuah riset yang secara drastis mengubah pandangan kita tentang pendidikan, dari school based menjadi parent based. Riset yang dilakukan oleh Mikaela J. Dufur, Toby L. Parcel, dan Kelly P. Troutman (2012) ini mengambil data lebih dari 10.000 siswa beserta orang tua, guru, dan pihak sekolah. Dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anaknya sangat berperan dalam kesuksesan mereka secara akademik di sekolah.

Seorang siswa dengan modal sosial keluarga (family social capital) yang tinggi serta modal sosial sekolah (school social capital) yang rendah, memiliki tingkat keberhasilan akademik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki modal sosial sekolah tinggi tetapi modal sosial keluarga rendah. Penelitian lain oleh Professor Gianni De Fraja, Tania Oliveira, dan Luisa Zanchi, (2010) mengemukakan, kerja keras orang tua jauh lebih penting dari kerja keras dan upaya sekolah untuk pencapaian pendidikan anak, yang pada gilirannya, juga lebih penting dari kerja keras anak itu sendiri. Dalam dua penelitian itu jelas menyimpulkan peran besar orang tua untuk mendukung kesuksesan akademik siswa, yang bakal menentukan masa depan anak-anak.

Karena itu orang tua harus sadar bahwa mereka wajib menyisihkan sebagian waktu mereka untuk berkomunikasi dengan anak-anak mengenai pendidikan. Dalam salah satu informasi di website sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, disebutkan dengan apik bahwa “Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Pola pengasuhan dan pendidikan yang diterapkan orang tua akan menentukan karakter dan kepribadian, motivasi berprestasi dan kondisi kesehatan serta kebugaran anak-anak,”. Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua bersama anaknya ketika di rumah, misalnya bertanya tentang tugas dan pekerjaan rumah dari sekolah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sang anak yang selalu penasaran, hingga menghadiri kegiatan-kegiatan sekolah bersama anak.

Konsep tentang pendidikan anak yang baik telah berkembang jauh melebihi masa lampau, meskipun masih ada paradox ‘siapa penanggung jawab penuh terhadap keberhasilan pendidikan?’. Misalnya, pendidikan kini lebih menghargai hak-hak siswa dengan mendeteksi sejak dini kebutuhan siswa agar pendidikan dapat disesuaikan dengan kondisi mereka. Tetapi yang tidak disadari, kita sebenarnya menganggap bahwa kepandaian, sikap yang baik, kemampuan beribadah, toleransi dan penghormatan kepada orang lain, semuanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua masih belum diikutkan dalam proses pendidikan padahal konsep dan teori peran orang tua telah banyak dipercaya mampu meningkatkan proses akademik siswa.

Dunia Digital, Pendidikan dalam Genggaman

Kondisi lain yang menyebabkan kita harus segera mengembalikan pendidikan yang awalnya menjadi tanggung jawab sekolah ke orang tua adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak dapat ditolak. Di setiap rumah sekarang telah tersedia akses menuju internet, baik melalui handphone maupun wifi. Teknologi digital yang berkembang bersama anak-anak masa kini banyak menyediakan berbagai macam konten, mulai dari yang positif hingga negatif. Mereka sudah terbiasa menggunakan gawai yang canggih bahkan melebihi orang tuanya karena mereka adalah digital native atau Generasi Z, yaitu generasi yang sejak kelahiran sudah disambut dengan gawai.

Generasi sebelumnya, yang masih harus belajar berbagai jenis teknologi terbaru disebut sebagai digital immigrant sehingga seringkali gagap ketika menghadapi teknologi. Tentunya, Generasi Z yang sudah tergantung dengan teknologi, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Cara mereka membaca dan menulis, cara mereka bermain, bahkan cara bersosialisasi dengan lingkungannya juga berbeda. Hampir semua orang tua mengeluh karena anaknya selalu memegang handphone, bermedia sosial, tertawa dan menangis karena handphone, dan semakin sulit diajak bersosialisasi.

Setiap orang tua juga punya sikap ragu-ragu terhadap dunia digital yang bisa diakses bahkan oleh anak usia 3 tahun. Inilah tantangan orang tua zaman now yang harus bisa mengendalikan interaksi anak dengan gawai jika tidak ingin terbawa arus negatif. Banyak cara yang bisa dikembangkan oleh orang tua untuk menjaga anak-anaknya. Mari diskusikan beberapa langkah dasar yang perlu dilakukan orang tua dalam menghadapi anak-anaknya yang sudah berkenalan dengan gawai. Jangan sampai, teknologi yang bisa digunakan untuk memudahkan pendidikan malah menjadi malapetaka bagi generasi masa depan bangsa.

Pertama, perlu dipahami bahwa gawai tidak untuk dihujat kemudian dihindarkan dari anak-anak. Kita tidak bisa menafikan kehadiran gawai karena perkembangan dunia menghendaki itu. Sebagai orang tua yang sedang menyiapkan anak-anaknya untuk kehidupan masa depan –bukan masa lampau- maka seharusnya orang tua terbuka. Kekhawatiran kita tidak boleh dijadikan alasan untuk mengekang anak-anak dari teknologi apapun, bahkan teknologi video game.

Kedua, selalu dampingi anak-anak dalam penggunaan gawai. Pendampingan dilakukan untuk melihat seberapa jauh anak-anak dalam memanfaatkan teknologi. Pada intinya, teknologi digunakan untuk memudahkan  kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Maka selama teknologi digunakan untuk tujuan itu, jangan larang anak-anak. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang sangat bagus untuk mengembangkan pendidikan mereka, mulai dari matematika, bahasa, hingga logika.

Perlu diperhatikan bahwa orang tua juga harus belajar bagaimana menggunakan semua teknologi yang digunakan anaknya. Termasuk fungsi media sosial hingga penelurusan riwayat website di gawai mereka. Orang tua juga bisa bertindak sebagai pengawas. Anak harus dipahamkan bahwa orang tua memiliki hak penuh untuk mengakses gawai anaknya kapanpun di manapun ketika dibutuhkan. Sehingga tidak ada alasan bagi orang tua kecolongan tindakan-tindakan negatif yang dilakukan anak di gawainya.

Ketiga, orang tua harus membicarakan batas waktu penggunaan setiap teknologi kepada anak. Teknologi ini bisa berupa televisi, video game, dan handphone. Harus ada aturan yang tegas untuk tetap menjaga sikap disiplin anak-anak. Hal yang sulit dihindari adalah ketika waktunya berhenti main gawai, tetapi orang tua malah enjoy dengan handphone-nya. Karena itu, diperlukan komitmen bersama antara anak dan orang tua, serta seluruh anggota keluaraga, jika ingin benar-benar menjadikan teknologi sebagai penolong manusia, bukan malah menjadi tumpuan hidup.

Keempat, meskipun dunia digital sangat penting, namun jangan pernah meninggalkan kegiatan offline, seperti membaca buku bersama, komunikasi terkait persoalan sehari-hari, jalan pagi bersama, termasuk mengajak anak-anak untuk berkunjung ke orang-orang di lingkungan sekitar. Banyak hal yang dilupakan oleh generasi milleneal ketika menjadi orang tua, yaitu melupakan kehidupan nyatanya dan memberikan porsi berlebih kepada dunia online. Sebagai orang tua yang baik, maka aktivitas di luar gawai harus ditetap dipelihara jangan sampai hilang bersama dengan cara hidup online.

Selain empat hal di atas, tentunya masing-masing orang tua dapat mengembangkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Karena latar belakang keluarga juga memengaruhi bagaimana pola komunikasi dan pendidikan keluarga. Anak-anak merupakan aset bangsa yang tidak ada padanannya dengan teknologi manapun. Semua teknologi yang ada bisa berguna dan memberi manfaat yang besar karena manusia yang mengoperasikannya. Jika kualitas manusianya tidak produktif maka teknologi secanggih apapun akan berakhir dengan menjadi barang rongsokan.

Perlu ditekankan bahwa peran orang tua dalam mendidik anaknya bukanlah upaya mengesampingkan peran sekolah. Lebih dari itu, keterlibatan orang tua diperlukan untuk memaksimalkan hasil akademik di sekolah. Sehingga kita bisa menyebutnya sebagai program bersama yang sinergis, antara sekolah dengan orang tua. Di rumah, orang tua mengajari karakter yang kuat kepada anak, sedangkan di sekolah, guru menyempurnakannya dengan pengetahuan. Karena inti dari pendidikan adalah pembentukan kebiasaan baik hingga menjadi karakter. Sekolah hanya memiliki sedikit kesempatan membentuk karakter siswa, sebaliknya yang memiliki banyak waktu harusnya orang tua.

Beberapa cara bisa dilakukan oleh orang tua yang ingin membangun kepribadian prima anaknya, antara lain:

Pertama, jadilah contoh yang sempurna untuk anak-anak. Sebagai peniru ulung, kita harus yakin bahwa anak-anak meniru sosok yang benar. Role model ini bisa diekspresikan dalam berbagai cara kehidupan, mulai dari dasar kependidikan seperti membaca dan berhitung, eksplorasi lingkungan, hingga pembentukan karakter. Sebagai guru yang pertama, orang tua harus menjadikan dirinya sebagai ibu yang penuh kasih sayang dan ayah yang menjadi pahlawan. Beberapa aktivitas bisa dilakukan bersama, misalnya membaca dongeng, memasak, hingga eksplorasi alam bersama-sama.

Seorang anak yang sudah mendapatkan contoh di dalam keluarga akan merasa senang dan tidak berharap pada model selain itu. Perkembangan remaja yang menjadikan artis sebagai idola selalu mencemaskan orang tua. Apalagi jika idola yang digunakan sebagai basis cita-cita tidak memiliki karakter yang baik. Karena itu, idola anak harus dibentuk sejak dini agar anak-anak tidak salah memilih idola di masa depan. Kisah-kisah teladan dari para nabi dan orang suci, cerita kejujuran seorang ksatria dan fabel dalam berbagai buku cerita anak, penting dibacakan sehingga mengetahui karakter mana yang bisa dicontoh. Begitu anak sudah menentukan role model-nya sendiri maka ia akan berusaha mencapai sebagaimana model yang dicontohkan tersebut.

Kedua, membangun karakter anak yang kuat. Selain aktivitas fisik, orang tua juga harus membangun atmosfer positif di dalam keluarga. Banyak sikap yang bisa dikembangkan untuk anak-anak, misalnya, jujur, disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab. Sikap-sikap ini, ketika sudah menjadi kebiasaan maka akan menjadi karakter yang dapat menentukan proses pendidikannya di masa mendatang. Menurut survey The National Association of Colleges and Employers (NACE), perusahaan lebih membutuhkan pekerja yang memiliki karakter bagus dari pada hanya nilai akademik. Karakter yang paling diinginkan perusahaan adalah kemampuan kerja sama, kemampuan menyelesaikan masalah, dan kemampuan berkomunikasi.

Ketiga, kenali segala sesuatu yang disenangi anak-anak, terutama untuk mengenali bakat mereka. Seorang anak rata-rata memiliki rasa penasaran yang tinggi sehingga membuat orang tua tidak sabar untuk meladeninya. Orang tua harus selalu bisa menjawab pertanyaan anak sehingga pengetahuan seorang anak selalu bertambah. Ujiannya adalah ketika orang tua kesulitan menjawab sedangkan si anak sudah tidak sabar menemukan jawabannya. Kita harus menjelaskan dengan pelan dan penuh perhatian, bahwa mereka lebih baik mencari bersama-sama sehingga seorang anak akan belajar karakter penuh simpatik.

Moment-moment awal ini bisa digunakan untuk mengetahui aktivitas yang disukai anak-anak, serta sikap apa yang tampaknya menonjol dan siap dikembangkan. Karakter anak juga akan berkembang dengan baik karena orang tua telah membangun suasana yang menyenangkan dalam keluarga. Seorang anak tidak lagi takut untuk mengungkapkan pendapatnya, karena kekeliruan akan selalu menemukan solusi. Seorang anak juga akan belajar jujur karena orang tua mengapresiasi kejujurannya dengan pujian dan tepuk tangan, lalu memaafkan dengan ikhlas. Dengan mengenali bakat terpendam anak, maka orang tua akan lebih mudah memberikan bimbingan pendidikan ke depannya. #sahabatkeluarga


Daftar Pustaka

Gianni De Fraja, Tania Oliveira, Luisa Zanchi. 2010. Must Try Harder: Evaluating the Role of Effort in Educational Attainment. Journal Review of Economics and Statistics. Vol. 92, No. 3. P.577.


Mikaela J. Dufur, Toby L. Parcel, Kelly P. Troutman. 2013. Does Capital at Home Matter more than Capital at School? Social Capital Effects on Academic Achievement. Journal Research in Social Stratification and Mobility. Volume 31, P.1-21

Robinson, Sir Ken. 2006. Do Schools Kill Creativity?. diakses di https://www.ted.com/talks/ken_robinson_says_schools_kill_creativity pada 12 Juli 2018


2018-07-13

Ulasan Buku: Bilangan Fu


Pertama-tama, membaca bilangan fu adalah keinginan yang sudah lama tapi tertunda. Pernah sekali –sekali meliriknya di toko buku ketika masih kuliah di tahun 2011, bahasanya menarik, kisahnya seperti ‘lelaki banget; tetapi harga bukunya mahal; akhirnya tak terbeli. Kini di sela kesibukan yang sangat sibuk, aku membacanya dengan gaya tergesa, berharap besar, dan sering mengulang membaca karena beberapa kali tersilap dengan kisah yang tiba-tiba sampai di suatu tempat yang asing dan berbeda.

Di samping sekeranjang kelebihannya, novel ini tentu punya kelemahan di bagian narasi. Bagiku, narasi dalam sebuah novel menjadi sesuatu yang mutlak karena karya sastra harus melesat di benak pembaca, mengubah dengan lembut kecerdasan bahasanya, dan nikmat serta mengalir dalam pembacaannya. Aku lebih banyak mengulang karena satu hal: ingin lebih paham apa yang dimaksud penulis dengan berbagai pertarungan wacana yang ingin dibangun, dan lompatan kisah yang ke sana kemari. Jadinya, membaca novel ini melelahkan pikir dan tenaga.

Kelemahan itu segera tertutupi jika kita ingin menganggap bahwa novel tidak hanya berjalan dalam tataran imajinasi, tetapi juga berkait fakta dan amukan terhadap realitas. Tampak dalam novel ini, keinginan penulis yang ingin menggugat banyak hal yang sudah terlampau diyakini, padahal merusak. Ia menggugat modernisme, monoteisme, dan militerisme yang dianggap banyak merusak alam, atau yang dengan bahasa lain: lebih banyak jelek dari pada baiknya. Penulis ingin membuat agama baru yang menghormati kebudayaan masa lalu, dan kembali mencintai bumi, yaitu Spiritualisme Kritis.

Persoalan langit dan bumi dalam novel ini, secara sederhana bisa dijelaskan demikian: bahwa sejak kedatangan agama di Pulau Jawa pada khususnya, lebih khusus lagi Agama Islam dengan ajaran yang sering mengafirkan, menyirikkan, mengkhrafatkan, membid’ahkan, maka segala penyembahan terhadap alam dibinasakan. Sesajen, yang dalam novel disebut sebagai bea cuka kepada penunggu pohon besar, dibabat habis. Karena dianggap menduakan tuhan, akhirnya penyembahan semacam itu dihancurkan, lalu orang-orang mulai menganggap tidak ada lagi tulah jika menggergaji pohon besar.

Parang Jati, yang seakan mewakili sebagian diri penulis, ingin menampar ‘untuk menyadarkan’ si Yuda yang mewakili generasi pemuda idealis, kritis, sinis, dan rasional. Yuda menolak segala sesuatu yang irrasional, dan selalu mempertanyakan segala sesuatu dengan niat memalukan pihak lawan, atau mencari kepuasan logikanya sendiri. Tetapi bukan Yuda yang menjadi antagonis, dia malah protagonis yang bisa digambarkan sebagai batu granit yang tak akan goyah oleh puting beliung pemikiran, tetapi toh akhirnya harus kalah dengan angin sepoi-sepoi yang dibawa Parang Jati.

Yuda, seperti yang telah disebutkan, memiliki watak yang kaku dan kritis, adalah seorang pemanjat gunung sejati. Ia digambarkan sebagai sosok lelaki yang lelaki banget, tapi menurutku gagal karena saya selalu terbayang penulis yang perempuan. Ia memanjat dengan khusyuk, penuh kedalaman, dan mencintai pekerjaannya secara sungguh-sungguh. Lalu datanglah Parang Jati melalui perkenalan singkat, dan membawa ajaran baru bagi pemanjat: sacret climbing (pemanjatan suci) –maksudnya adalah pemanjatan bersih. Jika pemanjat biasanya membawa paku, bor, dan alat lain yang malah merusak dinding tebing, mka sacred climbing tidak memperbolehkan alat-alat yang merusak alam.

Jika ingin menjadikan rock climbing sebagai tantangan, mengapa bukan memanjat gedung saja? “pemanjat sejati harus berdialog dengan tebingnya” begitu kata Parang Jati. Dengan lihai, penulis membawa kisah-kisah ini menjadi nyawa yang mendebarkan hingga akhirnya Yuda harus mengakui bahwa scared climbing memang harus dilakukan. Banyak kisah yang sebenarnya menarik, termasuk berbagai kiasan yang digunakan Parang Jati di setiap omongannya. Bahkan, penulis tampak terus-menerus berbuat bijak dengan berbagai argumentasi yang tidak tunggal, tapi beragam dengan imajinasi yang tidak pernah habis.

Misalnya, Parang Jati ingin menunjukkan bahwa manusia selalu ingin memerkosa alam. Digabungkan dengan logika sacred climbing, ia menjelaskan kepada Yuda tentang pemburu di hutan. Menurutnya, seorang pemburu yang tidak bisa memanah tidaklah pantas membawa pulang kepala banteng atau harimau lalu di pasang di ruang tamu. Seorang pemburu yang membawa senjata modern (senapan, bius, atau alat lain) bukanlah pemburu hebat, sebab ia menghajar tradisionalis dengan modernitas. Banteng yang terbiasa hidup di alam dihadapkan dengan senapan akan keok, dan itu tidak bukan cara pemburu jantan.

Jadi musuh sesungguhnya dari penulis adalah modernitas, dan juga mototeisme yang diwakili oleh tokoh Kupu, sang agamawan bersorban, yang menjadikan agama sebagai tameng untuk berbuat aniaya terhadap alam. Kepada Kupu inilah, penulis ingin menggugat monoteisme yang membawa kerusakan di bumi, dan ingin mengembalikan mitos ke kepercayaan masyarakat yang adilihung. Berulang kali Kupu ditampilkan oleh penulis sebagaimana gambaran di masyarakat mengenai kaum agamawan yang kaku, tidak menerima perubahan, dan setiap omongannya menyakiti anggota masyarakatnya.

Membaca buku ini kita akan dihadapkan pada banyak keajaiban tentang memahami mitos dan legenda, lalu memasangkan hal-hal yang tidak masuk akal itu pada rasionalitas manusia modern. Hebat sekali buku ini. Kita diajak berfikir sangat terbuka, menerima segala sesuatu di dunia ini sebagai takdir yang dibaliknya ada sesuatu yang pantas ditunggu. Sungguh sangat tidak modern, mengingat di zaman ini kita dituntut untuk merekonstruksi realitas berdasarkan rasio murni. Hal-hal yang tidak masuk akal sudah dibakar habis sejak renaissance –maka buku ini berada di tempat yang membahayakan.

Jika kita penasaran dengan ‘Bilangan Fu’ yang menjadi judul novel ini, menurutku, penulis lebih banyak bertutur dengan jalan sok dimistis-mistiskan. Makna yang tersingkap dari kosakata bilangan fu memang luar biasa: mulai alat musik di papua hingga perhitungan ke 12 dalam mitologi India dan Jawa. Semuanya disampaikan dalam kesemrawutan yang sulit digambarkan, apalagi disisipi dengan kisah Parang Jati-Yuda-Marja, kliping pemberitaan dari berbagai koran yang mungkin dimaksudkan untuk menggabungkan kisah fiksi dan realitas, lalu cerita masa lalu Kupu dan Parang Jati sebagai anak buangan yang silang sengkarut dengan mitos dan tanda-tanda alam.

Sungguh, novel ini harus disederhanakan jika ingin memiliki tingkat keterbacaan seperti Laskar Pelangi atau The Davinci Code. Bagi sastrawan besar Indonesia, membandingkan Bilangan Fu dengan Laskar Pelangi akan dianggap penghinaan dan ditertawakan. Tetapi kita harus melihat bahwa karya sastra yang baik adalah yang enak dibaca. Karya sastra harus bisa membawa langit lebih rendah, dan mengangkat bumi lebih tinggi, sehingga siapapun orangnya bisa menyenangi karya sastra. Jangan memuji langit karena orang bumi akan menganggapnya mantra, juga jangan merendahkan bumi karena orang langit akan menginjaknya.

Dalam sebuah resensi semacam ini, bilangan fu akan sulit dijelaskan karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Bilangan fu bukanlah novel sastra magis yang bisa dengan sungguh-sungguh menghadirkan nuansa sihir dalam kisahnya, tanpa dapat diprotes. Menurutku, bilangan fu adalah novel realistis yang ingin menggugat realitas yang keliru. Maka ia harus jelas, tidak berbayang dengan kelindan cerita yang kesana-kemari. Tetapi novel ini harus diakui jernih, karena mengusung ideologi penulisnya yang murni, ingin membawa suatu olahan pemikiran ke dalam sastra meski melewati proses yang ruwet dan berkeringat.